Tak Terima HRS Dipanggil Polda MJ, AUIM Mojokerto Layangkan Surat Protes Ke Kapolri Idham Aziz
Selasa, 1 Desember 2020
Faktakini.net, Jakarta - Sejumlah kelompok dari berbagai ormas Islam dan Majelis ta'lim mengatasnamakan Aliansi Umat Islam Mojokerto Raya (AUIM) terlihat mendatangi kantor Polres kota dan Polres kab. Mojokerto, Jawa Timur, Selasa (1/12/2002).
Aliansi Umat Islam Mojokerto Raya diantaranya terdiri dari Muhammadiyah, FPI, PPIR, Pemuda Pancasila, Jama'ah Anshor AsSyari'ah, Mujahid 212, Pedepokan Jatiwuni dan lain sebagainya, juga dari beberapa majelis majelis ta'lim.
Menurut keterangan yang kami terima dari salah satu anggota ormas Islam tersebut yang tidak mau disebutkan namanya, "Melalui Bp. Kapolres dan kapolresta ini kami hendak melayangkan surat keberatan kepada bapak KAPOLRI terkait pemanggilan Imam Besar Habib Muhammad Rizieq bin Husein Shihab oleh Polda Metro Jaya yang di jadwalkan pada hari selasa tanggal 1 Desember 2020",begitu ujarnya.
Tiba tepat pada pukul 08.00 pagi, 7 orang perwakilan dari AUIM tersebut diterima langsung oleh Bp Kapolresta AKBP Deddy Supriadi.
Dalam penyampaiannya, Bp Kapolresta berjanji dan bersedia menyampaikan surat keberatan dari AUIM tersebut kepada bapak Kapolri Idham Aziz
Berikut isi surat keberatan dari AUIM serta pandangan hukum sedikitnya 4 lampir.
ALIANSI UMAT ISLAM
MOJOKERTO RAYA
(AUIM)
Perihal : Keberatan atas perlakuan hukum terhadap Imam Besar Ummat Islam Al Habib Muhammad Rizieq bin Husein Syihab
Hal : 4 (empat) lembar
Kepada Yth.
Bapak KAPOLRI
Di Tempat
Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Dengan rahmat Allah SWT semoga senantiasa mengiringi dan menyertai setiap akifitas di Kepolisian
Republik Indonesia yang Bapak pimpin. Aamiin.
Sehubungan dengan pemanggilan terhadap Imam Besar Ummat Islam Al Habib Muhammad Rizieq bin Husein Syihab dari Polda Metro Jaya atas tuduhan atau delik aduhan yang tidak ada dalam kaidah
hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kami dari Aliansi Ummat Islam Mojokerto Raya menyatakan,
KEBERATAN ATAS SEMUA PERLAKUAN HUKUM YANG MENDZOLIMI dan MENJADIKAN TARGET
KRIMINALISASI TERHADAP IMAM BESAR UMMAT ISLAM AL HABIB MUHAMMAD RIZIEQ BIN HUSEIN
SYIHAB.
Adapun dasar surat kami adalah hasil dari beberapa literatur keilmuan hukum sebagai berikut :
PENGHASUTAN ITU DELIK MATERIIL: Tidak Tepat Pasal 160 KUHP Dituduhkan Kepada Imam Besar
Ummat Islam Al Habib Muhammad Rizieq Syihab.
I. Pengantar
Atmosfer politik, hukum dan keamanan di tanah air tampaknya masih menghangat, bahkan cenderung panas menyusul kepulangan Habib Rizieq Shihab dari Arab Saudi dan terkait dengan kegiatan kerumunan massa dan konten ceramah sang Habib Rizieq Shihab. Saya sendiri tidak tahu persis mengapa terkesan Habib Rizieq Shihab diuber-uber
diselidiki untuk bilamana perlu ditetapkan sebagai tersangka atas berbagai tuduhan pelanggaran atas
beberapa pasal baik yang terkait dengan UU Kekarantinaan Kesehatan, Prokes, PSBB maupun beberapa pasal dari KUHP. Pemerintah menyatakan bahwa apa yang dilakukan itu bukan kriminalisasi ulama,
melainkan sekedar penegakan hukum.
Yang menjadi persoalan adalah, mengapa sama-sama ada kerumunan yang terbukti ada pelanggaran Prokes Covid 19 namun berbeda perlakuannya, misal terkait dengan kerumunan pilkada. APH berdalih, itu urusan pilkada, urusan KPU, urusan Bawaslu. Bukankah
semua pelanggaran prokes covid 19 mestinya tunduk pada UU Kekarantinaan Kesehatan?
Tersiar kabar bahwa Imam Besar Ummat Islam Al Habib Muhammad bin Husein Syihab dipanggil melalui
surat No. S.Pgl/8767/XI/2020/Ditreskrimum tertanggal 29 Nopember 2020 oleh Polda Metro Jaya terkait dengan ceramahnya pada saat Maulid Nabi Muhammad SAW dan pernikahan puterinya tanggal 13-14
Nopember 2020 di Petamburan. Habib Rizieq Shihab dituduh telah melakukan tindak pidana penghasutan
sebagaimana diatur dalam Pasal 160 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
II. Pembahasan
1. Apakah Menghasut itu?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata menghasut adalah membangkitkan hati orang supaya marah (melawan, memberontak dan sebagainya). Contoh: ia ditangkap polisi karena menghasut
rakyat. Arti lainnya dari menghasut adalah menggalakkan (anjing). Contoh: mudah sekali menghasut anjing itu. Apakah perbuatan menghasut itu dapat dipidana menurut hukum Indonesia (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP))? Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan:
"Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Menurut R. Soesilo sebagaimana ditulis dalam bukunya berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hlm.136-137) makna menghasut pada
Pasal 160 KUHP tersebut adalah:
1. “Menghasut” artinya mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu. Dalam kata “menghasut” tersimpul sifat “dengan sengaja”. Menghasut itu lebih keras daripada “memikat” atau “membujuk”, akan tetapi bukan “memaksa”.
Orang memaksa orang lain untuk berbuat sesuatu, menurut Soesilo, bukan berarti menghasut. Cara
menghasut orang itu misalnya secara langsung: “Seranglah polisi yang tidak adil itu, bunuhlah, dan
ambillah senjatanya!” ditujukan terhadap seorang polisi yang sedang menjalankan pekerjaannya yang
sah. Sedangkan cara menghasut orang secara tidak langsung, seperti dalam bentuk pertanyaan:
“Saudara-saudara, apakah polisi yang tidak adil itu kamu biarkan saja, apakah tidak kamu serang, bunuh, dan ambil senjatanya?”
2. Menghasut itu dapat dilakukan baik dengan lisan, maupun dengan tulisan. Apabila dilakukan dengan lisan, maka kejahatan itu menjadi selesai jika kata-kata yang bersifat menghasut itu telah diucapkan. Jika
menghasut dengan tulisan, hasutan itu harus ditulis dahulu, kemudian disiarkan atau dipertontonkan
pada publik.
3. Orang hanya dapat dihukum apabila hasutan itu dilakukan di tempat umum, tempat yang didatangi publik atau dimana publik dapat mendengar. Tidak perlu penghasut itu berdiri di tepi jalan raya misalnya, akan tetapi yang disyaratkan ialah di tempat itu ada orang banyak. Tidak mengurangkan syarat bahwa hasutan harus di tempat umum dan ada orang banyak, hasutan itu bisa terjadi meskipun hanya ditujukan pada satu orang. Orang yang menghasut dalam rapat umum dapat dihukum demikian pula di
gedung bioskop, meskipun masuknya degan karcis, karena itu adalah tempat umum, sebaliknya
menghasut dalam pembicaraan yang bersifat “kita sama kita” (onder onsjes, vertrouwelijk) itu tidak dapat dihukum
4. Maksud hasutan itu harus ditujukan supaya:
a. dilakukan suatu peristiwa pidana (pelanggaran atau kejahatan) = semua perbuatan yang diancam dengan hukuman.
b. melawan pada kekuasaan umum dengan kekerasan
c. jangan mau menurut pada peraturan perundang-undangan dan jangan mau menurut perintah yang sah yang diberikan menurut undang-undang
2. Apakah Pasal 160 KUHP itu delik formil ataukah delik materiil? Untuk membedakan kedua jenis delik tersebut dapat dijelaskan secara singkat sebagai beriku. Menurut Adami Chazawi, dalam bukunya Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas
Berlakunya Hukum Pidana (hlm. 119), disebutkan bahwa:
(1) “Disebut dengan cara formil karena dalam rumusan dicantumkan secara tegas perihal larangan melakukan perbuatan tertentu. Yang menjadi pokok larangan dalam rumusan itu ialah melakukan perbuatan tertentu. Dalam hubungannya dengan selesainya tindak pidana, jika perbuatan yang menjadi larangan itu selesai dilakukan, tindak pidana itu selesai pula tanpa bergantung pada akibat yang timbul dari perbuatan.
(2) Sedangkan perumusan dengan cara materil maksudnya ialah yang menjadi pokok larangan tindak pidana ialah pada menimbulkan akibat tertentu, disebut dengan akibat yang dilarang atau akibat
konstitutif. Titik beratnya larangan adalah pada menimbulkan akibat, sedangkan wujud perbuatan apa yang menimbulkan akibat itu tidak menjadi persoalan. Dalam hubungannya dengan selesainya tindak pidana, maka untuk selesainya tindak pidana bukan bergantung pada selesainya wujud perbuatan, tetapi bergantung pada apakah dari wujud perbuatan itu akibat yang dilarang telah timbul atau belum.”
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pada delik formil tidak diperlukan adanya AKIBAT dari perbuatan menghasut. Artinya dengan terjadinya tindak pidana maka sudah dinyatakan tindak pidana tersebut telah terjadi. Berbeda dengan delik materil, tindak pidana dinyatakan terjadi jika telah ADA AKIBATNYA. Artinya, ketika akibat perbuatan menghasut itu belum dan tidak terjadi, maka seseorang yang
menghasut tadi tidak dapat dituduh melakukan tindak pidana penghasutan.
3. Putusan MK: Penghasutan delik materiil
Sebelum diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) Pasal 160 KUHP itu merupakan DELIK FORMIL, berarti begitu ada orang yang menghasut sebagaimana dimaksud Pasal 160 KUHP langsung bisa dituduh melakukan
tindak pidana penghasutan. Bisa dipanggil untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan hingga ditetapkan sebagai TERSANGKA. Tidak perlu bukti apakah hasutannya tadi telah menyebabkan seseorang atau kelompok orang melakukan tindak pidana tertentu. Pada tahun 2009, telah dilakukan Judicial Review terhadap Pasal 160 KUHP karena dinilai sangat lentur dan penggunaannya tergantung niat penguasa. Melalui Putusan No. VII/PUU-VII/2009 MK tidak memutus untuk membatalkan Pasal 160 KUHP, namun
Mahkamah Konstitusi telah mengubah rumusan delik penghasutan dalam Pasal 160 KUHP dari delik formil menjadi delik materil. Perubahan delik ini terdapat pada Putusan pengujian Pasal 160 KUHP.
Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai Mahfud MD memang pada waktu menolak permohonan yang diajukan Rizal Ramli. Putusan MK itu menyatakan delik penghasutan dalam Pasal 160 KUHP sebagai konstitusional bersyarat atau conditionally constitutional. Diperoleh keterangan bahwa, pada saat
pembacaan putusan MK (22/72009), Hakim MK Mahfud MD menyatakan bahwa Pasal 160 KUHP adalah conditionally constitutional dalam arti konstitusional sepanjang ditafsirkan sebagai delik materil.
Dengan diubahnya penghasutan menjadi delik materil, tentu memiliki dampak yang berbeda. Rumusan delik
materil adalah seseorang yang melakukan penghasutan baru bisa dipidana bila berdampak pada tindak pidana lain, seperti kerusuhan atau suatu perbuatan anarki.
Mahkamah berpendapat meski pasal penghasutan tersebut merupakan warisan kolonial Belanda, namun substansinya universal, yakni melarang orang menghasut melakukan tindak pidana.
Dengan demikian, pasal ini masih sesuai dengan kebutuhan hukum Indonesia saat ini. Namun demikian, pasal a quo harus ditafsirkan sebagai delik materil dan bukan sebagai delik formil.
Dengan demikian, dalil pemohon yang menyatakan pasal a quo lentur, subjektif, dan bergantung pada selera penguasa adalah
tidak tepat menurut hukum, ujar Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi saat membacakan pendapat Mahkamah.
III. Penutup
Polisi sebagai garda terdepan dalam Criminal Justice System (CJS) harus bekerja secara promoter (profesional, modern dan terpercaya). Menegakkan hukum secara humanis disertai dengan cinta sering kita dapati baik melalui lisan maupun tulisan ketika mengulas kinerja Polisi. Belum lagi persoalan etika
dalam penegakan hukum yang dimanatkan dalam Tap MPR No. VI Tahun 2001, polisi harus bertindak sesuai dengan etika kehidupan berbangsa. Apalagi penegakan hukum ini terkait langsung dengan
persoalan moral, ethic and religion. Pikiran dan telinga polisi harus betul-betul dipasang di tengah
kehidupan masyarakat sehingga penegakan hukum olehnya tetap mampu menghadirkan keadilan di tengah masyarakat (bringing justice to the people).
Imam Besar ummat Islam Al Habib Muhammad bin Husein Syihab adalah seorang ulama yang bertugas untuk menjalankan amar ma'ruf dan nahi munkar. Dalam ceramahnya tentu sering bersinggungan
dengan kekuasaan yang tengah berjalan. Soal hasutan, mengasut dan karakter deliknya harus benar benar dipahami oleh polisi. Oleh karena akibat tuduhan penghasutan terhadap Imam Besar Ummat Islam Al Habib Muhammad bin Husein Syihab tidak ada bukti-bukti awal sekalipun, artinya tidak ada seorang pun yang melakukan tindak pidana akibat tuduhan hasutan Imam Besar Ummat Islam Al Habib
Muhammad Rizieq bin Husein Syihab, maka tidak Pasal 160 KUHP tidak tepat tuduhkan kepada Imam Besar Ummat Islam Al Habib Muhammad Rizieq bin Husein Syihab.
Semoga Aparat Penegak Hukum (APH) tidak menerapkan hukum dengan prinsip SSK, alias Suka-Suka
Kami tetapi betul-betul melakukannya secara cermat, teliti dan profesional serta kami menyampaikan pulab kepada kepada Bapak KAPOLRI agar penegakan hukum berjalan secara adil dan segera mengakhiri kedzoliman terhadap Imam Besar Ummat Islam Al Habib Muhammad Rizieq bin Husein Syihab.
Demikian surat ini kami sampaikan dan atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Mojokerto, 14 Robi'ul Tsani 1442H / 30 Nopember 2020
Hormat kami,
H.AHMAD AMIR S.
Ketua Umum AUIM
Klik video: