Blusukan (Risma) dan Nasib Rakyat Miskin
Kamis, 7 Januari 2021
Faktakini.info
https://www.facebook.com/108188117558546/posts/224811665896190/
NgopiPolitikIDe
Jakarta, 7 Januari 2021
*BLUSUKAN & NASIB RAKYAT MISKIN*
Oleh Abdurrahman Syebubakar
Ketua Dewan Pengurus IDe
______________________
Tulisan ini tidak diniatkan untuk membongkar “aksi teatrikal blusukan” Risma ke kolong flyover atau menemui gelandangan dadakan di kawasan Sudirman-Thamrin Jakarta. Risma bukan lagi Walikota Surabaya tapi Mensos yang bertanggungjawab memimpin kementerian dengan mandat maha penting didukung SDM dan anggaran besar untuk membangun keberdayaan dan kesejahteraan sosial ratusan juta rakyat miskin dan tidak mampu yang tersebar di seluruh tanah air. Mensos dan walikota berbeda, tidak saja dalam skala tugas dan metode, tapi juga cara berpikir.
Saya lebih banyak menyoroti hubungan antara aksi pencitraan pemimpin melalui blusukan dan kinerjanya, dalam konteks perbandingan. Harapannya, cakrawala politik kita menjadi terbuka dan makin bermakna sehingga bisa memilah pemimpin inspiratif dan berkualitas dari pemimpin yang mengandalkan pencitraan dan rekayasa semata.
Sekali-sekali blusukan memang dibutuhkan untuk menyapa rakyat kecil dan mengetahui keadaan mereka secara langsung. Tetapi, tidak perlu dijadikan modus untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi ratusan juta rakyat lapisan bawah.
Ingat, sekitar 100 juta rakyat miskin dan rentan miskin, serta 115 juta jiwa calon kelas menengah (World Bank 2019) masih rentan jatuh miskin. Terlebih di masa pandemi Covid-19 ini, jumlah mereka bertambah dengan tingkat penderitaan makin dalam.
Tahu kah anda? Presiden Jokowi, yang dikenal hobi blusukan dan dicitrakan merakyat, hanya mampu mengurangi kemiskinan 0,3% (sekitar 500 ribu jiwa) per tahun pada periode pertama, 2014-2019. Lebih tragis lagi, di tengah glamor kehidupan penguasa beserta kroninya, dan semarak proyek mercusuar yang menjadi lahan transaksi jahat politisi dan pemodal, ADB (2019) melaporkan 22 juta rakyat menderita lapar kronis antara 2016 dan 2018.
Sementara SBY, yang terkesan elitis dan berjarak dengan rakyat, mampu menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 0,64% (hampir 1 juta jiwa) per tahun selama periode kedua pemerintahannya, 2009-2014. Dan secara umum, SBY menunjukkan kinerja yang jauh lebih baik dibandingkan Jokowi, di hampir semua sektor seperti kualitas demokrasi dan kebebasan, tingkat kebahagian, pertumbuhan ekonomi, kohesi sosial, penegakan hukum dan komitmen memberantas korupsi.
Saya tidak sedang memuji SBY. Selama 2 periode kekuasaannya, saya kerap melontarkan kritik pedas secara terbuka, baik melalui tulisan maupun diskusi publik. Saya hanya menawarkan politik akal sehat dalam menilai para pemimpin secara proporsional, rasional dan obyektif.
Perlu dicatat, berkurangnya tingkat kemiskinan sebesar 0,6% per tahun tergolong rendah, apalagi hanya 0,3%. Dengan sumberdaya dan potensi yang ada, seharusnya Indonesia bisa menurunkan tingkat kemiskinan lebih dari 1% setiap tahun jika ditopang kebijakan dan strategi terobosan, keluar dari jebakan dogma neoliberal dalam penyelengaraan perlindungan sosial.
Rendahnya penurunan tingkat kemiskinan selama ini disebabkan berbagai faktor. Salah satunya efektivitas program bantuan sosial (bansos) yang tidak optimal, akibat ketidaktepatan sasaran, terbatasanya cakupan dan kontribusi moneter bansos terhadap pengeluaran keluarga penerima manfaat, rendahnya akuntabilitas dan transparansi, buruknya koordinasi vertikal dan horizontal di pusat dan daerah, dlsb.
Berbagai masalah tersebut menuntut solusi cerdas, out of the box, bukan business as usual – “menang bisa karena biasa”, hanya membolak balik strategi lama yang terbukti tidak efektif. Apalagi blusukan ala Risma, jelas sangat jauh dari tugas dan tanggungjawab seorang Mensos dalam memimpin perumusan dan eksekusi kebijakan strategis level nasional.
Mengomentari aksi blusukan Risma, dalam status facebooknya, Kyai As’ad Said Ali, mantan Wakil Kepala BIN, menyebut “trik pejabat tersebut kurang etis dari segi moral karena mengandung rekayasa eksploitasi masyarakat marjinal.” Dan memang demikian, kendati lumrah dalam keseharian politik Indonesia yang masuk era politik paska kebenaran (post truth politics). Rekayasa dan kebohongan menjadi menu utama para politikus, didukung para pemodal, untuk mendulang dan memelihara dukungan tanpa reserve dari rakyat.
Kembali ke soal kinerja pemimpin pencitraan yang gemar blusukan seperti laku politik Risma. Pada 2012-2017, di bawah kepemimpinan Jokowi-Ahok-Djarot, DKI Jakarta menjadi wilayah yang kurang bersahabat dengan rakyat miskin dan tidak mampu. Alih alih meringankan beban penduduk miskin, jumlah dan tingkat penderitaan mereka justru meningkat ketika dipimpin trio figur yang rajin pencitraan dan diklaim sebagai representasi partai wong cilik ini. Penggusuran tidak manusiawi terhadap rakyat kecil menjadi tontonan sehari hari warga Jakarta, terutama di era Ahok. Hampir seluruh sektor utama pembangunan DKI Jakarta merosot. Pengelolaan keuangan daerah amburadul dan korupsi meluas. Perslingkuhan antara oligarki kekuasaan dan oligarki ekonomi makin brutal, terutama melalui proyek reklamasi teluk Jakarta.
Namun, keadaan Ibukota menjadi jauh lebih baik sejak dipimpin Anies Baswedan, seorang intelektual dengan visi besar untuk membangun manusia Indonesia. Tanpa menutup mata atas kelemahan Anies, selama tiga tahun kepemimpinannya, kondisi fisik DKI Jakarta berubah drastis, makin tertata dan indah.
Yang jauh lebih penting adalah kualitas demokrasi tetap terjaga dengan indeks demokrasi paling tinggi di Indonesia, pembangunan manusia kembali tumbuh positif dengan indeks pembangunan manusia sangat tinggi dan paling tinggi di antara 34 provinsi, proporsi penduduk miskin yang sangat rendah terus turun mencapai 3.42% pada September 2019, pengelolaan keuangan daerah berkualitas – meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK tiga kali berturut turut, tingkat kemacetan berkurang, dan kohesi sosial semakin baik. Terkait aspek yang terakhir ini, DKI Jakarta baru saja dianugerahi Harmony Award 2020 oleh Kementerian Agama RI atas keberhasilannya membangun dan merawat kerukunan ummat beragama.
Lebih jauh, keberanian politik Anies melawan episenter oligarki dengan menghentikan proyek reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta juga patut diapresiasi, meskipun akhir-akhir ini terjadi kontroversi reklamasi Ancol yang proses pengembangan, pengelolaan dan peruntukannya sangat berbeda. Tak terhitung berbagai penghargaan dari dalam dan luar negeri yang rutin diterima Anies selama memimpin DKI.
Singkat kata, kita tidak membutuhkan pemimpin yang hanya bermodal kerja keras, apalagi gila pencitraan dengan mengeksploitasi keluguan dan kesengsaraan rakyat. Yang dibutuhkan adalah pemimpin berpikir cerdas, visioner, serta yang paling penting amanah dan berani melawan anasir jahat yang mewujud dalam bentuk oligarki maupun korupsi. Pasalnya, dua anasir jahat ini menjadi sumber pemiskinan rakyat, akar segala kerusakan yang menimpa bangsa Indonesia saat ini.