Investigasi Tempo Tentang Laskar Kristus Di Maluku
Jum'at, 29 Januari 2021
Faktakini.info
Dari Coker Sampai Laskar Kristus
Mestinya Alexander Wattimena berseragam sekolah. Tapi sejak konflik agama meletus di Ambon pada 1999, remaja berusia 18 tahun itu sudah melipat seragam SMA-nya. Saban hari ia mengenakan baju loreng dan celana butut, juga ikat kepala merah, simbol kelompoknya di arena peperangan. Sejak berkubang dalam perang itu, wajah kekanakannya lenyap, digantikan gemertak gigi seperti ingin melumat setiap musuhnya.
Alexander bukan satu-satunya remaja Kristen Ambon yang menjelma menjadi serdadu perang. Ratusan remaja lain juga kehilangan masa gaulnya. Mereka terjun menghadapi kelompok Islam. Mereka menyebut dirinya sebagai Laskar Kristus, atau sering pula disebut Laskar Merah.
Cikal bakal laskar ini, menurut sumber TEMPO, berasal dari kelompok preman yang beredar di Ambon sebelum kerusuhan meletus. Sejak 1980-an, kota yang berpenduduk 350 jiwa itu menyaksikan dua kelompok preman bersaing ketat, satu dipimpin Berty Loupati, lainnya dipimpin Agus Wattimena—dua-duanya Kristen.
Berty, yang sebelumnya sempat pula merajalela di Surabaya, menyatukan beberapa kelompok preman Ambon, seperti kelompok Van Boomen, Papi Coret, dan Sex Pistol. ”Federasi” baru para preman ini dibabtis dengan nama Coker alias Cowok Keren. Kendati didominasi anak muda Kristen, ada juga anggota Coker yang beragama Islam. Belakangan, setelah kerusuhan meletus, anggota kelompok ini membelah menurut agama masing-masing. Coker, yang tetap didominasi remaja Kristen, belakangan lebih dikenal sebagai kependekan dari Cowok Kristen, dengan Berty sebagai panglimanya.
Agus Wattimena lebih senior dari Berty, usianya mengancik 50 tahun. Wajahnya galak. Kian galak karena sebuah pistol Colt kaliber 45 kerap mengancam dari pinggangnya. Setelah konflik meletus, Agus membentuk pasukan perang bernama Laskar Kristus, yang jauh lebih populer dari Coker.
Laskar Kristus, menurut sumber TEMPO tadi, juga lebih militan di medan tempur. Peralatan perang mereka beraneka ragam. Ada senjata rakitan dan juga bom yang diramu dengan paku dan gotri. Di luar itu, mereka juga membawa sejumlah senjata tradisional seperti parang, tombak, dan panah.
Sejumlah sumber menyebut bahwa dana Laskar Kristen bersumber dari beberapa pengusaha Kristen dan pendeta yang dekat dengan Agus Wattimena.
Karena senioritas dan militansinya, ketika Forum Kedaulatan Rakyat Maluku (FKM) diproklamasikan 18 Desember 2000, Agus Wattimena dinobatkan sebagai pemimpin informal sekaligus panglima perang. Agus mengklaim jumlah pasukannya 60 ribu orang. Tapi sejumlah sumber menyebut bahwa angka itu terlalu tinggi. ”Paling banter 5.000 orang. Itu pun tidak semuanya bersenjata. Lebih banyak modal nekatnya,” kata seorang sumber.
Meski sama-sama Kristen, kelompok Agus dan kelompok Berty Loupati tidak pernah akur. Mereka kerap cekcok untuk merebut pengaruh di kalangan masyarakat Kristen. Mereka bahkan sempat terlibat baku tembak di daerah Kudamati pada Januari 2001. Karena itu, ketika Agus ditemukan tewas tertembak di rumahnya pada 20 Maret 2001, ada yang menduga bahwa jagoan yang separuh giginya ompong itu dihabisi oleh kubu Berty. Tapi sumber lain menyebut Agus dihabisi oleh aparat, lantaran ikut-ikutan bergabung dalam FKM yang tidak bersahabat dengan Jakarta. Mana yang benar, tidak jelas memang. Tidak ada penyelidikan khusus tentang kematian jagoan tua ini.
Menurut Louis Risakota, Ketua FKM Cabang Jakarta, semenjak Agus meninggal, Laskar Kristus sudah tidak ada lagi. ”Laskar Kristus itu hanyalah sebutan yang terus diawetkan oleh media massa, padahal di lapangan kelompok ini sudah tidak ada,” katanya kepada TEMPO. Coker sendiri, menurut Louis, tidak bisa mewakili kelompok Kristen. ”Mereka adalah preman yang diorganisir dan bekerja untuk kepentingan Jakarta.”
Namun sumber TEMPO menyebut bahwa para pejuang Kristen menyusup dan bercampur ke berbagai kelompok sipil yang ada di Ambon. Sebagian bergabung dengan gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang berkiblat ke Belanda. Merekalah yang nekat mengeret balon ke udara bermuatan bendera RMS beberapa waktu lalu. Dana kelompok ini dipasok dari anggota RMS di Belanda. Pekan ini sekitar 120 orang anggota RMS dari Belanda direncanakan datang ke Maluku.
Para pejuang Kristen juga menggunakan bendera lain seperti FKM, gerakan mahasiswa, dan beberapa kelompok sipil lainnya untuk berjuang. ”Mereka menyebut dirinya sebagai kelompok sipil, tetapi berperang juga,” kata sumber tadi.
Louis dari FKM membantah tudingan ini. Menurut dia, berbagai kelompok itu semata-mata gerakan sipil tanpa senjata. Sejumlah orang Maluku yang menetap di Belanda, yang berangangkat ke Maluku pekan ini pun, menurut dia, adalah masyarakat sipil biasa dan bukan RMS.
Wens Manggut, Fritz Kerley (Ambon)
Mestinya Alexander Wattimena berseragam sekolah. Tapi sejak konflik agama meletus di Ambon pada 1999, remaja berusia 18 tahun itu sudah melipat seragam SMA-nya. Saban hari ia mengenakan baju loreng dan celana butut, juga ikat kepala merah, simbol kelompoknya di arena peperangan. Sejak berkubang dalam perang itu, wajah kekanakannya lenyap, digantikan gemertak gigi seperti ingin melumat setiap musuhnya.
Alexander bukan satu-satunya remaja Kristen
Sumber: tempo.co.id