Sugito: Berharap Tindaklanjut Dari Temuan Tak Tuntas Komnas HAM RI
Ahad, 10 Januari 2021
Faktakini.info
Berharap Tindaklanjut dari
TEMUAN TAK TUNTAS KOMNAS HAM RI
Oleh: Sugito Atmo Pawiro
SETELAH ditunggu sekian lama, akhirnya Jumat (8 Januari 2021), atau tepat satu bulan pasca tragedi kematian 6 (enam) anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) pada 7 Desember 2020 di KM 50 Tol Jakarta Cikampek (Japek), Komnas HAM RI mengumumkan hasil penyelidikannya. Sebagaimana diketahui, sehari sejak peristiwa kelabu itu Komnas HAM segera melakukan langkah penyelidikan.
Hasil pengumpulan data dan fakta dari pelaksanaan kewenangan penyelidikan (bukan penyidikan) yang dimiliki Komnas HAM RI terhadap tragedi berdarah KM 50 Tol Japek ini, sebenarnya diharapkan betul akan menjadi pintu awal menuju terwujudnya keadilan. Bagi para korban kekerasan oleh negara ini, temuan Komnas HAM RI akan membuka langkah awal proses hukum untuk mengungkap siapa pelaku dan penyuruh penembakan.
Laporan Komnas HAM merupakan suatu bekal penting untuk menuntut pertanggungjawaban pidananya kepada pelaku dan pemberi perintah pembunuhan terhadap 6 Laskar FPI itu. Meski pun sebenarnya laporan tersebut baru bisa ditindaklanjuti dalam proses hukum jika Presiden RI memberikan perintah untuk menindaklanjutinya.
'Setengah Matang'
Namun jika mencermati hasil temuan, pengujian, analisis, kesimpulan dan rekomendasi yang disampaikan Komnas HAM, betapa sangat kental adanya kesan keraguan dengan menyampaikan laporan setengah matang dan tak tuntas. Diduga kuat hal ini sengaja dilakukan untuk "menyelamatkan" institusi Polri agar tidak 100 persen kehilangan muka.
Masih ada usaha untuk membangun semacam impunitas bagi pelaku dan pemberi perintah penembakan terhadap 6 Laskar FPI tersebut. Kesan itu kuat ketika laporan Komnas HAM menyebut bahwa 2 (dua) di antara 6 (enam) korban tewas, adalah pemilik senjata api yang melakukan penghadangan dan perlawanan terhadap petugas kepolisian. Dimana kemudian terjadi aksi tembak menembak antara dua anggota FPI dan polisi yang berbuntut tewasnya kedua anggota FPI tersebut.
Dari situ tampak bahwa peristiwa kematian dua orang laskar FPI tersebut ingin di-framing sebagai suatu peristiwa wajar terjadi ketika polisi hendak menegakkan hukum. Oleh karenanya kematian kedua orang anggota FPI tersebut berusaha diklasifikasikan tewas dalam peristiwa penegakan hukum (lawfull killing).
Padahal jika mau tindaklanjuti secara yuridis, untuk penegakan hukum pada perkara apakah sampai memaksa polisi harus terlibat baku tembak dengan FPI? Perkara pelanggaran protokol kesehatan ataukah polisi sedang menghadapi buronan kakap teroris dan narkoba? Atas pertimbangan apakah para pelanggarnya harus ditangkap dengan kekuatan senjata?
Di sisi yang lain tidak ada pula keterangan dengan bukti penjelas ihwal kebenaran adanya kepemilikan senjata api oleh laskar FPI yang mengawal HRS pada Senin dinihari, 7 Desember tersebut. Bukankah sejak awal diragukan tentang adanya dua pucuk senjata api milik laskar FPI yang digunakan untuk melawan polisi. TEMUAN Komnas HAM juga tidak sama sekali meyakinkan dengan bukti ihwal kebenaran kepemilikan senpi tersebut.
Pelanggaran HAM
Pada awalnya, semua pihak yang memandang objektif kasus kematian 6 Laskar FPI dalam tragedi KM 50 Tol Japek tersebut, akan menyebutnya sebagai bentuk pelanggaran atau kejahatan HAM berat (gross/serious violation of human rights). Dimana pelakunya, sesuai pengakuan Kapolda Metro Jaya sendiri, adalah polisi.
Artinya jelas, bahwa kematian enam laskar FPI tersebut adalah korban kekerasan oleh negara (polisi adalah aktor negara) terhadap warga negaranya. Jadi pelaku kejahatan melawan kemanusiaan ini dilakukan oleh individu-individu kepolisian yang merupakan aktor negara yang seharusnya memberikan perlindungan HAM kepada warga negara.
Namun menurut hasil temuan data dan fakta, hasil pengujian, analisis dan kesimpulan serta rekomendasi yang dirumuskan dalam laporan Komnas HAM, pelanggaran HAM oleh polisi terjadi terhadap 4 (empat) orang laskar FPI. Pasalnya, sesaat setelah dua orang tewas dalam baku tembak dengan polisi, kemudian empat orang FPI lainnya dibawa polisi dengan mobil dalam keadaan hidup-hidup. Barulah di atas mobil tadi eksekusi penembakan oleh polisi dilakukan terhadap keempat orang tersebut.
Suatu aksi pembunuhan tanpa alasan hukum (extra-judicial killing).
Terhadap keempat orang anggota FPI yang tewas ditembak polisi di atas mobil inilah yang diklasifikasikan dengan pelanggaran HAM oleh Komnas HAM. Sejatinya laporan ini menyebutnya lebih keras yaitu sebagai kejahatan HAM berat oleh polisi. Mengapa demikian, oleh karena sebelum dilakukan penembakan di titik mematikan dalam jarak dekat, polisi juga melakukan penyiksaan (torture).
Dalam pemahaman hak asasi manusia secara universal, perbuatan melakukan penyiksaan atau torture yang diikuti pembunuhan dengan sengaja, merupakan bentuk pelanggaran HAM berat. Tapi itulah tadi, Komnas HAM tampaknya tidak mudah untuk membuat laporan dengan lugas dan tuntas.
MESKI pun demikian tetap saja laporan Komnas HAM ini seyogyanya sudah cukup untuk menjadi bahan penyidikan untuk mempidana dan meminta pertanggungjawaban individu pelaku dan pemberi perintah penembakan terhadap anggota Laskar FPI. Penyidikan bisa dimulai sejak laporan Komnas HAM ini diterima Presiden, yang selanjutnya memerintahkan Kejaksaan Agung untuk memulai penyidikan.
Jika laporan Komnas HAM ini berhenti di meja presiden maka tragedi kemanusiaan ini akan makin menjadikan wajah coreng-moreng penegakan hukum di Indonesia. Wassalam.*