Tim Advokasi: Pembunuhan 6 Anggota FPI Pelanggaran Berat, Komnas HAM Malah Jadi Humas Pelaku!

 



Jum'at, 15 Januari 2021

Faktakini.info, Jakarta - Sejak jauh-jauh hari, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti menegaskan, penembakan mati enam laskar Front Pembela Islam (FPI) oleh kepolisian sebagai pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM). Ia juga mengatakan bahwa penembakan itu sebagai bentuk penghinaan terhadap proses hukum dan pengingkaran terhadap asas praduga tak bersalah dalam pencarian keadilan.

"KontraS melihat ini (pembunuhan laskar FPI) terang merupakan pelanggaran HAM, pelemahan terhadap hukum, dan mencelakai yang namanya praduga tidak bersalah," kata Fatia dalam diskusi daring bertema "6 Nyawa dan Kemanusian Kita" pada Jumat (25/12/2020) malam.

Kredibilitas KontraS selama ini tidak diragukan lagi, mereka bukan lembaga yang dibiayai oleh negara apalagi oleh polisi. Jadi pernyataan mereka jelas sesuai dengan fakta yang ada. 

Karena itu, lemahnya pernyataan dari Ketua Komnas HAM di kantor Menkopolhukam, dalam sessi acara penyerahan Laporan Hasil Investigasi kepada Presiden, maka  selaku Tim Adokasi Korban Tragedi 7 Desember 2020 mengkritik keras Komnas HAM, dan meminta Komnas HAM jangan jadi Humas pelaku pelanggaran HAM! 

"Kami melihat justru Ketua Komnas HAM sudah berubah fungsi menjadi juru bicara dan bagian dari Humas para pelaku Pelanggaran HAM yang masih berkeliaran bebas,  dan sewaktu waktu dapat mengulangi perbuatan Extra Judicial Killing maupun Torture terhadap penduduk sipil;", ujar Tim Advokasi dalam pernyataan pers nya, Rabu (14/1/2021). 

Tim Advokasi menyatakan mandat Komnas HAM baik secara kelembagaan maupun secara kompetensi personal komisioner Komnas HAM seharusnya adalah menghentikan berbagai bentuk Impunitas Circle dan lingkaran kekerasan yang terus menerus terjadi terhadap penduduk sipil. 

"Berbagai peristiwa kekerasan fisik, kekerasan verbal dan kekerasan struktural yang terus menerus dilakukan oleh rezim penguasa sudah menjadi pola dalam penyelenggaraan negara dengan cover menegakkan sosial order. 

Sungguh menjadi sebuah tragedi sejarah dan merupakan signal kehancuran peradaban, bila mandat Komnas HAM tersebut dijalankan oleh komisioner yang tidak berkompeten dan mengkhianati mandat yang diamanahkan ke pundaknya.", lanjut tim Advokasi.

Tim Advokasi menegaskan kejadian pelanggaran berat sangat mudah ditemukan apabila Komnas HAM serius menyelidiki kasus ini. 

"Ketiga; Secara substansial dengan mata telanjang, unsur PELANGGARAN HAM BERAT, dari peristiwa pembunuhan 6 orang penduduk sipil yang terjadi pada tgl 7 Desember 2020 

yang lalu, sangat mudah ditemukan bila Komnas HAM dan Komisionernya istiqomah pada amanah yang nantinya akan dipertanggungjawabkan di yaumil hisab."

Tim Advokasi juga memaparkan bukti Unsur Sistematis atau Meluas dari peristiwa pembunuhan penduduk sipil tgl 7 Desember 2020 dapat ditelusuri dari :

1. Operasi Black Propaganda dengan Target Habib Rizieq dan FPI;

2. Operasi penggalangan Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat untuk menolak 

keberadaan FPI dan Hb Rizieq;

3. Operasi pemasangan berbagai spanduk untuk menolak FPI dan Hb Rizieq;

4. Operasi kriminalisasi terhadap HB Rizieq dan tokoh tokoh oposisi kritis;

5. Operasi Survaillance terhadap Hb Rizieq dan beberapa tokoh oposisi kritis, yang berujung kepada pembunuhan terhadap 6 orang pengawal Hb Rizieq;

6. Bahkan Komnas HAM sendiri menyatakan dalam laporannya ada pihak lain yang bukan dari aparat Kepolisian yang melakukan operasi survaillance;

7. Operasi pembekuan rekening milik FPI dan para pengurusnya;

8. Operasi pelarangan kegiatan FPI melalui SKB 6 institusi Pemerintah;

9. Adanya pimpinan yang bertindak sebagai komandan operasi yang menggunakan 

kendaraan land cruiser hitam, yang mengarahkan operasi pada dini hari tgl. 7 Des 2020, yang berujung pada hilangnya nyawa 6 orang penduduk sipil;

10.Adanya konferensi pers dari pihak yang mengakui sebagai pembunuh 6 orang 

penduduk sipil sebagai sarana untuk mengalihkan issue ini menjadi issue pemberantasan kriminalitas;

11.Penghilangan rekaman CCTV untuk menghilangkan jejak;

12.Menghilangkan bukti bukti pembunuhan seperti penghapusan noda darah pada lokasi TKP;

13.Memaksa warga untuk menghapus seluruh rekaman peristiwa dari HP masing masing warga;

14.Memaksa penghapusan konten materi terkait FPI diseluruh media sosial dan media mainstream. 

"Keseluruhan hal tersebut di atas harusnya menjadi pintu masuk untuk investigasi lebih mendalam upaya untuk memutus mata rantai impunitas yang hingga hari ini masih terus berlangsung sebagai sistem penyelenggaraan negara."

Tragedi 21-22 Mei 2019 lalu juga disebutkan dalam pernyataan resmi Tim Advokasi ini. 

"Kelima; Pola dan sistem kekerasan ini juga terjadi pada peristiwa 21-22 Mei 2019 yang hingga hari ini tidak pernah dijadikan oleh Komnas HAM sebagai titik tolak untuk menghentikan kekerasan yang berlanjut oleh penyelenggara negara."

Tim Advokasi mengatakan akan terus memperjuangkan keadilan atas kasus ini, termasuk dengan memaparkan bukti pelanggaran HAM berat ini ke dunia internasional. 

"Keenam; Kami akan terus memperjuangkan keadilan dan memutus mata rantai impunitas dalam skala yang sangat mengerikan di negeri ini. Bahkan kami sudah memberikan informasi PELANGGARAN HAM BERAT tersebut ke dalam level Internasional, karena terbukti sistem hukum Indonesia telah UNWILLING dan sekaligus UNABLE untuk memutus mata rantai Pelanggaran HAM Berat yang para pelakunya hingga detik ini masih terus berkeliaran mengancam nyawa penduduk sipil di Indonesia." tutup Tim Advokasi dalam pernyataan pers yang ditandatangani oleh M Hariadi Nasution S.H, M.H, CLA ini

Foto:  Nasution S.H, M.H, CLA.