Wakil Ketua MPR Dorong Pembentukan Perpres Tentang Ekstremisme Korupsi

 



Ahad, 24 Januari 2021

Faktakini.info, Jakarta - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Hidayat Nur Wahid menegaskan, Bangsa Indonesia menolak ekstremisme dan terorisme. 

Tetapi langkah Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpres No. 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme, yang salah satunya mengatur tentang memolisikan masyarakat yang diduga melakukan kegiatan ekstremisme, tanpa adanya definisi yang dibenarkan oleh UU dan disetujui oleh DPR, layak dikritisi.

Menurut HNW sapaan akrab Hidayat, Perpres seperti ini berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM), menimbulkan kecurigaan dan mengadu domba antarwarga masyarakat.

“Dalam lampiran Perpres itu disebutkan adanya optimalisasi peran memolisikan masyarakat dalam pencegahan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah kepada Terorisme, tetapi tidak dijelaskan secara utuh definisi yang disepakati soal apa itu “ekstremisme berbasis kekerasan” serta apa itu konsep memolisikan masyarakat yang dimaksud. Jangan sampai ini  jadi pasal karet yang menjadi justifikasi bagi masyarakat untuk main hakim sendiri atau cepat lapor ke kepolisian tanpa bukti yang dibenarkan terhadap warga masyarakat yang lain hanya karena secara penilaian subyektif dituduh melakukan ekstremitas,” ujar Hidayat Nur Wahid  dalam siaran pers di Jakarta, Jumat (22/1/2021).

HNW mengatakan penegasan bahwa Indonesia adalah negara hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 seharusnya menjadi acuan. Juga UU tentang terorisme dan UU tentang Pertahanan Negara yang sudah mendefinisikan dengan jelas apa itu terorisme dan apa saja ancaman terhadap keamanan negara. Salah satu prinsip negara hukum adalah due process of law (proses hukum yang berkeadilan). Sehingga segala celah yang dapat memungkinkan adanya tindakan main hakim sendiri harus ditutup secara rapat.

Lebih lanjut, HNW menuturkan apabila yang dimaksud dengan memolisikan masyarakat adalah konsep community policing (yang menciptakan kolaborasi antara polisi/penegak hukum dan komunitas kelompok masyarakat dalam mengidentifikasi kejahatan), maka hal tersebut bisa berbahaya dan berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM). Karena belum ada kesepahaman baik dari rujukan UU yang ada maupun kesepakatan pembahasan di DPR mengenai istilah ekstremisme.

“Jangan sampai nanti ada kelompok yang gampang sekali disebut ekstrem, padahal sejatinya mereka hanya ingin menjalankan ajaran agamanya, atau mereka di-framing sebagai melalukan ekstrimisme hanya karena yang bersangkutan bukan dari kelompok politik maupun sosial yang satu kubu dengan pemerintah,” ujarnya.

Lebih lanjut, Anggota Komisi VIII DPR RI ini menuturkan, istilah ekstremisme sendiri kerap menjadi perdebatan di DPR dalam proses pembahasan undang-undang, terutama yang berkaitan dengan terorisme. Pasalnya, bila merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ekstrem dapat diartikan sebagai “sangat keras dan teguh” dalam hal pendirian.

“Sikap teguh pada pendirian itu kan tidak melulu bersifat negatif. Jadi, perlu didudukkan sesuai konteksnya,” tuturnya.

HNW menambahkan, Perpres ini juga menimbulkan istilah baru, yakni “ekstremisme berbasis kekerasaan yang mengarah pada terorisme”, yang tidak ditemukan dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menjadi dasar hukum bagi Perpres tersebut.

“Ini istilah yang perlu dikaji dan dibahas secara mendalam, agar setiap warga paham dengan maksud dari istilah baru tersebut, dan tidak salah paham yang mengakibatkan terjadinya kriminalisasi terhadap pihak lain,” ujarnya.

Meski begitu, HNW berpendapat bahwa konsep ‘community policing” justru lebih tepat digunakan untuk mengawasi penyaluran bantuan sosial (bansos) yang telah menciptakan skandal korupsi yang besar saat ini. Selain korupsi bansos, ada pula dugaan korupsi terkait dana bantuan untuk penyandang disabilitas.

Dia menilai, kasus-kasus tersebut perlu diawasi oleh masyarakat atau warga di lapangan yang menerima bantuan. Sedangkan Pemerintah bersama KPK, Kepolisian dan Kejaksaan perlu maksimal menyosialisasikan ke masyarakat bagaimana mengalahkan korupsi yang sudah ekstrem ini, yang bahkan korbannya adalah bansos untuk warga terdampak covid-19, bahkan bansos untuk kalangan difabel.

Apaila ingin melibatkan warga untuk mengidentifikasikan kejahatan, menurut HNW, lebih tepat diterapkan untuk penyaluran bansos. Warga bisa dilatih untuk ikut mengawasi penyaluran bansos agar tidak terjadi penyimpangan atau korupsi.

“Hal ini lebih tepat digunakan karena kejahatan korupsi itu begitu ekstrim, korupsi terkait Jiwasraya, Asabri maupun BPJS Ketenagakerjaan yang nilainya di atas belasan triliun. Juga korupsi Bansos untuk masyarakat terpapar covid-19, sangat jelas dan tidak menimbulkan multitafsir, berbeda misalnya dengan penentuan perilaku ekstrem yang menjurus kepada ekstremisme dan kekerasan yang terkesan subjektif dan politis,” pungkasnya.

Sumber: jpnn.com