Deponering Kasus HRS, Wujud Kesetimbangan Hukum Bagi Pelanggaran Presiden Jokowi



Ahad, 28 Februari 2021

Faktakini.info

*DEPONERING KASUS HABIB RIZIEQ SYIHAB, WUJUD KESETIMBANGAN HUKUM BAGI PELANGGARAN PRESIDEN JOKOWI*

_[Catatan Hukum Urgensi Deponering HRS Atas Kasus  Pelanggaran Protokol Kesehatan Oleh Presiden Jokowi]_

Oleh : *Ahmad Khozinudin,  S.H.*

Advokat, Aktivis Pejuang Khilafah

Pada beberapa hari yang lalu, Penulis sempat menulis wacana pengesampingan (Deponering) kasus Habib Rizieq Shihab (HRS) dan sejumlah petinggi FPI, dengan alasan adanya ketidakadilan hukum ditengah masyarakat. Alasan utama deponering adalah karena kasus HRS sarat dengan Kriminalisasi dan Diskriminasi. Tentu saja, hal ini mencederai rasa keadilan ditengah masyarakat.

Saat ini, kebijakan Deponering terhadap kasus HRS dan sejumlah petinggi FPI menemukan momentum dan relevansinya. Pelanggaran Protokol Kesehatan yang dilakukan Presiden di NTT, dimana videonya beredar luas, sulit untuk tidak diakui sebagai sebuah pelanggaran. Tindakan tersebut juga merupakan pertunjukan kolosal tentang rusaknya etika pejabat publik, yang melakukan tindakan tak sejalan dengan kata.

Sebenarnya, pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan Presiden tak harus berujung proses hukum. Pihak istana, juga tak perlu mencari dalih pembenar untuk melegalisasi kekeliruan Presiden.

Presiden, cukup menyampaikan permintaan maaf kepada publik. Presiden, bisa menyampaikan pandangannya langsung mengenai kejadian tersebut, yang dialami langsung oleh Presiden, bukan diwakili pejabat istana yang sibuk membuat tafsir kejadian untuk melegitimasi kesalahan.

Namun, tentu saja permintaan maaf Presiden harus memiliki nilai kesetimbangan hukum. Yakni, Presiden sudah meminta maaf dan hukum tak perlu ditegakkan. Restoratif justice, menjadi jalan keluarnya.

Sejalan dengan itu, HRS dan petinggi FPI yang telah meminta maaf atas kerumunan yang terjadi di Petamburan juga tak perlu dilanjutkan dengan proses hukum. Apalagi, untuk itu HRS telah membayar denda. Cukup dengan mengedepankan asas restoratif justice, sebagaimana disebut dalam Surat Edaran Kapolri terbaru, HRS dan petinggi FPI dapat segera dibebaskan.

Hanya saja, karena HRS dan petinggi FPI berkasnya telah P-21 dan menjadi wewenang Jaksa, maka Polri sudah tak memiliki wewenang menerbitkan SP3. Karena itu, wacana Jaksa Agung menggunakan kewenangannya untuk mendeponering kasus menjadi urgen ditindaklanjuti.

Mengingat, jika kasus pelanggaran hukum oleh Presiden Jokowi tidak ditindak, sementara kasus yang sama yang menimpa HRS dilanjutkan, tentulah hal ini akan menjadikan publik gaduh. Ada ketidakadilan hukum yang dirasakan masyarakat, dan hal ini kontraproduktif dengan statement pemerintah yang selama ini berjanji akan menindak setiap pelanggaran protokol kesehatan tanpa pandang bulu.

Ini bukan hanya soal kasus Presiden Jokowi dan HRS. Namun, satu kasus yang berpotensi membuat bangsa terbelah, dan tak ada lagi wibawa pemerintah dalam isu penegakan hukum. Kepercayaan publik akan luntur, narasi penegakan hukum yang adil dan tidak pandang bulu, akan dipahami publik sebagai ujaran palsu dan menipu.

Penulis kira bangsa ini masih memiliki kesempatan, untuk kembali menenun kain kebangsaan yang banyak terkoyak oleh ketidakadilan hukum. Deponering terhadap HRS, setidaknya mampu menambal sedikit bagian kain tenun kebangsaan yang terkoyak parah, dan terus berusaha menambal bagian terkoyak lainnya dengan sejumlah langkah perbaikan.

Semua berpulang kepada Presiden Jokowi. Apakah akan mengambil pilihan menjadi Presiden yang memiliki legacy menyatukan, mendamaikan, dan menenteramkan. Atau, sudah siap dikenang dan mendapatkan legacy sebagai Presiden yang riuh dan selalu bikin gaduh. [].