Pak Kapolri, Gus Nur Korban Ketidakadilan UU ITE, Tajam Kepada Gus Nur Tumpul Pada Pro Rezim
Rabu, 17 Februari 2021
Faktakini.info
*PAK KAPOLRI, GUS NUR ADALAH KORBAN KETIDAKADILAN UU ITE, TAJAM TERHADAP GUS NUR TUMPUL PADA KELOMPOK PRO REZIM*
Oleh : *Ahmad Khozinudin, S.H.*
Advokat, Tim Advokasi Gus Nur
_"Ada kesan bahwa UU ITE ini represif terhadap kelompok tertentu. Tapi tumpul terhadap kelompok yang lain,"_
*[Jend Pol Listyo Sigit Prabowo, 16/02]*
Setelah Presiden Jokowi mewacanakan Revisi UU ITE karena dianggap menimbulkan ketidakadilan, giliran Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyebut penggunaan Undang-undang Informasi dan Transaksi (UU ITE) tidak sehat. Listyo mengatakan bahwa payung hukum yang mengatur soal dunia digital di Indonesia itu malah acap kali menciptakan polarisasi di tengah masyarakat.
Dia menyinggung banyak pihak yang malah saling lapor menggunakan UU ITE. Selanjutnya, kata Listyo, pihak kepolisian bakal menentukan langkah-langkah lanjutan untuk lebih selektif dalam mengusut kasus-kasus serupa.
Kedepan, Kapolri berencana menerbitkan Surat Telegram Rahasia (STR) sebagai rujukan dan panduan penyidik menangani kasus-kasus UU ITE. Hal itu merupakan respons terhadap Presiden Joko Widodo yang meminta Polri menyusun indikator penanganan perkara UU ITE.
"Bisa dijadikan pegangan para penyidik saat terima laporan, bila perlu ada laporan tertentu yang delik aduan yang lapor harus korban jangan diwakili-wakili lagi supaya kemudian tidak asal lapor, nanti kami kerepotan. Ke depan kami perbaiki memang seperti itu," ungkapnya.
Menanggapi pernyataan Kapolri tersebut, sebagai Penasehat Hukum Gus Nur, penulis ingin menyampaikan fakta hukum sebagai berikut :
*Pertama,* Pak Kapolri jangan ikut-ikutan Pak Presiden Jokowi dengan membuang tanggung jawab adanya ketidakadilan hukum, sejumlah kriminalisasi, diskriminasi pada UU ITE. Jangan 'mengkambinghitamkan' UU ITE.
Sebagaimana pada tulisan sebelumnya sudah penulis tegaskan, problemnya bukan hanya soal UU ITE yang karet, tapi juga penegakan hukum oleh institusi Polri yang tak adil, tebang pilih, diskriminasi, dan tidak promoter. Polri memberlakukan UU ITE secara tebang pilih, tajam kepada pengkritik rezim dan tumpul pada penghina agama dan ulama. Tajam terhadap Gus Nur, tapi tumpul terhadap orang yang dilaporkan Gus Nur.
Pada kasus Gus Nur misalnya, Polri tidak menghargai kedudukan Gus Nur sebagai Ulama. Tidak melakukan pemanggilan dan pemeriksaan pendahuluan, tapi langsung menangkap Gus Nur dengan 30 anggota Polri pada dini hari sekitar pukul 01.00 dan langsung membawanya perjalanan darat dari Malang ke Jakarta.
Sampai di Bareskrim Jakarta jam 10 atau 11 siang, langsung di BAP tanpa istirahat hingga malam nyaris pukul 23.00. dan ujungnya, langsung ditahan di Rutan Bareskrim.
Apakah ini karena pasal karet UU ITE ? Jawabnya bukan. Gus Nur melaporkan Gus Arya di Polda Surabaya juga tak langsung ditangkap, padahal menggunakan UU ITE dan pasal yang sama. Dimana persoalannya ? Persoalannya ada pada kebijakan kepolisian yang tebang pilih, pilih tebang, diskriminasi, tidak adil, dan tidak Promoter.
*Kedua,* persoalannya juga bukan pada kebijakan menahan yang dilakukan Polri. Tapi, ada dugaan pemilihan pasal UU ITE yang digunakan, agar penyidik Polri dapat melakukan penahanan.
Pada kasus almarhum Ustadz Maaher at Tuwailibi misalnya. Kalau almarhum dianggap mencemarkan Habib Luthfi bin Yahya karena ujaran 'cantiknya', kenapa dilekatkan pasal 28 ayat (2) UU ITE ? Bukankah, penghinaan atau pencemaran itu core nya pasal 27 ayat (3) UU ITE ?
Itu justru dugaan penulis, karena penyidik lebih memilih pasal 28 ayat (2) UU ITE, karena ancaman pidananya sebagaimana diatur dalam pasal 45A ayat (2) UU ITE adalah 6 tahun, agar penyidik bisa menahan tersangka berdasarkan pasal 21 KUHAP. Padahal, ujaran Ustadz Maaher sangat sumir, dan sangat aneh dipaksakan dengan ketentuan pasal 28 ayat (2) UU ITE.
Jadi, problemnya bukan saja pada soal norma pasal UU ITE yang karet. Tetapi juga ada pada kebijakan kepolisian yang tebang pilih, pilih tebang, diskriminasi, tidak adil, dan tidak Promoter.
*Ketiga,* berdasarkan ketentuan pasal 31 ayat (1) KUHAP, penyidik kepolisian bisa memberikan kebijakan penangguhan penahanan. Kebijakan ini, adalah pilihan tindakan yang akan memberikan rasa keadilan. Proses hukum UU ITE tetap berlanjut, tapi tersangka tidak harus ditahan.
Pada faktanya, sejumlah permohonan penangguhan penahanan selalu diabaikan oleh Polri. Permohonan penangguhan Gus Nur diabaikan, penangguhan Ustadz Maaher diabaikan, hingga beliau meninggal di Rutan Bareskrim.
Tapi anehnya, tersangka kasus kebakaran kantor Kejaksaan Agung yang merugikan negara triliunan rupiah tidak ditahan dan diberikan penangguhan. Alasannya sepele, tersangka dianggap kooperatif dan dijamin istri tersangka.
Jadi, problemnya bukan saja pada soal norma pasal UU ITE yang karet. Tetapi juga ada pada kebijakan kepolisian yang tebang pilih, pilih tebang, diskriminasi, tidak adil, dan tidak Promoter.
*Keempat,* Pak Kapolri telah mengakui ada kesan UU ITE represif terhadap kelompok tertentu, tapi tumpul pada kelompok yang lain. Hal itu benar adanya, dan terkonfirmasi pada kasus Gus Nur.
Gus Nur sudah tiga kali menghadapi persoalan hukum terkait UU ITE, karena dilaporkan kelompok tertentu, di Palu, Surabaya dan Jakarta. Kelompok ini pula yang selama ini menghalangi bahkan membubarkan pengajian Gus Nur dan sejumlah ulama lainnya, termasuk pengajian Ustadz Abdul Shomad.
Pak Kapolri juga benar, laporan yang dilakukan bukan langsung oleh korban. Sehingga, hal itu merepotkan Jaksa untuk menghadirkan Gus Yaqut dan KH Said Aqil Siradj ke persidangan. Bahkan, meremehkan wibawa pengadilan.
Tetapi itu bukan soal atau kesalahan pelapor. Tetapi kebijakan penerima laporan yakni Polri yang begitu Gercep (Gerak Cepat) menindaklanjuti sejumlah laporan terhadap Ulama dari kelompok tertentu seperti pada Kasus Gus Nur dan Ustadz Maaher at Tuwailibi. Keduanya, langsung ditangkap dan ditahan.
Padahal, bisa saja Polri memperlakukan Gus Nur dan Ust Maaher seperti Abu Janda, Ade Armando atau Deni Siregar. Mereka ini, berulangkali dilaporkan ke Polisi tetapi tetap saja tidak ditangkap dan dipenjara.
Jadi, penulis tegaskan problemnya bukan saja pada soal norma pasal UU ITE yang karet. Tetapi juga ada pada kebijakan kepolisian yang tebang pilih, pilih tebang, diskriminasi, tidak adil, dan tidak Promoter.
Karena itu Pak Kapolri, jangan hanya menyalahkan UU ITE dan melempar masalah ke DPR agar merevisinya sebagaimana arahan Presiden. Pak Kapolri, dalam kebijakan pelaksanaan UU bisa selektif, dan saat ini segera tangguhkan semua tahanan terkait UU ITE yang ada di Rutan Bareskrim dan hentikan seluruh penyidikan perkara terkait UU ITE.
Penulis kira, tindakan itu akan membuktikan Kapolri serius dengan pernyataannya. Penghilangan ketidakadilan UU ITE tidak harus menunggu di revisi DPR, tetapi juga bisa dimulai oleh institusi Polri dengan mengevaluasi seluruh kasus berdasarkan UU ITE, untuk dihentikan perkaranya atau setidaknya ditangguhkan tersangkanya. [].