Suteki: SE Kapolri Tentang Restorative Justice Dalam Penyelesaian TP ITE Mengapa Baru Sekarang?

 




Kamis, 24 Februari 2021

Faktakini.info

SE KAPOLRI Tentang Restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana ITE: Mengapa Baru Sekarang? 

Pierre Suteki 

Sebagaimana diberitakan KOMPAS.com  23 Februari 2021-Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan Surat Edaran terkait penerapan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ada 11 poin dalam surat tersebut, salah satunya mengatur bahwa penyidik tidak perlu melakukan penahanan terhadap tersangka yang telah minta maaf. Surat Edaran Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif itu diteken Kapolri pada 19 Februari 2021. 

Melalui surat itu, Kapolri meminta seluruh anggota Polri berkomitmen menerapkan penegakan hukum yang dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat dalam penerapan UU ITE. Karena itu, Sigit meminta jajarannya mengedepankan edukasi dan langkah persuasif dalam penanganan perkara UU ITE, khususnya dengan sarana Restorative Justice (RJ). Hal ini terlihat secara jelas pada SE KAPOLRI pada huruf g dan h sebagai berikut: 

"g. Penyidik berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimum remidium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara. 

h. Terhadap para pihak dan/atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice terkecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme." 

Istilah restorative justice atau keadilan restoratif merupakan suatu model pendekatan yang muncul sejak era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Penyelesaian ini berbeda dengan pendekatan yang dipakai dalam sistem peradilan pidana konvensional. RJ melibatkan partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. 

Pendekatan keadilan restoratif sebagai pergeseran paling mutakhir dari berbagai model dan mekanisme yang bekerja dalam sistem peradilan pidana, sehingga pendekatan keadilan restoratif merupakan suatu paradigma yang dapat dipakai untuk menjawab ketidapuasan atas bekerjanya Sistem Peradilan Pidana (SPP) konvensional. 

Pertanyaan yang perlu diajukan adalah, mengapa baru sekarang ide RJ ini muncul setelah banyak korban berjatuhan karena dituduh melakukan delik UU ITE? Penyidik Polri sebagai penegak hukum mestinya tidak terjadi keraguan dalam mengambil tindakan telah diberi kewenangan yang bersifat personal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Pasal 7 Ayat (1) butir j dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) butir l dan Pasal 18, "dapat mengambil tindakan lain", dengan "syarat-syarat tertentu", yang disebut dengan diskresi Polri. Bukankah sudah sejak tahun 2000 PBB sudah mengeluarkan Resolusi terkait dengan RJ dan sebenarnya sudah diadopsi POLRI dalam penanganan perkara pidana. Resolusi itu tentang Basic Principles of The Use of RJ in Criminal Matters. Apalagi dalam hukum pidana sejak zaman baheula juga sudah dikenal adagium "pidana itu sebagai ULTIMUM REMEDIUM".  Pidana itu sebagai upaya terakhir ketika upaya lain, jalan damai, musyawarah mufakat gagal dijalankan oleh para pihak terkait dengan prinsip voluntary. Prinsip ini mengajarkan kepada penegak hukum untuk berhati-hati menerapkan peraturan secara keji. 

Perlu diketahui bahwa di dunia ini dikenal dua sistem hukum yang dianut oleh bangsa-bangsa, yaitu: 

1. Sistem hukum civil law (continental): hukum berpusat pada UU. Hakim dan juga penegak hukum lainnya hanya corong UU (la bouch de la loi)

2. Sistem hukum common law (anglo saxon): hakim dapat meciptakan hukum ( judge made law). 

Indonesia lebih condong ke civil law tetapi juga membuka diri ke common law dengan dasar: Pasal 5 ayat 1 UU 48 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa: Hakim dan hakim konstitusi WAJIB menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di dalam masyarakat. Jadi penyelesaian perkara tidak boleh 100 % hanya didasarkan pada bunyi teks UU melainkan nilai-nilai serta kearifan lokal (local wisdom) pun dapat dijadikan basis penyelesaian suatu perkara sehingga tidak semua perkara hukum khususnya PIDANA berakhir di PENJARA. Tingkat hunian penjara dan rutan kita sudah OVER CAPACITY. Kondisi ini akan bersifat multiflier effect. Maka, cara yang ditawarkan adalah: 

(1) Membuka ruang untupk penyelesaian perkara pidana lewat jalur DI LUAR CRIMINAL JUSTICE SYSTEM sejak PERKARA DISELIDIKI di tingkat kepolisian. 

(2) Membuat lembaga tersendiri yang kalau di Australia disebut: NJC (Neighbourhood Justice Center) sebagai tempat untuk warga masyarakat menyelesaikan perkaranya di luar peradilan negara. 

Kedua cara tersebut bisa diwadahi dalam konsep RESTORATIVE JUSTICE SYSTEM. 

Agar hasil yang dicapai dari kedua cara tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan memiliki kepastian hukum, keduanya harus terhubung dengan lembaga negara resmi yaitu KEJAKSAAN dan PENGADILAN untuk selanjutnya agar dapat diterbitkan PENETAPAN PENGADILAN. 

Negeri Belanda yang dikenal minus narapidana di penjaranya saya yakin bukan karena tidak ada lagi tindak pidana, melainkan cara penanganan perkara pidananya tidak lagi konvensional yang mengandalkan pada OFFENDER ORIENTED melainkan telah bergeser ke VICTIM ORIENTED dengan cara mengutamakan PEMULIHAN KEADAAN (RESTORASI) sesuai dengan kesepakatan para pihak yang didasarkan pada VOLUNTARY PRINCIPLE (asas kesukarelaan). 

Secara ideologis kita punya PANCASILA yang kaya akan nilai ketuhanan, KEKELUARGAAN, kemanusiaan dan musyawarah mufakat, tetapi mengapa hingga kini kita LEBIH GANDRUNG dengan cara-cara LIBERAL INDIVIDUALIS? Haruskah setiap perkara pidana berakhir pada  JERUJI PENJARA? Berapa biaya yang harus ditanggung oleh negara untuk membiayai penjara yang sudah over capacity ini? Mau terus melakukan pemborosan keuangan yang besar itu? Tidak bukan? Maka Restorative Justice System adalah solusinya. 

Proyek RJS akan mubadzir ketika polisi sendiri--- khususnya anggota di "bawah"--- sebagai garda terdepan dalam penegakan hukum pidana tidak mempunyai komitmen, kesadaran dan kemauan dalam mengutamakan pendekatan secara restorative terhada perkara Tindak Pidana ITE. Jangan sampai polisi sendiri terkesan "ngangel-angel" (mempersulit) para pihak untuk melakukan mediasi dan restitusi dalam penanganan tindak pidana ITE. Negara ini harus dijauhkan dari arah menjadikan sebagai police state, yakni negara c.q. pemerintah yang menggunakan polisi sebagai alat untuk mewujudkan "niat jahatnya" para oknum pejabat negara. 

Komitmen, kesadaran dan kemauan seharusnya menjadi kunci utama pihak kepolisian dalam menyelesaikan perkara "ruwet" ini, yakni perkara pidana di bidang ITE dengan mengutamakan prinsip ultimum remedium, diskresi tanpa harus ada SE Kapolri. Namun, meski terasa telat SE ini diharapkan dapat menekan dan menahan kemauan setiap orang untuk melaporkan pihak lain dalam perkara ITE. Dan saya berharap SE ini berlaku juga bukan hanya untuk perkara pidana ITE yang akan datang tetapi juga perkara pidana ITE yang sekarang masih dalam proses penyidikan, jika perlu polri bekerja sama dengan kejaksaan RI dapat menghentikan penuntutan demi kepentingan umum. Apakah kita ingin penjara dipenuhi oleh orang yang notabene baik? Tentu tidak bukan?

Tabik...!!!

Semarang, 24 Pebruari 2021