Bila Terdakwa Tak Setuju Sidang Online, Maka Hakim Wajib Hadirkan Terdakwa Di Ruang Sidang Secara Langsung

 

 

Rabu, 17 Maret 2021

Faktakini.info

*BILA TERDAKWA TIDAK SETUJU SIDANG ONLINE MAKA HAKIM WAJIB MENGHADIRKAN TERDAKWA DALAM RUANG SIDANG YANG SAMA DGN MAJELIS HAKIM, JAKSA DAN PENASEHAT HUKUM SECARA FISIK DAN LANGSUNG*

*Penulis ; Nam Ranum Hamida*

Banyak orang dungu melihat bahwa hadir atau tidaknya Terdakwa dalam sebuah proses persidangan adalah hanya perkara teknis semata. 

Penetapan hakim yang hanya berdasar PERMA semata tanpa mengubah UU adalah sebuah bentuk kezaliman baru yang dibuat oleh rezim zalim dungu dan pandir.

Di Amerika saja, negara sekuler yang bukan berdasar Pancasila, untuk mengubah sidang normal menjadi sidang online HARUS DIUBAH DULU melalui UU.

Melalui  *CARES Act* yang mengatur persidangan online, syarat dan ketentuan untuk dapat dilakukan persidangan secara elektronik adalah, apabila memenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu: 

1) adanya situasi darurat yang ditetapkan oleh masyarakat; 

2) adanya penetapan Ketua Pengadilan untuk menerapkan persidangan secara elektronik; dan

*3) adanya persetujuan terdakwa.*

CARES Act  di Amerika yang sekuler dan tidak Pancasilais saja, mengatur bahwa persidangan secara elektronik *hanya dapat* dilakukan dalam persidangan-persidangan sebagai berikut:

*Initial Appearances*, yaitu persidangan permulaan guna memenuhi hak terdakwa untuk segera dihadapkan ke hadapan Hakim, atau speedy trial;

Detention hearings, yaitu persidangan untuk menentukan apakah terdakwa akan ditahan atau tidak;

*Arraignments*, yaitu sidang pembacaan dakwaan;

Preliminary hearings, yaitu persidangan terkait pemeriksaan awal dalam setiap kasus pidana, seperti penyampaian argumen penuntut umum dan penasihat hukum, pemilihan juri, dll;

*Persidangan terkait pembebasan bersyarat (parole)*; dan

Persidangan untuk kasus-kasus tindak pidana ringan.

*Perma No. 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik*, dalam Perma ini justru menyebutkan dengan tegas 'Sidang Online' itu *hanya opsional (pilihan) bukan kewajiban*. Hakim berdasarkan pertimbangannya dapat menghadirkan Terdakwa.

Bahkan, dalam ketentuan pasal 2 Perma a Quo, Eksplisit disebutkan bahwa *Terdakwa pada asalnya dihadirkan di persidangan*. Dalam ketentuan pasal 2 disebutkan :

_"Persidangan dilaksanakan di ruang pengadilan *dengan dihadiri penuntut dan terdakwa dengan didampingi/tidak didampingi penasehat hukum,* kecuali ditentukan lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan"_

Adapun peraturan perundangan yang mengatur hukum acara persidangan adalah Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

dalam ketentuan pasal 154 KUHAP tegas menyatakan :

_"(1) Hakim ketua sidang pengadilan yang terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas"_

Dalam ketentuan pasal 146 dan 154 KUHAP diatur rinci bagaimana Terdakwa dihadirkan sejak pemanggilan hingga hadir di hadapan hakim di muka persidangan. Ketentuan mengenai kehadiran Terdakwa di Persidangan sifatnya mengikat (imperatif) sementara sidang online sifatnya hanya kondisional (fakultatif).

hakim di kasus Habib Rizieq Shihab meminta advokat untuk menguji Perma jika keberatan soal tidak dihadirkannya Terdakwa. *Padahal, Perma tidak mewajibkan terdakwa sidang secara online, sidang online adalah pilihan saja*.

Kenapa hakim tidak mengambil opsi menghadirkan Terdakwa atas kewenangannya berdasarkan KUHAP ? kenapa hakim tidak menghadirkan Terdakwa berdasarkan ketentuan pasal 2 Perma No 4 tahun 2020 ?

Sebagai perbandingan Perma 1/2019 yang mengatur Tentang Sidang Online alias E-Court untuk kasus perdata saja,  *HARUS/WAJIB persetujuan para pihak*.

Maka dalam sidang perkara PIDANA, menjadi bersifat *MUTLAK HARUS persetujuan TERDAKWA*

Sebagai fakta, kasus Joko Tjandra, Jaksa Pinangki, Irjen Napoleon dalam kasus pidana korupsi dan Dr. Andi Tata salah satu TERDAKWA  yg sama persis perkaranya  dgn IB HRS dan Habib M Hanif Alatas malah dihadirkan alias sidang dilakukan secara normal.

Maka bisa dilihat bahwa IB HRS dan para ulama serta aktvis Islam lainnya adalah korban KEZALIMAN YANG BERLANJUT HINGA KE PROSES PERSIDANGAN OLEH KOMPLOTAN REZIM ZALIM DUNGU DAN PANDIR.

Padahal negeri ini dan para penyelenggara negara mengaku ngaku negara Pancasila dan paling Pancasilais.

Jakarta, 17 Maret 2021