Eksepsi PH IB HRS: Kekeliruan Konstruksi Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Rabu, 24 Maret 2021
Faktakini.info, Jakarta - Tim Advokasi Habib Rizieq Shihab telah mengajukan Eksepsi (Nota Keberatan) atas surat dakwaan Saudara Penuntut umum Reg. Perkara No. PDM- 011/JKT.TIM/Eku/02/2021.
Dalam eksepsinya yang berjudul "MENGETUK PINTU LANGIT MENOLAK KEZALIMAN MENEGAKKAN KEADILAN", Tim Advokasi menyampaikan kekeliruan konstruksi dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
Sebagai berikut.
BAB IV
SURAT DAKWAAN TIDAK CERMAT, TIDAK JELAS DAN TIDAK LENGKAP SEHINGGA TIDAK MEMENUHI SYARAT MATERIIL SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 143 AYAT (2) HURUF B KUHAP.
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
A. KEKELIRUAN KONTRUKSI DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM
Sebelum kami Penasehat Hukum Terdakwa melanjutkan esensi dari eksepsi aquo, perkenankan kami terlebih dahulu untuk menyampaikan pandangan mengenai arsitektur hukum dalam masa pandemi Covid-19 di Indonesia. Persepektif ini sangat penting untuk membuka cakrawala kita sebagai bagian dari negara yang berpahamnkonstitusionalisme. Penyebaran Covid-19 di dunia yang bermula dari kota Wuhan.di Cina memaksa banyak negara menerapkan aturan dan norma hukum yang baru.
Reaksi Pemerintah dalam menanggapi pendemi ini juga sama dengan negara-negara lainnya, akan tetapi apakah penerapan aturan dan norma hukum yang baru tersebut dapat dengan serta merta mengesampingkan hak asasi manusia yang menjadi bagian dari hak konstitusional? Hal ini tentu saja tidak hanya dapat dilihat dari satu sisi yaitu kacamata negara saja yang dalam hal ini pemerintah. Sangat diperlukan melihat dari berbagai macam sudut pandang agar penerapan dan penegakan hukum menjadi presisi dengan jaminan perlindungan hak konstitusional dan HAM itu sendiri.
Pertama, bertalian dengan kasus yang menimpa Habib Muhammad Rizieq SYIHAB, rezim zalim dungu dan pandir mempersangkakan Habib Rizieq dengan pasal-pasal pidana terhadap dugaan pelanggaran protokol kesehatan (bukan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan) sebagai bagian dari aturan dan norma hukum yang baru di masa pandemi. Akan tetapi, jika melihat pondasi surat dakwaan maka Habib Rizieq juga dijerat pasal-pasal pidana yang berkaitan dengan melawan terhadap penguasa bahkan sampai dengan penggunaan UU Ormas. Oleh karena itu,tidaklah komprehensif jika melihat kasus ini hanya dari sudut hukum pidana saja, mengapa? Jika tindakan rezim zalim dungu dan pandir dalam menjerat Habib Rizieq dengan pasal-pasal pidana tersebut dibenarkan tanpa dikaji secara komprehensif akan menjadi sebuah preseden buruk dalam penegakkan hukum di Indonesia. Pada titik ekstrimnya akan mengeliminir hak asasi manusia itu sendiri. Secara fundamental berimplikasi merusak tatanan hukum yang telah mapan di Indonesia sebagaimana tertuang dalam UUD 1945.
Pada konteks negara hukum Indonesia, UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis pada hakikatnya bukan hanya untaian kalimat-kalimat pada lembaran kertas melainkan konsensus dari Bangsa Indonesia. Bukankah salah satu dasar reformasi adalah
“keinginan untuk secara sungguh-sungguh melaksanakan sendi-sendi, tujuan, asas dan kaidah UUD 1945”? Oleh sebab itu, maka aktualisasi UUD 1945 itu sendiri secara imperatif harus menjadi dasar penegakan hukum lainnya tidak terkecuali hukum pidana. Mengapa demikian? Karena tidak ada satupun permasalahan hukum maupun perlindungan hukum yang tidak berdasarkan UUD 1945 sebagai konsekwensi dari hierarkhi peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu menurut Bagir Manan: “Hakim dalam mengadili dan memutus perkara harus memperhatikan asas, kaidah, dan pandangan-pandangan yang mendasari UUD 1945. Tidak ada perkara yang tidak bersentuhan dengan UUD 1945.”(lihat: Bagir Manan dan Susi Dwi Harjanti, Memahami Konstitusi: Makna dan Aktualisasi, hal. 164)
Kemudian, flashback kondisi hukum pada masa pra-reformasi dimana UUD 1945 direkayasa sedemikian rupa hanya untuk memenuhi kepentingan penguasa seharusnya dijadikan guidance agar tidak terulang pada saat ini dan masa mendatang. Oleh sebab itu, untuk mencegah hal yang demikian terulang kembali maka tidak ada jalan lain bagi kita Bangsa Indonesia selain mengaktualisasi UUD 1945 dalam setiap perikehidupan sehingga UUD 1945 menjadi The Living Constitution.
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Kembali pada kasus Habib Rizieq, penegakan hukum pidana dalam kondisi apapun termasuk Pandemi Covid-19 seharusnya juga didasarkan dan diilhami oleh UUD 1945 bukan dengan kepentingan diluar UUD 1945. Begitupun melihat kondisi pandemi ini, tidak dapat dipungkiri lagi kita harus melihat dan telaah kembali mengenai Model Kedaruratan yang dipilih oleh Pemerintah pada masa pandemi Covid-19.
Model kedaruratan sebenarnya dapat kita telusuri dari Hukum Tata Negara Darurat di dalam UUD 1945. Pada hakikatnya Hukum Tata Negara Darurat adalah negara yang dalam keadaan atau kondisi darurat dimana telah terjadi keadaan bahaya secara tiba-tiba yang mengancam tertib umum. Kondisi ini menuntut negara untuk bertindak dengan cara-cara yang tidak lazim menurut aturan hukum yang biasa berlaku dalam keadaan normal. Pertanyaannya, apakah peraturan perundang-undangan terkait Pandemi Covid-19 yang berlaku saat ini dapat dikualifisir sebagai keadaan darurat? Hal ini menjadi penting untuk dikaji, karena pada kondisi darurat, kekuasaan negara dalam hal ini pemerintah sangatlah besar sehingga dapat mereduksi hak-hak konstitusional dari warga negara. Pada titik ekstrimnya, kekuasaan negara dalam keadaan darurat dapat menciderai demokrasi akibat dari pelanggaran serius terhadap HAM.
Secara konstitusional, pengaturan negara dalam keadaan darurat dapat dilihat pada ketentuan Pasal 12 dan Pasal 22 UUD 1945. Pasal 12 UUD 1945 menyatakan:
“Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”. Sedangkan Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Berdasarkan kedua ketentuan tersebut, maka UUD 1945 memberikan dua kategori mengenai suatu kondisi atau keadaan, yaitu: 1). Keadaan bahaya; dan 2). Hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Konsep keadaan darurat dalam UUD 1945 tersebut seyogyanya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Pertama, baik keadaan bahaya maupun hal ihwal kegentingan yang memaksa hanya Presiden yang berhak untuk menetapkannya. Kedua, penetapan kondisi tersebut dituangkan melalui undang-undang maupun peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
Akan tetapi yang patut menjadi concern yaitu apakah terdapat kesamaan antara keadaan bahaya dan hal ihwal kegentingan yang memaksa? Tentu saja hal ini masih harus dilihat konteks dari kedua pasal tersebut.
Jika kita lihat dari sudut legislasi yang dalam hal ini harus melalui tahapan dan proses yang sudah baku, maka jika Presiden akan menetapkan suatu keadaan bahaya akan tetapi harus melalui tahapan dan proses pembentukan undang-undang yang sudah baku tersebut jelas tidak efisien. Dengan demikian langkah yang ditempuh oleh Presiden adalah dengan menetapkan keadaan bahaya tersebut dalam format peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Hal ini berarti bahwa ketentuan Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 adalah jawaban dari penetapan keadaan bahaya yang tidak dapat dituangkan dalam format undang-undang sebagaimana dipersyaratkan oleh Pasal 12 UUD 1945.
Oleh karenanya menurut Jimly Asshiddiqie ketentuan mengenai keadaan bahaya yang ditentukan dalam pasal 12 jelas lebih menekankan sifat bahaya yang mengancam (dangerous threat), sedangkan kegentingan yang memaksa dalam pasal 22 lebih menekankan aspek kebutuhan hukum yang bersifat mendesak atau kemendesakan yang terkait dengan persoalan waktu yang terbatas. (lihat: Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, halaman 207). Hal yang sama dikemukakan oleh Bagir Manan, menurutnya perspektif UUD 1945 mengenai
“Keadaan Bahaya dalam Pasal 22 secara diametral berbeda dengan Pasal 12. Hal ihwal kegentingan yang memaksa adalah dringende "omstandingheden”, “urgent” atau “necessary”. Pengertianistilah tersebut bertalian dengan kebutuhan hukum yang mendesak, tidak terkait dengan bahaya atau ancaman terhadap keamanan dan pertahanan negara.”(lihat: Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam Perspektif Ajaran Konstitusi dan Negara Hukum, Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum Vol 4 No. 2 tahun 2017, hal. 238)
Selanjutnya, berkenaan dengan pengaturan keadaan bahaya secara khusus telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 Tentang Keadaan Bahaya yang sampai dengan saat ini belum direvisi maupun dicabut sehingga masih berlaku. Dalam perspektif UU No. 74/1957, kualifikasi Keadaan Bahaya dijabarkan dalam bentuk pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, timbul perang atau bahaya perang, dijajahnya wilayah Indonesia dengan cara apapun juga. Sedangkan untuk perundang-undangan yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan wabah penyakit menular dapat kita temukan pada:
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular;
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana;
dan
3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Artinya, jika Pasal 12 dan Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 menjadi pondasi suatu undang-undang tentang keadaan bahaya sekaligus epidemi ataupun pandemi, maka sebagai pilar konstruksinya adalah Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 Tentang Keadaan Bahaya; Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular; Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana; dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Dengan demikian dapat pula ditafsirkan bahwa Pasal 22 UUD 1945 dapat berdiri sendiri tanpa disandingkan dengan Pasal 12 UUD 1945. Walhasil “hal ihwal kegentingan yang memaksa”, pada kondisi tertentu belum tentu mengenai keadaan bahaya.
Berdasarkan analisis terhadap kedua ketentuan pasal tersebut, maka terdapat keharusan suatu peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang meletakkan Pasal 12 dan Pasal 22 Ayat (1) sebagai dasar pada bagian “Mengingat” jika terkait suatu keadaan bahaya sekaligus epidemi ataupun pandemi. Bagaimana jika terdapat peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang yang tidak meletakkan Pasal 12 UUD 1945 sebagai dasar dari pembentukannya? Apabila hal ini terjadi, maka sangat jelas peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang tersebut bukanlah suatu penetapan keadaan bahaya melainkan hanya segi efisiensi dalam proses pembentukan undang-undang. Hal ini dapat saja terjadi agar tidak terjadi kekosongan hukum (rechtvacuum).
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Pada masa Pandemi Covid-19, Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (nomenklatur yang digunakan UUD 1945) yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Sedangkan secara hirearkhi, peraturan turunan dari Perppu Nomor 1 Tahun 2020 adalahPeraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana dengan UU No. 4/1984 Tentang Wabah Penyakit Menular; UU No. 24/2007 Tentang Penanggulangan Bencana; dan UU No. 6/2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan?
Jawabannya adalah sama dengan kondisi Perppu No. 1/2020 yaitu bukan keadaan bahaya.
Lebih lanjut kita melihat rumusan Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.” Jika dikaitkan dengan Model Kedaruratan apapun maka hak-hak yang tercantum didalam Pasal 28I secara Constitutional Imperative tidak dapat dikurangi dan dibatasi (Non-derogable Rights), dan oleh karena itu meski dalam keadaan bahaya sebagaimana Pasal 12 UUD 1945 hak-hak dalam Pasal 28I Ayat (1) maka model kedaruratan sebagaimana Pasal 22 UUD 1945 harus menjamin dan melindungi HAM secara utuh dan menyeluruh (derogable dan non-derogable rights).
Dibawah ini kami sampaikan skema kondisi hokum kedaruratan tersebut :
Mempedomani uraian yang telah kami sampaikan di atas, maka Arsitektur Hukum Pandemi Covid-19 bukanlah arsitektur suatu keadaan bahaya dan tidak terkait dengan bahaya atau ancaman terhadap keamanan dan pertahanan negara.
Atas dasar itulah muncul istilah-istilah baru seperti “New Normal” yang hakikat artinya tatanan hukum masih dalam keadaan normal. Hal ini dapat dibuktikan dengan pembentukan UU Cipta Kerja melalui tahapan yang normal serta Pemilihan Kepala Daerah yang tetap diselenggarakan untuk menjamin hak pilih sebagai hak konstitusional.
Kemudian istilah “Pembatasan Sosial Berskala Besar” yang membidani lahirnya istilah “Pelanggaran Protokol Kesehatan (Prokes)” bukan “Pelarangan Sosial Berskala Besar” atau “Lockdown” yang melahirkan istilah “Kejahatan Prokes”. Inilah bagian dari ketidakcermatan jaksa penuntut umum dalam merumuskan surat dakwaan. Sistem hukum yang berlaku saat pandemi bukanlah rezim keadaan bahaya dimana setiap pelanggaran dapat menjadi sebuah kejahatan akan tetapi pelanggaran tetaplah dihukumi sebagai pelanggaran.
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Kedua, dalam hukum Pidana dikenal Prinsip Ultimum Remedium yang berarti hukum pidana adalah senajata pamungkas atau terakhir yang digunakan dalam penegakan hukum. Akan tetapi ultimum remedium jika kita telusuri maka akan kita jumpa pula dalam rezim hukum administrasi, para sarjana menyebut sanksi administratif sebagai
“in cauda venenum,racun yang berada di ekor”(lihat: Andri Gunawan Wibisana, Tentang Ekor yang Tak Lagi Beracun: Kritik Konseptual atas Sanksi Administratif dalam Hukum Lingkungan di Indonesia, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 6, No. 1, 2019, hal. 42). Mengapa sanksi administratif menjadi Ultimum Remedium? Hal ini lazimnya berkaitan dengan perizinan, segala bentuk kegiatan baik bernilai ekonomis ataupun tidak jika tidak memiliki izin atau dicabut izinnya maka tidak dapat dilaksanakan. Akan tetapi jika dilaksanakan tanpa memiliki izin maka negara memiliki hak untuk menghentikan pelaksanaan kegiatan tersebut dan menjatuhkan sanksi denda.
Sanksi bagi pelanggar prokes sudah ditetapkan melalui Peraturan Gubernur yang menurut UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan materi muatannya bukan ketentuan pidana. Sedangkan peraturan perundang-undangan di level provinsi yang materi muatannya berupa ketentuan pidana adalah Peraturan Daerah (Perda). Berdasarkan alasan yuridis tersebut maka sanksi dalam Pergub PSBB tidak diberikan izin dan pencabutan izin adalah ultimum remedium. Yang perlu kita ingat rezim hukum yang berlaku saat ini bukan rezim hukum keadaan bahaya. Dengan kondisi demikian jika terdapat pihak yang mengajukan suatu izin maka secara hukum harus diberikan jawaban mengenai pemberian izin atau tidak. Hal ini menjadi sangat penting karena sifat peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang sifatnya administratif. Jika pemberian izin atau tidak memberikan izin tidak dilakukan maka sama halnya dengan melawan hukum administrasi.
Berkaitan dengan permohonan izin maulid, seharusnya bukan himbauan yang diberikan oleh aparatur negara melainkan pemberian izin atau tidak memberikan izin.
Surat Himbauan tersebut memiliki tafsir yang berbeda-beda tergantung pada pihak yang memiliki kepentingan. Hal inilah yang men-trigger kekacauan hukum karena tidak menciptakan kepastian hukum yang nyata (real legal certainty). Akan tetapi jika pasti pemberian izin atau tidak memberikan izin, akan memiliki dayaguna untuk mengaktivasi ketentuan-ketentuan sanksi yang tidak ada di dalam pergub. Tanpa proses, itu aktivasi sanksi di dalam peraturan perundang-undangan diatas Pergub menjadi nebis in idem, prematur, dan sangat dipaksakan. Dengan demikian, ketidakcermatan dan ketidaklengkapan jaksa penuntut umum dalam merumuskan surat dakwaan kembali terlihat.
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Perlu kita ketahui bersama, pada hari kedatangan Habib Rizieq secara yuridis merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah sebagaimana ketentuan Pasal 4 juncto Pasal 1 Angka 1UU No. 6/2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan yaitu:
“Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat melalui penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan”
“Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat”
Pemerintah dengan segala kelengkapan yang dimiliki seharusnya sudah mengetahui dan menyiapkan antisipasi terhadap banyaknya warga negara yang datang bukan dengan menyiapkan penerapan pasal-pasal pidana. Karena roh dari Kekarantinaan Kesehatan adalah pencegahan bukan punishment.
Kedua peristiwa itu dapat dikatakan kegagalan dalam pengelolaan Administrasi Negara dan Kekarantinaan Kesehatan atau justru merupakan “conflict engineering”.
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Ketiga, penerapan pasal 160 dan 216 KUHP yang tidak tepat. Norma yang terdapat didalam kedua pasal tersebut adalah secara garis besar adalah menghasut orang supaya melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau pegawai negeri yang ditugaskan mengawasi sesuatu, atau tidak menuruti perintah Undang-Undang atau perintah jabatan. Kedua pasal tersebut jika dikaitkan dengan Pasal 93 UU No. 6/2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan menyebabkan meluasnya persona yang dijadikan terdakwa. Pada rumusan Pasal 93 adalah mengenai sanksi yang dikenakan jika melanggar Pasal 9 Ayat (1) uu aquo. Sedangkan rumusan Pasal 9 ayat (1) adalah
“Setiap Orang wajib mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.” Unsur setiap orang pada rumusan pasal 9 aquo tidak terdapat kualifikasi oleh karena itu seluruh warga negara yang hadir di Bandara dan Petamburan tidak terkecuali Bayu Meghantara (selaku Walikota Jakarta Pusat), Ferguson (Kasat Intelkam Polres Metro Jakarta Pusat), dan Heru Novianto (selaku Kapolres Jakarta Pusat) yang ingin menemui Habib Rizieq juga bertentangan dengan Pasal 9 Ayat (1) UU a quo. Selain itu, protokol kesehatan sebagimana dimaksud oleh Jaksa Penuntut Umum hanya berpusat pada kerumunan. Bagaimana dengan penggunaan masker dan disinfeksi dan usaha lainnya yang telah dilakukan apakah bukan bagian dari protokol kesehatan?
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Selanjutnya Pasal 160 KUHP menurut Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 7/PUU-VII/2009 merupakan delik materil yang mensyaratkan adanya suatu akibat.
Uniknya putusan tersebut, MK dalam mengartikan kata “menghasut” hanya berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional, 2003:392), tindakan penghasutan adalah suatu perwujudan untuk “membangkitkan hati orang supaya marah (untuk melawan atau memberontak)”, atau menurut Black‟s Law Dictionary edisi ke-8 halaman 1.262 dengan menggunakan padanan kata menghasut dengan “provocation” diartikan sebagai, “something (such as word or action) that affects a person‟s reason and self-control, esp. causing the person to commit a crime impulsively”.
Dalam perspektif MK, manifestasi hasutan tersebut adalah perlawanan atau pemberontakan. Bahwa ajakan untuk menghadiri maulid bukanlah suatu perwujudan untuk membangkitkan hati orang supaya marah (untuk melawan atau memberontak). Warga negara yang hadir di bandara dan petamburan dengan penuh kesadaran hukum tetap menggunakan peralatan sebagaimana dimaksud dalam prokes. Jika para warga negara tersebut tidak tunduk dan patuh terhadap prokes atau sampai marah dan memberontak, maka bukan lagi 33 orang yang terjangkit sebagaimana sampling yang diajukan oleh jaksa penuntut umum dalam surat dakwaan akan tetapi menjadi super spreader. Sekali lagi, dalam mengungkap suatu fakta atau peristiwa janganlah dipotong haruslah frame per-frame sehingga menjadi utuh dan penilaian-pun dapat dilakukan dengan obyektif.
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Keempat, Ormas Front Pembela Islam sudah bubar, ibarat terdapat seorang tersangka atau terdakwa yang telah meninggal dunia untuk apa melanjutkan proses penyidikan, penuntutan, dan persidangannya? Apa motif dan relevensinya meletakkan Front Pembela Islam dalam surat dakwaan? Jika hanya ingin mendalilkan bahwa Front Pembela Islam yang memiliki catatan hitam dengan Imam Besarnya adalah Habib Rizieq maka sudah sepatutnya Habib Rizieq dihukum, maka buatlah ini menjadi preseden bagi para koruptor yang berasal dari partai politik dengan segala catatan hitamnya. Tulis dengan jelas dan terang pada tiap surat dakwaan tindak pidana korupsi bahwa partai tersebut kadernya telah banyak melakukan korupsi bahkan sampai buron, ada yang sudah tertangkap dan adapula yang masih bebas.
Satu hal yang pasti, para warga negara yang hadir di bandara dan petamburan meski dicekoki dengan pemberitaan buruk dan pembunuhan karakter Habib Rizieq mereka tetap dengan penuh kesadaran hukum hadir dengan masker dan prokes lainnya.
Kelima, berdasarkan seluruh uraian pada bagian ini, maka sangat terlihat surat dakwaan jaksa penuntut umum tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap.
Keenam, janganlah kebencianmu terhadap seseorang maupun kelompok menjadikanmu tidak mampu berbuat adil.
Maka pada kesempatan ini, kami Penasihat Hukum Terdakwa akan menyampaikan EKSEPSI / KEBERATAN-KEBERATAN terhadap Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 156 ayat (1) junto Pasal 143 ayat (2) huruf (b) Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Jo. Eksepsi tentang yurisdiksi (kompetensi relatif) dari kewenangan Pengadilan.
Sebagaimana diketahui dalam perkara ini, Terdakwa telah didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan Dakwaan yakni:
DAKWAAN PERTAMA:
“Perbuatan Terdakwa MOH. RIZIEQ bin HUSEIN SHIHAB Alias HABIB MUHAMMAD SHIHAB Baik Bertindak Sendiri Maupun Secara Bersama-sama dengan (dituntut dalam perkara terpisah) H. HARIS UBAIDILLAH, S. Pdi, H. AHMAD SABRI LUBIS, ALI ALWI ALATAS Bin ALWI ALATAS, IDRUS alias IDRUS AL-HABSYI, MAMAN SURYADI tersebut, sebagaimana diatur dan diancam pidana sesuai Pasal 160 KUHP Jo. Pasal 93 Undang Undang Republik Indonesia No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP”.
ATAU
DAKWAAN KEDUA:
“Perbuatan Terdakwa MOH. RIZIEQ bin HUSEIN SHIHAB Alias HABIB MUHAMMAD SHIHAB Baik Bertindak Sendiri Maupun Secara Bersama-sama dengan (dituntut dalam perkara terpisah) H. HARIS UBAIDILLAH, S. Pdi, H. AHMAD SABRI LUBIS, ALI ALWI ALATAS Bin ALWI ALATAS, IDRUS alias IDRUS AL-HABSYI, MAMAN SURYADI tersebut,sebagaimana diatur dan diancam pidana sesuai Pasal 216 ayat (1) KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP”;
ATAU
DAKWAAN KETIGA:
“Perbuatan Terdakwa MOH. RIZIEQ bin HUSEIN SHIHAB Alias HABIB MUHAMMAD SHIHAB Baik Bertindak Sendiri Maupun Secara Bersama-sama dengan (dituntut dalam perkara terpisah) H. HARIS UBAIDILLAH, S.Pdi, H. AHMAD SABRI LUBIS, ALI ALWI ALATAS Bin ALWI ALATAS, IDRUS alias IDRUS AL-HABSYI, MAMAN SURYADI tersebut,sebagaimana diatur dan diancam pidana sesuai Pasal 93 Undang Undang Republik Indonesia No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP”.
ATAU
DAKWAAN KEEMPAT:
“Perbuatan Terdakwa MOH. RIZIEQ bin HUSEIN SHIHAB Alias HABIB MUHAMMAD SHIHAB Baik Bertindak Sendiri Maupun Secara Bersama-sama dengan (dituntut dalam perkara terpisah) H. HARIS UBAIDILLAH, S.Pdi, H. AHMAD SABRI LUBIS, ALI ALWI ALATAS Bin ALWI ALATAS, IDRUS alias IDRUS AL-HABSYI, MAMAN SURYADI tersebut,sebagaimana diatur dan diancam pidana sesuai Pasal 14 ayat (1) Undang Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP” .
ATAU
DAKWAAN KELIMA:
“Perbuatan Terdakwa MOH. RIZIEQ bin HUSEIN SHIHAB Alias HABIB MUHAMMAD SHIHAB Baik Bertindak Sendiri Maupun Secara Bersama-sama dengan (dituntut dalam perkara terpisah) H. HARIS UBAIDILLAH, S.Pdi, H. AHMAD SABRI LUBIS, ALI ALWI ALATAS Bin ALWI ALATAS, IDRUS alias IDRUS AL-HABSYI, MAMAN SURYADI tersebut, sebagaimana diatur dan diancam pidana sesuai Pasal 82A ayat (1) jo. Pasal 59 ayat (3) huruf d dan d Undang Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2017 Tentang Penerapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 10 huruf b KUHP Jo. Pasal 35 ayat (1) KUHP”.
Adapun keberatan – keberatan TIM PENASIHAT HUKUM terhadap Surat Dakwaan JPU adalah sebagai berikut:
(Silahkan baca posting berikutnya)