Eksepsi PH IB HRS: Penerapan Pasal UU Ormas Dan Pasal 10 Jo Pasal 35 KUHP Tidak Sah

 

Selasa, 23 Maret 2021

Faktakini.info, Jakarta - Tim Advokasi Habib Rizieq Shihab telah mengajukan Eksepsi (Nota Keberatan) atas surat dakwaan Saudara Penuntut umum Reg. Perkara No. PDM- 011/JKT.TIM/Eku/02/2021.

Dalam eksepsinya yang berjudul "MENGETUK PINTU LANGIT MENOLAK KEZALIMAN MENEGAKKAN KEADILAN", Tim Advokasi menyampaikan penerapan Pasal UU Ormas dan Pasal 10 Junto Pasal 35 KUHP tidak sah. 

Sebagai berikut. 

BAB III

DAKWAAN BATAL DEMI HUKUM

A. PENERAPAN PASAL UNDANG-UNDANG ORMAS DAN PASAL 10 JO.  PASAL 35 KUHP ADALAH TIDAK SAH

Majelis Hakim yang mulia,

Penuntut Umum Yang terhormat,

Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,

Dalam dakwaan kelima, HABIB RIZIEQ SYIHAB didakwa telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 82A ayat (1) jo. 59 ayat (3) huruf c dan d Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat menjadi Undang-Undang jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 10 huruf b KUHP jo. Pasal 35 ayat (1) KUHP.

Tindak pidana yang didakwakan terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB dalam dakwaan kelima tersebut, sama sekali tidak pernah tercantum dalam Surat Panggilan, Sprindik maupun Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dalam perkara quo.

Padahal berdasarkan ketentuan Pasal 51 huruf a KUHAP, untuk mempersiapkan pembelaan, tersangka berhak untuk diberitahuan dengan jelas dan dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu awal pemeriksaan.

Pasal 109 ayat (1) KUHAP menentukan, dalam hal penyidik mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. Berdasarkan ketentuan Pasal 109 ayat (1) KUHAP, koordinasi fungsional antara penyidik dan penuntut umum ditandai dengan diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Dengan demikian maka keberadaan Pasal 109 ayat (1) KUHAP pada hakikatnya menentukan pentingnya sebuah sistem peradilan pidana yang terpadu (integrated criminal justice system) yang dalam hal ini berada pada tahap penyidikan dan penuntutan.

Dalam sistem KUHAP, SPDP sebagaimana diatur di dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP adalah merupakan bentuk mekanisme kontrol yang bersifat horizontal, yaitu kontrol antar lembaga di subsistem dalam sistem peradilan pidana, yaitu kontrol dari sistem penuntut umum terhadap penanganan kasus atau penyidikan yang dilakukan oleh penyidik.

Kemudian pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 tertanggal 15 November 2016 menghadirkan suasana baru terhadap hukum acara pidana Nasional yang selama ini diberlakukan melalui UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal baru yang diberikan dalam Putusan a quo terletak dalam hal penyampaian SPDP semula hanya disampaikan oleh Penyidik kepada Penuntut Umum (Pasal 109 ayat (1) KUHAP) telah berubah. Sistem peradilan pidana tersebut dinilai mengesampingkan keadilan karena tidak memberikan informasi kepada para pihak terutama pelapor dan terlapor tentang SPDP yang ada.

Dengan demikian, akibat hukum dari putusan MK tersebut di atas ialah penyidik kini wajib menyerahkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) tidak hanya kepada penuntut umum, tetapi juga kepada terlapor dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari. Putusan ini dapat membuat koordinasi antara penyidik dan penuntut umum menjadi semakin kuat, serta penuntut umum dapat berperan aktif dalam menangani suatu perkara pidana.

Sebagai hukum acara pidana, maka KUHAP menyajikan sebuah sistem yang dikenal dengan Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System). Ditinjau dari sisi istilahnya, “sistem” diartikan sebagai “perangkat unsur yang secara teratur.saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas, istilah “peradilan pidana” diartikan sebagai sistem yang diberikan dalam penanganan suatu perkara yang diduga perbuatan melanggar ketentuan hukum pidana. Berdasarkan makna tersebut maka setiap subsistem dan lembaga hukum terdapat dalam KUHAP harus berperan dalam sebuah rangkaian acara pidana dannSurat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) menjadi bagian penting dalam proses perkara pidana.

Faktanya tindak pidana yang didakwakan terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB dalam dakwaan kelima tersebut, yaitu Pasal 82A ayat (1) jo. 59 ayat (3) huruf c dan d Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2017 tentangbPenetapan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat menjadi Undang-Undang jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 10 huruf b KUHP jo. Pasal 35 ayat (1) KUHP, sama sekali tidak pernah tercantum baik dalam SPDP maupun dalam penetapan HABIB RIZIEQ SYIHAB sebagai tersangka.

Penambahan pasal yang tidak pernah tercantum baik dalam SPDP maupun dalam penetapan sebagai tersangka tersebut merupakan pelanggaran hak asasibmanusia terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB. Karena SPDP dalam kaitannya dengan asas hukum acara pidana merupakan bagian penting dari penguraian nilai dasar dalam hukum acara pidana. Terbitnya SPDP menjadi tanda akan komitmen Penyidik kepada tersangka atau terlapor untuk memberikan sikap yang sama kepada setiap orang yang berproses dengan hukum acara pidana.

Tersangka/terlapor begitu mengetahui dirinya masuk dalam proses penyidikan akan mempersiapkan pembelaan berikut bantuan hukum yang diperlukan.

Hukum acara pidana tidak hanya menekankan kepastian hukum dalam beracara, akan tetapi mengakar pada pemenuhan hak asasi manusia yang dimiliki bukan hanya oleh pelapor (korban) atau masyarakat akan tetapi terlapor. Nuansa pentingnya pemenuhan hak asasi manusia tampak dengan jelas mulai dari pertimbangan dibentuknya KUHAP, secara khusus angka pertama. Indonesia sebagai negara hukum tidak berarti menggunakan hukum untuk menindas hak asasi manusia melainkan sebaliknya.

Hak Asasi Manusia menjadi isu sentral yang diatur sejak amandemen UUD 1945. Pasal 28A-I UUD RI 1945 memuat berbagai macam bentuk hak asasi manusia yang diakui sebagai hak dasar manusia sekaligus hak konstitusional warga negara Indonesia. Terkait dengan SPDP yang diatur secara tegas dalam KUHAP maka otomatis harus disesuaikan dengan pemenuhan hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penerpan Pasal UNDANG-UNDANG Ormas dan Pasal 10 jo. Pasal 35 KUHP adalah tidak sah serta merupakan pelanggaran HAM yang nyata terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB, oleh karenanya dakwaan kelima a quo harus dibatalkan demi hukum.

Majelis Hakim yang mulia,

Penuntut Umum Yang terhormat,

Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,

Kemudian terhadap peristiwa yang dilakukan oleh individu-individu yang yang disebutkan dalam dakwaan seperti H.M. Bambang Teddi, Habib Bahar bin Ali bin Smith dll, tidak ada causalitas dengan kebijakan Organisasi FPI atau dengan Terdakwa dalam perkara a quo.

Penambahan pasal-pasal tersebut bukti untuk memperberat ancaman hukuman yang bisa digunakan hanya agar HABIB RIZIEQ SYIHAB bisa ditahan selama mungkin karena ada agenda politik yang menghendaki.

Sekali lagi kami buktikan bahwa penambahan pasal UU Ormas dengan pasal pidana tambahan KUHP dan pencantuman nama nama individu yang tidak ada kaitan dalam perkara ini, tidak pernah diperiksa dalam perkara ini adalah bentuk OPERASI INTELIJEN BERSKALA BESAR terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB, yang juga telah mengakibatkan DIBANTAINYA 6 orang pengawal HABIB RIZIEQ SYIHAB.

KEDZALIMAN APALAGI YANG ENGKAU DUSTAKAN WAHAI REZIM ZALIM DUNGU DAN PANDIR !!!