Eksepsi PH IB HRS: Perkara A Quo Adalah Nebis In Idem
Selasa, 23 Maret 2021
Faktakini.info, Jakarta - Tim Advokasi Habib Rizieq Shihab telah mengajukan Eksepsi (Nota Keberatan) atas surat dakwaan Saudara Penuntut umum Reg. Perkara No. PDM- 011/JKT.TIM/Eku/02/2021.
Dalam eksepsinya yang berjudul "MENGETUK PINTU LANGIT MENOLAK KEZALIMAN MENEGAKKAN KEADILAN", Tim Advokasi menyampaikan perkara A Quo adalah Nebis in Idem
Sebagai berikut.
C. PERKARA A QUO ADALAH NEBIS IN IDEM
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Terkait Nebis In Idem ini, kami menganggap perlu untuk mengulas secara doktrin hukum dan asas hukum. Karena hal ini penting bagi masa depan hukum di Indonesia agar tidak semakin hancur hancuran.
Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Terdakwa telah memenuhi kewajiban pembayaran denda yang ditetapkan oleh Pemprov DKI Jakarta. Dengan telah dibayarnya denda administratif sesuai dengan regulasi Pemprov DKI Jakarta, maka menurut asas “nebis in idem”, seharusnya tidak dapat dilakukan proses hukum.
Arti sebenarnya dari nebis in idem adalah, digunakan dengan istilah “nemo debet bis vexari” (tidak seorangpun atas perbuatannya dapat diganggu atau dibahayakan untuk kedua kalinya).
Dasar pikiran atau ratio dari asas ini yakni untuk menjaga martabat dan untuk jaminan kepastian bagi yang telah mendapat keputusan. Dengan demikian postulat “nemo debet bis vexari” menjadi dasar tidak dapatnya dilakukan proses hukum ketika seseorang telah membayar denda administrative sebagaimana ditentukan oleh pemerintah Pemprov DKI Jakarta. Denda administrative dimaksudkan sebagai pemenuhan atas hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian yang timbul dan adanya norma hukum peraturan perundang-undangan yang dilanggar.
Seseorang yang dengan kesadaran penuh telah membayar denda administrative, maka pada dirinya ada itikad baik dan oleh karenanya harus pula dilindungi kepentingan hukumnya agar tidak dikenakan sanksi hukuman yang lainnya.
Pengenaan denda oleh Pemprov bermakna adanya pelanggaran sebagai mala prohibita atau malum prohibitum, yang mengacu kepada perbuatan yang tergolong pelanggaran sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur.
Pengenaan denda dimaksud tentu bukan dimaksudkan sebagai mala in se atau mala per se yaitu suatu perbuatan yang dianggap sebagai sesuatu yang jahat bukan karena diatur atau dilarang hukum positif atau UU, melainkan pada dasarnya perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajaran, moral dan prinsip umum masyarakat yang beradab. Artinya tanpa sebuah UU yang menentukan perbuatan tersebut sebagai kejahatan atau delik, perbuatan tersebut merupakan kejahatan yang natural.
Jeremy Bentham menyatakan bahwa suatu tindakan yang tergolong mala in se, tidak dapat berubah (immutable), artinya dalam ruang manapun dan waktu tertentu kapanpun, tindakan tersebut tetap dianggap sebagai perbuatan jahat dan dilarang oleh hukum positif. Sedangkan suatu tindakan yang tergolong mala prohibita, dapat berubah, artinya dalam ruang dan waktu tertentu yang berbeda, tindakan tersebut dapat saja tidak lagi dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Oleh karena itu, pengenaan denda yang sudah dibayarkan sebagai bentuk pertanggungganjawaban perbuatan yang tergolong mala prohibita tidak dapat lagi dimintakan pertanggungjawaban mala in se.
Dalam Surat yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang menjadi landasan yuridis atau instrumen hukum atas sanksi denda administratif terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB dan FPI yaitu :
1. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 79 Tahun 2020 tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Sebagai Upaya Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Diseases 2019 (Covid-19);
2. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 80 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar pada Masa Transisi Menuju Masyarakat Sehat, Aman dan Produktif.
Kedua Paraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta yang dijadikan landasan yuridis atau instrumen hukum atas penjatuhan sanksi denda administratif terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB merupakan peraturan teknis pelaksana dari ketentuan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, sebagaimana tercantum pada konsideran MENGINGAT angka 5 dalam kedua Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta tersebut, yaitu sebagai berikut :
MENGINGAT :
1. …
2. …
3. …
4. …
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Corono Virus Diseases 2019 (Covid-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 170);
Kemudian pada konsideran MENGINGAT angka 4 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Corono Virus Diseases 2019 (Covid-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 170) disebutkan :
MENGINGAT :
1. …
2. …
3. …
4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6236);
Dengan mencermati runtutan konsideran MENGINGAT mulai dari Peraturan Gubernur Perovinsi DKI Jakarta No. 79 Tahun 2020 dan Peraturan Gubernur Perovinsi DKI Jakarta No. 80 Tahun 2020, hingga Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 yang berujung pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, maka sanksi denda administratif yang dijatuhkan terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB telah sesuai dengan ketentuan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, sehingga terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB tidak dapat lagi dilakukan proses hukum (NEBIS IN IDEM) sesuai dengan ketentuan Pasal 76 KUHP.