Eksepsi PH IB HRS: Persidangan Secara Elektronik Melanggar KUHAP

 

Senin, 22 Maret 2021

Faktakini.info, Jakarta - Tim Advokasi Habib Rizieq Shihab telah mengajukan Eksepsi (Nota Keberatan) atas surat dakwaan Saudara Penuntut umum Reg. Perkara No. PDM- 011/JKT.TIM/Eku/02/2021.

Dalam eksepsinya yang berjudul "MENGETUK PINTU LANGIT

MENOLAK KEZALIMAN MENEGAKKAN KEADILAN", Tim Advokasi menyampaikan bahwa persidangan secara elektronik melanggar KUHAP

Sebagai berikut. 

B. PERSIDANGAN SECARA ELEKTRONIK MELANGGAR KUHAP

Majelis Hakim yang mulia,

Penuntut Umum Yang terhormat,

Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,

Pemanggilan Terdakwa dalam persidangan memiliki keterkaitan dengan pentingnya kehadiran Terdakwa untuk proses pemeriksaan perkara. Sebelumnya, pemanggilan terdakwa secara sah untuk hadir di persidangan sesuai Pasal 145 KUHAP :

(1) Pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan dilakukan secara sah, apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir.

(2) Apabila terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya atau di tempat kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa yang berdaerah hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir.

(3) Dalam hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan disampaikan kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara.

(4) Penerimaan surat panggilan oleh terdakwa sendiri ataupun oleh orang lain atau melalui orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan.

(5) Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung pengadilan yang berwenang mengadili perkaranya.

Adapun pihak yang berwenang untuk melakukan pemanggilan adalah penuntut umum, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 146 ayat (1) KUHAP:

Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa yang memuat tanggal, hari, serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai.

Mengutip pendapat M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan & Penerapan KUHAP (hal. 111) "bahwa hukum tidak membenarkan proses peradilan in absentia dalam acara pemeriksaan biasa dan pemeriksaan acara singkat tanpa hadirnya terdakwa dalam persidangan, pemeriksaan perkara tidak dapat dilakukan".

Sebagaimana ketentuan Pasal 154 KUHAP telah mengatur bagaimana caranmenghadirkan terdakwa dalam persidangan. Tata cara tersebut memperlihatkan tanpa hadirnya terdakwa dalam persidangan, pemeriksaan perkara tidak dapat dilakukan. 

Tata cara tersebut dimulai dari:

 ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk ke dalam ruang persidangan.

 jika terdakwa pada sidang yang telah ditentukan tidak hadir, ketua sidang meneliti apakah terdakwa telah dipanggil secara sah.

Ketidakhadiran terdakwa bisa terjadi dengan 2 (dua) kemungkinan (lihat hal. 112 Yahya H). 

a. Terdakwa Dipanggil “Secara Tidak Sah”,

Jika ternyata terdakwa dipanggil secara tidak sah, ketua sidang menunda persidangan dan memerintahkan penuntut umum supaya memanggil terdakwa sekali lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya.

b. Terdakwa Sudah Dipanggil “Secara Sah”, dalam hal ini, terdakwa telah dipanggil secara sah, namun ia tidak datang menghadiri persidangan “tanpa alasan yang sah”.

Memperhatikan Pasal 154 KUHAP :

(1) Hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas.

(2) Jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak ditahan tidak hadir pada hari sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara sah.

(3) Jika terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang menunda persidangan dan memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya.

(4) Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi.

(5) Jika dalam suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan tidak semua terdakwa hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan.

(6) Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya.

(7) Panitera mencatat laporan dari penuntut umum tentang pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat dan ayat (6) dan menyampaikannya kepada hakim ketua sidang.

Berdasarkan Pasal 154 ayat (2), (4) & (6) KUHAP, apabila terdakwa tidak dapat di hadirkan ke persidangan, maka pemeriksaan perkara tidak dapat dilangsungkan.

Sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan persidangan di Pengadilan dikenal adanya asas “audi et alteram partem” secara harfiah dapat diartikan “dengarkan sisi lain”. Asas ini memberikan pedoman kepada Hakim untuk tidak boleh menerima keterangan hanya dari satu pihak saja, tanpa terlebih dahulu mendengar dan memberikan kesempatan pihak lain mengajukan tanggapannya.

Konsekuensi dari asas ini jika salah satu pihak memberikan dan mengajukan alat bukti di persidangan, maka pihak lain harus mengetahui dan hadir di persidangan (equality under the arm).

Bahwa hukum acara pidana mengenal asas presentasi yang menurut asas tersebut pada proses persidangan dan pembacaan putusan suatu perkara pidana harus dihadiri langsung oleh Terdakwa. Sehingga prinsip hadirnya terdakwa dalam perkara pidana ini didasarkan atas hak-hak asasi terdakwa sebagai manusia yang berhak membela diri dan mempertahankan hak-hak kebebasannya, harta bendanya ataupun kehormatannya.

Asas presentasi di atas dituangkan dalam Pasal 196 ayat (1) KUHAP) “Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini menentukan lain”.

Sehingga berdasarkan uraian diatas, pada prinsipnya proses peradilan perkara pidana harus dihadiri langsung oleh Terdakwa. Hal ini tentu tidak akan menjadi masalah bagi seorang Terdakwa yang sebelumnya telah dilakukan penahanan oleh karena Jaksa Penuntut Umum yang akan membawa Terdakwa dari tahanan dan menghadirkannya ke persidangan, tetapi dapat menjadi masalah terhadap Terdakwa yang tidak ditahan dan tidak diketahui keberadaannya atau Terdakwa yang telah ditahan tapi kemudian melarikan diri dan tidak ditemukan.

Memperhatikan SEMA No. 9 Tahun 1985 tentang Putusan yang Diucapkan di Luar Hadirnya Terdakwa “Mahkamah Agung berpendapat bahwa perkara-perkara yang diperiksa dengan Acara Pemeriksaan Cepat (baik perkara tindak pidana ringan maupun perkara pelanggaran lalu lintas jalan) dapat diputus di luar hadirnya terdakwa, dan Pasal 214 KUHAP berlaku bagi semua perkara yang diperiksa dengan Acara Pemeriksaan Cepat.”.

Secara khusus dalam beberapa jenis tindak pidana yang diatur di luar KUHP diperbolehkan pula persidangan dan penjatuhan putusan tanpa kehadiran terdakwa, misalnya:

Perkara Tindak Pidana Korupsi

Pasal 38 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang UU Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 yang menyatakan: “Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.”

Sidang secara elektronik (daring).

1. Kejagung melalui Surat Nomor B-049/A/SUJA/03/2020 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Tugas, Fungsi, dan Kewenangan di tengah Upaya Mencegah Penyebaran Covid-19, tertanggal 27 Maret 2020.

2. Kemenkumham, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung menerbitkan Surat No.379/DJU/PS.00/3/2020 perihal Persidangan Perkara Secara Teleconference.

3. Ketiga institusi penegak hukum menjalin kerjasama yang dituangkan dalam Perjanjian Kerjasama Nomor: 402/DJU/HM.01.1/4/2020, Nomor:KEP-17/E/Ejp/04/2020, Nomor: PAS-08.HH.05.05 Tahun 2020 tanggal 13 April 2020 Tentang Pelaksanaan Persidangan Melalui Teleconference.

Namun yang menjadi soal, adalah :

1. Apakah UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP telah mengatur tentang Hukum Acara persidangan secara daring?

2. Apakah landasan hukum Perjanjian Kerjasama ketiga instansi tersebut cukup berdasar hukum?

Majelis Hakim yang mulia,

Penuntut Umum Yang terhormat,

Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,

Proses persidangan perkara pidana yang diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia dilakukan melalui tatap muka hakim, jaksa, terdakwa, dan penasihat hukum di dalam ruang sidang pengadilan yang sama atau tidak di ruang yang terpisah.

Kehadiran secara fisik terdakwa dan saksi di ruang sidang pengadilan telah diatur dalam Pasal 185 ayat (1) dan Pasal 189 ayat (1) KUHAP.

Pasal 185 ayat (1) KUHAP menyebutkan, “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”.

Sedangkan Pasal 189 ayat (1) KUHAP menyebutkan, “Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri”.

Sehingga berdasarkan Pasal 185 ayat (1) dan Pasal 189 ayat (1) KUHAP, bahwa setiap keterangan saksi maupun terdakwa harus dinyatakan di depan persidangan.

Sehubungan dengan hal di atas bagaimana bila pemberian keterangan terdakwa secara daring, apakah sudah ada peraturan yang mengaturnya?

Memperhatikan Pasal 189 ayat (2) KUHAP “Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya”.

Berbagai kendala menjadi penyebab sidang dilakukan secara daring, seperti keterbatasan penguasaan teknologi oleh hakim, koordinasi antar pihak yang kurang baik, kemudian penasihat hukum tidak berada berdampingan dengan terdakwa, serta tak dapat memastikan saksi dan terdakwa dalam tekanan/dusta.

Hal tersebut dapat dilakukan pengecualian sebagaimana di atur pada Pasal 9 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan : “Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam Ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa”.

Tanggal 26 Juni 2020 persidangan secara daring mulai dilakukan di masapandemik Covid 19, dan berdasarkan data dari Pusat Data Statistik Kriminal dan Teknologi Informasi (Pusdaskrimti) Kejaksaan Agung sebanyak 95.683 persidangan, rinciannya 95.058 perkara pidana umum dan 625 perkara tindak pidana korupsi.

Melihat banyaknya proses persidangan yang dilakukan secara online tersebut membuat pihak Ombudsman memonitoring, hasilnya ditemukan adanya kendala teknis dalam penyelenggaraan persidangan daring di 16 pengadian negeri, yaitu:

Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Depok, Bogor, Cibinong, Bekasi, Tangerang, Serang, Medan, Batam, Jambi, Surabaya, Denpasar, Banjarmasin, Kupang, dan PN Manokwari.

Berbagai kendala menjadi penyebabnya, seperti keterbatasan penguasaan teknologi oleh hakim, koordinasi antar pihak yang kurang baik. 

Hal dan kendala lainnya adalah penasihat hukum tidak berada berdampingan dengan terdakwa, serta tak dapat memastikan saksi dan terdakwa dalam tekanan/dusta atau tidak.

Berdasarkan uraian di atas, adanya pandemi Covid-19 tidak dapat menjadikan alasan persidangan perkara pidana secara daring, karena masih ada perkara-perkara tindak pidana yang dilakukan secara off line (hadir di muka persidangan), seperti perkara yang menjerat : Irjen Napoleon Bonaparte, Brigjen Prasetijo, Utomo Djoko Tjandra dan Pinangki. Padahal justru dalam perkara pidana korupsi, UU TIPIKOR membolehkan persidangan tanpa kehadiran terdakwa. 

Namun lagi lagi keanehan terjadi di dunia hukum Indonesia, perkara yang dibolehkan terdakwa tidak hadir malah dihadirkan, perkara yang terdakwa wajib hadir malah tidak dihadirkan. 

Kezaliman mana lagi yang engkau dustakan ?

Majelis Hakim yang mulia,

Penuntut Umum Yang terhormat,

Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,

Landasan hukum (UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP) yang telah mengatur proses persidangan, tidak dengan serta merta dapat dirubah secara daring, dan tidak cukup hanya melalui perjanjian kerjasama, surat edaran institusi maupun Peraturan Mahkamah Agung sekalipun (vide UU No. 12 Tahun 2011 tentang Tata Urutan Per UU Pasal 7), karena kehadiran secara physik dimuka persidangan adalah menyangkut pemenuhan hak asasi saksi dan terdakwa.

Kemudian mengenai pelaksanaan persidangan perkara pidana secara daring, Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) telah mengadakan diskusi bersama Mahkamah Agung dan Office of Overseas Prosecutorial Development, Assistance, and Training (OPDAT) Amerika Serikat terkait pelaksanaan persidangan pidana selama masa pandemi Corona Virus Desease 2019 (Covid-19). Diskusi yang terselenggara dengan bantuan dan dukungan dari program CEGAH The Asia Foundation (TAF) ini dihadiri oleh Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung, Dr. Suhadi, S.H., M.H., Peter Halpern selaku perwakilan OPDAT, para anggota tim Kelompok Kerja (Pokja) Penyusunan Peraturan Mahkamah Agung terkait pelaksanaan persidangan pidana secara elektronik,bpara Hakim Agung, dan perwakilan pengadilan-pengadilan tingkat pertama dan banding

Merujuk pada diskusi sebagaimana yang disebutkan diatas, ada syarat syarat yang harus dipenuhi berdasar hokum untuk sidang elekronik bisa dilakukan :

1. Dasar hukumnya harus UU, di negeri dagelan ini, dasar hukumnya hanya berdasar peraturan MA yang sepihak, ingat peraturan MA itu bukan UU tapi per-UU-an. Sidang secara elektronik seharusnya baru boleh dilakukan setelah ada UU yg membolehkan, maka setelah UU tersebut di revisi barulah UU tersebut memberikan batasan dan syarat, inilah harusnya praktek dalam Negara hukum yang berkeadilan, bukan semau maunya penyelenggara Negara untuk membuat aturan ;

2. Situasi darurat yg ditetapkan masyarakat, bukan oleh penguasa;

3. Penetapan Pengadilan, atas dasar UU yang sudah direvisi yang membolehkan persidangan secara elektronik.

4. PERSETJUAN TERDAKWA yang merupakan syarat terpenting.

Sekarang mari kita ukur praktek persidangan a quo, apakah sesuai dengan prinsip Negara hukum yang berkeadilan ? atau seluruh praktek penyelenggaran hukum sudah menjadi berdasarkan kewenangan semata yang hal ini berarti merupakan Negara kekuasaan.

Kita semua sudah pasti tahu jawaban hal ini.

Oleh karenanya, agar kezaliman ini tidak terus berlanjut dan kita semua akan menerima akibatnya baik di dunia maupun akhirat, maka mari kita hentikan berbagai bentuk kezaliman, kedunguan dan kepandiran yang akan dihisab di yaumil akhir.