Eksepsi Tim Advokasi Atas Dakwaan JPU Terhadap Terdakwa Habib Rizieq Shihab
Jum'at, 19 Maret 2021
Faktakini.info
Eksepsi Atas Dakwaan JPU Terhadap Terdakwa Habib Rizieq Shihab
Tim Advokasi Habib Rizieq Shihab
Kepada Yang Mulia,
Majelis Hakim dalam No. Reg. Perkara 221/Pid.B/2021/PN.Jkt.Tim
Pada Pengadilan Negeri Jakarta Timur
Jl. Dr. Sumarno No.1, Cakung, Kota Jakarta Timur,
Daerah Khusus Ibukota Jakarta 13210.
Dengan hormat,
Perkenankan kami Para Advokat dan Asisten Advokat dari TIM ADVOKASI HABIB
RIZIEQ SYIHAB, yang beralamat di Komplek Perkantoran Yayasan Daarul Aitam, Jl. KH. Mas Mansyur, No. 47 C & D, Jakarta Pusat, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama HABIB RIZIEQ SYIHAB, dengan ini mengajukan Eksepsi (Nota Keberatan) atas surat dakwaan Saudara Penuntut umum Reg. Perkara No. PDM- 011/JKT.TIM/Eku/02/2021 sebagai berikut :
PENDAHULUAN
BAB I
PENDAHULUAN
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Pertama-tama, izinkanlah kami selaku hamba Allah Subhanahu wa Ta‟ala untuk mengucap puji syukur kehadirat Illahi Rabbi, Sang Penggenggam Langit dan Bumi, atas segala limpahan sinar keridho‟an-NYA, yang menggenggam dan memiliki nyawa kita, sehingga dan oleh karenanya baik klien kami maupun kami selaku Penasehat hukumnya masih mendapatkan kesehatan dan kekuatan serta kemampuan untuk hadir di tempat ini.
Kami juga menghaturkan terima kasih kepada Majelis Hakim yang mulia, atas kesempatan yang diberikan kepada kami untuk mengajukan sekaligus membacakan EKSEPSI atau NOTA KEBERATAN ini, sebagai tanggapan terhadap surat dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum yang telah dibacakan.
Dengan diawali kalimat basmallah pada halaman judul dan berharap ridho hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta”ala, maka Eksepsi atau Nota Keberatan ini kami beri judul “MENGETUK PINTU LAGIT, MENOLAK KEZALIMAN – TEGAKKAN KEADILAN”
Mengapa demikian ?, karena jelas dan terang benderang, konstruksi perkara a quo adalah rangkaian atau bagian dari perbuatan rezim yang zalim, dungu dan pandir, yang telah menyalahgunakan sumber daya Negara, menyalahgunakan institusi Negara, menyalahgunakan hukum, hanya untuk kepentingan segelintir elit, hanya untuk mempertahankan struktur ekonomi, sosial dan politik yang timpang, yang tidak adil, yang bersifat predator terhadap rakyat sendiri, yang hanya berpihak kepada sekelompok manusia rakus dan hubuddunya.
Dalam kesempatan ini, kami hanya ingin mengingatkan semua yang ada dalam ruangan ini, bahwa kami hanya berharap pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta‟ala, kami mengetuk pintu langit, karena kami yakin, hanya Allah yang menepati janjiNya, sedangkan berharap pada mahluk hanya akan berujung pada kekecewaan, apalagi berharap pertolongan dari kelompok orang orang zalim dungu dan pandir.
Kami mengingatkan kepada semua yang ada di dalam ruangan ini, maupun umat Islam Indonesia, bahwa apabila kezaliman dan kemungkaran sudah merajalela, keadilan diabaikan, maka tinggal tunggu kehancuran sebuah bangsa.
Bencilah terhadap kemungkaran seperti kezaliman atau ketidakadilan.
Rasulullah membolehkan umat Islam untuk mengingkari kebijakan penguasa negeri (umara) yang menurut pendapat para fuqaha (ahli fiqih) bertentangan dengan Al Qur‟an dan Hadits.
Dari Ummu Salamah radliallahu „anha berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam, “akan terjadi sesudahku para penguasa yang kalian mengenalinya dan kalian mengingkarinya. Barangsiapa yang mengingkarinya maka sungguh ia telah berlepas diri. Akan tetapi siapa saja yang ridha dan terus mengikutinya (dialah yang berdosa).” Maka para sahabat berkata : “Apakah tidak kita perangi saja mereka dengan pedang?” Beliau menjawab : “Jangan, selama mereka menegakkan shalat bersama kalian.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya).
Al Imam Al Hafizh An Nawawi mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak berdosa semata-mata karena dia tinggal diam, akan tetapi yang berdosa adalah apabila dia meridhai kemungkaran itu atau tidak membencinya dengan hatinya, atau dia justru mengikuti kemungkarannya.” (Syarh Muslim
[6/485])
Oleh karenanya sebaiknya kita membenci atau minimal sedih dan prihatin terhadap kemungkaran seperti kezaliman atau ketidakadilan penguasa negeri (umaro).
Bukankah penguasa negeri ini juga pernah mengajak untuk membenci produk asing?. Sayang sekali saudara sekalian, kebencian itu diarahkan hanya kepada produk asing. Kita berdo‟a agar kebencian itu tidak diarahkan kepada pihak yang mengkritisi dan mengingatkan berbagai ketidakadilan. Sebab bila kebencian tersebut bukan diarahkan kepada kemungkaran daan kezaliman serta ketidakadilan, maka justru orang yang mengingatkan untuk berlaku adil, menghentikan kezaliman dan menghentikan kemungkaran yang justru akan dihukumi dan dihakimi, sebagaimana perkara a quo.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa melihat kemungkaran, maka hendaknya ia merubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka hendaknya merubah dengan lisannya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim).
Selain itu negeri kita akan diazab Allah jika membiarkan kemungkaran seperti kezaliman atau ketidakadilan.
Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mengazab manusia secara umum karena perbuatan khusus (yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang) hingga mereka melihat kemungkaran di tengah-tengah mereka, mereka mampu mengingkarinya, namun mereka tidak mengingkarinya. Jika itu yang mereka lakukan, Allah mengazab yang umum maupun yang khusus. (HR Ahmad).
Jadi membiarkan kemungkaran seperti kezaliman atau ketidakadilan akan mengakibatkan kerusakan atau azab. Kerusakan atau azab yang terjadi tidak hanya menimpa pelakunya, namun juga orang lain yang tidak terlibat langsung.
Realitas ini digambarkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan sabdanya:
Perumpamaan orang-orang yang menegakkan hukum-hukum Allah dan orang-orang yang melanggarnya bagaikan suatu kaum yang berbagi-bagi tempat di sebuah kapal, sebagian dari mereka ada yang mendapatkan bagian atas kapal, dan sebagian lainnya mendapatkan bagian bawahnya. Orang-orang yang berada di bagian bawah kapal, jika hendak mengambil air, melewati orang-orang yang berada di atas mereka. Mereka berkata, “Seandainya kita melubangi bagian kita dari kapal ini, niscaya kita tidak akan mengganggu orang-orang yang berada di atas kita.” Apabila mereka semua membiarkan orang-orang tersebut melaksanakan keinginannya, niscaya mereka semua akan binasa; jika mereka mencegah orang-orang tersebut, niscaya mereka selamat dan menyelamatkan semuanya. (HR al-Bukhari).
A. LARANGAN DAN ANCAMAN ALLAH TERHADAP PENGUASA DZALIM, DUNGU DAN PANDIR, SERTA KEPADA PARA PENGIKUTNYA
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Dalam banyak firman Allah Azza wa Jalla dan hadits Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam telah mengingatkan kita semua agar selalu menegakkan keadilan, dan tidak menjadi pengikut kedzaliman.
Demikian juga dengan persidangan a quo, hendaknya dijadikan sarana pengadilan untuk mencapai keadilan, bukan malah dijadikan sebagai sarana penghakiman dan penghukuman.
Kami sampaikan nasehat ini kepada penguasa dan para pengikutnya agar tidak berbuat zalim dan kemungkaran. Orang yang mengikuti pemimpin zalim, dungu dan pandir akan menderita di akhirat, apalagi yang membantu kezaliman.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
Ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti:
“Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.” Demikianlah Allâh memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka. (Q.S Al-Baqarah:166-167)
Dan janganlah kamu mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang dzalim. Sesungguhnya Allah menangguhkan mereka hingga hari yang ketika itu mata mereka terbelalak. (Q.S Ibrahim: 42)
Dan Kami telah membinasakan penduduk negeri itu tatkala mereka berbuat dzalim, dan Kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka. – (Q.S Al-Kahfi: 59)
Rasulullah shallahu „alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang diangkat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, kemudian ia tidak mencurahkan kesetiaannya, maka Allah haramkan baginya surga.” (HR.Bukhari dan Muslim)
Dalam lafadh yang lain disebutkan, ”Ialu ia mati dimana ketika matinya itu dalam keadaan menipu rakyatnya, maka Allah haramkan surga baginya.”
Tentunya masih banyak riwayat lain yang menyebutkan tentang ancaman Allah ta‟ala terhadap para pemimpin yang menzalimi rakyatnya.
Bentuk ancamannya pun tidak ada yang ringan, hampir seluruhnya mengingatkan akan besarnya dosa seorang pemimpin ketika dia berbuat zalim kepada rakyatnya. Apalagi ketika ia rela berbohong di hadapan rakyat demi mempertahankan jabatannya.
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Keberadaan klien kami sebagai terdakwa dalam perkara a quo dan terjadinya persidangan ini, hakekatnya adalah akibat dari nasehat yang dilakukan klien kami terhadap ketidakadilan dan kezaliman yang merajalela. Klien kami hanya menjalankan amalan yang diperintahkan oleh Datuknya, yaitu Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam yang telah bersabda:
“Agama itu adalah nasihat.” Kami berkata, “Untuk siapa?” Beliau bersabda,
“Untuk Allah, kitab-NYA, Rasul-NYA, Imam kaum muslimin, dan orang-orang kebanyakan.” (HR. Muslim)
Memang, nasihat secara diam-diam merupakan pilihan awal dalam melawan kemungkaran. Namun ia bukanlah satu-satunya cara untuk meluruskan kesalahan penguasa. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam bersabda:
“Jihad yang paling utama adalah mengutarakan perkataan yang adil di depan penguasa atau pemimpin yang zhalim.” (HR. Abu Daud, Tirmi)
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam telah mengingatkan kita semua, bahwa salah satu fenomena akhir zaman adalah bermunculannya para pemimpin yang zalim, dungu dan pandir.
Akan tiba pada manusia tahun-tahun penuh kebohongan. Saat itu, orang bohong dianggap jujur. Orang jujur dianggap bohong. Pengkhianat dianggap amanah. Orang amanah dianggap pengkhianat. Ketika itu, orang “Ruwaibidhah” berbicara.
Ada yang bertanya, “Siapa Ruwaibidhah itu?” Nabi menjawab, “Orang bodoh yang mengurusi urusan orang umum.” (HR. Hakim)
Dari Jabir bin Abdillah RA bahawa Rasulullah SAW berkata kepada Ka‟ab bin Ajzah:
“Aku memohon perlindungan untukmu kepada Allah dari kepemimpinan orang-orang bodoh.” (HR. Ahmad).
Para pemimpin yang zalim dungu dan pandir inilah yang menguasai umat akhir zaman ini. Untuk itulah klien kami selalu berusaha dan terus menerus berupaya mengingatkan umat agar selalu menjauhi pemimpin zalim dungu dan pandir.
Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam mengingatkan umatnya untuk menjauhi pemimpin tersebut serta jangan sampai mendekatinya, apalagi membenarkan tindakan zalim yang mereka lakukan. Sebab, ketika seseorang tetap mendekati pemimpin zalim tersebut dan membenarkan apa yang dilakukannya maka ia akan terancam keluar dari lingkaran golongan umat Nabi SAW dan ia tidak akan mendatangi telaganya nanti di hari kiamat.
Dari Ka‟ab bin Ujroh radhiyallahu„anhu ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu„alaihi wasallam keluar mendekati kami, lalu bersabda:
“Akan ada setelahku nanti para pemimpin yang berdusta. Barangsiapa masuk pada mereka lalu membenarkan (menyetujui) kebohongan mereka dan mendukung kedhaliman mereka maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongannya, dan dia tidak bisa mendatangi telagaku (di hari kiamat). Dan barangsiapa yang tidak masuk pada mereka (penguasa dusta) itu, dan tidak membenarkan kebohongan mereka, dan (juga) tidak mendukung kedhalimannmereka, maka dia adalah bagian dari golonganku, dan aku dari golongannya, dan ia akan mendatangi telagaku (di hari kiamat).” (HR. Ahmad dan An-Nasa‟i)
Demikian juga, kita telah diberi peringatan dari Rasulullah SAW tentang penerapan hukum yang dilakukan pada masa masa rezim zalim dungu dan pandir tersebut.
Dari Ubadah bin Shamit RA berkata bahawa Rasulullah SAW bersabda:
“Kalian akan dipimpin oleh para pemimpin yang memerintah kalian dengan hukum yang tidak kalian ketahui (imani). Sebaliknya, mereka melakukan apa yang kalian ingkari. Sehingga terhadap mereka ini tidak ada kewajiban bagi kalian untuk mentaatinya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah).
Kondisi hubungan antara rezim zalim dungu dan pandir dengan rakyatnya padanmasa akhir zaman telah digambarkan oleh Rasulullah SAW.
Dari Abu Hisyam as-Silmi RA berkata bahawa Rasulullah SAW bersabda:
“Kalian akan dipimpin oleh para pemimpin yang mengancam kehidupan kalian. Mereka berbicara (berjanji) kepada kalian, kemudian mereka mengingkari (janjinya). Mereka melakukan pekerjaan, lalu pekerjaan mereka itu sangat buruk. Mereka tidak suka dengan kalian hingga kalian menilai baik (memuji mereka)ndengan keburukan mereka, dan kalian membenarkan kebohongan mereka, serta kalian memberi kepada mereka hak yang mereka senangi.” (HR. Thabrani).
Bukankah kondisi diatas seperti yang digambarkan oleh Rasulullah SAW telah terjadi pada masa kini ? lihatlah betapa banyaknya manusia manusia yang memuji muji bahkan menjadi bagian dari berbagai keburukan yang dilakukan oleh rezim zalim dungu dan pandir.
Kita saat ini telah pula sampai pada masa yang dikabarkan oleh Rasulullah SAW.
Dari Abu Hurairah RA yang berkata bahawa Rasulullah SAW bersabda:
“Akan datang di akhir zaman nanti para penguasa yang memerintah dengan sewenang-wenang, para pembantunya (menteri-menterinya) fasik, para hakimnya menjadi pengkhianat hukum, dan para ahli hukum Islam (fuqaha‟nya) menjadi pendusta. Sehingga, siapa saja di antara kalian yang mendapati zaman itu, maka sungguh kalian jangan menjadi pemungut cukai (kerana khawatir akan bersubahat dengan mereka).” (HR. Thabrani).
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya seburuk buruknya para penguasa adalah penguasa al-huthamah (diktator).” (HR. Al-Bazzar).
Dari Abu Layla al-Asy‟ari bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Dan akan datang para pemimpin, jika mereka diminta untuk mengasihani (rakyat), mereka tidak mengasihani; jika mereka diminta untuk menunaikan hak (rakyat), mereka tidak menunaikannya; dan jika mereka disuruh berlaku adil mereka menolak keadilan . Mereka akan membuat hidup kalian dalam ketakutan; dan memecah-belah tokoh-tokoh kalian. Sehingga mereka tidak membebani kalian dengan suatu beban, kecuali mereka membebani kalian dengan paksa, baik kalian suka atau tidak. Serendah-rendahnya hak kalian, adalah kalian tidak mengambil pemberian mereka, dan tidak kalian menghadiri pertemuan mereka.” (HR. Thabrani).
Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda :
“Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Jika umurmu panjang, maka kamu akan mendapati suatu kaum yang di tangan mereka alat seperti ekor sapi, mereka di pagi hari berangkat dengan murka dari Allah dan pulang di mala hari membawa kemarahan dari Allah.” (HR Muslim)
Kemudian Nabi -Shallallahu Alaihi Wasallam telah pula kabar berita kepada kita semua yang berisi ancaman kepada polisi di akhir zaman. Di antaranya hadits-hadits tersebut adalah :
“Akan ada di akhir zaman nanti para polisi yang berangkat di pagi hari membawa murka Allah dan pulang di sore hari membawa kemarahan dari Allah.” (HR Thobroni)
Firman Allah Azza wa Jalla dan hadits Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam sebagaimana yang kami sampaikan di atas, kiranya dapat menjadi pengingat bahwa Allah SWT sangat murka dengan penguasa dan para pengikutnya yang berbuat dzalim kepada rakyatnya.
Bila senjata dipegang oleh orang jahat,
Bila hukum dipegang oleh orang shubhat,
Dan bila kekuasaan dipegang oleh pengkhiatan,
Maka bangsa ini akan menjadi terlaknat.
B. PERKARA A QUO ADALAH PERKARA POLITIK DAN BAGIAN DARI OPERASI INTELIJEN BERSKALA BESAR (OIBB) OLEH REZIM DZALIM, DUNGU DAN PANDIR
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Jika kita cermati secara keseluruhan dari 5 dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum, baik dakwaan pertama, dakwaan kedua, dakwaan ketiga, dakwaan keempat dan dakwaan kelima, uraian mengenai cara melakukan perbuatan yang didakwaan merupakan pengulangan dan semata-mata meng“copy paste” dari dakwaan pertama.
Padahal dari 5 dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam surat dakwaan, kualitas dari masing-masing tindak pidana dan unsur-unsur dari tindak pidana yang didakwakan memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya.
Hal ini menunjukan bahwa Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan dakwaan terhadap perkara ini sama sekali TIDAK YAKIN atau mungkin bingung, apa sesungguhnya perbuatan yang telah dilakukan dalam perkara ini sehingga dakwaan yang dibuat bukan atas dasar hasil investigasi namun lebih banyak didasarkan atas imajinasi, spekulasi, dan duplikasi, serta kental akan muatan politik dan rekasaya semata.
Proses hukum alias due process of law dalam perkara a quo telah disaksikan oleh seluruh rakyat Indonesia sebagai sebuah proses hukum yang dipaksakan yang menabrak seluruh sendi sendi Negara Hukum Yang Berkeadilan.
Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 amandemen ketiga menyatakan Indonesia adalah Negara Hukum. Secara teori, konsekwensi dari pernyataan negara hukum adalah, konsep the rule of law harus dipatuhi dalam praktek pelaksanaan law enforcement.
Dalam konsep negara hukum, hubungan antara tiga cabang kekuasaan adalah saling mengontrol, oleh karena tugas kekuasaan yudikatif bukan hanya menjalankan due process of law, namun juga memastikan keadilan dan mengoreksi due process of law yang menyimpang yang dilakukan oleh kekuasaan eksekutif.
Bila kita kongkritkan dalam perkara a quo, maka banyak sekali pelanggaran terhadap due process of law dan ketidakadilan dalam perkara a quo. Maka sudah sepatutnya majelis hakim dalam perkara a quo membatalkan perkara ini atau setidaknya membatalkan penerapan pasal-pasal akrobatik, aneh dan diluar nalar hukum dalam perkara ini.
Oleh karena itu sekali lagi kami harapkan agar persidangan perkara a quo, benar benar menjadi proses pengadilan BUKAN sekedar proses penghakiman dan penghukuman. HABIB RIZIEQ SYIHAB yang merupakan seorang tokoh
Agama dan tokoh Nasional TIDAK DIBENARKAN menjadi target dari kepentingan-kepentingan NON YURIDIS DAN KEPENTINGAN POLITIK DARI REZIM DZALIM, DUNGU DAN PANDIR YANG DENGAN KEKUASAANNYA MELAKUKAN PENJINAKAN DENGAN INSTRUMEN HUKUM. Kami berharap bahwa putusan dari proses hukum persidangan ini, betul-betul didasarkan atas fakta-fakta kebenaran materiil yang terungkap dipersidangan ini demi menegakkan proses hukum yang adil.
Majelis Hakim yang mulia,
Penggunaan Pasal 160 KUHP, dalam sejarahnya sejak era kolonial Belanda sering digunakan untuk menjerat tokoh-tokoh pergerakan yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, dan setelah pemerintahan kemerdekaan Indonesia, pasal a quo sering digunakan oleh pemerintah untuk menjerat setiap orang yang memiliki pikiran kritis kepada pemerintah. Sehingga pengenaan Pasal 160 KUHP terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB merupakan dejavu era kolonial Belanda dan membuktikan bahwa HABIB RIZIEQ SYIHAB adalah terget politik yang harus dilakukan penahanan dan penghukuman, yang merupakan bentuk kedzaliman, kedunguan dan kepandiran yang nyata.
Sekedar untuk mengingatkan kembali kisah Soekarno dalam lakon "Indonesia Menggugat" yang kini dialami kembali oleh anak bangsa yang bernama HABIB RIZIEQ SYIHAB dkk melalui Gerakan 212 Menggugat "Ketidakadilan yang terjadi di NKRI"
Lintasan sejarah tersebut terjadi pada 22 Desember 1930 sekitar pukul 09.00 WIB, menjadi salah satu momentum bersejarah bagi perjuangan rakyat Indonesia untuk memerdekakan diri dari penjajahan Belanda. Sukarno atau Bung Karno divonis empat tahun penjara oleh Pengadilan Lanraad Bandung.
Bung Karno bersama kawan-kawannya Raden Gatot Mangkoepradja, Maskoen Soemadiredja, dan Supriadinata dinilai hakim terbukti bersalah melakukan pelanggaran dalam Pasal 169 Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta menyalahi Pasal 161, 171, dan Pasal tersebut kerap kali digunakan Pemerintah Belanda untuk menjebloskan para pejuang kemerdekaan Indonesia ke penjara melalui proses hukum.
Sukarno dan kawan-kawannya dituduh membuat perkumpulan dan pergerakan yang membahayakan pemerintahan Belanda di Tanah Air. Belanda juga menyeret Bung Karno ke penjara lantaran pemikirannya dianggap membahayakan bagi kekuasaan mereka di Indonesia.
Saat masih kuliah, Sukarno muda aktif dalam dunia politik menentang pemerintah kolonial Belanda. Ia bersama kawan-kawannya kerap mengadakanbdiskusi di rumah kos milik pasangan Haji Sanusi dan Inggit Garnasih. Inggit kelak dipersunting Sukarno menjadi istrinya.
Selepas lulus dan dinobatkan menjadi insinyur Teknik Sipil ITB, Bung Karno menyatakan siap untuk membentuk partai. Partai yang didirikan Bung Karno ini aktif mendidik rakyat dengan memberikan kuliah-kuliah politik untuk membangkitkan kesadaran tentang bahaya kolonialisme dan pentingnya kemerdekaan. Kegiatan ini tentu saja menjadi ancaman bagi pemerintah Belanda. Sejak saat itu, Bung Karno dan kawan-kawannya mulai diawasi ketat oleh Belanda.
Buntutnya, pada Desember 1929, saat dia dan koleganya mengadakan serangkaian rapat umum di Solo dan Yogyakarta, pemerintah Belanda menggelar operasi besar-besaran dengan menangkap para aktivis yang dituduh hendak melakukan makar. Untuk membuat jera, Belanda membuang para aktivis ini ke Boven Digul, kamp neraka di jantung Papua.
Berdasarkan penuturan Her Suganda dalam bukunya Jejak Soekarno di Bandung (2015), Bung Karno dijemput paksa pemerintah Belanda saat tengah melakukan kampanye PNI di Yogyakarta. Para petugas penjemputan paksa menculik Bung Karno dan kedua rekannya. Seorang inspektur dengan 50 pasukan sempat mengatakan 'Atas nama Sri Ratu, saya menahan tuan'. Kemudian tentara Belanda dengan 50 pasukan itu menyeret Bung Karno dan dua kolegaya untuk naik kereta di pagi buta dengan gerbong tertutup tanpa celah. Penculikan Bung Karno di pagi itu membawanya hingga Stasiun Cicalengka. Dengan menggunakan mobil, Bung Karno, Gatot, dan Maskoen dibawa berkendara hingga tiba di penjara Banceuy.
Penjara tersebut dibangun pemerintah kolonial Belanda pada 1887 di daerah yang dulunya bernama Kampung Banceuy. Penjara Banceuy dikenal sebagai penjara yang seram lantaran digunakan untuk menahan para pelaku kriminal seperti rampok, begal, atau maling. Ketika sampai, mereka disambut sang direktur penjara yang telah menempatkan satu regu tentara KNIL atau Tentara Hindia Belanda bersenjata lengkap dipimpin oleh seorang sersan. Saat itu, penjara Banceuy telah dipenuhi para penggerak dan pengikut PNI yang turut ditangkap dalam razia besar-besaran.
Sebelum akhirnya divonis penjara 4 tahun, Bung Karno sempat membacakan nota pembelaan dengan judul Indonesia Klaagt Aan atau "Indonesia Menggugat".
Indonesia Menggugat ditulis Bung Karno selama satu setengah bulan di dalam penjara. Isi pidato Indonesia Menggugat adalah tentang keadaan politik internasional dan kerusakan masyarakat Indonesia di bawah penjajah Belanda.
Pidato pembelaan ini kemudian menjadi suatu dokumen politik menentang kolonialisme dan imperialisme.
Proses persidangan terhadap Bung Karno sendiri berjalan selama 19 kali. Perkara tersebut sempat naik banding ke Rand Van Justitie. Namun Pengadilan Tinggi ini tetap berpegang teguh dengan hukuman 4 tahun pidana penjara terhadap Bung Karno.
Kisah diatas kini kembali terjadi pada anak bangsa yang bernama HABIB RIZIEQ SYIHAB yang bersama barisannya di Gerakan 212 menggugat ketidak adilan yang terjadi di negeri ini.
Gerakan 212 ini sangat besar dan fenomenal dan menjadi sorotan dunia International dan Nasional. Banyak kalangan dari berbagai lapisan mendukung gerakan ini dan mendorong agar terjadi perubahan besar di NKRI agar negeri ini kembali ke jati dirinya ketika Indonesia ini di merdekakan yaitu ingin menjadi negara yang berdaulat yang berdiri diatas kaki sendiri dan menjadi bangsa besar diantara bangsa bangsa lain dengan meletakkan dasar negara Pancasila sebagai dasar negaranya dan sekaligus sebagai visi besarnya untuk membangun Indonesia merdeka yang maju, makmur, manusiawi di bawah dasar negara pancasila bukan dasar negara kapitalis apalagi komunis.
Tapi apa yang terjadi di era kekinian ? HABIB RIZIEQ SYIHAB dan gerakannya dituduh macam macam dengan stigma anti Pancasila, anti Bhinneka tunggal Ika, anti NKRI dan lain sebagainya.
HABIB RIZIEQ SYIHAB dikriminalisasi dan gerakannya coba dipadamkan dengan berbagai cara agar para antek Aseng dan Asing tetap nyaman menjajah dan menjarah harta kekayaan NKRI. Oleh karena itu bagi pribumi Indonesia yang sadar akan hal ini, Gerakan 212 telah membangkitkan semangat pribumi untuk memerdekakan kembali negeri ini untuk yang kedua kalinya setelah melihat aset aset strategis NKRI telah jatuh kembali ketangan para VOC Baru yang direpresentasikan oleh kaum Oligart dan rezim Zalim dungu dan pandir di NKRI !!
Karena gerakan HABIB RIZIEQ SYIHAB dan kawan-kawan inilah, maka para penjajah melalui kekuatan modalnya dengan memperalat para pengkhianat negeri berhasil mendudukkan HABIB RIZIEQ SYIHAB dan kawan-kawan sebagai terdakwa pada persidangan ini.
IRONI BUKAN..?
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Kalau kita tidak menggunakan hati nurani dan petunjuk dari syariat serta akal yang sehat dan waras, maka struktur dan substansi perkara ini tidak akan bisa dilihat dengan benar, yang akan terjadi adalah proses penghakiman dan penghukuman bukan sebuah proses peradilan. Publik harus tahu beda proses penghakiman dan penghukuman versus proses pengadilan dalam perkara ini.
HABIB RIZIEQ SYIHAB dan kawan-kawan justru berupaya dengan segala kemampuannya yang diberikan oleh Allah SWT, hanya berikhtiar untuk mengkalibrasi ulang tatanan yang tidak adil, agar menjadi adil bagi semua rakyat Indonesia, HABIB RIZIEQ SYIHAB dan kawan-kawan justru berupaya mengkalibrasi ulang berbagai timbangan kezaliman dimana struktur ekonomi, politik dan hukum, yang dalam prakteknya hanya berfungsi melayani sekelompok orang tertentu pada satu sisi namun bertindak bengis dan keji terhadap rakyat pada umumnya.
Bila dilihat dariapa yang diperjuangkan oleh HABIB RIZIEQ SYIHAB dan kawan kawan, sebagaimana yang dialami oleh Proklamator Ir. Soekarno seperti riwayat yang kami kutipkan diatas, jelas bahwa kriminalisasi HABIB RIZIEQ SYIHAB dalam perkara a quo tidak lepas dan merupakan bagian dari Operasi Intelijen Berskala Besar (OIBB) oleh rezim Zalim dungu dan pandir.
Operasi Intelijen Berskala Besar ini terdiri dari :
1. Operasi black propaganda terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB dan FPI;
2. Operasi Kontra narasi terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB dan FPI;
3. Operasi pencegahan kepulangan HABIB RIZIEQ SYIHAB dari Saudi walau gagal mencegah HABIB RIZIEQ SYIHAB pulang tapi berhasil menghambat dan menggangu kepulangan sehingga membutuhkan waktu 3,5 tahun baru HABIB RIZIEQ SYIHAB bisa pulang;
4. Operasi penggalangan tokoh masyarakat dan tokoh agama diberbagai propinsi untuk menolak keberadaan HABIB RIZIEQ SYIHAB dan FPI;
5. Operasi konyol penurunan baliho di berbagai tempat oleh aparat yg bukan tupoksinya;
6. Operasi konyol mengerahkan komando operasi khusus hanya sekedar utk membunyikan sirine di petamburan;
7. Operasi pembantaian pengawal HABIB RIZIEQ SYIHAB; dan
8. Operasi survailance dan penjejekan terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB sehari 24 jam, seminggu 7 hari, sebulan 30 hari, setahun 365 hari.
Sehingga selain perkara a quo adalah politik juga merupakan bentuk dan bagian serta lanjutan dari operasi intelijen berskala besar tersebut. Bukti paling nyata bahwa persidangan ini adalah lanjutan dari Operasi Intelijen Berskala Besar adalah PERSIDANGAN TIDAK DILAKUKAN SESUAI DENGAN KITAB UNDANG UNDANG HUKUM ACARA PIDANA. Yaitu, Persidangan tidak dilakukan pada locus delicti peristiwa yang didakwakan, pasal pasal yang di dakwakan mengarah kepada pasal pasal dengan ancaman yang bermotif politik seperti penerapan pasal 10 dan 35 KUHP serta pasal pasal selundupan lainnya, persidangan dilakukan melalui sidang elektronik, padahal TIDAK ADA SATUPUN UU yang membolehkan.
Oleh karenanya kami meminta kepada Majelis Hakim Yang Terhormat untuk membatalkan seluruh proses yang TIDAK SESUAI DENGAN KUHAP ini.
Sebagaimana telah kami sampaikan diatas bencilah dan cegahlah kemungkaran dengan tanganmu.
C. KRIMINALISASI ATAS PERISTIWA MAULID DAN PERNIKAHAN PUTRI HABIB RIZIEQ SYIHAB DI PETAMBURAN ADALAH NEBIS IN IDEM
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Perlu kami sampaikan bahwa, HABIB RIZIEQ SYIHAB dan Front Pembela Islam (FPI) telah membayar sanksi denda administratif sebesar Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) di kantor Sekretariat LPI, Petamburan, Jakarta Pusat pada hari Minggu, 15 Nopember 2020.
Denda administratif tersebut dikenakan karena FPI dan HABIB RIZIEQ SYIHAB dianggap telah melakukan pelanggaran protokol kesehatan pencegahan Covid-19 sehingga menimbulkan kerumunan.
Adapun kegiatan yang dianggap melanggar protokol kesehatan seperti tertulis dalam Surat Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi DKI Jakarta Nomor: 2250/-1.75, tanggal 15 Nopember 2020, perihal Pemberian Sanksi Denda Administratif adalah pada penyelenggaraan pernikahan putri HABIB RIZIEQ SYIHAB dan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW hari Sabtu, tanggal 14 Nopember 2020.
Dalam Surat yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tersebut disebutkan bahwa yang menjadi landasan yuridis atau instrumen hukum atas sanksi denda administratif terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB dan FPI yaitu :
1. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 79 Tahun 2020 tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Sebagai Upaya Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Diseases 2019 (Covid-19);
2. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 80 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar pada Masa Transisi Menuju Masyarakat Sehat, Aman dan Produktif.
Kedua Paraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta yang dijadikan landasan yuridis atau instrumen hukum atas penjatuhan sanksi denda administratif terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB merupakan peraturan teknis pelaksana dari Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020, sebagaimana tercantum pada konsideran MENGINGAT angka 5 dalam kedua Peraturan
Gubernur Provinsi DKI Jakarta tersebut, yaitu sebagai berikut :
MENGINGAT :
1. …
2. …
3. …
4. …
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Diseases 2019 (Covid-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 170);
Kemudian pada konsideran MENGINGAT angka 4 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Corono Virus Diseases 2019 (Covid-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 170) disebutkan :
MENGINGAT :
1. …
2. …
3. …
4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6236);
Dengan mencermati tata urutan konsideran MENGINGAT mulai dari Peraturan Gubernur Perovinsi DKI Jakarta No. 79 Tahun 2020 dan Peraturan Gubernur Pemrovinsi DKI Jakarta No. 80 Tahun 2020, hingga Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 yang berujung pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, maka sanksi denda administratif yang dijatuhkan terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB telah sesuai dengan ketentuan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, sehingga terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB tidak dapat lagi dilakukan proses hukum (NEBIS IN IDEM) sesuai dengan ketentuan Pasal 76 KUHP.
Adapun ketentuan hukum yang menyatakan Nebis In Idem harus terlebih dahulu berdasarkan Putusan Pengadilan adalah ketentuan hukum kuno dan ketinggalan jaman, yang hanya menjadikan hukum sebagai alat penindas (retributive justice), sebagaimana dikatakan oleh Bagir Manan “bahwa Penegakan hukum yang dilaksanakan selama ini merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan, tujuannya adalah dalam rangka mewujudkan suasana berperikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib, dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, damai, dan bersahabat. Penegakan hukum pada hakekatnya adalah upaya untuk menciptakan keadilan. Proses pemenuhan rasa keadilan masyarakat melalui penegakan hukum sampai sekarang masih menampakan wajah lama, yaitu hukum sebagai alat penindas (retributive justice)”
Konsep sistem peradilan pidana yang berdasarkan retributive justice yang cenderung masih menganut sistem pembalasan terhadap pelaku tindak pidana dan hukum digunakan sebagai alat untuk menakut-nakuti dan pembalasan terhadap pelaku sudah selayaknya ditinggalkan, dan beralih kepada restorative justice yang merupakan konsep yang didasarkan pada tujuan hukum sebagai upaya dalam menyelesaikan konflik dengan perdamaian.
Oleh karenanya sudah sepatutnya proses perkara dalam peristiwa Maulid dan Pernikahan anak beliau di Petamburan HARUS DINYATAKAN BATAL DEMI HUKUM.
D. AGRESIFITAS DAN MANUVER PENUNTUT UMUM DENGAN MENAMBAHKAN BERANEKA RAGAM PASAL SELUNDUPAN YANG TIDAK ADA KAITANNYA DENGAN PROKES DAN TEST SWAB ADALAH BUKTI PERKARA A QUO ADALAH LANJUTAN DARI OPERASI INTELIJEN BERSKALA BESAR
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Perlu diingat bahwa perkara ini bermula dari adanya kegiatan yang dianggap melanggar protokol kesehatan pencegahan Covid-19 pada penyelenggaraan pernikahan putri HABIB RIZIEQ SYIHAB dan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, namun Penuntut Umum dengan agresif dan nafsu mendakwa HABIB RIZIEQ SYIHAB dengan pasal-pasal yang tidak ada kaitannya dengan protokol kesehatan pencegahan Covid-19.
Sementara ketidakadilan penanganan pelanggaran protokol kesehatan kerap ditemukan di lapangan. Kejadian paling anyar adalah Kongres Luar Biasa Partai Demokrat di Medan Sumatera Utara. Aparat penegak hukum seperti tak sudi dan tak berdaya untuk membubarkan acara yang secara terang-terangan melanggar protokol kesehatan.
Yang paling fenomenal adalah kerumunan massa yang dilakukan Presiden Jokowi saat kunjungan kerja ke Maumere, Nusa Tenggara Timur pada 23 Februari 2021 lalu. Loyalis Jokowi berkerumun tanpa saling jaga jarak, berjejer di pinggir jalan menyambut idolanya yang melintas dalam iring-iringan kendaraan. Jokowi yang saat itu hendak menuju lokasi peresmian Bendungan Napun Gete sempat keluar dari atap mobil dan melambaikan tangan ke kerumunan warga. Pemujanya histeris.
Semua kasus pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan rezim zalim, dungu, pandir dan pemujanya, tak pernah diproses. Ada saja alibi untuk menolaknya. Terlalu banyak kesewenang-wenangan rezim ini terhadap rakyat.
Terhadap rezim zalim, dungu dan pandir selalu dicari cari pembenaran untuk meloloskan dari hukum, sementara terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB selalu dicari cari kesalahan untuk dihukum.
Berbeda dengan yang dialami oleh HABIB RIZIEQ SYIHAB dan mantan pengurus FPI yang harus dikerangkeng di dalam tahanan, rekening dibekukan. Padahal HABIB RIZIEQ SYIHAB sudah membayar denda Rp50 juta.
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Dan tidak cukup hanya sampai disitu, ketidakadilan terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB berlanjut dengan aneka ragam pasal selundupan yang aneh bin ajaib, yang telah ditambahkan oleh Penuntut Umum sejak menerima pelimpahan berkas perkara dari Penyidik diantaranya yaitu Pasal 82A ayat (1) jo. 59 ayat (3) huruf c dan d UU RI 16/2017 tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Ormas menjadi Undang-Undang jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 10 huruf b KUHP jo. Pasal 35 ayat (1) KUHP.
Manuver gesit yang dilakukan oleh Penuntut Umum dengan menambahkan aneka ragam pasal selundupan tersebut sungguh luar biasa bersifat akrobatik dan penuh dengan muatan politik dan merupakan lanjutan Operasi Intelijen Berskala Besar, yang setidaknya dapat dibuktikan dengan fakta-fakta sebagai berikut :
1. Tempat dilakukan sidang pengadilan bukan di wilayah locus delicti perbuatan terjadi. Dari hal ini saja sudah jelas bahwa perkara aquo adalah perkara politik yang target hukumannya sudah ditentukan, proses penghukumannya sudah dikendalikan dan hak hal HABIB RIZIEQ SYIHAB sudah dikerdilkan.
2. Penerapan pasal yang tidak pada tempatnya, penambahan pasal-pasal yang terus terjadi untuk memperberat ancaman hukuman dan pasal-pasal yang bisa digunakan hanya agar HABIB RIZIEQ SYIHAB bisa ditahan selama mungkin karena ada agenda politik yang menghendaki.
3. Due Process of Law TIDAK sesuai dengan ketentuan KUHAP.
BAB II
PERSIDANGAN YANG DIPAKSAKAN, OLEH KARENANYA HARUS DIBATALKAN DEMI MHUKUM
A. PENANGKAPAN DAN PENAHAN TERHADAP HABIB RIZIEQ SYIHAB ADALAH TIDAK SAH, SEHINGGA HARUS SEGERA DIBEBASKAN DARI TAHANAN
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Penangkapan dan penahanan tehadap HABIB RIZIEQ SYIHAB ADALAH TIDAK SAH atau TIDAK MEMPUNYAI ALAT BUKTI PERMULAAN CUKUP sebagaimana Pasal 17 KUHAP Jo. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor: 21/PUU-XII/2014. Jo. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor: 07/PUU-VII/2009. Tanggal 22 Juli 2009.
Dapat disebutkan disini beberapa putusan dikabulkannya permohonan praperadilan terkait tidak sahnya penetapan tersangka dikarenakan tidak adanya pemeriksaan calon tersangka, yaitu: Putusan Nomor 67/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel, Pemohon: Dahlan Iskan; Putusan Nomor 32/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel,
Pemohon: Dr. H. Ilham Arief Sirajuddin; dan Putusan Nomor 19/Pid.Prap/2016/PN.Sby, Pemohon: Ir. H. La Nyalla Mahmud Mattalitti.
Lebih lanjut, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 menyatakan bahwa frasa “bukti permulaan”, bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” harus dimaknai sebagai minimal dua alat bukti sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 184 KUHAP. Dua alat bukti minimal dimaksudkan dalam rangka membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Membuat terang tindak pidana adalah dalam hal mengetahui secara jelas tindak pidana apa yang terjadi dan kemudian terpenuhinya unsur pasal yang akan diterapkan kepada pelaku. Unsur pasal dimaksud adalah adalah unsur objektif (actus reus) dan unsur subjektif (mens rea).
Penyidikan sebagai suatu proses tidak selalu harus menghasilkan produk berupa penetapan status tersangka. Penetapan status tersangka harus memenuhi adanya dua alat bukti minimal, pemeriksaan pendahuluan terhadap calon tersangka dan terpenuhinya unsur objektif (actus reus) dan unsur subjektif (mens rea) dan keterhubungan keduanya. Dengan demikian menjadi jelas bahwa pemeriksaan calon tersangka demikian penting sebab berkaitan dengan dua alat bukti minimal dan pemenuhan unsur pasal yang akan dikenakan.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka untuk MENANGKAP dan MENAHAN tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan “minimal dua alat bukti” yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Pasal 1 angka 27 KUHAP yang pada dasarnya menyatakan bahwa keterangan saksi adalah keterangan yang bersumber dari apa yang saksi lihat sendiri, dengar sendiri dan saksi alami sendiri. Artinya bahwa fakta-fakta yang diperoleh dari keterangan saksi haruslah bersumber dari pribadinya sendiri. Keterangan saksi yang diberikan di luar pendengaran, penglihatan atau pengalaman saksi sendiri mengenai suatu peristiwa pidana yang terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti. Dengan demikian keterangan seperti ini tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian.
Fakta yang terjadi tidak ada Saksi yang melihat sendiri, mendengar sendiri dan mengalami sendiri terhadap perbuatan yang disangkakan kepada HABIB RIZIEQ SYIHAB, sehingga sama sekali tidak memenuhi kriteria sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP.
Bahwa selain belum diperiksanya HABIB RIZIEQ SYIHAB sebagai saksi, secara tiba-tiba tanpa dasar hukum yang jelas penyidik langsung mengumumkan kepada mass media, bahwa HABIB RIZIEQ SYIHAB ditetapkan Tersangka dan bahkan penyidik Menerbitkan SURAT PERINTAH PENANGKAPAN yang lucunya dilakukan didalam Kantor Polisi saat HABIB RIZIEQ SYIHAB datang dengan sukarela dan dilanjtkan dengan penerbitan SURAT PENAHANAN atas diri HABIB RIZIEQ SYIHAB.
Oleh karena SURAT PERINTAH PENANGKAPAN dan SURAT PERINTAH PENAHANAN yang diterbitkan oleh penyidik atas diri HABIB RIZIEQ SYIHAB, dilakukan dengan tanpa terlebih dahulu memeriksa HABIB RIZIEQ SYIHAB sebagai saksi, maka penetapan tersangka dan perintah penangkapan serta penahanan atas diri HABIB RIZIEQ SYIHAB adalah TIDAK SAH, dan oleh HABIB RIZIEQ SYIHAB harus segera dibebaskan dari tahahan.
B. PERSIDANGAN SECARA ELEKTRONIK MELANGGAR KUHAP
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Pemanggilan Terdakwa dalam persidangan memiliki keterkaitan dengan pentingnya kehadiran Terdakwa untuk proses pemeriksaan perkara. Sebelumnya, pemanggilan terdakwa secara sah untuk hadir di persidangan sesuai Pasal 145 KUHAP :
(1) Pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan dilakukan secara sah, apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir.
(2) Apabila terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya atau di tempat kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa yang berdaerah hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir.
(3) Dalam hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan disampaikan kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara.
(4) Penerimaan surat panggilan oleh terdakwa sendiri ataupun oleh orang lain atau melalui orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan.
(5) Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung pengadilan yang berwenang mengadili perkaranya.
Adapun pihak yang berwenang untuk melakukan pemanggilan adalah penuntut umum, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 146 ayat (1) KUHAP:
Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa yang memuat tanggal, hari, serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai.
Mengutip pendapat M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan & Penerapan KUHAP (hal. 111) "bahwa hukum tidak membenarkan proses peradilan in absentia dalam acara pemeriksaan biasa dan pemeriksaan acara singkat tanpa hadirnya terdakwa dalam persidangan, pemeriksaan perkara tidak dapat dilakukan".
Sebagaimana ketentuan Pasal 154 KUHAP telah mengatur bagaimana caranmenghadirkan terdakwa dalam persidangan. Tata cara tersebut memperlihatkan tanpa hadirnya terdakwa dalam persidangan, pemeriksaan perkara tidak dapat dilakukan.
Tata cara tersebut dimulai dari:
ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk ke dalam ruang persidangan.
jika terdakwa pada sidang yang telah ditentukan tidak hadir, ketua sidang meneliti apakah terdakwa telah dipanggil secara sah.
Ketidakhadiran terdakwa bisa terjadi dengan 2 (dua) kemungkinan (lihat hal. 112 Yahya H):
a. Terdakwa Dipanggil “Secara Tidak Sah”,
Jika ternyata terdakwa dipanggil secara tidak sah, ketua sidang menunda persidangan dan memerintahkan penuntut umum supaya memanggil terdakwa sekali lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya.
b. Terdakwa Sudah Dipanggil “Secara Sah”, dalam hal ini, terdakwa telah dipanggil secara sah, namun ia tidak datang menghadiri persidangan “tanpa alasan yang sah”.
Memperhatikan Pasal 154 KUHAP :
(1) Hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas.
(2) Jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak ditahan tidak hadir pada hari sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara sah.
(3) Jika terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang menunda persidangan dan memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya.
(4) Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi.
(5) Jika dalam suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan tidak semua terdakwa hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan.
(6) Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya.
(7) Panitera mencatat laporan dari penuntut umum tentang pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat dan ayat (6) dan menyampaikannya kepada hakim ketua sidang.
Berdasarkan Pasal 154 ayat (2), (4) & (6) KUHAP, apabila terdakwa tidak dapat di hadirkan ke persidangan, maka pemeriksaan perkara tidak dapat dilangsungkan.
Sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan persidangan di Pengadilan dikenal adanya asas “audi et alteram partem” secara harfiah dapat diartikan “dengarkan sisi lain”. Asas ini memberikan pedoman kepada Hakim untuk tidak boleh menerima keterangan hanya dari satu pihak saja, tanpa terlebih dahulu mendengar dan memberikan kesempatan pihak lain mengajukan tanggapannya.
Konsekuensi dari asas ini jika salah satu pihak memberikan dan mengajukan alat bukti di persidangan, maka pihak lain harus mengetahui dan hadir di persidangan (equality under the arm).
Bahwa hukum acara pidana mengenal asas presentasi yang menurut asas tersebut pada proses persidangan dan pembacaan putusan suatu perkara pidana harus dihadiri langsung oleh Terdakwa. Sehingga prinsip hadirnya terdakwa dalam perkara pidana ini didasarkan atas hak-hak asasi terdakwa sebagai manusia yang berhak membela diri dan mempertahankan hak-hak kebebasannya, harta bendanya ataupun kehormatannya.
Asas presentasi di atas dituangkan dalam Pasal 196 ayat (1) KUHAP) “Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini menentukan lain”.
Sehingga berdasarkan uraian diatas, pada prinsipnya proses peradilan perkara pidana harus dihadiri langsung oleh Terdakwa. Hal ini tentu tidak akan menjadi masalah bagi seorang Terdakwa yang sebelumnya telah dilakukan penahanan oleh karena Jaksa Penuntut Umum yang akan membawa Terdakwa dari tahanan dan menghadirkannya ke persidangan, tetapi dapat menjadi masalah terhadap Terdakwa yang tidak ditahan dan tidak diketahui keberadaannya atau Terdakwa yang telah ditahan tapi kemudian melarikan diri dan tidak ditemukan.
Memperhatikan SEMA No. 9 Tahun 1985 tentang Putusan yang Diucapkan di Luar Hadirnya Terdakwa “Mahkamah Agung berpendapat bahwa perkara-perkara yang diperiksa dengan Acara Pemeriksaan Cepat (baik perkara tindak pidana ringan maupun perkara pelanggaran lalu lintas jalan) dapat diputus di luar hadirnya terdakwa, dan Pasal 214 KUHAP berlaku bagi semua perkara yang diperiksa dengan Acara Pemeriksaan Cepat.”.
Secara khusus dalam beberapa jenis tindak pidana yang diatur di luar KUHP diperbolehkan pula persidangan dan penjatuhan putusan tanpa kehadiran terdakwa, misalnya:
Perkara Tindak Pidana Korupsi
Pasal 38 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang UU Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 yang menyatakan: “Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.”
Sidang secara elektronik (daring).
1. Kejagung melalui Surat Nomor B-049/A/SUJA/03/2020 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Tugas, Fungsi, dan Kewenangan di tengah Upaya Mencegah Penyebaran Covid-19, tertanggal 27 Maret 2020.
2. Kemenkumham, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung menerbitkan Surat No.379/DJU/PS.00/3/2020 perihal Persidangan Perkara Secara Teleconference.
3. Ketiga institusi penegak hukum menjalin kerjasama yang dituangkan dalam Perjanjian Kerjasama Nomor: 402/DJU/HM.01.1/4/2020, Nomor:KEP-17/E/Ejp/04/2020, Nomor: PAS-08.HH.05.05 Tahun 2020 tanggal 13 April 2020 Tentang Pelaksanaan Persidangan Melalui Teleconference.
Namun yang menjadi soal, adalah :
1. Apakah UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP telah mengatur tentang Hukum Acara persidangan secara daring?
2. Apakah landasan hukum Perjanjian Kerjasama ketiga instansi tersebut cukup berdasar hukum?
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Proses persidangan perkara pidana yang diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia dilakukan melalui tatap muka hakim, jaksa, terdakwa, dan penasihat hukum di dalam ruang sidang pengadilan yang sama atau tidak di ruang yang terpisah.
Kehadiran secara fisik terdakwa dan saksi di ruang sidang pengadilan telah diatur dalam Pasal 185 ayat (1) dan Pasal 189 ayat (1) KUHAP.
Pasal 185 ayat (1) KUHAP menyebutkan, “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”.
Sedangkan Pasal 189 ayat (1) KUHAP menyebutkan, “Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri”.
Sehingga berdasarkan Pasal 185 ayat (1) dan Pasal 189 ayat (1) KUHAP, bahwa setiap keterangan saksi maupun terdakwa harus dinyatakan di depan persidangan.
Sehubungan dengan hal di atas bagaimana bila pemberian keterangan terdakwa secara daring, apakah sudah ada peraturan yang mengaturnya?
Memperhatikan Pasal 189 ayat (2) KUHAP “Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya”.
Berbagai kendala menjadi penyebab sidang dilakukan secara daring, seperti keterbatasan penguasaan teknologi oleh hakim, koordinasi antar pihak yang kurang baik, kemudian penasihat hukum tidak berada berdampingan dengan terdakwa, serta tak dapat memastikan saksi dan terdakwa dalam tekanan/dusta.
Hal tersebut dapat dilakukan pengecualian sebagaimana di atur pada Pasal 9 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan : “Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam Ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa”.
Tanggal 26 Juni 2020 persidangan secara daring mulai dilakukan di masapandemik Covid 19, dan berdasarkan data dari Pusat Data Statistik Kriminal dan Teknologi Informasi (Pusdaskrimti) Kejaksaan Agung sebanyak 95.683 persidangan, rinciannya 95.058 perkara pidana umum dan 625 perkara tindak pidana korupsi.
Melihat banyaknya proses persidangan yang dilakukan secara online tersebut membuat pihak Ombudsman memonitoring, hasilnya ditemukan adanya kendala teknis dalam penyelenggaraan persidangan daring di 16 pengadian negeri, yaitu:
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Depok, Bogor, Cibinong, Bekasi, Tangerang, Serang, Medan, Batam, Jambi, Surabaya, Denpasar, Banjarmasin, Kupang, dan PN Manokwari.
Berbagai kendala menjadi penyebabnya, seperti keterbatasan penguasaan teknologi oleh hakim, koordinasi antar pihak yang kurang baik.
Hal dan kendala lainnya adalah penasihat hukum tidak berada berdampingan dengan terdakwa, serta tak dapat memastikan saksi dan terdakwa dalam tekanan/dusta atau tidak.
Berdasarkan uraian di atas, adanya pandemi Covid-19 tidak dapat menjadikan alasan persidangan perkara pidana secara daring, karena masih ada perkara-perkara tindak pidana yang dilakukan secara off line (hadir di muka persidangan), seperti perkara yang menjerat : Irjen Napoleon Bonaparte, Brigjen Prasetijo, Utomo Djoko Tjandra dan Pinangki. Padahal justru dalam perkara pidana korupsi, UU TIPIKOR membolehkan persidangan tanpa kehadiran terdakwa.
Namun lagi lagi keanehan terjadi di dunia hokum Indonesia, perkara yang dibolehkan terdakwa tidak hadir malah dihadirkan, perkara yang terdakwa wajib hadir malah tidak dihadirkan.
Kezaliman mana lagi yang engkau dustakan ?
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Landasan hukum (UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP) yang telah mengatur proses persidangan, tidak dengan serta merta dapat dirubah secara daring, dan tidak cukup hanya melalui perjanjian kerjasama, surat edaran institusi maupun Peraturan Mahkamah Agung sekalipun (vide UU No. 12 Tahun 2011 tentang Tata Urutan Per UU Pasal 7), karena kehadiran secara physik dimuka persidangan adalah menyangkut pemenuhan hak asasi saksi dan terdakwa.
Kemudian mengenai pelaksanaan persidangan perkara pidana secara daring, Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) telah mengadakan diskusi bersama Mahkamah Agung dan Office of Overseas Prosecutorial Development, Assistance, and Training (OPDAT) Amerika Serikat terkait pelaksanaan persidangan pidana selama masa pandemi Corona Virus Desease 2019 (Covid-19). Diskusi yang terselenggara dengan bantuan dan dukungan dari program CEGAH The Asia Foundation (TAF) ini dihadiri oleh Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung, Dr. Suhadi, S.H., M.H., Peter Halpern selaku perwakilan OPDAT, para anggota tim Kelompok Kerja (Pokja) Penyusunan Peraturan Mahkamah Agung terkait pelaksanaan persidangan pidana secara elektronik,bpara Hakim Agung, dan perwakilan pengadilan-pengadilan tingkat pertama dan banding
Merujuk pada diskusi sebagaimana yang disebutkan diatas, ada syarat syarat yang harus dipenuhi berdasar hokum untuk sidang elekronik bisa dilakukan :
1. Dasar hukumnya harus UU, di negeri dagelan ini, dasar hukumnya hanya berdasar peraturan MA yang sepihak, ingat peraturan MA itu bukan UU tapi per-UU-an. Sidang secara elektronik seharusnya baru boleh dilakukan setelah ada UU yg membolehkan, maka setelah UU tersebut di revisi barulah UU tersebut memberikan batasan dan syarat, inilah harusnya praktek dalam Negara hukum yang berkeadilan, bukan semau maunya penyelenggara Negara untuk membuat aturan ;
2. Situasi darurat yg ditetapkan masyarakat, bukan oleh penguasa;
3. Penetapan Pengadilan, atas dasar UU yang sudah direvisi yang membolehkan persidangan secara elektronik.
4. PERSETJUAN TERDAKWA yang merupakan syarat terpenting.
Sekarang mari kita ukur praktek persidangan a quo, apakah sesuai dengan prinsip Negara hukum yang berkeadilan ? atau seluruh praktek penyelenggaran hukum sudah menjadi berdasarkan kewenangan semata yang hal ini berarti merupakan Negara kekuasaan.
Kita semua sudah pasti tahu jawaban hal ini.
Oleh karenanya, agar kezaliman ini tidak terus berlanjut dan kita semua akan menerima akibatnya baik di dunia maupun akhirat, maka mari kita hentikan berbagai bentuk kezaliman, kedunguan dan kepandiran yang akan dihisab di yaumil akhir.
C. PENGADILAN NEGERI JAKARTA TIMUR TIDAK BERWENANG MENGADILI (EXCEPTION ONBEVOEGHEID VAN DE RECHTER)
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Bahwa perbuatan yang didakwakan kepada HABIB RIZIEQ SYIHAB sebagaimana tercantum dalam surat dakwaan Saudara Jaksa Penuntut Umum tersebut adalah bermula dari perbuatan HABIB RIZIEQ SYIHAB pada Acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan oleh Majelis Ta‟lim Al-Afaf di Jl. Tebet Utara 2B Tebet No. 8-10 Jakarta Selatan, pada tanggal 13 November 2020 yang mengundang para hadirin untuk hadir pada acara Peringatan Maulid Nabi di Petamburan, sekaligus acara pernikahan putrinya di Petamburan, Jakarta Pusat.
Menurut M. Yahya Harahap (dalam buku nya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali) halaman 96, Bahwa Kewenangan mengadili secara relatif Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi mana yang berwenang mengadili suatu perkara. Landasan pedoman menentukan kewenangan mengadili bagi setiap pengadilan mengadili ditinjau dari segi kompetensi relatif diatur dalam Pasal 84 KUHAP;Pasal 84 (1), berbunyi :
“Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya”.
Pasal 84 (2), berbunyi :
“Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan, atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu dari pada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan”.
Pasal 84 (3), berbunyi :
“Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam daerah hukum berbagai pengadilan negeri, maka tiap pengadilan negeri itu masing -masing berwenang mengadili perkara pidana itu”.
Pasal 84 (4), berbunyi :
“Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut pautnya dan dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum berbagai pengadilan negeri, diadili oleh masing - masing pengadilan negeri dengan ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut.”
Bertitik tolak dari ketentuan yang dirumuskan dalam pasal tersebut di atas, mengandung asas bahwa Pengadilan Negeri di mana tindak pidana itu dilakukan di wilayah hukumnya, atau disebut juga prinsip Locus Delictie.
Prinsip Locus Delictie ini dikenal ajaran antara lain “DE LEER VAN DE LECHAMELIJKE DAAD” ajaran mengenai tempat di mana perbuatan dilakukan inpersona.
Menurut ajaran ini, maka yang harus dianggap sebagai tempat dilakukan tindak pidana adalah tempat di mana perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman dilakukan.
Bahwa sesuai dengan dakwaan Saudara Penuntut Umum tempat perbuatan (locus delictie) HABIB RIZIEQ SYIHAB mengundang yang dianggap menghasut yaitu di Jakarta Selatan dan tempat penyelenggaraan Acara Peringatan Maulid
Nabi Muhammad SAW serta pernikahan putrinya yaitu di Jakarta Pusat, maka seharusnya Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili perkara a quo adalah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atau Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Bahwa prinsip yang paling dasar dalam hukum Pidana dalam hal mengadili suatu perkara adalah dimana tempat kejadian perkara itu terjadi, dan prinsip ini adalah prinsip yang berlaku universal. Penyimpangan terhadap prinsip ini dapat diberlakukan terhadap hal-hal yang bersifat sangat ekstra ordinary seperti genosida dan kejahatan HAM lainnya. Faktanya perkara yang sedang disidangkan ini tidak bersifat ekstra ordinary sebagaimana kejahatan Genosida atau kejahatan HAM lainnya. Berdasarkan alasan-alasan tersebut maka Pengadilan Negeri Jakarat Timur tidak memiliki alasan yuridis formil maupun keamanan yang dapat mendukung pengusulan pemindahan lokasi Persidangan ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur, dan tidak ditemukan alasan berdasar yuridis formil yang dijadikan alasan bagi Mahkamah Agung RI untuk menunjuk Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Mahkamah Agung RI dalam surat Nomor: 49/KMA/SK/II/2021 tentang Penunjukan Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk memeriksa dan memutus perkara pidana atas nama terdakwa Moh. Rizieq alis Habib Muhammad Rizieq SYIHAB bin Husain SYIHAB, dkk., hanya menyebutkan Pengadilan Negeri Jakarta Timur dipandang memenuhi syarat untuk ditetapkan/ditunjuk sebagai tempat.bMahkamah Agung RI tidak menerangkan syarat seperti apa yang dimaksud sehingga Pengadilan Negeri Jakarta Timur dipandang tepat dan sesuai alasan yuridis formil mengadili perkara ini.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka kami berpendapat patut kiranya Majelis Hakim yang mengadili perkara ini dapat mengambil keputusan yang bijaksana tanpa ada kekhawatiran dianggap membangkang terhadap surat penunjukkan yang diterbitkan Mahkamah Agung RI, karena berdasarkan penjelasan Pasal 1 Undang-undang No. 48 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Jelas dan berdasar terdakwa adalah Rakyat Indonesia, oleh karena terdakwa berhak memperoleh proses peradilan yang mencerminkan rasa keadilan Rakyat Indonesia. Oleh karena itu proses peradilan yang adil dan tepat adalah dengan mengadili terdakwa berdasarkan locus delicti uang didakwakan.
BAHWA KETENTUAN PASAL 85 KUHAP BELUM DIREVISI MAKA MAHKAMAH AGUNG TIDAK BERWENANG MENUNJUK PENGADILAN NEGERI JAKARTA TIMUR ATAU PENGADILAN NEGERI LAIN DI LUAR TEMPAT KEJADIAN PERKARA UNTUK MENGADILI PERKARA INI.
Bahwa Sesuai dengan bunyi ketentuan Pasal 85 KUHAP disebutkan Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua pengadilan negeri atau kepala kejaksaan negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri kehakiman untuk menetapkan atau menunjuk pengadilan negeri lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 untuk mengadili perkara yang dimaksud.
Berdasarkan bunyi pasal 85 KUHAP tersebut jelas disebutkan Menteri Kehakiman menetapkan atau menunjuk Pengadilan Negeri lain, apabila kondisi Pengadilan Negeri perkara tidak mengizinkan. Bahwa faktanya sekarang tidak ada lagi istilah Menteri Kehakiman tidak berarti Menteri dimaksud dihapus atau tidak ada, walaupun namanya sekarang menteri Hukum dan HAM tetap fungsi dan kewenangannya ada dan sama tidak berubah. Kalaupun tetap dipaksakan Mahkamah Agung RI yang berwenang, maka harus direvisi terlebih dahulu aturan Pasal 85 KUHAP.
Bahkan Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak ada satu pasalpun yang menyebutkan tentang beralihnya kewenangan untuk menetapkan atau menunjuk pengadilan negeri lain, kepada Mahkamah Agung,
Sehingga tidak ada dasar hukum bagi Mahkamah Agung RI mengambil alih kewenangan tersebut, dan oleh karenanya demi kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap Terdakwa, maka kami Penasehat Hukum mohon kepada yang mulia Majelis Hakim yang memeriksa perkara pidana ini menjatuhkan putusan yang amarnya, menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Timur tidak berwanang mengadili.
C. PERKARA A QUO ADALAH NEBIS IN IDEM
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Terkait Nebis In Idem ini, kami menganggap perlu untuk mengulas secara doktrin hukum dan asas hukum. Karena hal ini penting bagi masa depan hukum di Indonesia agar tidak semakin hancur hancuran.
Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Terdakwa telah memenuhi kewajiban pembayaran denda yang ditetapkan oleh Pemprov DKI Jakarta. Dengan telah dibayarnya denda administratif sesuai dengan regulasi Pemprov DKI Jakarta, maka menurut asas “nebis in idem”, seharusnya tidak dapat dilakukan proses hukum.
Arti sebenarnya dari nebis in idem adalah, digunakan dengan istilah “nemo debet bis vexari” (tidak seorangpun atas perbuatannya dapat diganggu atau dibahayakan untuk kedua kalinya).
Dasar pikiran atau ratio dari asas ini yakni untuk menjaga martabat dan untuk jaminan kepastian bagi yang telah mendapat keputusan. Dengan demikian postulat “nemo debet bis vexari” menjadi dasar tidak dapatnya dilakukan proses hukum ketika seseorang telah membayar denda administrative sebagaimana ditentukan oleh pemerintah Pemprov DKI Jakarta. Denda administrative dimaksudkan sebagai pemenuhan atas hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian yang timbul dan adanya norma hukum peraturan perundang-undangan yang dilanggar.
Seseorang yang dengan kesadaran penuh telah membayar denda administrative, maka pada dirinya ada itikad baik dan oleh karenanya harus pula dilindungi kepentingan hukumnya agar tidak dikenakan sanksi hukuman yang lainnya.
Pengenaan denda oleh Pemprov bermakna adanya pelanggaran sebagai mala prohibita atau malum prohibitum, yang mengacu kepada perbuatan yang tergolong pelanggaran sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur.
Pengenaan denda dimaksud tentu bukan dimaksudkan sebagai mala in se atau mala per se yaitu suatu perbuatan yang dianggap sebagai sesuatu yang jahat bukan karena diatur atau dilarang hukum positif atau UU, melainkan pada dasarnya perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajaran, moral dan prinsip umum masyarakat yang beradab. Artinya tanpa sebuah UU yang menentukan perbuatan tersebut sebagai kejahatan atau delik, perbuatan tersebut merupakan kejahatan yang natural.
Jeremy Bentham menyatakan bahwa suatu tindakan yang tergolong mala in se, tidak dapat berubah (immutable), artinya dalam ruang manapun dan waktu tertentu kapanpun, tindakan tersebut tetap dianggap sebagai perbuatan jahat dan dilarang oleh hukum positif. Sedangkan suatu tindakan yang tergolong mala prohibita, dapat berubah, artinya dalam ruang dan waktu tertentu yang berbeda, tindakan tersebut dapat saja tidak lagi dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Oleh karena itu, pengenaan denda yang sudah dibayarkan sebagai bentuk pertanggungganjawaban perbuatan yang tergolong mala prohibita tidak dapat lagi dimintakan pertanggungjawaban mala in se.
Dalam Surat yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang menjadi landasan yuridis atau instrumen hukum atas sanksi denda administratif terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB dan FPI yaitu :
1. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 79 Tahun 2020 tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Sebagai Upaya Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Diseases 2019 (Covid-19);
2. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 80 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar pada Masa Transisi Menuju Masyarakat Sehat, Aman dan Produktif.
Kedua Paraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta yang dijadikan landasan yuridis atau instrumen hukum atas penjatuhan sanksi denda administratif terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB merupakan peraturan teknis pelaksana dari ketentuan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, sebagaimana tercantum pada konsideran MENGINGAT angka 5 dalam kedua Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta tersebut, yaitu sebagai berikut :
MENGINGAT :
1. …
2. …
3. …
4. …
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Corono Virus Diseases 2019 (Covid-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 170);
Kemudian pada konsideran MENGINGAT angka 4 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Corono Virus Diseases 2019 (Covid-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 170) disebutkan :
MENGINGAT :
1. …
2. …
3. …
4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6236);
Dengan mencermati runtutan konsideran MENGINGAT mulai dari Peraturan Gubernur Perovinsi DKI Jakarta No. 79 Tahun 2020 dan Peraturan Gubernur Perovinsi DKI Jakarta No. 80 Tahun 2020, hingga Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 yang berujung pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, maka sanksi denda administratif yang dijatuhkan terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB telah sesuai dengan ketentuan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, sehingga terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB tidak dapat lagi dilakukan proses hukum (NEBIS IN IDEM) sesuai dengan ketentuan Pasal 76 KUHP.
BAB III
DAKWAAN BATAL DEMI HUKUM
A. PENERAPAN PASAL UNDANG-UNDANG ORMAS DAN PASAL 10 JO. PASAL 35 KUHP ADALAH TIDAK SAH
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Dalam dakwaan kelima, HABIB RIZIEQ SYIHAB didakwa telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 82A ayat (1) jo. 59 ayat (3) huruf c dan d Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat menjadi Undang-Undang jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 10 huruf b KUHP jo. Pasal 35 ayat (1) KUHP.
Tindak pidana yang didakwakan terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB dalam dakwaan kelima tersebut, sama sekali tidak pernah tercantum dalam Surat Panggilan, Sprindik maupun Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dalam perkara quo.
Padahal berdasarkan ketentuan Pasal 51 huruf a KUHAP, untuk mempersiapkan pembelaan, tersangka berhak untuk diberitahuan dengan jelas dan dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu awal pemeriksaan.
Pasal 109 ayat (1) KUHAP menentukan, dalam hal penyidik mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. Berdasarkan ketentuan Pasal 109 ayat (1) KUHAP, koordinasi fungsional antara penyidik dan penuntut umum ditandai dengan diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Dengan demikian maka keberadaan Pasal 109 ayat (1) KUHAP pada hakikatnya menentukan pentingnya sebuah sistem peradilan pidana yang terpadu (integrated criminal justice system) yang dalam hal ini berada pada tahap penyidikan dan penuntutan.
Dalam sistem KUHAP, SPDP sebagaimana diatur di dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP adalah merupakan bentuk mekanisme kontrol yang bersifat horizontal, yaitu kontrol antar lembaga di subsistem dalam sistem peradilan pidana, yaitu kontrol dari sistem penuntut umum terhadap penanganan kasus atau penyidikan yang dilakukan oleh penyidik.
Kemudian pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 tertanggal 15 November 2016 menghadirkan suasana baru terhadap hukum acara pidana Nasional yang selama ini diberlakukan melalui UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal baru yang diberikan dalam Putusan a quo terletak dalam hal penyampaian SPDP semula hanya disampaikan oleh Penyidik kepada Penuntut Umum (Pasal 109 ayat (1) KUHAP) telah berubah. Sistem peradilan pidana tersebut dinilai mengesampingkan keadilan karena tidak memberikan informasi kepada para pihak terutama pelapor dan terlapor tentang SPDP yang ada.
Dengan demikian, akibat hukum dari putusan MK tersebut di atas ialah penyidik kini wajib menyerahkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) tidak hanya kepada penuntut umum, tetapi juga kepada terlapor dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari. Putusan ini dapat membuat koordinasi antara penyidik dan penuntut umum menjadi semakin kuat, serta penuntut umum dapat berperan aktif dalam menangani suatu perkara pidana.
Sebagai hukum acara pidana, maka KUHAP menyajikan sebuah sistem yang dikenal dengan Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System). Ditinjau dari sisi istilahnya, “sistem” diartikan sebagai “perangkat unsur yang secara teratur.saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas, istilah “peradilan pidana” diartikan sebagai sistem yang diberikan dalam penanganan suatu perkara yang diduga perbuatan melanggar ketentuan hukum pidana. Berdasarkan makna tersebut maka setiap subsistem dan lembaga hukum terdapat dalam KUHAP harus berperan dalam sebuah rangkaian acara pidana dannSurat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) menjadi bagian penting dalam proses perkara pidana.
Faktanya tindak pidana yang didakwakan terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB dalam dakwaan kelima tersebut, yaitu Pasal 82A ayat (1) jo. 59 ayat (3) huruf c dan d Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2017 tentangbPenetapan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat menjadi Undang-Undang jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 10 huruf b KUHP jo. Pasal 35 ayat (1) KUHP, sama sekali tidak pernah tercantum baik dalam SPDP maupun dalam penetapan HABIB RIZIEQ SYIHAB sebagai tersangka.
Penambahan pasal yang tidak pernah tercantum baik dalam SPDP maupun dalam penetapan sebagai tersangka tersebut merupakan pelanggaran hak asasibmanusia terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB. Karena SPDP dalam kaitannya dengan asas hukum acara pidana merupakan bagian penting dari penguraian nilai dasar dalam hukum acara pidana. Terbitnya SPDP menjadi tanda akan komitmen Penyidik kepada tersangka atau terlapor untuk memberikan sikap yang sama kepada setiap orang yang berproses dengan hukum acara pidana.
Tersangka/terlapor begitu mengetahui dirinya masuk dalam proses penyidikan akan mempersiapkan pembelaan berikut bantuan hukum yang diperlukan.
Hukum acara pidana tidak hanya menekankan kepastian hukum dalam beracara, akan tetapi mengakar pada pemenuhan hak asasi manusia yang dimiliki bukan hanya oleh pelapor (korban) atau masyarakat akan tetapi terlapor. Nuansa pentingnya pemenuhan hak asasi manusia tampak dengan jelas mulai dari pertimbangan dibentuknya KUHAP, secara khusus angka pertama. Indonesia sebagai negara hukum tidak berarti menggunakan hukum untuk menindas hak asasi manusia melainkan sebaliknya.
Hak Asasi Manusia menjadi isu sentral yang diatur sejak amandemen UUD 1945. Pasal 28A-I UUD RI 1945 memuat berbagai macam bentuk hak asasi manusia yang diakui sebagai hak dasar manusia sekaligus hak konstitusional warga negara Indonesia. Terkait dengan SPDP yang diatur secara tegas dalam KUHAP maka otomatis harus disesuaikan dengan pemenuhan hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penerpan Pasal UNDANG-UNDANG Ormas dan Pasal 10 jo. Pasal 35 KUHP adalah tidak sah serta merupakan pelanggaran HAM yang nyata terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB, oleh karenanya dakwaan kelima a quo harus dibatalkan demi hukum.
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Kemudian terhadap peristiwa yang dilakukan oleh individu-individu yang yang disebutkan dalam dakwaan seperti H.M. Bambang Teddi, Habib Bahar bin Ali bin Smith dll, tidak ada causalitas dengan kebijakan Organisasi FPI atau dengan Terdakwa dalam perkara a quo.
Penambahan pasal-pasal tersebut bukti untuk memperberat ancaman hukuman yang bisa digunakan hanya agar HABIB RIZIEQ SYIHAB bisa ditahan selama mungkin karena ada agenda politik yang menghendaki.
Sekali lagi kami buktikan bahwa penambahan pasal UU Ormas dengan pasal pidana tambahan KUHP dan pencantuman nama nama individu yang tidak ada kaitan dalam perkara ini, tidak pernah diperiksa dalam perkara ini adalah bentuk OPERASI INTELIJEN BERSKALA BESAR terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB, yang juga telah mengakibatkan DIBANTAINYA 6 orang pengawal HABIB RIZIEQ SYIHAB.
KEDZALIMAN APALAGI YANG ENGKAU DUSTAKAN WAHAI REZIM ZALIM DUNGU DAN PANDIR !!!
B. PENERAPAN PASAL 160 KUHP JO. PASAL 93 UNDANG-UNDANG NO. 6 TAHUN 2018 TENTANG KARANTINA KESEHATAN DALAM DAKWAAN PERTAMA BATAL DEMI HUKUM
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Terdakwa atas nama Sdr. Moh Rizieq bin Sayyid Husein SYIHAB Alias Habib Muhammad Rizieq SYIHAB, didakwa oleh JPU dalam Surat Dakwaan Pertama No. Reg. Perkara : PDM-011/Jkt.Tim/Eku-02/2021. Didakwa oleh JPU telah melanggar Pasal 160 KUHP Jo. Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatatan DAKWAAN yang BATAL DEMI HUKUM.
Adapun yang menyebabkan Dakwaan Pertama dari JPU tersebut BATAL DEMI HUKUM, dengan alasan yuridis sebagai berikut :
1. Bahwa Dakwaan Pasal 160 KUHP, TIDAK DAPAT DIDAKWAKAN BERSAMAAN DENGAN Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantianaan Kesehatan. Atau dengan kata lain Dakwaan Pasal 160 KUHP TIDAK BISA di JUNTO kan atau DIJADIKAN SATU DAKWAAN dalam DAKWAAN PERTAMA.
Karena Unsur–unsur Pasal 160 KUHP SANGAT BERBEDA denga Unsur–Unsur Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantian Kesehatan. Dan juga, ANCAMAN HUKUMAN dalam Pasal 160 KUHP, BERBEDA dengan ANCAMAN HUKUMAN dalam Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Kedua Pasal tersebut, mempunyai unsur masing – masing dan juga mempunyai ancaman hukuman masing – masing YANG TIDAK dimungkinkan untuk dijadikan SATU DAKWAAN.
Bahwa hal ini sangat jelas di atur dalam YURISPRUDENSI TETAP MAHKAMAH AGUNG – RI No : 71 K/Kr/1968, dengan Majelis Hakim Agung :
1) Prof. SUBEKTI;
2) ASKIN KUSUMA ATMADJA, SH;
3) D.H. LUMBAN RADJA, SH;
Bahwa untuk lebih jelasnya kami kutip bunyi YURISPRUDENSI TETAP MAHKAMAH AGUNG – RI No : 71 K/Kr/1968, dari Buku Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung – RI Cetakan Ke 2, 1993. Berbunyi dengan kaidah –kaidah hukum sebagai berikut :
“suatu surat tuduhan tindak pidana yang dirumuskan Pasal 368 KUHP bersama – sama unsur pasal penipuan 378 KUHP merupakan Kesalahan yang sangat esensial yang menyebabkan tuduhan tersebut batal”
Bahwa adapun Pertimbangan Hukum dari YURISPRUDENSI TETAP MAHKAMAH AGUNG – RI No : 71 K/Kr/1968,tersebut. Kami kutip sebagai berikut :
“bahwa dalam tuduhan primair tidak jelas apakah yang dimaksudkan itu merupakan tindak pidana pemerasan (Pasal 368 K.U.H.P) atau merupakan tindak pidana penipuan (Pasal 378 K.U.H.P) karena dalam bagian pertama dari tuduhan primair dipergunakan perumusan Undang2 mengenai tindak pidana pemerasan, kemudian dipakai unsur2 dari penipuan sebagai materieele handelingen hal mana merupakan suatu kesalahan kang esentieel yang menyebabkan tuduhan primair batal”.
Berdasarkan YURISPRUDENSI TETAP MAHKAMAH AGUNG – RI No : 71 K/Kr/1968, tersebut di atas. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam membuat surat dakwaan, JPU TIDAK DIBENARKAN Menggabungkan Unsur – unsur delik Pasal 160 KUHP diJUNTOkan dengan Unsur – Unsur delik Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Karena mengandung Kesalahan yang sangat Esensial.
Adapun dalam dakwaan pertama, JPU yang Mendakwa Terdakwa Habib Rizieq SYIHAB, adanya Penggabungan dakwaan Unsur – Unsur Pasal 160 KUHP digabungkan menjadi satu dakwaan dengan unsur – unsur Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Adanya penggabungan tersebut, kami kutip kembali unsur –unsur delik Pasal –Pasal yang dijadikan satu dakwaan : (dakwaan pada Halaman 2)
“maka pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk memeriksa dan mengadli, mereka yang melakukan ,yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan, di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan pidana ( pasal 160 KUHP) kekarantinaan kesehatan sebagaimana pasal 93 undang-undang Republik Indonesia Nomor. 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang di berikan berdasar ketentuan undang-undang”.
Dari unsur – unsur delik yang didakwakan dalam dakwaan Pertama yang didakwakan terhadap terdakwa Habib Rizieq, dengan LOCUS DELICTIE terjadi di Petamburan Jakarta Pusat dalam acara Maulid Nabi Muhammad.
Sangat jelas penggabungan Unsur – unsur pasal 160 KUHP digabungkan dengan Unsur – unsur delik Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dan dalam dakwaan pertama (pada halaman 10) tersebut sangat jelas, JPU telah mendakwa Terdakwa HABIB MUHAMMAD RIZIEQ SYIHAB:
“Perbuatan Terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 160 KUHP Jo Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan”.
Berpedoman pada YURISPRUDENSI TETAP MAHKAMAH AGUNG – RI No : 71 K/Kr/1968, tentang yang intinya larangan pengabungan unsur – unsur delik Pasal 160 KUHP dengan unsur – unsur delik Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Yang mengakibatkan dakwaan pertama JPU KABUR / TIDAK JELAS (OBSCURE LIBEL). Oleh karenanya, surat dakwaan pertama JPU HARUSLAH DIBATALKAN dan atau BATAL DEMI HUKUM. Karena tidak memenuhi syarat – syarat sebagaimana ditentukan Pasal 143 ayat (2) KUHAP.
2. Bahwa ada lagi larangan PENGABUNGAN dakwaan tindak pidana khusus digabungkan dengan tindak pidana umum. Hal ini telah diatur dalam
Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung – RI No : 666 K/Pid/1982, tanggal 10 Agustus 1983, berbunyi sebagai berikut :
“menyatakan dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa SUDARMADJI tersebut BATAL DEMI HUKUM.”
Sebagai pertimbangan dalam Yurisprudensi tersebut, MA – RI dalampertimbangannya yaitu :
“Dalam putusannya MA – RI “menyatakan bahwa dakwaan didasarkan pada pasal 360 ayat a KUHP dihubungkan dengan Pasal 5 .a. UU lalu lintascdan angkutan jalan raya (UULAJR). Perbuatan terdakwa mengenai hal tersebut SEHARUSNYA di dakwakan sendiri – sendiri. Dengan demikian dakwaan tidak jelas. Dan oleh karena itu dakwaan tersebut HARUSLAH dinyatakan BATAL DEMI HUKUM”.
Bahwa berdasarkan Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung – RI No : 666 K/Pid/1982, tanggal 10 Agustus 1983 tersebut di atas. Maka Semestinyandakwaan Pasal 160 KUHP TIDAK dapat digabungkan dengan Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Yang SEMESTINYA dakwaan Pasal 160 KUHP dan Dakwaan Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, SEHARUSNYA DIDAKWA SENDIRI –SENDIRI;
Sedangkan dakwaan pertama JPU telah MENGGABUNGKAN atau MENGHUBUNGKAN dakwaan yang didasari pada Pasal 160 KUHP DIJUNTOKAN dengan Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan menjadi satu dakwaan yaitu dakwaan pertama.
Maka surat dakwaan JPU yang mendakwa terdakwa : Muhammad Rizieq SYIHAB dengan melanggar Pasal 160 junto Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan adalah BATAL DEMI HUKUM.
Sebab tidak DIBENARKAN menurut Yurisprudensi MA – RI, mengabungkan Pasal 160 KUHP dengan Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan menjadi satu dakwaan. Karena, unsur – unsur pidana Pasal 160 KUHP SANGAT BERBEDA dengan unsur – unsur Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dan juga kedua unsur pasal tersebut mempunyai ancaman hukuman masing – masing yaitu Ancaman Hukum Pasal 160 KUHP maksimal 6 (enam) Tahun Penjara, dan Ancaman Hukuman dalambPasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan Maksimal 1.(satu) tahun penjara.
Maka kedua pasal tersebut yaitu Pasal 160 KUHP (UU pidana Umum) TIDAK dapat didakwakan bersamaan dengan Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Pidana Khusus). Maka dapat kami Tim Kuasa Hukum Sdr. Muhammad Habib Rizieq SYIHAB simpulkan, bahwa dakwaan pertama JPU No Reg Perkara : PDM-011/JKT-TIM/Eku/02/2021, tertanggal 4.Maret 2021 adalah BATAL DEMI HUKUM.
BAB IV
SURAT DAKWAAN TIDAK CERMAT, TIDAK JELAS DAN TIDAK LENGKAP SEHINGGA TIDAK MEMENUHI SYARAT MATERIIL SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 143 AYAT (2) HURUF B KUHAP.
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
A. KEKELIRUAN KONTRUKSI DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM
Sebelum kami Penasehat Hukum Terdakwa melanjutkan esensi dari eksepsi aquo, perkenankan kami terlebih dahulu untuk menyampaikan pandangan mengenai arsitektur hukum dalam masa pandemi Covid-19 di Indonesia. Persepektif ini sangat penting untuk membuka cakrawala kita sebagai bagian dari negara yang berpahamnkonstitusionalisme. Penyebaran Covid-19 di dunia yang bermula dari kota Wuhan.di Cina memaksa banyak negara menerapkan aturan dan norma hukum yang baru.
Reaksi Pemerintah dalam menanggapi pendemi ini juga sama dengan negara-negara lainnya, akan tetapi apakah penerapan aturan dan norma hukum yang baru tersebut dapat dengan serta merta mengesampingkan hak asasi manusia yang menjadi bagian dari hak konstitusional? Hal ini tentu saja tidak hanya dapat dilihat dari satu sisi yaitu kacamata negara saja yang dalam hal ini pemerintah. Sangat diperlukan melihat dari berbagai macam sudut pandang agar penerapan dan penegakan hukum menjadi presisi dengan jaminan perlindungan hak konstitusional dan HAM itu sendiri.
Pertama, bertalian dengan kasus yang menimpa Habib Muhammad Rizieq SYIHAB, rezim zalim dungu dan pandir mempersangkakan Habib Rizieq dengan pasal-pasal pidana terhadap dugaan pelanggaran protokol kesehatan (bukan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan) sebagai bagian dari aturan dan norma hukum yang baru di masa pandemi. Akan tetapi, jika melihat pondasi surat dakwaan maka Habib Rizieq juga dijerat pasal-pasal pidana yang berkaitan dengan melawan terhadap penguasa bahkan sampai dengan penggunaan UU Ormas. Oleh karena itu,tidaklah komprehensif jika melihat kasus ini hanya dari sudut hukum pidana saja, mengapa? Jika tindakan rezim zalim dungu dan pandir dalam menjerat Habib Rizieq dengan pasal-pasal pidana tersebut dibenarkan tanpa dikaji secara komprehensif akan menjadi sebuah preseden buruk dalam penegakkan hukum di Indonesia. Pada titik ekstrimnya akan mengeliminir hak asasi manusia itu sendiri. Secara fundamental berimplikasi merusak tatanan hukum yang telah mapan di Indonesia sebagaimana tertuang dalam UUD 1945.
Pada konteks negara hukum Indonesia, UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis pada hakikatnya bukan hanya untaian kalimat-kalimat pada lembaran kertas melainkan konsensus dari Bangsa Indonesia. Bukankah salah satu dasar reformasi adalah
“keinginan untuk secara sungguh-sungguh melaksanakan sendi-sendi, tujuan, asas dan kaidah UUD 1945”? Oleh sebab itu, maka aktualisasi UUD 1945 itu sendiri secara imperatif harus menjadi dasar penegakan hukum lainnya tidak terkecuali hukum pidana. Mengapa demikian? Karena tidak ada satupun permasalahan hukum maupun perlindungan hukum yang tidak berdasarkan UUD 1945 sebagai konsekwensi dari hierarkhi peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu menurut Bagir Manan: “Hakim dalam mengadili dan memutus perkara harus memperhatikan asas, kaidah, dan pandangan-pandangan yang mendasari UUD 1945. Tidak ada perkara yang tidak bersentuhan dengan UUD 1945.”(lihat: Bagir Manan dan Susi Dwi Harjanti, Memahami Konstitusi: Makna dan Aktualisasi, hal. 164)
Kemudian, flashback kondisi hukum pada masa pra-reformasi dimana UUD 1945 direkayasa sedemikian rupa hanya untuk memenuhi kepentingan penguasa seharusnya dijadikan guidance agar tidak terulang pada saat ini dan masa mendatang. Oleh sebab itu, untuk mencegah hal yang demikian terulang kembali maka tidak ada jalan lain bagi kita Bangsa Indonesia selain mengaktualisasi UUD 1945 dalam setiap perikehidupan sehingga UUD 1945 menjadi The Living Constitution.
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Kembali pada kasus Habib Rizieq, penegakan hukum pidana dalam kondisi apapun termasuk Pandemi Covid-19 seharusnya juga didasarkan dan diilhami oleh UUD 1945 bukan dengan kepentingan diluar UUD 1945. Begitupun melihat kondisi pandemi ini, tidak dapat dipungkiri lagi kita harus melihat dan telaah kembali mengenai Model Kedaruratan yang dipilih oleh Pemerintah pada masa pandemi Covid-19.
Model kedaruratan sebenarnya dapat kita telusuri dari Hukum Tata Negara Darurat di dalam UUD 1945. Pada hakikatnya Hukum Tata Negara Darurat adalah negara yang dalam keadaan atau kondisi darurat dimana telah terjadi keadaan bahaya secara tiba-tiba yang mengancam tertib umum. Kondisi ini menuntut negara untuk bertindak dengan cara-cara yang tidak lazim menurut aturan hukum yang biasa berlaku dalam keadaan normal. Pertanyaannya, apakah peraturan perundang-undangan terkait Pandemi Covid-19 yang berlaku saat ini dapat dikualifisir sebagai keadaan darurat? Hal ini menjadi penting untuk dikaji, karena pada kondisi darurat, kekuasaan negara dalam hal ini pemerintah sangatlah besar sehingga dapat mereduksi hak-hak konstitusional dari warga negara. Pada titik ekstrimnya, kekuasaan negara dalam keadaan darurat dapat menciderai demokrasi akibat dari pelanggaran serius terhadap HAM.
Secara konstitusional, pengaturan negara dalam keadaan darurat dapat dilihat pada ketentuan Pasal 12 dan Pasal 22 UUD 1945. Pasal 12 UUD 1945 menyatakan:
“Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”. Sedangkan Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Berdasarkan kedua ketentuan tersebut, maka UUD 1945 memberikan dua kategori mengenai suatu kondisi atau keadaan, yaitu: 1). Keadaan bahaya; dan 2). Hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Konsep keadaan darurat dalam UUD 1945 tersebut seyogyanya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Pertama, baik keadaan bahaya maupun hal ihwal kegentingan yang memaksa hanya Presiden yang berhak untuk menetapkannya. Kedua, penetapan kondisi tersebut dituangkan melalui undang-undang maupun peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
Akan tetapi yang patut menjadi concern yaitu apakah terdapat kesamaan antara keadaan bahaya dan hal ihwal kegentingan yang memaksa? Tentu saja hal ini masih harus dilihat konteks dari kedua pasal tersebut.
Jika kita lihat dari sudut legislasi yang dalam hal ini harus melalui tahapan dan proses yang sudah baku, maka jika Presiden akan menetapkan suatu keadaan bahaya akan tetapi harus melalui tahapan dan proses pembentukan undang-undang yang sudah baku tersebut jelas tidak efisien. Dengan demikian langkah yang ditempuh oleh Presiden adalah dengan menetapkan keadaan bahaya tersebut dalam format peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Hal ini berarti bahwa ketentuan Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 adalah jawaban dari penetapan keadaan bahaya yang tidak dapat dituangkan dalam format undang-undang sebagaimana dipersyaratkan oleh Pasal 12 UUD 1945.
Oleh karenanya menurut Jimly Asshiddiqie ketentuan mengenai keadaan bahaya yang ditentukan dalam pasal 12 jelas lebih menekankan sifat bahaya yang mengancam (dangerous threat), sedangkan kegentingan yang memaksa dalam pasal 22 lebih menekankan aspek kebutuhan hukum yang bersifat mendesak atau kemendesakan yang terkait dengan persoalan waktu yang terbatas. (lihat: Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, halaman 207). Hal yang sama dikemukakan oleh Bagir Manan, menurutnya perspektif UUD 1945 mengenai
“Keadaan Bahaya dalam Pasal 22 secara diametral berbeda dengan Pasal 12. Hal ihwal kegentingan yang memaksa adalah dringende "omstandingheden”, “urgent” atau “necessary”. Pengertianistilah tersebut bertalian dengan kebutuhan hukum yang mendesak, tidak terkait dengan bahaya atau ancaman terhadap keamanan dan pertahanan negara.”(lihat: Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam Perspektif Ajaran Konstitusi dan Negara Hukum, Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum Vol 4 No. 2 tahun 2017, hal. 238)
Selanjutnya, berkenaan dengan pengaturan keadaan bahaya secara khusus telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 Tentang Keadaan Bahaya yang sampai dengan saat ini belum direvisi maupun dicabut sehingga masih berlaku. Dalam perspektif UU No. 74/1957, kualifikasi Keadaan Bahaya dijabarkan dalam bentuk pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, timbul perang atau bahaya perang, dijajahnya wilayah Indonesia dengan cara apapun juga. Sedangkan untuk perundang-undangan yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan wabah penyakit menular dapat kita temukan pada:
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular;
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana;
dan
3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Artinya, jika Pasal 12 dan Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 menjadi pondasi suatu undang-undang tentang keadaan bahaya sekaligus epidemi ataupun pandemi, maka sebagai pilar konstruksinya adalah Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 Tentang Keadaan Bahaya; Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular; Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana; dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Dengan demikian dapat pula ditafsirkan bahwa Pasal 22 UUD 1945 dapat berdiri sendiri tanpa disandingkan dengan Pasal 12 UUD 1945. Walhasil “hal ihwal kegentingan yang memaksa”, pada kondisi tertentu belum tentu mengenai keadaan bahaya.
Berdasarkan analisis terhadap kedua ketentuan pasal tersebut, maka terdapat keharusan suatu peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang meletakkan Pasal 12 dan Pasal 22 Ayat (1) sebagai dasar pada bagian “Mengingat” jika terkait suatu keadaan bahaya sekaligus epidemi ataupun pandemi. Bagaimana jika terdapat peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang yang tidak meletakkan Pasal 12 UUD 1945 sebagai dasar dari pembentukannya? Apabila hal ini terjadi, maka sangat jelas peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang tersebut bukanlah suatu penetapan keadaan bahaya melainkan hanya segi efisiensi dalam proses pembentukan undang-undang. Hal ini dapat saja terjadi agar tidak terjadi kekosongan hukum (rechtvacuum).
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Pada masa Pandemi Covid-19, Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (nomenklatur yang digunakan UUD 1945) yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Sedangkan secara hirearkhi, peraturan turunan dari Perppu Nomor 1 Tahun 2020 adalahPeraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana dengan UU No. 4/1984 Tentang Wabah Penyakit Menular; UU No. 24/2007 Tentang Penanggulangan Bencana; dan UU No. 6/2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan?
Jawabannya adalah sama dengan kondisi Perppu No. 1/2020 yaitu bukan keadaan bahaya.
Lebih lanjut kita melihat rumusan Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.” Jika dikaitkan dengan Model Kedaruratan apapun maka hak-hak yang tercantum didalam Pasal 28I secara Constitutional Imperative tidak dapat dikurangi dan dibatasi (Non-derogable Rights), dan oleh karena itu meski dalam keadaan bahaya sebagaimana Pasal 12 UUD 1945 hak-hak dalam Pasal 28I Ayat (1) maka model kedaruratan sebagaimana Pasal 22 UUD 1945 harus menjamin dan melindungi HAM secara utuh dan menyeluruh (derogable dan non-derogable rights).
Dibawah ini kami sampaikan skema kondisi hokum kedaruratan tersebut :
Mempedomani uraian yang telah kami sampaikan di atas, maka Arsitektur Hukum Pandemi Covid-19 bukanlah arsitektur suatu keadaan bahaya dan tidak terkait dengan bahaya atau ancaman terhadap keamanan dan pertahanan negara.
Atas dasar itulah muncul istilah-istilah baru seperti “New Normal” yang hakikat artinya tatanan hukum masih dalam keadaan normal. Hal ini dapat dibuktikan dengan pembentukan UU Cipta Kerja melalui tahapan yang normal serta Pemilihan Kepala Daerah yang tetap diselenggarakan untuk menjamin hak pilih sebagai hak konstitusional.
Kemudian istilah “Pembatasan Sosial Berskala Besar” yang membidani lahirnya istilah “Pelanggaran Protokol Kesehatan (Prokes)” bukan “Pelarangan Sosial Berskala Besar” atau “Lockdown” yang melahirkan istilah “Kejahatan Prokes”. Inilah bagian dari ketidakcermatan jaksa penuntut umum dalam merumuskan surat dakwaan. Sistem hukum yang berlaku saat pandemi bukanlah rezim keadaan bahaya dimana setiap pelanggaran dapat menjadi sebuah kejahatan akan tetapi pelanggaran tetaplah dihukumi sebagai pelanggaran.
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Kedua, dalam hukum Pidana dikenal Prinsip Ultimum Remedium yang berarti hukum pidana adalah senajata pamungkas atau terakhir yang digunakan dalam penegakan hukum. Akan tetapi ultimum remedium jika kita telusuri maka akan kita jumpa pula dalam rezim hukum administrasi, para sarjana menyebut sanksi administratif sebagai
“in cauda venenum,racun yang berada di ekor”(lihat: Andri Gunawan Wibisana, Tentang Ekor yang Tak Lagi Beracun: Kritik Konseptual atas Sanksi Administratif dalam Hukum Lingkungan di Indonesia, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 6, No. 1, 2019, hal. 42). Mengapa sanksi administratif menjadi Ultimum Remedium? Hal ini lazimnya berkaitan dengan perizinan, segala bentuk kegiatan baik bernilai ekonomis ataupun tidak jika tidak memiliki izin atau dicabut izinnya maka tidak dapat dilaksanakan. Akan tetapi jika dilaksanakan tanpa memiliki izin maka negara memiliki hak untuk menghentikan pelaksanaan kegiatan tersebut dan menjatuhkan sanksi denda.
Sanksi bagi pelanggar prokes sudah ditetapkan melalui Peraturan Gubernur yang menurut UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan materi muatannya bukan ketentuan pidana. Sedangkan peraturan perundang-undangan di level provinsi yang materi muatannya berupa ketentuan pidana adalah Peraturan Daerah (Perda). Berdasarkan alasan yuridis tersebut maka sanksi dalam Pergub PSBB tidak diberikan izin dan pencabutan izin adalah ultimum remedium. Yang perlu kita ingat rezim hukum yang berlaku saat ini bukan rezim hukum keadaan bahaya. Dengan kondisi demikian jika terdapat pihak yang mengajukan suatu izin maka secara hukum harus diberikan jawaban mengenai pemberian izin atau tidak. Hal ini menjadi sangat penting karena sifat peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang sifatnya administratif. Jika pemberian izin atau tidak memberikan izin tidak dilakukan maka sama halnya dengan melawan hukum administrasi.
Berkaitan dengan permohonan izin maulid, seharusnya bukan himbauan yang diberikan oleh aparatur negara melainkan pemberian izin atau tidak memberikan izin.
Surat Himbauan tersebut memiliki tafsir yang berbeda-beda tergantung pada pihak yang memiliki kepentingan. Hal inilah yang men-trigger kekacauan hukum karena tidak menciptakan kepastian hukum yang nyata (real legal certainty). Akan tetapi jika pasti pemberian izin atau tidak memberikan izin, akan memiliki dayaguna untuk mengaktivasi ketentuan-ketentuan sanksi yang tidak ada di dalam pergub. Tanpa proses, itu aktivasi sanksi di dalam peraturan perundang-undangan diatas Pergub menjadi nebis in idem, prematur, dan sangat dipaksakan. Dengan demikian, ketidakcermatan dan ketidaklengkapan jaksa penuntut umum dalam merumuskan surat dakwaan kembali terlihat.
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Perlu kita ketahui bersama, pada hari kedatangan Habib Rizieq secara yuridis merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah sebagaimana ketentuan Pasal 4 juncto Pasal 1 Angka 1UU No. 6/2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan yaitu:
“Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat melalui penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan”
“Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat”
Pemerintah dengan segala kelengkapan yang dimiliki seharusnya sudah mengetahui dan menyiapkan antisipasi terhadap banyaknya warga negara yang datang bukan dengan menyiapkan penerapan pasal-pasal pidana. Karena roh dari Kekarantinaan Kesehatan adalah pencegahan bukan punishment.
Kedua peristiwa itu dapat dikatakan kegagalan dalam pengelolaan Administrasi Negara dan Kekarantinaan Kesehatan atau justru merupakan “conflict engineering”.
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Ketiga, penerapan pasal 160 dan 216 KUHP yang tidak tepat. Norma yang terdapat didalam kedua pasal tersebut adalah secara garis besar adalah menghasut orang supaya melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau pegawai negeri yang ditugaskan mengawasi sesuatu, atau tidak menuruti perintah Undang-Undang atau perintah jabatan. Kedua pasal tersebut jika dikaitkan dengan Pasal 93 UU No. 6/2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan menyebabkan meluasnya persona yang dijadikan terdakwa. Pada rumusan Pasal 93 adalah mengenai sanksi yang dikenakan jika melanggar Pasal 9 Ayat (1) uu aquo. Sedangkan rumusan Pasal 9 ayat (1) adalah
“Setiap Orang wajib mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.” Unsur setiap orang pada rumusan pasal 9 aquo tidak terdapat kualifikasi oleh karena itu seluruh warga negara yang hadir di Bandara dan Petamburan tidak terkecuali Bayu Meghantara (selaku Walikota Jakarta Pusat), Ferguson (Kasat Intelkam Polres Metro Jakarta Pusat), dan Heru Novianto (selaku Kapolres Jakarta Pusat) yang ingin menemui Habib Rizieq juga bertentangan dengan Pasal 9 Ayat (1) UU a quo. Selain itu, protokol kesehatan sebagimana dimaksud oleh Jaksa Penuntut Umum hanya berpusat pada kerumunan. Bagaimana dengan penggunaan masker dan disinfeksi dan usaha lainnya yang telah dilakukan apakah bukan bagian dari protokol kesehatan?
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Selanjutnya Pasal 160 KUHP menurut Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 7/PUU-VII/2009 merupakan delik materil yang mensyaratkan adanya suatu akibat.
Uniknya putusan tersebut, MK dalam mengartikan kata “menghasut” hanya berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional, 2003:392), tindakan penghasutan adalah suatu perwujudan untuk “membangkitkan hati orang supaya marah (untuk melawan atau memberontak)”, atau menurut Black‟s Law Dictionary edisi ke-8 halaman 1.262 dengan menggunakan padanan kata menghasut dengan “provocation” diartikan sebagai, “something (such as word or action) that affects a person‟s reason and self-control, esp. causing the person to commit a crime impulsively”.
Dalam perspektif MK, manifestasi hasutan tersebut adalah perlawanan atau pemberontakan. Bahwa ajakan untuk menghadiri maulid bukanlah suatu perwujudan untuk membangkitkan hati orang supaya marah (untuk melawan atau memberontak). Warga negara yang hadir di bandara dan petamburan dengan penuh kesadaran hukum tetap menggunakan peralatan sebagaimana dimaksud dalam prokes. Jika para warga negara tersebut tidak tunduk dan patuh terhadap prokes atau sampai marah dan memberontak, maka bukan lagi 33 orang yang terjangkit sebagaimana sampling yang diajukan oleh jaksa penuntut umum dalam surat dakwaan akan tetapi menjadi super spreader. Sekali lagi, dalam mengungkap suatu fakta atau peristiwa janganlah dipotong haruslah frame per-frame sehingga menjadi utuh dan penilaian-pun dapat dilakukan dengan obyektif.
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Keempat, Ormas Front Pembela Islam sudah bubar, ibarat terdapat seorang tersangka atau terdakwa yang telah meninggal dunia untuk apa melanjutkan proses penyidikan, penuntutan, dan persidangannya? Apa motif dan relevensinya meletakkan Front Pembela Islam dalam surat dakwaan? Jika hanya ingin mendalilkan bahwa Front Pembela Islam yang memiliki catatan hitam dengan Imam Besarnya adalah Habib Rizieq maka sudah sepatutnya Habib Rizieq dihukum, maka buatlah ini menjadi preseden bagi para koruptor yang berasal dari partai politik dengan segala catatan hitamnya. Tulis dengan jelas dan terang pada tiap surat dakwaan tindak pidana korupsi bahwa partai tersebut kadernya telah banyak melakukan korupsi bahkan sampai buron, ada yang sudah tertangkap dan adapula yang masih bebas.
Satu hal yang pasti, para warga negara yang hadir di bandara dan petamburan meski dicekoki dengan pemberitaan buruk dan pembunuhan karakter Habib Rizieq mereka tetap dengan penuh kesadaran hukum hadir dengan masker dan prokes lainnya.
Kelima, berdasarkan seluruh uraian pada bagian ini, maka sangat terlihat surat dakwaan jaksa penuntut umum tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap.
Keenam, janganlah kebencianmu terhadap seseorang maupun kelompok menjadikanmu tidak mampu berbuat adil.
Maka pada kesempatan ini, kami Penasihat Hukum Terdakwa akan menyampaikan EKSEPSI / KEBERATAN-KEBERATAN terhadap Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 156 ayat (1) junto Pasal 143 ayat (2) huruf (b) Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Jo. Eksepsi tentang yurisdiksi (kompetensi relatif) dari kewenangan Pengadilan.
Sebagaimana diketahui dalam perkara ini, Terdakwa telah didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan Dakwaan yakni:
DAKWAAN PERTAMA:
“Perbuatan Terdakwa MOH. RIZIEQ bin HUSEIN SHIHAB Alias HABIB MUHAMMAD SHIHAB Baik Bertindak Sendiri Maupun Secara Bersama-sama dengan (dituntut dalam perkara terpisah) H. HARIS UBAIDILLAH, S. Pdi, H. AHMAD SABRI LUBIS, ALI ALWI ALATAS Bin ALWI ALATAS, IDRUS alias IDRUS AL-HABSYI, MAMAN SURYADI tersebut, sebagaimana diatur dan diancam pidana sesuai Pasal 160 KUHP Jo. Pasal 93 Undang Undang Republik Indonesia No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP”.
ATAU
DAKWAAN KEDUA:
“Perbuatan Terdakwa MOH. RIZIEQ bin HUSEIN SHIHAB Alias HABIB MUHAMMAD SHIHAB Baik Bertindak Sendiri Maupun Secara Bersama-sama dengan (dituntut dalam perkara terpisah) H. HARIS UBAIDILLAH, S. Pdi, H. AHMAD SABRI LUBIS, ALI ALWI ALATAS Bin ALWI ALATAS, IDRUS alias IDRUS AL-HABSYI, MAMAN SURYADI tersebut,sebagaimana diatur dan diancam pidana sesuai Pasal 216 ayat (1) KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP”;
ATAU
DAKWAAN KETIGA:
“Perbuatan Terdakwa MOH. RIZIEQ bin HUSEIN SHIHAB Alias HABIB MUHAMMAD SHIHAB Baik Bertindak Sendiri Maupun Secara Bersama-sama dengan (dituntut dalam perkara terpisah) H. HARIS UBAIDILLAH, S.Pdi, H. AHMAD SABRI LUBIS, ALI ALWI ALATAS Bin ALWI ALATAS, IDRUS alias IDRUS AL-HABSYI, MAMAN SURYADI tersebut,sebagaimana diatur dan diancam pidana sesuai Pasal 93 Undang Undang Republik Indonesia No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP”.
ATAU
DAKWAAN KEEMPAT:
“Perbuatan Terdakwa MOH. RIZIEQ bin HUSEIN SHIHAB Alias HABIB MUHAMMAD SHIHAB Baik Bertindak Sendiri Maupun Secara Bersama-sama dengan (dituntut dalam perkara terpisah) H. HARIS UBAIDILLAH, S.Pdi, H. AHMAD SABRI LUBIS, ALI ALWI ALATAS Bin ALWI ALATAS, IDRUS alias IDRUS AL-HABSYI, MAMAN SURYADI tersebut,sebagaimana diatur dan diancam pidana sesuai Pasal 14 ayat (1) Undang Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP” .
ATAU
DAKWAAN KELIMA:
“Perbuatan Terdakwa MOH. RIZIEQ bin HUSEIN SHIHAB Alias HABIB MUHAMMAD SHIHAB Baik Bertindak Sendiri Maupun Secara Bersama-sama dengan (dituntut dalam perkara terpisah) H. HARIS UBAIDILLAH, S.Pdi, H. AHMAD SABRI LUBIS, ALI ALWI ALATAS Bin ALWI ALATAS, IDRUS alias IDRUS AL-HABSYI, MAMAN SURYADI tersebut, sebagaimana diatur dan diancam pidana sesuai Pasal 82A ayat (1) jo. Pasal 59 ayat (3) huruf d dan d Undang Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2017 Tentang Penerapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 10 huruf b KUHP Jo. Pasal 35 ayat (1) KUHP”.
Adapun keberatan – keberatan TIM PENASIHAT HUKUM terhadap Surat Dakwaan JPU adalah sebagai berikut:
B. SURAT DAKWAAN PERTAMA DARI JPU YANG MENDAKWA TERDAKWA DENGAN CARA MENGGABUNGKAN ATAU MENGHUBUNGKAN DAKWAAN PASAL 160 KUHP (PIDANA UMUM) BERSAMA – SAMA DENGAN PASAL 93 UNDANG – UNDANG NO: 6 TAHUN 2018 TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN (PIDANA KHUSUS) DIJADIKAN SATU DALAM DAKWAAN PERTAMA ADALAH BATAL DEMI HUKUM
DAKWAAN PERTAMA Jaksa Penuntut Umum (JPU) BATAL DEMI HUKUM Yang mendakwa Terdakwa dengan Pasal 160 KUHP (PIDANA UMUM) Jo. Pasal 93 Undang-Undang No 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan (PIDANA KHUSUS) Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP adalah BATAL DEMI HUKUM.
Bahwa Terdakwa, didakwa oleh JPU dalam Surat Dakwaan PERTAMA No Reg Perkara : PDM-012/Jkt.Tim/Eku-03/2021. Didakwa oleh JPU telah melanggar Pasal 160 KUHP Jo. Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-
1.KUHP adalah SURAT DAKWAAN dibuat TIDAK CERMAT; TIDAK JELAS ; dan TIDAK LENGKAP ; yang mengakibatkan SURAT DAKWAAN PERTAMA JPU tersebut adalah BATAL DEMI HUKUM ;
Adapun yang menyebabkan DAKWAAN PERTAMA dari JPU tersebut BATAL DEMI HUKUM, dengan alasan yuridis sebagai berikut:
B.1 KEBERATAN TIM PENSIHAT HUKUM TERDAKWA ATAS DAKWAAN PERTAMA JPU YANG KE – 1 (SATU).
Bahwa Dakwaan Pasal 160 KUHP, TIDAK DAPAT DIDAKWAKAN BERSAMAAN DENGAN Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Atau dengan kata lain Dakwaan Pasal 160 KUHP TIDAK BISA diJUNTO kan atau DIJADIKAN SATU DAKWAAN dalam DAKWAAN PERTAMA. Karena “Unsur – Unsur” Pasal 160 KUHP SANGAT BERBEDA dengan “Unsur – Unsur” Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dan juga, ANCAMAN HUKUMAN dalam Pasal 160 KUHP, BERBEDA dengan ANCAMAN HUKUMAN dalam Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Bahwa Kedua Pasal tersebut, mempunyai unsur –unsur masing – masing dan juga mempunyai ancaman hukuman masing – masing YANG TIDAK dimungkinkan atau TIDAK DIBENARKAN untuk dijadikan SATU Surat DAKWAAN seperti SURAT DAKWAAN PERTAMA JPU tersebut.
Bahwa hal ini sangat jelas di atur dalam Yurisprudensi Tetap MAHKAMAH AGUNG – RI No : 71 K/Kr/1968, dengan Majelis Hakim Agung :
1. Prof. SUBEKTI, S.H.;
2. Z. ASIKIN KUSUMAH ATMADJA, S.H.;
3. D.H. LUMBAN RADJA, S.H.
Bahwa untuk lebih jelasnya kami kutip bunyi Yurisprudensi Tetap MAHKAMAH AGUNG – RI No: 71 K/Kr/1968, dari Buku Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung – RI Cetakan Ke 2, 1993. Berbunyi dengan kaedah hukum sebagai berikut:
“suatu surat tuduhan tindak pidana yang dirumuskan Pasal 368 KUHP bersama – sama unsur pasal penipuan 378 KUHP merupakan Kesalahan yang sangat esensial yang menyebabkan tuduhan tersebut batal “.
Bahwa adapun Pertimbangan Hukum dari Yurisprudensi Tetap MAHKAMAH AGUNG – RI No: 71 K/Kr/1968. tersebut. Kami kutip sebagai berikut:
“bahwa dalam tuduhan primair tidak jelas apakah yang dimaksudkan itu merupakan tindak pidana pemerasan (Pasal 368 K.U.H.P) atau merupakan tindak pidana penipuan (Pasal 378 K.U.H.P) karena dalam bagian pertama dari tuduhan primair dipergunakan perumusan Undang2 mengenai tindak pidana pemerasan, kemudian dipakai unsur2 dari penipuan sebagai materieele handelingen hal mana merupakan suatu kesalahan Yang esentieel jang menjebabkan tuduhan primair batal ”.
Berdasarkan dan Berpedoman dari Yurisprudensi Tetap MAHKAMAH AGUNG – RI No : 71 K/Kr/1968 tersebut di atas. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam membuat surat dakwaan, JPU TIDAK DIBENARKAN Menggabungkan Unsur – unsur delik Pasal 160 KUHP di JUNTO kan dengan Unsur – Unsur delik Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Karena mengandung Kesalahan yang sangat Esensial.
Adapun dalam Dakwaan Pertama, JPU yang Mendakwa Terdakwa, adanya Penggabungan dakwaan Unsur – Unsur Pasal 160 KUHP digabungkan menjadi satu dakwaan dengan unsur – unsur Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Adanya penggabungan tersebut, kami kutip kembali unsur –unsur delik Pasal 160 KUHP Juncto Pasal 93 yang dijadikan satu dakwaan (dakwaan Pertama pada Halaman 2).
“maka Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk memeriksa dan mengadli, mereka yang melakukan ,yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan, di muka umum dengan lisan atau tulisan “menghasut ” supaya melakukan pidana ( pasal 160 KUHP) kekarantinaan kesehatan sebagaimana pasal 93 undang-undang Republik Indonesia Nomor: 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang di berikan berdasar ketentuan undang-undang”.
Pada Halaman 10 (sepuluh) Surat DAKWAAN PERTAMA berbunyi:
“Perbuatan Terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 160 KUHP Jo. Pasal 93 Undang – Undang R.I. Nomor 6 tahun 2018 tentang KEKARANTINAAN KESEHATAN Jo. Pasal 55 Ayat 1 (satu) ke – 1 KUHP.”
Bahwa dari unsur – unsur delik yang didakwakan dalam dakwaan Pertama, Pasal 160 KUHP jo. Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan yang didakwakan terhadap Terdakwa dengan LOCUS DELICTIE yang terjadi di Petamburan Jakarta Pusat dalam Peristiwa Hukum acara BERKERUMUN menghadiri Maulid Nabi Muhammad SAW.
Sangat jelas JPU dalam DAKWAAN PERTAMA Telah Menggabungkan Unsur – unsur pasal 160 KUHP digabungkan dengan Unsur – unsur delik Pasal 93 UU No 6. Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Bahwa Berpedoman pada Yurisprudensi Tetap MAHKAMAH AGUNG RI No: 71 K/Kr/1968, tentang yang intinya “LARANGAN” pengabungan unsur – unsur delik Pasal PEMERASAN (Pasal 368 KUHP) di GABUNGKAN dengan unsur – unsur Delik Pasal PENIPUAN (Pasal 378 KUHP).
Bahwa demikian Pula Dakwaan Pertama JPU dalam Perkara a quo, yang mendakwa TERDAKWA dengan Cara MENGGABUNGKAN Unsur – unsur Delik Pasal 160 KUHP dengan unsur – unsur delik Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan Yang merupakan Kesalahan yang sangat Essensial dan mengakibatkan DAKWAAN PERTAMA JPU tersebut KABUR / TIDAK JELAS (OBSCURE LIBEL). Sebagaimana yang telah diatur dalam YURISPRUDENSI TETAP MAHKAMAH AGUNG R.I. No: 71 K/Kr/1968, Tentang HUKUM PIDANA dan HUKUM ACARA PIDANA.
Bahwa LARANGAN PENGGABUNGAN Pasal 160 KUHP Juncto Pasal 93 UU No: 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, adalah dikarenakan unsur – unsur Pasal 160 KUHP SANGAT BERBEDA dengan unsur –unsur Pasal 93 UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Dan juga Ancaman HUKUMAN Pasal 160 KUHP SANGAT BERBEDA dengan Ancaman Hukuman Pasal 93 UU No: 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Dimana “Unsur – unsur” Pasal 160 KUHP adalah sebagai berikut:
“Barang siapa dimuka umum dengan Lisan atau Tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang – undang maupun perintah Jabatan yang diberikan berdasarkan ketentuan undang – undang diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah “.
Sedangkan “Unsur – unsur” Pasal 93 UU No: 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Adalah sebagai berikut:
“Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
Ayat (1) dan / atau menghalang – halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat dipidana dengan pidana Penjara paling lama 1 (satu) Tahun dan / atau Pidana denda Paling banyak Rp.100.000.000,- ( seratus juta rupiah)”.
Bahwa Selanjutnya Unsur – unsur Pasal 9 Ayat (1) UU No: 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Adalah sebagai berikut :
“Setiap orang wajib mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan”.
Bahwa dari kutipan unsur – unsur Pasal 160 KUHP dan Pasal 93 UU No: 6 tahun 2018, ternyata sangat jelas perbedaan unsur – unsur dari Pasal 160 KUHP dibandingkan dengan unsur – unsur Pasal 93 UU No: 6 tahun 2018. tentang Kekarantinaan Kesehatan tersebut.
Maka kedua Pasal tersebut unsur – unsur nya berbeda dan Ancaman HUKUMAN nya juga BERBEDA, Oleh karena itu TIDAK DIMUNGKINKAN atau TIDAK DIBENARKAN digabungkan menjadi SATU SURAT DAKWAAN. Seperti DAKWAAN PERTAMA JPU tersebut.
Maka berdasarkan YURISPRUDENSI TETAP MAHKAMAH AGUNG R.I, No: 71 K/Kr/1968, yang berbunyi:
“Suatu tuduhan tindak pidana yang dirumuskan berdasarkan unsur –unsur PEMERASAN pasal 368 K.U.H.P. Bersama – sama Unsur – unsur PENIPUAN Pasal 378 K.U.H.P. merupakan kesalahan yang SANGAT ESENSIEL yang menyebabkan tuduhan tersebut BATAL”.
Oleh karenanya, surat DAKWAAN PERTAMA JPU yang Mendakwa PARA TERDAKWA dengan DAKWAAN TINDAK PIDANA yang dirumuskan berdasarkan unsur – unsur Pasal 160 KUHP, bersama – sama dengan unsur – unsur Pasal 93 UU No: 6 tahun 2018. tentang Kekarantinaan Kesehatan tersebut. Yang dijadikan atau digabungkan dalam 1 (satu) SURAT DAKWAAN yaitu: DAKWAAN PERTAMA HARUSLAH DIBATALKAN dan atau BATAL DEMI HUKUM. Karena tidak memenuhi syarat – syarat sebagaimana ditentukan Pasal 143 ayat (2) KUHAP.
B.2 KEBERATAN TIM PENSIHAT HUKUM TERDAKWA ATAS DAKWAAN PERTAMA JPU YANG KE – 2 (DUA).
Bahwa ada lagi larangan PENGABUNGAN unsur – unsur dakwaan tindak pidana khusus digabungkan dengan unsur – unsur tindak pidana umum. Hal ini telah diatur dalam YURISPRUDENSI TETAP MAHKAMAH AGUNG – RI. No: 666 K/Pid/1982, tanggal 10 Agustus 1983, berbunyi sebagai berikut:
“menyatakan dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa SUDARMADJI tersebut BATAL DEMI HUKUM.”
Sebagai pertimbangan hukum dalam YURISPRUDENSI MA – RI No : 666 K/Pid/1982, tanggal 10 Agustus 1983, dalam pertimbangannya yaitu:
“Dalam putusannya MA – RI “menyatakan bahwa dakwaan didasarkan pada pasal 360 ayat a KUHP “dihubungkan” dengan Pasal 5 .a. UU lalu lintas dan angkutan jalan raya (UULAJR). Perbuatan terdakwa mengenai hal tersebut SEHARUSNYA di dakwakan “Sendiri – Sendiri”.
Dengan demikian dakwaan tidak jelas. Dan oleh karena itu dakwaan tersebut HARUSLAH dinyatakan BATAL DEMI HUKUM”.
Bahwa berdasarkan YURISPRUDENSI TETAP MAHKAMAH AGUNG – RI No: 666 K/Pid/1982, tanggal 10 Agustus 1983 tersebut di atas. Maka Semestinya dakwaan Pasal 160 KUHP (Pidana Umum) TIDAK dapat digabungkan dengan Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan (Pidana Kuhusus). Yang SEMESTINYA dakwaan Pasal 160 KUHP dan Dakwaan Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, SEHARUSNYA DIDAKWA SENDIRI –SENDIRI.
Sedangkan DAKWAAN PERTAMA JPU telah MENGGABUNGKAN atau MENGHUBUNGKAN dakwaan yang didasari unsur - unsur Pasal 160 KUHP di JUNTO kan (atau bersama – sama) dengan unsur - unsur Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan menjadi SATU DAKWAAN yaitu DAKWAAN PERTAMA adalah Merupakan KESALAHAN yang SANGAT ESSENTIAL, yang menyebabkan SURAT DAKWAAN PERTAMA Tidak Jelas mengakibatkan SURAT DAKWAAN PERTAMA dalam perkara a quo adalah BATAL DEMI HUKUM.
Maka surat dakwaan JPU yang mendakwa terdakwa dalam DAKWAAN PERTAMA melanggar Pasal 160 KUHP junto Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan adalah BATAL DEMI HUKUM.
Sebab tidak DIBENARKAN menurut YURISPRUDENSI TETAP MAHKAMAH AGUNG – RI No : 666 K/Pid/1982, tanggal 10 Agustus 1983, mengabungkan Pasal 160 KUHP dengan Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan menjadi satu dakwaan. Karena, unsur – unsur pidana Pasal 160 KUHP SANGAT BERBEDA dengan unsur – unsur Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dan juga kedua unsur pasal tersebut mempunyai ancaman hukuman masing – masing YANG BERBEDA yaitu Ancaman Hukum Pasal 160 KUHP maksimal 6 (enam) Tahun Penjara, Sedangkan Ancaman Hukuman dalam Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan Maksimal 1 (satu) tahun penjara atau DENDA.
Maka kedua pasal tersebut yaitu Pasal 160 KUHP (UU pidana Umum)TIDAK dapat didakwakan BERSAMAAN dengan Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Pidana Khusus).
Bahwa ketentuan dalam YURISPRUDENSI TETAP MAHKAMAH AGUNG –RI No: 666 K/Pid/1982, tanggal 10 Agustus 1983. Yang melarang PEMBUATAN SURAT DAKWAAN MENGGABUNGKAN unsur – unsur PIDANA UMUM Bersama – sama dengan unsur – unsur PIDANA KHUSUS.
Sebagaimana TIM PENASIHAT HUKUM uraikan dalam ISI maupun PERTIMBANGAN Hukum YURISPRUDENSI tersebut diatas, Bahwa LARANGAN PENGGABUNGAN unsur – unsur PIDANA UMUM dengan unsur – unsur PIDANA KHUSUS, hal ini sangat Selaras dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 63 KUHP yang berbunyi:
(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan – aturan itu jika berbeda – beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
(2) Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.
Maka dapat kami Tim Kuasa Hukum dari Terdakwa bahwa dakwaan pertama JPU No Reg Perkara : PDM-012/JKT-TIM/Eku/03/2021, tertanggal 4
Maret 2021, yang MENDAKWA PARA TERDAKWA dengan RUMUSAN unsur –unsur Pasal 160 KUHP DIGABUNGKAN atau BERSAMA – SAMA dengan Rumusan unsur – unsur Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan adalah BATAL DEMI HUKUM.
C. KEBERATAN TIM PENSIHAT HUKUM TERDAKWA ATAS MANIPULASI FAKTA DALAM DAKWAAN PERTAMA, KEDUA, KETIGA, KEEMPAT DAN KELIMA.
SURAT DAKWAAN PERTAMA JPU adalah KABUR atau TIDAK JELAS (Obscuree Libel). Dengan Alasan dan Uraian Yuridis sebagai berikut:
Bahwa setelah kami TIM PENASIHAT HUKUM mencermatii SURAT DAKWAAN PERTAMA halaman 2, DAKWAAN KEDUA halaman 10, DAKWAAN KETIGA halaman 18, DAKWAAN KEEMPAT halaman 26, DAKWAAN KELIMA halaman 45, kami TIM PENASIHAT HUKUM kutip sebagai berikut:
“Bahwa terdakwa Moh. RIZIEQ Bin HUSEIN SHIHAB alias HABIB MUHAMMAD RIZIEQ SHIHAB (dituntut dalam perkara terpisah, yang menyatakan dirinya Imam Besar pada Organisasi FPI, yang telah dilarang berdasarkan SURAT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI DALAM NEGERI R.I; MENTERI HUKUM dan HAM R.I.; MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA R.I.; JAKSA AGUNG R.I; KEPALA KEPOLISIAN NEGARA R.I; dan KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME R.I.; Nomor : 220-4780 tahun 2020, No: M.HH – 14. HH05.05 tahun 2020, Nomor: 690 tahun 2020, No : 264 tahun 2020, Nomor. KB / 3 / XII / 2020, dan Nomor: 320 tahun 2020, tanggal 30 Desember 2020.
Tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FRONT PEMBELA ISLAM (FPI), baik bertindak sendiri maupun secara bersama – sama dengan Haris Ubaidilah, Terdakwa Ahmad Sabri Lubis; Terdakwa Ali Alwi alatas Bin Alwi Alatas; Terdakwa Idrus alias Idrus Alhabsyi; dan Terdakwa Maman Suryadi, pada hari sabtu tanggal 14 November 2020 sekira jam 18. 30 WIB, atau setidak- tidaknya pada suatu waktu lain dalam bulan November 2020, bertempat jalan Paksi petamburan III. Jalan KS. Tubun Kelurahan: Petamburan, Kecamatan: Tanah Abang, Kota Jakarta Pusat, atau setidak – tidak nya disuatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Menurut Pasal 85 KUHAP dan Keputusan MA. R.I. No. 49 / KMA / SK / II / 2021. Tentang Penunjukan Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk memeriksa dan Memutus perkara Pidana an. Terdakwa MOH. RIZIEQ alias HABIB MUHAMMAD RIZIEQ SHIHAB Bin HUSEIN SHIHAB. Dkk Tanggal 24 Februari 2021, Maka Pengadilan Negeri Jakarta Timur berwenang untuk memeriksa dan mengadili, mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan, dimuka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana kekarantinaan kesehatan sebagaimana Pasal 93 UU R.I No: 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang – undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasarkan ketentuan Undang – Undang.
Bahwa dari uraian peristiwa yang di DAKWAKAN oleh JPU kepada Terdakwa sebagaimana uraian yang diuraikan dalam yang telah TIM PENASIHAT HUKUM kutip diatas, ternyata setelah di cermati, tidak ada Relevansinya antara Peristiwa Hukum yang di Dakwakan yaitu Hal ikhwal Perbuatan TERDAKWA Tentang LARANGAN berdasarkan SURAT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI DALAM NEGERI R.I; MENTERI HUKUM dan HAM R.I.; MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA R.I.; JAKSA AGUNG R.I; KEPALA KEPOLISIAN NEGARA R.I; dan KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME R.I.; Nomor : 220-4780 tahun 2020, No: M.HH – 14. HH05.05 tahun 2020, Nomor: 690 tahun 2020, No : 264 tahun 2020, Nomor. KB / 3 / XII / 2020, dan Nomor : 320 tahun 2020, tanggal 30 Desember 2020 Tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FRONT PEMBELA ISLAM (FPI), Dengan RUMUSAN unsur – unsur Pasal Yang di DAKWAKAN kepada Terdakwa yang mengakibatkan DAKWAAN menjadi KABUR atau TIDAK JELAS.
Selain tidak ada hubungan dengan unsur-unsur pasal yang didakwakan kepada Terdakwa Jaksa Penuntut Umum juga telah memanipulasi FAKTA karena Acara Peringatan Maulid Nabi SAW diselenggarakan pada tanggal 14 November 2020, sementara SKB larangan Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FRONT PEMBELA ISLAM (FPI), baru terbit pada tanggal 30 Desember 2020.
Kronologis peristiwa telah diputarbalikan oleh JPU, seolah – olah Pelarangan FPI oleh Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri RI, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian Negara RI, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme No. 220-4780 tahun 2020, Ni. M.HH-14.HH05.05 tahun 2020, No. 690 tahun 2020, No. 264 tahun 2020, No. KB/3/XII/2020, dan N0. 320 tahun 2020 tanggal 30 Desember 2020 tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam terjadi terlebih dahulu baru pristiwa yang didakwakan terjadi.
D. PELANGGARAN ASAS LEGALITAS DALAM DAKWAAN KELIMA
Bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang memasukan perbuatan-perbuatan pidana sebelum disahkannya Undang-undang No. 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2017 Tentang Penerapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan adalah melanggar asas yang paling utama dalam hukum pidana sebagaimana pasal 1 ayat 1 KUHP, yang menyatakan:
“Tiada satu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi.”
Bahwa dakwaan kelima JPU pada halaman 42 huruf a, halaman 44 huruf i, j, k dan halaman 45 huruf l yang menyatakan:
a. Berdasarkan fotocopy legalisir putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.1616/Pid.B/2008/PN.JKT.PST tanggal 30 Oktober 2008 yang memeriksa dan mengadili perkara pidana tingkat pertama atas nama terdakwa Moh.Rizieq alias Habib Muhammad Rizieq Syihab, ketua Front Pembela Islam, dengan amar antara lain: menyatakan terdakwa Moh. Rizieq alias Habib Muhammad Rizieq Syihab telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “menganjurkan orang untuk melakukan kekerasan dimuka umum terhadap orang dan barang yang dilakukan secara Bersama-sama.
i. Berdasarkan fotocopy legalisir putusan Pengadilan Negeri Batang No.213/Pid.b/2008/PN.BTG tanggal 29 Januari 2009 yang memeriksa dan mengadili perkara pidana tingkat pertama atas nama terdakwa Slamet Budionmo alias Abu Ayyas Bin Busaeri, pengurus DPW FPI Pekalongan dengan amar antara lain: menyatakan terdakwa Slamet Budionmo alias Abu Ayyas Bin Busaeri tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “didepan umum mengasut secara lisan.”
j. Berdasarkan fotocopy legalisir putusan Pengadilan Negeri Batang No.211/Pid.b/2008/PN.BTG tanggal 29 Januari 2009 yang memeriksa dan mengadili perkara pidana tingkat pertama atas nama terdakwa Slamet Zainudin alias Mamek alias Cemik Bin Bambang Gunawan anggota FPI dengan amar antara lain: menyatakan terdakwa Slamet Zainudin alias Mamek alias Cemik Bin Bambang Gunawan tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “secara terang-terangan dan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang.”
k. Berdasarkan fotocopy legalisir putusan Pengadilan Negeri Batang No.212/Pid.b/2008/PN.BTG tanggal 29 Januari 2009 yang memeriksa dan mengadili perkara pidana tingkat pertama atas nama terdakwa Muhamad Iqbal Sohib Bin Suhaimi anggota FPI, dengan amar antara lain: menyatakan terdakwa Muhamad Iqbal Sohib Bin Suhaimi tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”dimuka umum Bersama-sama melakukan kekerasan terhadap barang dan dimuka umum menghasut secara lisan.”
l. Berdasarkan fotocopy legalisir putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No.69/Pid.b/2012/PN.Ykt tanggal 17 April 2012 yang memeriksa dan mengadili perkara pidana tingkat pertama atas nama terdakwa H.M Bambang Tedi SH Ketua FPI DPW DIY, dengan amar antara lain: menyatakan dakwaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “pidana”
Bahwa peristiwa-peristiwa yang diuraikan sebagaimana huruf a, i, j, k dan l diatas menunjukan KEDUNGUAN dan KEPANDIRAN atau dengan kata lain KETIDAKCERMATAN JPU dalam merumuskan dakwaan. Sehingga dakwaan tersebut BATAL DEMI HUKUM.
KETIDAKCERMATAN JPU dalam rumusan dakwaan dilanjutkan dengan menyebut Hb. Assayid Bahar Bin Smith alias Habib Bahar Bin Ali Bin Smith sebagai anggota FPI yang divonis bersalah berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta sebagaimana dakwaan kelima halaman 45 huruf m, yang menyatakan:
m. Berdasarkan fotocopy legalisir putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No.219/Pid.Sus/2019/PN.Bdg tanggal 09 Juli 2019 yang memeriksa dan mengadili perkara pidana tingkat pertama atas nama terdakwa Hb. Assayid Bahar Bin Smith alias Habib Bahar Bin Ali Bin Smith telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “turut serta merampas kemerdekaan orang yang mengakibatkan orang luka berat dimuka umum secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka berat dan melakukan kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan luka berat”
Bahwa pada faktanya Hb. Assayid Bahar Bin Smith alias Habib Bahar Bin Ali Bin Smith TIDAK PERNAH menjadi anggota ataupun sebagai pengurus FPI. Selain itu putusan terhadap Habib Bahar Bin Smith bukan produk dari PN Yogyakarta melainkan PN Bandung. Hal ini menunjukkan kengawuran dan kesembronoan JPU dalam merumuskan dakwaan ini sehingga menyebabkan dakwaan tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap. Sehingga selayaknya DAKWAAN INI BATAL DEMI HUKUM.
E. DAKWAAN KELIMA JAKSA PENUNTUT UMUM BERTENTANGKAN DENGAN PUTUSAN MK NO.82/PPU-XI/2013.
Bahwa dakwaan kelima JPU halaman 36 alinea ke 4 yang menyatakan: "berlanjutnya aktivitas organisasi kemasyarakatan FPI yang dilakukan oleh Moh. Rizieq Syihab Bin Sayyid Husein Syihab alias Habib Muhammad Rizieq Syihab, Haris Ubaidillah, Ahmad Sabri Lubis, Ali Alwi Alatas Bin Alwi Alatas, Idrus alias Idrus Al Habsi, Maman Suryadi, sekumpulan orang yang mengatasnamakan pengurus FPI serta masih menggunakan atribut-atribut FPI, simbol-simbol, dan identitas lainnya sekalipun anggota/pengurus telah mengetahui bahwa organisasi kemasyarakatan FPI tersebut telah berakhir masa berlaku SKTnya.”
“Namun orang-orang yang selama ini masih terlibat di dalam organisasi kemasyarakatan FPI tersebut dan selalu menggunakan atribut-atribut FPI, simbol-simbol, dan identitas lainnya dimana terlihat pada saat terdakwa hendak menikahkan putrinya, sekaligus acara Maulid Nabi Muhammad SAW, dimana Haris Ubaidillah, Ahmad Sabri Lubis, Ali Alwi Alatas Bin Alwi Alatas, Idrus alias Idrus Al Habsi, Maman Suryadi kegiatan mereka masih mengatasnamakan sebagai pengurus Ormas FPI sekalipun sudah tidak berbadan hukum lagi akan tetapi malah membuat surat yang ditanda tangani dengan menggunakan logo Front Pembela Islam (FPI) …” Bahwa dakwaan JPU yang berasumsi seolah-olah ormas dilarang untuk untukmelakukan aktifitas, menggunakan simbol, atribut dan identitas lainnya dikarenakan SKT telah berakhir, menunjukkan keterbatasan pengetahuanhukum JPU.
Bahwa bersarakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 82/PPU-IX/2013, dalam pertimbangan hukum halaman 125, point [3.19.4], menyatakan : 'Menurut Mahkamah, yang menjadi prinsip pokok bagi Ormas yang tidak berbadan hukum, dapat mendaftarkan diri kepada instansi pemerintah yang bertanggung jawab untuk itu dan dapat pula tidak mendaftarkan diri. Ketika suatu Ormas yang tidak berbadan hukum, telah mendaftarkan diri haruslah diakui keberadaannya sebagai Ormas yang dapat melakukan kegiatan organisasi dalam lingkup daerah maupun nasional. Suatu Ormas dapat mendaftarkan diri di setiap tingkat instansi pemerintah yang berwenang untuk itu. Sebaliknya berdasarkan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat, suatu Ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapat pelayanan dari pemerintah (negara), tetapi negara tidak dapat menetapkan Ormas tersebut sebagai Ormas terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan Ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau melakukan pelanggaran hukum."
Dengan merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 82/PPU-XI/2013, tersebut, maka suatu organisasi kemasyarakatan yang tidak mendaftarkan diri pada pemerintah tidak menjadikan Ormas tersebut menjadi Ormas terlarang melainkan hanya tidak mendapat pelayanan dari pemerintah, sehingga dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang menyatakan Terdakwa dan para pengurus FPI dilarang beraktifitas dengan menggunakan atribut, simbol dan logo FPI adalah menunjukan ketidakcermatan, ketidakjelasan Jaksa Penuntut Umum dalam merumuskan dakwaan a quo, sehingga dakwaan a quo batal demi hukum.
BAB V
PENUTUP
Majelis Hakim yang mulia,
Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Berdasarkan uraian di atas, maka kami memohon agar Majelis Hakim Pemeriksa Perkara berkenan memeriksa, mengadili dan menjatuhkan putusan sela dengan amar putusan sebagai berikut :
1. Menerima dan mengabulkan Nota Keberatan atau Eksepsi Penasihat Hukum Terdakwa untuk seluruhnya;
2. Menyatakan penangkapan dan penahanan atas diri Terdakwa adalah tidak sah;
3. Memerintahkan Jaksa Penuntut Umum melepaskan Terdakwa dari tahanan;
4. Menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Timur tidak berwenang mengadili perkara ini;
5. Menyatakan perkara ini adalah Nebis In Idem dan Dakwaan Tidak dapat Diterima
6. Menyatakan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum No. Reg. Perkara: PDM-011/JKT.TIM/Eku/02/2021 Batal Demi Hukum;
7. Membebaskan Terdakwa dari segala dakwaan Jaksa Penuntut Umum;
8. Memulihkan harkat dan martabat serta nama baik Terdakwa kedudukannya di masyarakat;
9. MembebanKan biaya perkara kepada negara.
ATAU
Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) secara terus terang kecuali oleh orang yang dizalimi. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (QS. An-Nisa' Ayat 148)
Wassalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh