Penetapan Tersangka 6 Laskar FPI, Jalan Menuju Legalisasi Pembantaian
Kamis, 4 Maret 2021
Faktakini.info
*PENETAPAN TERSANGKA 6 LASKAR FPI, JALAN MENUJU LEGALISASI 'PEMBANTAIAN' ?*
_[Catatan Kezaliman Terhadap 6 Anggota Laskar FPI]_
Oleh : *Ahmad Khozinudin, S.H.*
Advokat, Aktivis Pejuang Khilafah
Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri akhirnya menetapkan 6 (enam) orang Laskar Front Pembela Islam (FPI) yang terbunuh oleh tembakan anggota Polda Metro Jaya di Jalan tol KM 50 Jakarta - Cikampek sebagai tersangka. Hal itu disampaikan oleh Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Brigadir Jenderal Andi Rian, pada Kamis (4/3).
Kepolisian mengklaim, penetapan tersangka, berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dari hasil penyelidikan. Polisi tetap kekeuh, peristiwa itu adalah peristiwa pengeroyokan dimana anggota FPI dijadikan Tersangkanya. Selanjutnya, keenam anggota laskar FPI itu ditetapkan tersangka atas dugaan melakukan tindak kekerasan sebagaimana Pasal 170 KUHP jo. Pasal 1 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang- undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dan/atau Pasal 214 KUHP.
Menurut kepolisian berkas perkara akan diserahkan dan dikaji oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Pengkajian nantinya diperlukan oleh JPU terhadap penetapan tersangka enam laskar FPI karena telah meninggal.
Dari narasi peristiwa yang disampaikan, nampak terang ada satu rangkaian penyelidikan dan penyidikan perkara, yang memberikan deskripsi hukum pada peristiwa 'pembantaian' 6 laskar FPI di KM 50 sebagai peristiwa 'pengeroyokan massa sipil terhadap anggota polisi', yang berujung dengan penembakan 'pembelaan' diri hingga mengakibatkan tewasnya 6 anggota FPI.
Proses penyidikan yang dilanjutkan hingga penetapan Tersangka, patut diduga memiliki tujuan sebagai berikut :
*Pertama,* status Tersangka ini penting disematkan oleh Kepolisian kepada 6 anggota FPI, agar tak ada lagi tuntutan keluarga dan umat Islam atas kematian 6 anggota FPI dengan dalih pelaku adalah penjahat. Karena pelaku penjahat, maka tindakan aparat yang menembak mati ingin dilegitimasi sebagai tindakan menembak penjahat yang akan mengeroyok dan menganiaya aparat penegak hukum.
Tindakan ini, tentu akan menghentikan proses penyidikan atas kematian 4 anggota FPI yang versi Komnas HAM melanggar HAM biasa. Sebab, mustahil ada pelanggaran HAM pada tindakan membela diri dan mengeksekusi penjahat yang hendak mengeroyok aparat.
*Kedua,* sebenarnya proses penerapan tersangka ini -kalaupun mau dipaksakan- tidak bisa diterapkan. Mengingat, berdasarkan pasal 77 KUHP Tersangka yang meninggal dunia demi hukum kasusnya dihentikan karena gugurnya kewenangan penuntutan.
Penetapan Tersangka ini sudah pasti akan dihentikan kasusnya oleh Jaksa. Karena itu, rangkaian penetapan Tersangka oleh Kepolisian dan kasusnya kelak akan dihentikan oleh Kejaksaan, dapat dipahami mengandung maksud untuk melibatkan Kejaksaan untuk melegitimasi tindakan kepolisian.
Padahal, dengan kewenangan penyidik dalam tahap penyidikan Penyidik dapat menghentikan kasus secara mandiri tanpa melibatkan jaksa melalui produk SP3. Pelibatan Jaksa dalam penghentian kasus kematian 6 anggota FPI setelah ditetapkan sebagai tersangka, adalah untuk menambah legitimasi tindakan penyidik yang menetapkan Tersangka kepada 6 anggota FPI yang telah meninggal dunia.
*Ketiga,* kelak jika Jaksa merasa risih menghentikan kasus atas kewenangannya memberi petunjuk kepada kepolisian, bukan mustahil kejaksaan akan tetap membawa dan melimpahkan perkara ke pengadilan, sehingga penghentian kasus karena gugurnya kewenangan menuntut juga ikut dilegitimasi oleh Majelis hakim melalui suatu penetapan.
Mengenai pelibatan majelis hakim untuk melegitimasi tindakan kepolisian ini, sangat bergantung kepada jaksa. Jika jaksa, merasa mau menanggung resiko publik bersama kepolisian, maka cukuplah jaksa memberi petunjuk agar kepolisian menghentikan kasus berdasarkan ketentuan pasal 77 KUHP.
Namun, jika opini publik kencang dan kejaksaan merasa disudutkan oleh umpan perkara dari kepolisian, bukan mustahil Jaksa akan melempar bola panas ini ke pengadilan. Dan mau tidak mau, hakim akan menetapkan perkara dihentikan berdasarkan ketentuan pasal 77 KUHP.
Kasus wanita yang 'dikualifikasi' gila saat memasuki masjid dan membawa anjing di Bogor, juga menggunakan pola ini. Kasusnya dihentikan melalui pengadilan, dengan alasan tidak memiliki kemampuan pertanggungjawaban pidana. Padahal, kasus model ini sejatinya bisa dihentikan ditingkat penyidikan, sebagaimana banyak kasus lain juga jamak dihentikan di tingkat penyidikan.
Penulis kira, ini adalah penyesatan hukum yang sulit diterima oleh nalar dan teori hukum apapun. Asas dan teori hukum, tidak lagi digunakan untuk menegakkan hukum, melainkan patut diduga digunakan untuk melegitimasi kezaliman.
Semoga, siapapun yang terlibat dalam kasus ini yakni terlibat dalam pembunuhan 6 laskar FPI, di azab oleh Allah SWT dunia dan akhirat. Putus asa rasanya, mengharapkan keadilan dari proses hukum yang dipertontonkan selama ini. [].