Tragedi KM 50: Memburu Pemilik Ide Kejahatan
Ahad, 21 Januari 2021
Faktakini.info
Oleh: Tamsil Linrung
Bangsa ini sering dipuja sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara. Juga dielu-elukan sebagai negara hukum. Namun, sejarah membuktikan, pertarungan ideologi dan kepentingan politik tak jarang mengangkangi hukum dan demokrasi.
Kini, sejarah itu kembali menampakkan kepongahannya. Kasus hukum yang bertubi-tubi menimpa Front Pembela Islam (FPI), ditengarai cacat hukum, intimidatif dan diskriminatif. Konon, itu terjadi sejak kepulangan Habib Rizieq Shihab, penutupan organisasi FPI, dan seterusnya.
Puncaknya adalah unlawful killing, pembunuhan di luar hukum terhadap enam pemuda laskar FPI di KM 50 Jalan Tol Jakarta Cikampek, beberapa waktu lalu. Terhadap pembunuhan di luar hukum ini, Komnas HAM meminta aparat berwenang menyelidiki lebih lanjut.
KM 50: Memburu Pemilik Ide Kejahatan
Permintaan Komnas HAM merujuk secara khusus kepada wafatnya empat laskar FPI. Soalnya, empat pemuda ini harus menemui ajal dalam penguasaan polisi. Versi polisi, mereka merebut pistol aparat sehingga bentrok tak terelakkan di dalam mobil.
Namun argumen itu terasa janggal. Kedua laskar harusnya diborgol, sebagaimana jamaknya Standard Operation Procedure (SOP) penangkapan. Apalagi, mereka dituding terlibat adu tembak sebelum akhirnya dibekuk.
Meski polisi beralasan aparat tidak dilengkapi borgol karena mereka bukan tim penangkapan, namun tetap saja kita mencium aroma kelalaian. Borgol bukanlah barang “mewah” yang memerlukan kualifikasi tertentu untuk ditenteng aparat, sebagaimana senjata berpeluru tajam.
Dua anggota laskar FPI lainnya wafat lebih dulu di lokasi kejadian. Baik kepolisian maupun Komnas HAM, keduanya berpendapat terjadi baku tembak. Namun, sejumlah pihak menemukan keterangan berbeda. Salah satunya wartawan Forum News Network (FNN) Edy Mulyadi.
Saat menginvestigasi ke Rest Area KM 50 Tol Jakarta-Cikampek, di akun youtubenya, Edy mengaku telah mewawancara tiga orang saksi. Para saksi itu menerangkan tidak melihat baku tembak, melainkan hanya mendengar dua kali tembakan. Dua tembakan itu diduga menewaskan dua laskar FPI.
Belakangan, Rest Area KM 50 dibongkar. Ketua Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) 6 anggota Laskar FPI Abdullah Hehamahua mempertanyakan tindakan ini. Menurutnya, di lokasi bukan tak mungkin terdapat barang bukti yang masih dapat ditelisik. Kekhawatiran Hehamahua tentu bisa dipahami.
Yang menyedihkan, dalam perjalanan perkara selanjutnya, keenam pemuda FPI itu dijadikan tersangka meski telah wafat. Alasan versi Menkopolhukam, konstruksi hukum mengharuskan penersangkaan. Tetapi sejumlah ahli hukum membantah dan menyebut langkah hukum ini justru melawan Pasal 77 KUHP.
Sarat Kontroversi
Begitu banyak kontroversi dalam kasus ini, hingga sulit diramu satu per satu.
Namun satu hal yang pasti, konstitusi mengamanatkan agar negara melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia. Melindungi setiap nyawa warga negara adalah kewajiban pemerintah. Sebaliknya, penghilangan nyawa satu rakyat saja tanpa alasan kuat adalah tindakan melawan konstitusi yang juga melanggar HAM.
HAM adalah anugerah yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan kita semua. HAM seharusnya menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Diskriminasi dan intimidasi yang berujung pada hilangnya hak hidup, tentu harus direspon oleh hukum secara adil. Bila tidak, wajah bangsa ini akan semakin kusam dalam pandangan dunia internasional karena kejahatan HAM selalu menjadi perhatian global. Bangsa ini telah cukup banyak menyimpan problem HAM masa lalu yang belum terselesaikan. Jangan ditambah lagi.
Hari ini ,16 Maret 2021, tepat 100 hari kematian 6 pemuda Laskar Front Pembela Islam. Hingga 100 hari pasca kepergian almarhum, pihak keluarga masih mengejar keadilan. Kita bersimpati kepada keluarga yang ditinggal dan memanjatkan doa terbaik untuk almarhum.
Semestinya, belasungkawa juga datang dari pemerintah, entah oleh Presiden Jokowi atau setidaknya salah seorang menteri Kabinet Indonesia Maju. Tetapi kita tidak mendengar ucapan itu, terlebih lagi karangan bunga dukacita.
Konteksnya bukan tentang siapa yang salah dan siapa yang benar. Ini tentang kemanusiaan. Ikut bersimpati pada duka keluarga korban rasanya tidak akan terlalu memberatkan, pun tidak mengurangi kehormatan dan waktu para pejabat. Sebaliknya, ucapan dukacita barangkali saja bisa mendinginkan suasana dan menjadi pintu masuk dialog antara keluarga korban dengan pemerintah.
Di media sosial, viral orang tua almarhum laskar FPI yang wafat itu melakukan sumpah mubahalah. Sumpah mubahalah memang dikenal pada mekanisme hukum pembuktian Islam di zaman Rasulullah. Sumpah ini bahkan pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri.
Hukum Indonesia tidak mengenal sumpah mubahala. Kalau toh dilakukan, agaknya tidak akan meringankan atau memberatkan dalam konteks hukum positif Indonesia. Tetapi sumpah itu toh tetap saja menjadi pilihan. Boleh jadi karena orang tua korban merasa kepentingan hukumnya tidak sepenuhnya diayomi penegak hukum.
Babak Baru
Kini, insiden wafatnya enam laskar FPI memasuki babak baru. Tiga anggota Polda Metro Jaya yang terlibat dalam bentrok dengan enam laskar FPI, tengah diperiksa. Menurut Kabareskrim Polri, tidak menutup kemungkinan ketiganya menjadi tersangka.
Bila benar tiga Anggota Polda Metro Jaya melakukan pembunuhan itu, harus dipastikan apakah tindakan itu dilakukan atas inisiatif sendiri atau atas perintah atasan. Yang kita tahu, garis komando begitu mendarah daging dalam diri aparat kepolisian dan personel TNI. Seorang petugas lapangan umumnya tidak akan berani mengambil keputusan berdampak besar bila tidak ada perintah atasan.
Jika benar didasari atas perintah atasan, maka kasus ini tidak boleh berhenti hanya pada petugas lapangan. Pemilik ide kejahatan dan pemberi komando harus dikejar. Meski begitu, harus diakui pula bahwa kemungkinan inisiatif sendiri tetap ada, meski potensinya kecil. Itu bisa terjadi jika situasi lapangan mengharuskan,
Di sisi lain, lagi-lagi muncul kontroversi baru. Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) 6 anggota Laskar FPI menduga ada eksekutor lain dalam peristiwa di Km 50 tol Cikampek, 7 Desember 2020. Kemungkinan ini disinyalir Ketua TP3 Abdullah Hehamahua, berdasarkan penuturan saksi mata di sekitar lokasi.
Dugaan Hehamahua sebaiknya tidak dikesampingkan begitu saja. Terlebih, dugaan ini memiliki kecocokan dengan temuan investigasi Komnas HAM. Komnas menyebut ada sejumlah pria yang membawa senjata laras panjang di sekitar KM 50, yakni aparat penjaga jalur pengiriman vaksin Covid-19.
Meski begitu, selalu terbuka alternatif lain yang dapat terjadi. Belajar dari kasus pembunuhan Direktur Putra Rajawali Nusantara Nasrudin Zulkarnain, misalnya. Faktanya, di persidangan terungkap bahwa eksekutor yang dinyatakan disewa oleh Mantan Ketua KPK Antasari Azhar ternyata gagal menunaikan tugas. Pistol sang eksekutor macet. Tapi Nasrudin Zulkarnain toh tetap tewas dengan peluru bersarang di kepala.
Peristiwa sejenis itu pula yang dikhawatirkan Hehamahua. Menurut dia, peluru yang menyasar kepala Nasrudin Zulkarnain berasal dari senapan sniper, penembak jarak jauh. Baik Komnas HAM maupun penyidik di Kepolisian seharusnya memikirkan alternatif semacam ini, agar penanganan dan pengembangan perkara tepat sasaran dan berkeadilan. Yang salah tidak boleh dibenarkan, dan yang benar jangan disalahkan.
Kini, TP3 bersama Amien Rais telah menemui presiden. Segala harapan, unek-unek, dan bahkan ancaman siksa api neraka telah disampaikan. Kita menunggu sejauh mana langkah bijak Presiden Joko Widodo. [FNN}
Penulis adalah Senator DPD RI
Sumber: FNN.co.id