BST Berakhir, Jokowi Jilat Ludah Sendiri


Senin, 12 April 2021

Jokowi Jilat Ludah Sendiri

Tidak ada anggaran. Itu menjadi kenyataan, sehingga program Bantuan Sosial Tunai (BST) berakhir pada April 2021.

BST yang nilainya Rp 300.000 per kepala keluarga merupakan program yang diluncurkan Presiden Joko Widodo pada 4 April 2021. Total penerimanya mencapai 10 juta kepala keluarga. Jumlah anggaran yang disiapkan selama empat bulan (Januari sampai April) Rp 12 triliun.

Tidak ada angin, tiba-tiba Menteri Sosial Tri Rismaharani mengumunkan

penghentian BST. Tidak jelas, apakah pengumuman Risma itu sebagai trik agar Kementerian Keuangan iba kepadanya. Tidak hanya trik, tetapi hal itu merupakan manuvernya, sehingga pada akhirnya jika ada masalah, presiden langsung turun tangan.

BST merupakan salah satu program yang diluncurkan presiden pada 4 Januari 2021. Lainnya adalah Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).

Rencana awal, bantuan hanya disiapkan Rp 200.000 per keluarga selama enam bulan (Januari sampai Juni 2021). Dengan berbagai pertimbangan, BST menjadi Rp 300.000 per kepala keluarga, atau sama dengan nilai yang diterima pada 2020. Hanya saja, jangka waktu diperpendek menjadi Januari sampai April 2021.

Sangat ironis dan menyedihkan jika BST berakhir karena alasan anggaran tidak ada. Irinos, karena hal yang sangat dibutuhkan rakyat diiadakan, sementara Jokowi masih jor-joran membangun infrastruktur yang anggarannya jauh berlipat-lipat dibandingkan BST. Apalagi, nafsunya meneruskan pembangunan ibu kota negara, di Kalimantan Timur. Dananya, ratusan triliun. Padahal, pemindahan itu tidak begitu mendesak karena Jakarta masih layak sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Ironis, karena pemerintahan Jokowi justru terkesan lebih memanjakan pengusaha besar dan orang-orang kaya, terutama konglomerat aseng. Buktinya, lihat saja anggaran yang disiapkan pemerintah melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tahun 2021 yang mencapai Rp 700 triliun. Coba ditelusuri ke mana saja dana itu mengalir.

Menyedihkan, karena Dana PEN begitu besar, tetapi sedikit yang ke rakyat. Jika hanya Rp 12 triliun untuk empat bulan pertama, maka selama 2021 ini cukup dianggarkan Rp 36 triliun atau maksimal Rp 40 triliun.

Menyedihkan, karena keberpihakan kepada rakyat yang membutuhkan, semakin jauh. Padahal, April 2021 merupakan bulan yang semakin berat, terutama dalam menghadapi Puasa Ramadhan, dan Hari Raya Idul Fitri 1442 Hijriyah yang jatuh pada 13 Mei 2021.

Kebutuhan masyarakat tentu meningkat. Seandainya pun masyarakat melakukan penghematan, pengeluaran tetap naik akibat melonjaknya harga sejumlah kebutuhan pokok. Seminggu menjelang puasa, harga berbagai jenis kebutuhan pokok naik.

Misalnya, harga telur, harga ayam potong naik, dan harga daging. Harga telur rata-rata Rp 25.000 per kg. Padahal, dua pekan sebelum puasa, harganya masih berkisar Rp 22.000 sampai Rp 23.000 per kg. Harga daging naik dari Rp 120.000 menjadi Rp 130.000 sampai Rp 140.000 per kg.

Dalam waktu yang hampir bersamaan, tahun ajaran baru dimulai. Ada anak yang baru mau masuk TK, SD, SMP, SLTA dan SMK. Ada yang naik kelas. Ada yang mau masuk perguruan tinggi.

Semua membutuhkan biaya. Okelah, untuk SD dan SMP (Negeri), tidak ada uang pangkal, SPP, dan bahkan buku pelajaran gratis semua. “Gratis, tapi mahal,” demikian kalimat yang terekam dari kalangan orang tua murid, terutama yang kurang, apalagi yang tidak mampu. Apalagi, anak yang masuk sekolah swasta, lebih berat lagi.

Sebab, orang tua dibebani biaya membeli pakaian seragam, sepatu dan tas. Nilainya cukup mahal. Apalagi, jika dalam satu rumah tangga ada tiga anak yang sama-sama membutuhkan. Untuk DKI Jakarta, tidak masalah karena mereka memiliki Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang bisa ditukar dengan pakaian seragam sekolah. Akan tetapi, daerah lainnya tidak seperti Jakarta.

Nah, kembali ke BST. Apakah pemerintah benar-benar sudah tidak memiliki anggaran atau sekedar gertak sambal dari Rismawati? Atau jangan-jangan ini pencitraan lagi. Caranya, di saat genting atau menjelang batas waktu, Joko Widodo akan tampil menyatakan dana BST tetap ada. Biar sesulit apa pun harus ada. Terserah dananya dari mana. Mau utang atau apa pun namanya, harus ada.

Akan tetapi, jika Jokowo memaksakan dana BST harus ada di tengah minimnya anggaran, tentu hal tersebut menjadi bahan cemoohan. Sebab, semua orang juga ingat dan tahu tentang ucapannya sewaktu masih menjabat Gubernur DKI Jakarta.

Saat itu, ia menegaskan tidak setuju terhadap semua progran bantuan tunai.sebagai bentuk kompensasi kenaikan harga bahan bakar.minyak (BBM). Ia tidak setuju dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) maupun progran Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Alasannya, tidak.mendidik masyarakat.

Sumber: FNN.co.id


Sebenarnya, tidak hanya BLT, BLSM, BST yang tidak mendidik masyarakat. Bantuan-bantuan lainnya juga tidak mendidik rakyat. Apalagi, Bantuan Lempar Langsung (BLL) yang sering dipertontonkan Jokowi dari.mobil dinas Presiden, saat berkunjung ke daerah.

BLT berubah nama menjadi BST. BST pun menjadi BLL. Ya, Jokowi sering tidak konsisten dengan perkataannya. Jika merujuk pada ucapannya pada Juni 2013, saat masih Gubernur DKI Jakarta, Jokowi telah menjilat ludahnya sendiri. Sebab, ia tidak setuju BLT, tetapi menggantinya menjadi BST. **