Pernyataan Hukum DPP LBH Pelita Umat: Hentikan Kezaliman Terhadap HRS
Ahad, 18 April 2021
Faktakini.info
PERNYATAAN HUKUM
DPP LBH PELITA UMAT
Nomor 02/PH/DPP/IV/2021
Tentang
HENTIKAN KEZALIMAN TERHADAP HABIB RIZIEQ SHIHAB
Habib Rizieq Shihab (HRS) didakwa pasal berlapis terkait kasus kerumunan di acara Maulid Nabi Muhammad SAW dan pernikahan putrinya di Petamburan, Jakarta Pusat, pada 14 November 2020. Habib Rizieq dijerat diantaranya dengan Pasal 93 Undang-undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal tersebut memuat pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100 juta. Jaksa juga mendakwa Pasal 14 ayat 1 UU Nomor 4 tahun 1984 tentang wabah penyakit menular terkait kasus kerumunan Petamburan. Pasal itu turut memuat pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100 juta. Kemudian didakwa dengan Pasal 82A ayat (1) jo 59 ayat (3) huruf c dan d UU nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pasal tersebut memuat ketentuan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama satu tahun.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, DPP LBH PELITA UMAT memberikan pernyataan hukum sebagai berikut:
PERTAMA, Bahwa proses hukum terhadap HRS terkait kerumunan di acara Maulid Nabi Muhammad SAW dan pernikahan putrinya di Petamburan adalah dinilai oleh masyarakat sebagai kezaliman. Hal ini berdasarkan fakta dan peristiwa yang serupa tetapi tidak diperlakukan yang sama yaitu diproses hukum misalnya kerumanan kampanye Pilkada, pernikahan berbagai kalangan, termasuk terdapat dugaan kuat terjadi kerumunan ketika Presiden Jokowi melakukan kunjungan kerja. Semestinya berdasarkan prinsip equality before the law adalah prinsip yang memastikan kedudukan seluruh penduduk dalam suatu negara termasuk pejabat negara memiliki kedudukan hukum yang sama dan diperlakukan sama. Perbedaan dalam penegakan hukum adalah kezaliman dan dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakpercayaan dan pembangkangan publik. Sedangkan zalim adalah perbuatan dosa;
KEDUA, Bahwa dalam proses hukum terkadang terjadi perselingkuhan hukum dan politik. Perselingkuhan tersebut terjadi dikarenakan 2 (dua) hal yaitu pertama Intervensi penguasa. Konfigurasi kekuasaan atau politik yang terjadi terhadap perkembangan karakter produk hukum di indonesia telah mengalami dominasi yang sangat kental, sehingga konsentrasi energi hukum selalu kalah kuat dibanding energi politik atau kekuasaan. Kentalnya konfigurasi politik terhadap perkembangan hukum telah mendegradasi penegakan hukum. Kedua, Oknum Penegak Hukum. Intervensi penguasa sebetulnya tidak akan berjalan baik apabila tidak terdapat oknum penegak hukum yang dengan sengaja dan sukarela mendekat kepada penguasa, tentu dengan beragam alasan. Sehingga ‘perselingkuhan’ ini menjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh pemegang kekuasaan dengan mengatasnamakan hukum. Untuk menilai apakah proses hukum terhadap HRS ini bermuatan politik atau tidak, tinggal dilihat saja apakah pihak lain yang melakukan hal serupa diproses hukum;
KETIGA, Bahwa negara dan kekuasaan adalah dua sisi mata mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Kemana negara akan berlayar tergantung siapa yang memegang kekuasaan. Mengamati dinamika hukum dinegara tercinta, kondisi negara tampak sedang dalam keadaan "darurat hukum". Kami menyeru kepada seluruh warga negara perlu untuk segera dan serta merta diambil tindakan kongkrit menyelamatkan negara dari upaya oknum dan sekelompok individu yang hendak menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan untuk merealisir tujuan politik dan kepentingannya. Bahwa keadaan ini dapat merongrong kedaulatan hukum berada dibawah kendali kekuasaan. Dikhawatirkan Negara bergeser dari recht staat (negara hukum) menjadi macht staat (negara kekuasaan);
KEEMPAT, Bahwa dalam hal adanya suatu ajakan atau undangan untuk menghadiri acara Maulid Nabi Muhammad SAW yang didalamnya terdapat acara pernikahan, maka pada prinsipnya acara tersebut bukan termasuk perbuatan yang tercela. Menjadikan acara Maulid Nabi Muhammad SAW dan/atau pernikahan sebagai peristiwa pidana adalah hal yang tidak mungkin, walaupun di masa pandemi Covid-19. Dikatakan demikian oleh karena acara a quo merupakan bagian dari ibadah agama dan terkait dengan penjaminan Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apa pun. Dengan demikian memformulasikan unsur kesalahan harus dihubungkan dengan sifat melawan hukum suatu perbuatan dan oleh karenanya perbuatan tersebut dicelakan kepada pelaku. Pada perkara yang ‘menjerat’ HRS terkait dengan ajakan menghadiri Maulid Nabi Muhammad SAW dan sekaligus pernikahan putrinya semestinya tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Berkerumunannya orang dalam acara Maulid Nabi Muhammad SAW dalam masa pandemi Covid-19 bukanlah termasuk perbuatan tercela. Tegasnya tidak ada sifat tercela dari acara dimaksud dan oleh karena itu tidak ada sama sekali kesalahannya. Terlebih lagi tidak ada Fatwa MUI yang menyebutkan larangan (keharaman) peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di masa pandemi Covid-19. Tidak ada penggunaan pikiran secara salah dalam ajakan menghadiri acara dimaksud. Dengan kata lain tidak ada kesengajaan untuk melakukan perbuatan terlarang, sebab acara tersebut bukan perbuatan tercela yang dilarang oleh hukum;
KELIMA, Bahwa mengutip pernyataan Kuasa Hukum HRS di media, Munarman SH menyatakan pihaknya menemukan banyak keganjilan dalam dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum alias JPU. Salah satunya adalah dakwaan penghapusan hak politik HRS, sedangkan persidangan itu mengenai pelanggaran protokol kesehatan dan kerumunan di Petamburan. Apabila hal ini benar, kami patut menduga terdapat motif politik tertentu untuk membungkam HRS dalam kasus ini. Dan tentu ini merupakan kezaliman;
KEENAM, Bahwa kami mendorong agar kriminalisasi terhadap HRS, alim ulama, ustadz, aktivis dakwah dan aktivis-aktivis kritis lainnya (Ali Baharsyah, Gus Nur, Syahganda Nainggolan, Habib Bahar dll) untuk dihentikan.
Demikian
Wallahualam bishawab
Jakarta, 18 April 2021
Chandra Purna Irawan,S.H.,M.H.
(Ketua)
Panca Putra Kurniawan, S.H.,M.Si
(Sekertaris Jenderal)