Terkait Pembunuhan 6 Laskar FPI, TP3: Rakyat Menggugat Komnas HAM & Mahfud MD

 

Jum'at, 9 April 2021

Faktakini.info

*Rakyat Menggugat Komnas HAM & Mahfud MD!*

Marwan Batubara, Badan Pekerja TP3

Komnas HAM telah menyampaikan “Laporan Penyelidikan” hasil pemantauan tentang peristiwa pembunuhan enam laskar FPI kepada pemerintah pada 14 Januari 2021. Laporan tersebut menyatakan pembunuhan enam laskar FPI hanyalah pelanggaran HAM biasa. Karena itu, terlepas apakah Komnas HAM mungkin mengalami intervensi, meskipun laporan tidak kredibel, sumir dan diduga sarat rekayasa, maka mungkin karena isinya sesuai “harapan”, laporan tersebut diterima begitu saja oleh pemerintah.  

Temuan Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan Enam Laskar FPI (TP3) yang digali dari saksi-saksi, dokumen dan sejumlah nara sumber, menunjukkan pembunuhan tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan _(crime against humanity)_ yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat, sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 7 dan Pasal 9 UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM. Karena itu saat audiensi dengan sejumlah fraksi di DPR, TP3 telah meminta agar “Laporan Penyelidikan” tersebut dibatalkan.

Pembatalan laporan Komnas HAM yang tidak kredibel memang sangat layak dilakukan, _pertama_ karena Komnas HAM sengaja menggunakan dasar hukum yang tidak tepat atau disengaja misleading agar terhindar dari pembuatan kesimpulan yang mengarah kepada adanya pelanggaran HAM berat. Untuk itu, Komnas memilih UU No.39/1999 tentang HAM sebagai dasar pelaksanaan fungsi/kegiatan. _Kedua,_ sesuai Pasal 76 ayat (1) UU No.39/1999, maka yang dilakukan Komnas HAM mestinya hanya masuk kategori pemantauan, bukan penyelidikan. 

_Ketiga,_ sesuai Pasal 89 UU No.39/1999 ayat (3) huruf f, g dan h, agar dapat melakukan fungsi pemantauan, Komnas HAM terlebih dahulu harus memperoleh persetujuan Pengadilan. Faktanya Komnas HAM belum pernah meminta dan memperoleh persetujuan dimaksud, sehingga hasil pemantauan otomatis tidak valid dan mestinya batal demi hukum jika dijadikan sebagai dasar proses hukum selanjutnya. 

_Keempat,_ Komnas HAM dengan sengaja memanipulasi status hasil pemantauan sebagai hasil penyelidikan. Untuk itu pada 8 Januari 2021, melalui keterangan pers bernomor 003/Humas/KH/I/2021 Komnas HAM nekat memberi judul pemantauannya sebagai “Laporan Penyelidikan”, sebagaimana terpampang pada cover buku laporan.

Laporan hasil pemantaaun yang tidak valid tersebut, kemudian secara resmi disampaikan oleh Komnas HAM kepada Presiden Jokowi. Karena laporan tidak valid, maka penyidikan yang sedang dilakukan Bareskrim Polri terhadap 3 orang tersangka saat ini, di mana satu orang tersangka dinyatakan telah tewas akibat kecelakaan, mestinya harus segera dihentikan. 

Sesaat setelah penyerahan yang sejatinya hanya “Laporan Pemantauan” tersebut, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik secara khusus merasa penting untuk menyatakan tidak adanya pelanggaran HAM berat. "Kami menyampaikan sebagaimana sinyaleman di luar banyak beredar bahwa ini dikatakan, diasumsikan, sebagai pelanggaran HAM yang berat. Kami tidak menemukan indikasi ke arah itu",  kata Taufan saat konferensi pers di kantor Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Kamis (14/1/2021).

Taufan mengatakan untuk masuk kategori pelanggaran HAM berat sejumlah indikasi harus terpenuhi. Salah satunya, rencana pembunuhan yang terstuktur dan terkomando dengan baik. Kata Taufan: "Untuk disebut pelanggaran HAM yang berat tentu ada indikator atau kriteria, misalnya ada satu desain operasi, ada suatu perintah terstruktur, terkomando dengan baik. Itu tidak kita temukan. Oleh karena itu, memang kami berkesimpulan ini merupakan satu pelanggaran HAM karena ada nyawa yang dihilangkan".

Sejalan dengan Taufan, Mahfud MD pun ikut memberi pernyataan sesat dan menyesatkan terkait pelanggaran HAM berat. Mahfud MD bahkan mensyaratkan kriteria lebih “berat”. Saat audiensi TP3 - Presiden Jokowi 9 Maret 2021 di Istana Negara, Mahfud mengatakan ada tiga kriteria yang harus dipenuhi agar suatu peristiwa dapat digolongkan sebagai pelanggaran HAM berat, yaitu terstruktur, sistematik dan masif (TSM). 

Kata Mahfud: “Pertama, dilakukan secara terstruktur. Artinya dilakukan oleh aparat secara resmi dengan cara berjenjang, dan memiliki target. Misalnya targetnya bunuh 6 orang, yang melakukan ini, taktiknya begini, alatnya ini, kalau terjadi ini larinya ke sini, itu terstruktur. Kedua sistematis, yakni adanya tahapan-tahapan serta perintah pembunuhan laskar tersebut. Ketiga yakni masif, menimbulkan korban yang meluas. Kalau ada bukti itu, mari bawa, kita adili secara terbuka, kita adili para pelakunya berdasarkan UU No.26/2000" (9/4/2021).

Kita tidak yakin kalau Mahfud tidak paham tentang kriteria suatu peristiwa kejahatan dapat dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat harus memenuhi kriteria TSM. TP3 yakin bahwa Mahfud paham kriteria peristiwa pelanggaran HAM berat bukanlah TSM, tetapi sistemik atau meluas, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 9 UU No.26/2000. 

Istilah dan kriteria TSM sebelumnya dikenal dalam perkara gugatan pemilihan kepala daerah (pilkada) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) saat menyidangkan perkara sengketa pilkada di beberapa daerah. Pelanggaran  berkriteria TSM telah diputuskan  MK untuk sengketa pilkada Tebingtinggi melalui Putusan No.12/PHPU.D-VIII/2010. Setelah itu, MK pun telah pula memutuskan minimal delapan sengketa pilkada berkriteria TSM lainnya, sesuai Putusan-putusan MK No.22, 25, 27, 28, 41, 45, 158 dan 166/PHPU.D-VIII/2010.

Apakah mungkin seorang Menko Polhukam tidak paham tentang kriteria TSM hanya berlaku dalam peristiwa pelanggaran pemilu, bukan dalam peristiwa pelanggaran HAM? Jika Mahfud menyatakan peristiwa pelanggaran HAM berat harus memenuhi kriteria TSM, maka bisa dianggap terjadi kebohongan publik. Jika Mahfud mengatakan hal tersebut karena kurang mendapat informasi, maka sebagai seorang menko Mahfud telah melakukan kesalahan besar terhadap negara dan rakyat, sekaligus berlaku zolim terhadap korban pembunuhan. 

Pasal 9 UU No.26/2000 menyebutkan: _kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan; d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. penyiksaan; …. dan seterusnya._

Menurut Pasal 9 UU No.26/2000 di atas, agar memenuhi kriteria pelanggaran HAM berat, serangan tidak harus bersifat meluas dan sistemik. Cukup hanya salah satu, bersifat meluas atau bersifat sistemik, maka pelanggaran tersebut sudah masuk kategori pelanggaran HAM berat. Karena itulah TP3 menggugat pernyataan yang sesat dan menyesatkan dari Mahfud MD!

Serangan *meluas atau sistematis* sengaja ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Syarat meluas atau sistematis adalah syarat yang fundamental untuk membedakan kejahatan ini dengan kejahatan umum lain yang bukan merupakan kejahatan internasional. Kata meluas menunjuk pada jumlah korban, tindakan dengan skala besar dilaksanakan secara kolektif dan berakibat yang serius (Case No.ICTR-96-4-T, September 2, 1998, para 580). 

UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM maupun Statuta Roma 1998 belum mendefinisikan mengenai arti meluas atau sistematis. Oleh karena itu, pengertian sistematis atau meluas tersebut dapat menggunakan yurisprudensi, antara lain dalam International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), dan doktrin.

Meskipun demikian, tidak berarti Komnas HAM dan pemerintah dapat begitu saja merekayasa penggunaan/penerapan peraturan dan hukum, sekaligus memanipulasi informasi dan membohongi publik, sehingga kejahatan kemanusiaan terhadap enam laskar FPI hanya dikategorikan sebagai pelanggaran HAM biasa. Rekayasa dan manipulasi informasi ini seolah telah menjadi kebenaran mutlak, terutama akibat kekuasaan dan jaringan yang dimiliki dalam menyebar informasi secara sepihak.

Saat audienasi, Presiden Jokowi mempersilakan TP3 menyerahkan alat bukti jika telah terjadi pelanggaran HAM berat. Mahfud menyatakan penentuan pelanggaran HAM berat tidak cukup hanya atas dasar keyakinan. Bahkan dalam konferensi pers setelah audiensi, Mahfud sempat berujar kalau TP3 tidak punya alat bukti. Namun begitu, kata Mahfud, jika memiliki alat bukti, silakan TP3 menyampaikan kepada pemerintah. TP3 telah meyakinkan pemerintah dan publik bahwa alat bukti tersebut akan dibuka pada waktunya.

Sebetulnya, dengan bukti-bukti yang telah dikumpulkan oleh Komnas HAM saja, jika tidak terjadi rekayasa hukum dan manipulasi informasi, serta pernyataan sesat menyesatkan dari Mahfud, maka Komnas HAM sudah bisa menyimpulkan terjadinya pelanggaran HAM berat. Untuk itu, jika proses hukum yang saat ini sedang berlangsung di internal Polri tetap dilanjutkan, maka sangat pantas bagi rakyat menggugat Komnas HAM dan Mahfud MD. 

Selain itu, sesuai komitmen Presiden Jokowi saat audiensi dengan TP3 pada 9 Maret 2021, bahwa pemerintah akan menuntaskan kasus pembunuhan brutal atas enam laskar secara adil, transparan dan bisa dinilai publik, maka Presiden Jokowi pun perlu segera memerintahkan Kapolri untuk segera menghentikan proses hukum internal Polri yang sedang berlangsung tersebut. Mari kita pantau, bagaimana reaksi dan tindakan Presiden Jokowi atas tuntutan publik dan rakyat biasa yang tak punya kuasa ini.[]

Jakarta, 9 April 2021.