Tiada Kejelasan, Ini Daftar Tahanan Politik Di Era Jokowi

 

Ahad, 25 April 2021

Faktakini.info, Jakarta - Jokowi sempat berjanji akan memulangkan seluruh tahanan politik, terutama yang didakwa atas pasal makar, tapi janji itu tak kunjung dibayar. Berikut daftar tahanan politik yang nasibnya masih terkatung-katung di era Presiden Jokowi.

Human Rights Watch menggunakan database yang disediakan organisasi Tapol berbasis di London serta pengajuan oleh pengacara Jennifer Robinson dan Veronica Koman kepada Kelompok Kerja PBB tentang Penahanan Sewenang-wenang. Hasilnya, mereka berhasil menginventarisasi nama-nama tahanan politik (tapol) dari delapan kota di Indonesia.

JAKARTA

Pengadilan Jakarta Pusat menghukum enam aktivis pada 24 April 2020, hingga sembilan bulan penjara atas tuduhan makar. Mereka diduga terlibat dalam aksi damai di luar Istana Negara pada 28 Agustus 2019, untuk memprotes serangan rasis terhadap pelajar Papua di Surabaya pada 17 Agustus.

Mereka adalah Ambrosius Mulait, ketua Asosiasi Mahasiswa Dataran Tinggi Papua; Arina Elopere Gwijangge, mahasiswa teologi; Charles Kossay, aktivis; Dano Tabuni, aktivis; dan Suryanta Ginting, juru bicara Front Rakyat Indonesia untuk Papua Barat.

Ginting adalah satu-satunya aktivis Indonesia non-Papua yang dipenjara dengan tuduhan itu. Pengadilan juga menjatuhkan hukuman delapan bulan penjara kepada Isay Wenda, mahasiswa Papua.

WAMENA, PAPUA

Polisi menangkap Jakub Skrzypski dan Simon Magal pada 2018 ketika Skrzypski, warga negara Polandia, berada di Papua. Magal dan Skrzypski dihukum masing-masing empat dan tujuh tahun penjara karena makar. Skrzypski adalah orang asing pertama yang dihukum berdasarkan Pasal 106 KUHP.

AMBON, KEPULAUAN MALUKU

Lima tahanan politik Maluku dipenjara di penjara Waiheru dan Passo di Ambon. Pada 29 Juni 2019, polisi menangkap pasangan Izaak Siahaja (80) dan Pelpina Werinussa (72) karena mereka memasang bendera RMS di dalam rumah mereka. Siahaja dihukum karena makar dan dijatuhi hukuman lima setengah tahun penjara. Werinussa dan tiga tamu mereka (Johan Noya, Basten Noya, dan Markus Noya) dijatuhi hukuman lima tahun penjara, juga karena makar.

BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR

Polisi menangkap tujuh aktivis Papua secara terpisah di Jayapura, Papua, setelah protes anti-rasisme di provinsi Papua dan Papua Barat pada Agustus dan September 2019.

Mereka adalah Buchtar Tabuni, ketua Parlemen Nasional Papua Barat, bagian dari United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang berbasis di Vanuatu; Agus Kossay, ketua Komite Nasional untuk Papua Barat; Steven Itlay, koordinator Komite Nasional untuk Papua Barat di Timika; dan empat mahasiswa, yaitu ketua BEM Universitas Cendrawasih Ferry Gombo, Ketua BEM Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) Alexander Gobay, dan mahasiswa USTJ Hengky Hilapok dan Irwanus Uropmain

Tabuni dan Itlay adalah mantan tahanan politik. Pada 4 Oktober, polisi menerbangkan mereka ke Balikpapan atas alasan keamanan. Sidang mereka akan segera diselenggarakan secara online.

JAYAPURA, PAPUA

Polisi menangkap Assa Asso, pembuat film komunitas seni Suara Papua dan anggota Komite Nasional Papua Barat, pada 23 September 2019, atas tuduhan makar. Dia telah mengunggah video protes anti-rasisme pada 23 Agustus di halaman Facebook-nya. Dia ditahan di Jayapura. Sidangnya dimulai pada 4 Maret 2020.

MANOKWARI, PAPUA BARAT

Polisi menangkap Sayang Mandabayan, mantan Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Perindo Kota Sorong, di bandara Manokwari pada 3 September 2019, karena membawa 1.500 bendera Bintang Kejora kecil. Polisi menuduhnya melakukan makar. Sidangnya dimulai pada 13 Februari 2020.

Polisi juga menangkap tiga mahasiswa Papua di Manokwari (Erik Aliknoe, Pende Mirin, dan Yunus Aliknoe) pada 18 September 2019, karena mengorganisir protes anti-rasisme pada 3 September, di mana Mandabayan akan menjadi penyedia bendera Bintang Kejora kecil. Sidang mereka dimulai pada Februari 2020.

SORONG, PAPUA BARAT

Polisi menangkap empat pelajar Papua (Rianto Ruruk, Yoseph Syufi, Manase Baho, dan Etus Miwak Kareth) pada 18 September 2019, setelah mereka berpartisipasi dalam demonstrasi anti-rasisme di Sorong dengan membawa stiker Bintang Kejora. Sidang mereka dimulai pada 5 Maret 2020.

Pada November, polisi menangkap 11 orang Papua lainnya, kebanyakan petani, aktivis, dan penjahit, setelah mereka mengumumkan peringatan deklarasi kemerdekaan Papua Barat tahun 1961. Mereka termasuk Silvester Nauw dan istrinya, Melfin Wefete. Masing-masing dari 11 orang tersebut memiliki kaos Bintang Kejora yang rencananya akan digunakan untuk demonstrasi.

FAKFAK, PAPUA

Polisi menangkap 23 laki-laki Papua, kebanyakan petani, pada 1 Desember 2019, ketika mereka berjalan dari desa Warpa dan Pikpik ke Fakfak untuk merayakan deklarasi kemerdekaan Papua Barat tahun 1961. Mereka didakwa atas tuduhan makar dan sedang menunggu persidangan di penjara Fakfak dan pusat penahanan polisi Fakfak.

Walaupun mungkin akan disangkal dan tidak diakui oleh pemerintah, tetapi penahanan terhadap Habib Rizieq Shihab beserta para Ulama dan aktivis oposisi, diduga juga masuk dalam kategori orang-orang yang ditahan akibat persoalan politik. Nuansa kriminalisasi terlihat dalam penangkapan tokoh-tokoh yang dianggap sebagai musuh oleh pemerintah Jokowi ini. 

Mereka adalah Habib Rizieq Shihab, KH Shobri Lubis, Habib Hanif Alatas, Habib Idrus bin Ali Alhabsyi, Habib Ali bin Alwi Alatas, Ustadz Haris Ubaidillah dan Ustadz Maman Suryadi. 

Selain itu masih ada nama Habib Bahar bin Ali bin Smith, Habib Reyhan Algadrie, Gus Nur, Dr Syahganda Nainggolan, almarhum Ustadz Maaher At Thuwailibi, Anton Permana, Jumhur Hidayat dan lainnya. 

Hingga saat ini mereka masih ditahan dan sebagiannya sedang menjalani persidangan dengan berbagai kasus yang terkesan dipaksakan. 

Sumber: matamatapolitik.com