Babi Panggang dan Wawasan Selangkangan
Rabu, 12 Mei 2021
Faktakini.info
JOROK. Itulah kesan pertama kali menyaksikan pentas politik nasional saat ini. Di ujung bulan Ramadan, bulan penuh ampunan yang seharusnya dimanfaatkan untuk mawas dan tahu diri atas kelemahannya, malah dipakai untuk membuat episode kegaduhan demi kegaduhan. Bulan yang seharusnya bisa dipakai untuk memupuk kebaikan, merintis rekonsiliasi, dan menyatukan kebersamaan, justru sibuk membahas babi dan selangkangan.
Kegaduhan pertama berkaitan dengan soal-soal pertanyaan untuk pegawai KPK menyangkut wawasan kebangsaan. Tetapi pertanyaan yang diajukan bertabur tentang isu seks yang tentu saja akan menyeret ke masalah selangkangan. Belum tuntas masalah seks yang sangat asasi, kegaduhan kembali diberondongkan dengan isu lain yakni babi panggang.
Babi – diolah dengan cara apapun – tetaplah babi. Mau dipanggang, disate atau digoreng crispy, tetap saja babi. Binatang paling jorok yang suka makan kotorannya sendiri itu telah diharamkan umat Islam di seluruh dunia. Pengharamannya sudah final tanpa ada celah amandemen.
Babi Panggang Ambawang Kalimantan Barat atau Bipang adalah salah satu menu yang ditawarkan Presiden untuk menjadi souvenir Hari Raya Idul Fitri. Bipang menjadi pembicaraan serius karena Presiden Jokowi salah fokus. Ia lupa saat berpidato tengah dalam situasi bulan puasa dan larangan mudik. Maksud hati ingin menjinakkan umat Islam agar rela tidak mudik, yang terjadi justru salah ucap yang menimbulkan kebisingan dan keruwetan.
Publik sontak marah, seorang presiden muslim tidak paham halal haramnya sebuah makanan. Bisa jadi presiden tidak salah, sebab kalau dilihat dalam tayangan video resmi, presiden membaca script. Jadi bukan pidato tanpa teks dan penuh improvisasi. Apalagi, pidato tanpa teks, bukan budaya Jokowi. Oleh sebab itu harus ditelusuri siapa yang membuat script karena gara-gara pidato itu, muka presiden telah tertampar dengan sempurna. Penulis naskah harus menerima ganjaran setimpal.
Di sekitar istana dan kabinet tampaknya banyak penyusup, sebab bukan kali ini saja presiden dipermalukan. Jika dibiarkan akan sangat berbahaya, sebab presiden akan selalu menjadi bahan gunjingan dan olok-olok karena kesalahan yang tidak perlu.
Presiden saat ini telah terjebak dalam skenario tak terlihat. Ada organisasi tanpa bentuk yang memegang remote istana. Mereka bisa memainkan presiden kapan saja. Mereka bisa memanfaatkan presiden untuk tujuan apa saja. Tentu saja presiden tidak sadar, karena pekerjaannya terlalu banyak, bebannya terlalu berat, dan janji-janjinya terlampau muluk. Ia tak punya waktu lagi untuk mengecek apakah pidatonya menyakiti umat, mengoyak persatuan, atau melecehan agama. Ia juga tak berdaya membedakan apakah itu Bipang, Jipang atau Rengginang. Lagi-lagi karena beban terlampau berat. Bisa juga radar kesadarannya tak sensitif lagi.
Keseleo lidah presiden tentang babi panggang serta merta dimanfaatkan oleh kaum probabi untuk memasarkan dagangannya. Babi guling ditusuk dari selangkangan hingga mulut akhirnya menjadi tontonan yang wajar, namun bagi yang antibabi tontonan ini jelas menjijikkan. Jangankan melihat wujud babi, mendengar kata babi saja sudah mual karena sejak kecil umat Islam telah mendapatkan doktrin tentang jorok dan bahayanya daging babi.
Upaya memasyarakatkan babi dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan. Penyusupan daging babi ke daging sapi sering dijumpai di pasar pasar tradisional. Maklum produksi babi di Indonesia mengalami surplus. Para peternak harus kreatif memasarkan piaraan mereka. Kampanye kuliner babi panggang di negeri mayoritas antibabi adalah upaya terang-terangan memasyarakatkan babi.
Eksploitasi tentang babi ini begitu masif, di koran, televisi dan medsos masuk ke ruang ruang privat di kamar tidur dan ruang makan. Ini bentuk teror tersendiri bagi umat Islam yang meyakini daging babi mengandung parasit trichinella spiralis atau roundworm, taenia solium atau tapeworm, dan toxoplasma gondii yang merusak kesehatan.
Negara demokrasi yang baik adalah menghormati mayoritas dan menempatkan minoritas pada porsinya. Mengeksploitasi minoritas selain tidak elok, jelas berlebihan. Pemakan babi adalah minoritas, tidak elok “Bapak Segala Agama” mengkampanyekan makan babi di tengah mayoritas yang sedang berpuasa menahan hawa nafsu dan hawa-hawa yang lain di ujung ibadahnya. Tak berdasar pula memaksa masyarakat mayoritas antibabi untuk probabi. Sangat tidak cerdas memelintir ucapan presiden yang sudah jelas, lugas, dan tegas menjadi pernyataan yang jauh dari esensi. Sungguh tak bermoral, frasa Bipang diklaim sebagai Jipang agar tidak menimbulkan kemarahan umat. Akui salah, minta maaf, lalu selesai. Kebiasaan buruk ngeles harus enyah dari negeri Pancasila.
Lalu tentang selangkangan yang juga tak kalah heboh. Di KPK muncul soal ujian bagi karyawannya yang akan berubah status menjadi Aparat Sipil Negara. Pertanyaan yang diajukan bukan soal integritas pemberantasan korupsi, tetapi soal remeh-temeh yang tak ada hubungannya dengan marwah lembaga anti rasuah tersebut. Entah dapat bisikan dari mana, ada beberapa pertanyaan tentang bersedia jadi istri kedua atau tidak. Mengapa mengidolakan Aa Gym yang berpoligami, apakah bersedia lepas jilbab, ditanya pendapat tentang LGBTQ, ditanya pendapat soal free sex, kalau threesome bagaimana, kalau orgy bagaimana?’
Sungguh pertanyaan-pertanyaan yang sangat dangkal dan kasar, jauh dari kepantasan.
Kasus selangkangan ini, sebelumnya menimpa Munarman yang “diteroriskan” oleh polisi. Ia digarap secara radikal oleh buzzer bayaran dengan isu check ini di hotel bersama perempuan lain. Faktanya, Munarman memang menginap bersama istri sahnya.
Sebelum Munarman, Habib Riszieq Shihab terlebih dulu digarap dengan isu serupa, yakni chat mesum HRS dengan seorang wanita. Belakangan diketahui chat itu bikinan buzzer. Tak hanya itu, polisi tak menemukan data dan fakta tentang tuduhan itu, hingga akhirnya kasus dihentikan penyidikannya.
Mengapa rezim ini konsen sekali dengan selangkangan, karena ini isu sensitif yang punya daya bendung sangat tinggi. Dengan isu selangkangan, publik akan melupakan masalah utang negara, proyek mangkrak, tsunami TKA Cina, korupsi, pembunuhan laskar KM 50 Cikampek, dan ketidakadilan hukum, kemiskinan, dan pembangkangan sosial. Buzzer akan menutup rapat-rapat kegagalannya dan mengekspoitasi sedikit keberhasilannya.
Begitulah para buzzer membabibuta menolong junjungannya dari keteledoran. Mereka akan serempak menyalak, menggonggong, dan mengaum manakala junjungannya salah – dari salah ucap, salah kaprah hingga salah fatal. Junjungan tidak boleh salah, apapun risikonya.
Maha benar junjungan dengan segala keterbatasannya. Sungguh era fasis ini, lebih baik segera diakhiri. (SWS)