Beberapa Artikel Ahmad Khozinudin Terkait Gugatan TPUA Ke Jokowi Dan DPR RI

 

Senin, 3 Mei 2021

Faktakini.info

*TERIMAKASIH KEPADA SELURUH RAKYAT INDONESIA, TPUA INSYAALLAH AKAN ISTIQOMAH MENGEMBAN AMANAH*

Oleh : *Ahmad Khozinudin, S.H.*

_[Koordinator Advokat TPUA dalam Perkara Nomor : 265/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Pst dan Nomor : 266/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Pst]_

Beberapa hari ini sejak Gugatan Perbuatan Melawan Hukum yang kami ajukan kepada Lembaga DPR RI dan Presiden Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia didaftarkan, banyak atensi dari masyarakat yang memberikan dukungan kepada penulis. Anggota TPUA yang lain juga mendapatkan apresiasi yang sama. Sejumlah diskusi netizen di sosial media, termasuk diberbagai GWA juga menyuarakan aspirasi yang sama : yakni memberikan dukungan terhadap upaya hukum yang kami tempuh.

Memang benar, ada sebagian yang nyinyir dan itu rata-rata dari buzer rezim. Jangankan buzer, yang kelasnya ahli KSP saja nyinyir. Bagaimana mungkin, KSP meminta TPUA belajar hukum lagi, sementara KSP belum membaca gugatan yang kami ajukan ? Bukankah justru sebaliknya, semestinya KSP Joko Widodo membaca terlebih dahulu Posita dan petitum gugatan secara keseluruhan, baru kemudian memberikan komentar ?

Kami menyadari, bahwa ikhtiar yang kami tempuh akan menghadapi benteng-benteng kokoh kekuasaan, yang tak akan membiarkan kami masuk, dan mengeluarkan sumber penyakit dari istana. Kekuasaan, akan mengambil segala upaya dan mengerahkan seluruh sumberdaya, agar gugatan kami kandas dan tak mengganggu eksistensi kekuasaan.

Hanya saja, sejak awal kami telah berniat dan membulatkan tekad, bahwa ikhtiar yang kami tempuh semata-mata diniatkan karena Allah SWT dan semata-mata bertujuan untuk memperbaiki kondisi bangsa dan negara. Kami tak ingin didakwa oleh generasi selanjutnya, karena sikap diam kami atas maraknya kezaliman. Kami tak ingin, mewariskan negeri tercinta ini kepada anak cucu kelak dalam kondisi rusak binasa.

Sebenarnya, kami tidak perlu menggugat DPR RI dan Presiden Joko Widodo jika keduanya melaksanakan tupoksinya dengan baik. Faktanya, ada persoalan dan persoalan ini telah berulangkali diadukan ke DPR RI, namun sikap DPR RI tidak jauh beda dengan Presiden. Lembaga DPR RI saat ini mengambil peran seperti saat orde baru, yakni menjadi stempel politik eksekutif.


Kami secara berkala, telah dan akan terus-menerus menyampaikan substansi materi gugatan, agar dapat dipahami rakyat. Sebab, sejatinya gugatan yang kami ajukan kepentingannya adalah untuk seluruh rakyat Indonesia.


Kami berkepentingan rakyat juga tahu apa yang kami gugat dan perjuangkan, sebagaimana kami juga berkepentingan agar seluruh rakyat memberikan dukungan terhadap upaya yang kami tempuh. Insya Allah, upaya kami murni untuk bangsa dan negara, bukan karena pamrih kami kampanye untuk menjadi penguasa sehingga meminta dukungan rakyat.


Segenap rakyat juga bisa memberikan penilaian secara objektif setelah memahami perjuangan yang kami lakukan. Selanjutnya, kami berharap seluruh rakyat berdiri bersama kami, dan tidak mengambil pilihan berada di barisan rezim yang selama ini banyak menimbulkan masalah bagi bangsa dan negara.


Mungkin saja, ada yang berpikiran upaya kami sia-sia, hanya membuang energi, bukan karena tak mendukung kami, tapi hanya karena melihat kokohnya tembok kekuasaan. Kepada yang berfikir demikian, kami sampaikan ayat al Qur'an. sebagai berikut :


Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman: 


قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ 


Katakanlah, “Wahai Rabb Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. *[Ali ‘Imrân/3:26].*


Karena itu, kita tidak boleh melihat betapa kecilnya ikhtiar yang kita lakukan. Tetapi kita wajib meyakini, betapa besarnya Allah SWT. Kekuasaan-Nya meliputi seluruh kerajaan di langit dan di bumi.


Allah SWT lah yang memuliakan hamba-Nya, Allah SWT pula yang menghinakan hamba-Nya. Tidak ada yang mustahil bagi Allah SWT, ketika Allah SWT berkehendak cukuplah dengan kata 'Jadi' maka terjadilah.


Keyakinan itulah, yang akan membimbing kita semua ikhlas beramal dan menyandarkan kemenangan hanya kepada Allah SWT. Keyakinan itu pula, yang akan menjauhkan kita dari sikap jumawa, dan menginsyafi seluruh kemenangan adalah pemberian Allah SWT.


Karena itu, sekali lagi kami ucapkan terimakasih kepada seluruh rakyat Indonesia, yang telah memberikan dukungan dan doa atas ikhtiar yang kami lakukan. Semoga Allah SWT, memberikan balasan pahala dan berkenan segera memberikan pertolongan kepada kita semua, agar segera mengangkat kekuasaan yang zalim. 


Sebagai kalimat penutup, kami berdoa agar kita semua dapat menuntaskan ibadah shaum Ramadhan, mengisinya dengan berbagai aktivitas ketaatan. Dan semoga, ujung Ramadhan ini benar-benar mampu menjadikan kita semua sebagai pribadi yang bertaqwa. [].


*KONSTITUSI DIDESAIN TIDAK ADIL, KARENA ITU PERLU TEROBOSAN HUKUM UNTUK MEMBELA HAK-HAK RAKYAT*


Oleh : *Ahmad Khozinudin, S.H.*


_[Koordinator Advokat TPUA dalam Perkara Nomor : 265/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Pst dan Nomor : 266/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Pst]_


Ada sebagian Rekan sejawat dan mungkin publik mempertanyakan, mengapa menggugat Presiden yang salah satu tuntutannya meminta Presiden Joko Widodo mengundurkan diri dari jabatannya, namun diajukan melalui Peradilan Umum ? Mengapa, tidak diajukan ke Mahkamah Konstitusi ? Bukankah, wewenang untuk mengadili perkara Pemakzulan Presiden ada di Mahkamah Konstitusi ?


Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kami memulainya dengan melihat desain konstitusi sebagai berikut :


Pasca amandemen UUD 1945 terjadi perubahan mekanisme pengisian jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden Republik Indonesia yang dipilih secara langsung. Itu artinya, setiap rakyat memiliki hak menentukan siapa orang yang layak memimpin Republik ini. Sayangnya, desain konstitusi tersebut tidak dibuat adil yakni Rakyat hanya diberi hak untuk memilih secara langsung namun tidak di beri hak untuk memakzulkan Presiden dan/atau Wakil Presiden secara langsung.


Untuk memakzulkan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang melanggar ketentuan pasal 7A UUD 1945, baik karena alasan apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, *atau perbuatan tercela* maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, wewenangnya ada pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI).


Itu artinya, kedaulatan rakyat untuk mengontrol Presiden dan/atau Wakil Presiden melalui mekanisme pemakzulan telah 'dirampas' oleh DPR RI dan MPR RI.


Sebenarnya, nomenklatur 'merampas hak rakyat' oleh DPR RI dan MPR RI itu tidak terjadi jika DPR RI dan MPR RI melaksanakan kehendak rakyat. Dalam hal ini, saat rakyat menghendaki wakilnya mengontrol kinerja Presiden dilaksanakan dengan baik oleh DPR RI dan MPR RI, tentulah dua lembaga ini dapat disebut sebagai wakil rakyat yang sebenarnya, tidak khianat terhadap rakyat.


Proses pemakzulan Presiden atas perbuatan tercela yang dilakukan Presiden ditempuh langsung oleh DPR dengan melaksanakan fungsi kontrolnya melalui hak angket, hak interpelasi, hak bertanya hingga menyatakan pendapat, dan selanjutnya DPR membawa perkara pemakzulan Presiden ke lembaga Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya, MPR RI menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi dengan menggelar sidang istimewa untuk mencopot Presiden, menetapkan Wakil Presiden menjadi Presiden, sekaligus memilih dan menetapkan Wakil Presiden pengganti.


Kalau rakyat yang mengajukan gugatan pemakzulan Presiden ke Mahkamah Konstitusi pasti akan dikesampingkan karena tidak memiliki legal standing karena yang memiliki kewenangan dalam perkara pemakzulan Presiden adalah DPR RI.


Mengharapkan DPR RI melakukan hal itu ? seperti pungguk merindukan bulan. DPR RI saat ini tidak lagi mewakili aspirasi rakyat, malah menjadi stempel politik rezim.


Saat rakyat menolak RUU KPK, RUU Omnibus Law, dan sejumlah Perppu yang diterbitkan Presiden, nyatanya DPR justru mengesahkannya menjadi UU. Apalagi dalam isu pemakzulan Presiden, rasanya seperti mimpi saja berharap kepada DPR.


Karena itu, kami melakukan terobosan hukum menggugat secara perdata baik terhadap Presiden Joko Widodo maupun lembaga DPR RI, agar perbuatan tercela berupa tidak dijalankannya tupoksi Presiden dan DPR RI dapat ditetapkan oleh pengadilan sebagai perbuatan melawan hukum dalam fungsinya positif. Kepada Presiden, dituntut untuk mengundurkan diri sehingga tidak perlu ada sidang pemakzulan di Mahkamah Konstitusi.


Adapun terhadap DPR, setelah ditetapkan melakukan perbuatan melawan hukum dalam fungsinya positif, kemudian dihukum untuk segera mengaktifkan fungsi kontrolnya dengan menggunakan hak angket, interpelasi, bertanya hingga menyatakan pendapat. konklusinya, DPR membawa penetapan Presiden telah berbuat tercela ke Mahkamah Konstitusi, dilakukan sidang pemakzulan Presiden dan ditindaklanjuti oleh sidang istimewa MPR RI.


Begitulah, alur hukum dan logika perjuangan yang dibangun dalam hal menggugat Presiden Joko Widodo dan lembaga DPR RI melalui peradilan umum yakni Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan bukannya melalui Mahkamah Konstitusi.


Perjuangan ini masih panjang, karena itu kami mengharapkan dukungan dan doa segenap rakyat Indonesia, dalam ikhtiar yang kami lakukan untuk memperbaiki kondisi bangsa di negeri ini. Kami tak ingin memiliki hutang sejarah, mewariskan republik ini kepada anak cucu kita dalam keadaan rusak binasa. Kami mengambil peran, sepanjang yang masih bisa kami lakukan untuk terus berjuang dan membersamai kepentingan rakyat. [].


*APA YANG DIMAKSUD DENGAN GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM FUNGSINYA POSITIF YANG DIAJUKAN TERHADAP DPR RI DAN PRESIDEN JOKO WIDODO ?*


Oleh : *Ahmad Khozinudin, S.H.*


_[Koordinator Advokat TPUA dalam Perkara Nomor : 265/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Pst dan Nomor : 266/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Pst]_


Alhamdulillah, akhirnya pada Jum’at tanggal 30 April 2021 Gugatan yang kami layangkan kepada Lembaga DPR RI dan Joko Widodo dalam Kedudukannya sebagai Presiden RI telah diterima dan diregisterasi oleh Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Nomor : 265/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Pst dan Nomor : 266/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Pst. Namun, ada beberapa Rekan Sejawat dan Publik yang masih mempertanyakan Substansi Gugatan, terutama terkait nomenklatur Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Fungsinya Positif.


Untuk menjawabnya kami perlu meringkas beberapa substansi gugatan agar mudah dipahami masyarakat. Dalam sejarahnya, klasifikasi Perbuatan melawan Hukum itu terdiri dari beberapa fase, yaitu :


*Fase Pertama. Pra Tahun 1919.* Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Secara Formil. Berorientasi Kepada Kepastian Hukum.  Berdasarkan ketentuan Burgerljik Wetboek Belanda 1827 (Staatsblaad 23 tahun 1847) Art 1401(BW-Belanda) atau Pasal 1365(BW-Indoesia): Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menimbulkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. 


Rumusan Unsurnya: 1. Ada perbuatan;  2. Perbuatan tersebut melanggar hukum; 3. Ada kesalahan pada pembuatnya; 4. Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian orang lain; 5. Ada hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang timbul akibat perbuatan tersebut. 


*Fase Kedua. Pasca Tanggal 31 Januari 1919.* Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Secara Materiil. Berorientasi Kepada Keadilan. Rumusan Unsurnya. Onrecht-matigedaad :  1. Ada perbuatan;  2. Perbuatan tersebut melanggar hukum; 3. Ada kesalahan pada pembuatnya; 4. Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian orang lain; 5. Ada hubungan kausal antara perbuatan tersebut dengan kerugian orang lain; 6. Berbuat(aktif) maupun Berdiam(pasif) maupun melalaikan kewajiban hukum yang bertentangan dengan kepentingan umum / bertentangan dengan hak orang lain/bertentangan dengan rasa kepatutan/tercela(Pasal 165 KUHP). Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) Arrest 31 Januari 1919. 


Kasus Pengusaha Percetakan Lindenbaum Vs Pengusaha Percetakan Cohen adalah contohnya.


*Fase Ketiga. Pasca Tahun 1939.* Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Secara Materiil Dalam Fungsi Negatif. Definisi Azas Materiele Wederrechtelijk-heid Dalam Fungsinya Negatif : Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, apabila tidak terdapat Azas Materiele Wederrechtelijkheid & tidak Wederrechtelijk, walaupun formil adalah Wederrechtelijk, karena memenuhi seluruh unsur pidana dari yindak pidana tersebut. 


Perbuatannya tersebut melanggar hukum secara formil(hukum pidana, hukum perdata, hukum administrasi negara) formiele wederrechtelijkheid (kepastian hukum) Namun perbuatan tersebut membawa kebaikan dan kemanfaatan dan tidak melanggar kepatutan atau tidak tercela atau tidak melanggar materiele wederrechtelijkheid, demi tegaknya keadilan hukum (syaratnya): 1. tidak menguntung diri; 2.  tidak ada kerugian negara;   3. mengutamakan kepentingan umum terpenuhi(asas kemanfaatan publik). 


*Fase Keempat. Pasca Tahun 1979. Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Secara Materiil Dalam Fungsinya Positif.* Definisi Azas Materiele Wederrechtelijkheid Dalam Fungsinya Positif: Meskipun perbuatan tersebut tidak melanggar hukum formil (pidana, perdata, administrasi) tidak melanggar rumusan unsur formiele wederrechtelijk-heid. 


Namun apabila perbuatan tersebut melanggar materiele-wederrechtelijk-heid atau melanggar rasa kepatutan atau merupakan perbuatan tercela di masyarakat. Maka ia dapat dipidana berdasarkan rasa keadilan masyarakat. Juncto Penemuan hukum yang hidup di masyarakat (hukum adat) oleh hakim. 


*Fase Kelima.* Pasca Tanggal 16 Agustus 1999. Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Secara Materiil Dalam Fungsinya Negatif dan/atau Perbuatan Melawan Hukum Secara Materiil Dalam Fungsinya Positif. Berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2001, tanggal 21 Nopember 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 140. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) tentang Perubahan atas Undang Undang  Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1999, tanggal 16 Agustus 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Penjelasan Pasal 2 ayat(1): 


"Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak di atur dalam peraturan perundang-undangan. Namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat. Maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. 

Fase Keenam. Pasca Tanggal 25 Juli 2006."


Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Secara Materiil Dalam Fungsinya Negatif. Materiele Wederrechtelijkheid Fungsi Negatif: Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, apabila tidak terdapat Azas Materiele Wederrechtelijkheid dan tidak Wederrechtelijk, walaupun formil adalah Wederrechtelijk, karena memenuhi seluruh unsur pidana dari yindak pidana tersebut. 


Perbuatannya tersebut melanggar hukum secara formil(hukum pidana, hukum perdata, hukum administrasi negara) formiele wederrechtelijk-heid (kepastian hukum) Namun perbuatannya membawa kebaikan dan kemanfaatan dan tidak melanggar kepatutan atau tidak tercela atau tidak melanggar materiele wederrechtelijkheid, demi tegaknya keadilan hukum. 


Jurisprudensi Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 003/PUU-IV/2006. Tanggal 25 Juli 2006. 


Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Secara Materiil Dalam Fungsinya Positif adalah dasar diajukannya Gugatan ini. Dimana Perbuatan melawan hukum didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan dengan “secara melawan hukum” mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak di atur dalam peraturan perundang-undangan. Namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat. 


Pemerintahan yang dijalankan oleh Presiden Joko Widodo dimana didalamnya terjadi keadaan :


1. Penegakkan Hukum Curat-Marut; 

2. Perekonomian Curat-Marut;      

3. Serangkaian Pembohongan Publik. 

4. Melahirkan regulasi nasional yang tidak patut atau tidak layak atau tercela berdasarkan agama apa pun di Indonesia ini.       

5. Membuat gaduh (sesama anak bangsa dipotensikan bertikai) di negeri ini.


Lima keadaan tersebut yang rinciannya kami uraikan dalam gugatan, adalah serangkaian tindakan tercela Presiden karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat. 


Belum lagi, tindakan tersebut tidak sejalan dengan funfsi Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan yang bertanggungjawab penuh atas kesejahteraan rakyatnya, memberikan keadilan dan kepastian hukum, menjunjung tinggi sila ketuhanan yang maha esa dan menjaga persatuan dan kesatuan segenap rakyat dan seluruh tumpah darah Indonesia.


Adapun DPR telah melakukan perbuatan tercela karena tidak menjalankan fungsinya sebagai lembaga control Eksekutif (Presiden) dimana dalam menjalankan fungsinya DPR memiliki sejumlah hak diantaranya hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat. 


Fungsi ini mandul dan tidak dijalankan oleh DPR RI, karenanya DPR RI telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Fungsinya Positif sebagaimana telah penulis jelaskan diatas.

DPR hanya diam seribu bahasa atas adanya Penegakkan Hukum Curat-Marut; Perekonomian Curat-Marut; Serangkaian Pembohongan Publik. Melahirkan regulasi nasional yang tidak patut atau tidak layak atau tercela berdasarkan agama apa pun di Indonesia ini dan Membuat gaduh (sesama anak bangsa dipotensikan bertikai) di negeri ini, dimana semua itu terjadi di era rezim Presiden Joko Widodo.


Tujuan Gugatan yang kami ajukan adalah dalam rangka mengingatkan Presiden agar mampu mengambil inisiatif untuk mundur dari jabatannya sebagai bentuk pertanggungjawaban atas perbuatan tercela yang telah dilakukannya. Mendorong DPR RI agar mengaktifkan fungsinya (positif) sehingga segera mengambil inisiatif untuk menggunakan hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat. 


Atas Perbuatan  Tercela Presiden, melalui gugatan kami memohon kepada pengadilan agar  menetapkan Presiden terbukti telah melakukan Perbuatan Tercela. Dan atas penetapan tersebut kemudian meminta agar DPR RI membawanya kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk mendapat putusan hukum. [].


*PRESS RELEASE GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM FUNGSINYA SECARA POSITIF TERHADAP DPR DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA*


Sehubungan dengan telah didaftarkannya Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Secara Materiil Dalam Fungsinya Positif Oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Juncto Perbuatan Tercela Presiden Negara Republik Indonesia dan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Secara Materiil Dalam Fungsinya Positif (Perbuatan Tercela) Oleh Joko Widodo selaku Presiden Republik Indonesia, sebagaimana telah terdaftar via E Court dengan registerasi perkara Nomor : 265/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Pst dan Nomor : 266/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Pst yang didaftarkan pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 30 April 2021, Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) dengan ini menyampaikan hal-hal sebagai berikut :


1. Bahwa Gugatan yang telah dilayangkan terhadap Lembaga Dewan Perwakilanm Rakyat Indonesia Republik Indonesia (DPR-RI) dan Presiden Joko Widodo adalah bentuk perhatian dan keprihatinan sejumlah Rakyat Negara Republik Indonesia selaku Pembayar Pajak Negara Guna Pembiayaan Belanja Negara Republik Indonesia, atas kondisi factual bangsa dan Negara Republik Indonesia.


2. Bahwa Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Secara Materiil Dalam Fungsinya Positif yang diajukan Terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) disebabkan adanya sejumlah persoalan bangsa terutama adanya fakta atau peristiwa hukum berupa   tidak dilaksanakannya fungsi DPR RI sehubungan dengan adanya Perbuatan Tercela Presiden Republik Indonesia, yaitu : 


1. Hak Interpelasi, yaitu hak DPR untuk meminta sebuah keterangan kepada pemerintah yang mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada sebuah kehidupan masyarakat, bangsa, dan bernegara. 


2. Hak Angket, yaitu hak DPR untuk melakukan sebuah penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada sebuah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan sebuah peraturan perundang-undangan. 


3. Hak Menyatakan Pendapat, yaitu hak DPR yang dilakukan untuk menyatakan sebuah pendapat atas kebijakan pemerintah dan kejadian dari luar biasa yang terjadi di tanah air dan dunia internasional


Perbuatan Tercela Presiden tersebut di bawa kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk mendapatkan putusan tetap bahwa presiden terbukti melakukan Perbuatan Tercela. Atas putusan tetap tersebut dapat di bawa kedalam Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, guna dilakukan pemberhentian selaku Presiden Negara Republik Indonesia, karena terbukti melakukan Perbuatan Tercela, sebagaimana yang dimaksudkan dalam ajaran Perbuatan Melawan Hukum Secara Materiil Dalam Fungsinya Positif.


4. Bahwa Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Secara Materiil Dalam Fungsinya Positif yang diajukan Terhadap Presiden Joko Widodo, disebabkan adanya sejumlah persoalan bangsa terutama adanya fakta atau peristiwa hukum :   


1. Penegakkan Hukum Curat-Marut; 

2. Perekonomian Curat-Marut;      

3. Serangkaian Pembohongan Publik. 

4. Melahirkan regulasi nasional yang tidak patut atau tidak layak atau tercela berdasarkan agama apa pun di Indonesia ini.       

5. Membuat gaduh (sesama anak bangsa dipotensikan bertikai) di negeri ini.


5. Bahwa terhadap fakta dan peristiwa hukum dimaksud, dalam dua Gugatan yang diajukan terhadap DPR RI dan Presiden Republik Indonesia, Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) melalui 2 (dua) gugatan a quo menuntut agar :


1. DPR RI dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum dalam fungsinya positif, yaitu Perbuatan Tercela atau Perbuatan Tidak Patut atau pembiaran terhadap perilaku presiden yang tercela atau tidak melaksanakan kewajiban hukumnya.


2. DPR dihukum untuk melaksanakan: 1. Hak Interpelasi, yaitu hak DPR untuk meminta sebuah keterangan kepada pemerintah yang mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada sebuah kehidupan masyarakat, bangsa, dan bernegara. 2. Hak Angket, yaitu hak DPR untuk melakukan sebuah penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada sebuah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan sebuah peraturan perundang-undangan. 3. Hak Menyatakan Pendapat, yaitu hak DPR yang dilakukan untuk menyatakan sebuah pendapat atas kebijakan pemerintah dan kejadian dari luar biasa yang terjadi di tanah air dan dunia internasional. Atas Perbuatan Tercela presiden, dan membawa penetapannya bahwa presiden terbukti telah melakukan Perbuatan Tercela. Atas penetapan tersebut seharusnya membawanya kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk mendapat putusan hukum.


3. Presiden Joko Widodo dituntut untuk menyatakan secara terbuka di publik, pengunduran dirinya selaku presiden-RI.


4. Presiden Joko Widodo dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum dalam fungsinya positif atau melakukan perbuatan tercela atau perbuatan tidak patut atau perbuatan tak terpuji.


5. Presiden Joko Widodo dihukum untuk membuat pernyataan tertulis di muka publik atas kesalahan tersebut, yaitu melakukan perbuatan tercela atau perbuatan tidak patut atau perbuatan tak terpuji.


Selanjutnya, Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) yang menjadi Kuasa Hukum Pengggugat DPR RI dan Presiden Joko Widodo (FAHRI LUBIS, DKK dan MUHIDIN JALIH, DKK) menunggu panggilan sidang sekaligus memohon dukungan dan do’a kepada segenap rakyat Indonesia, agar ikhtiar memperbaiki kondisi bangsa dan negara mendapat ridlo dan pertolongan Allah SWT. 


Demikian Press Release disampaikam, terima kasih.


Jakarta, 30 April 2021


Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA)


*Azam Khan, S.H.*

Humas

Hp. 08123242274


*Ahmad Khozinudin, S.H.*

Koordinator Advokat

Hp. 081290774763


TB Hasanuddin Sebaiknya Baca Gugatan TPUA Ke Jokowi Sebelum Komentar Lebih Jauh


Senin, 3 Mei 2021


Faktakini.info


*TB HASANUDDIN SEBAIKNYA MEMBACA GUGATAN TPUA SEBELUM BERKOMENTAR LEBIH JAUH*


Oleh : *Ahmad Khozinudin, S.H.*


_[Koordinator Advokat TPUA dalam Perkara Nomor : 265/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Pst dan Nomor : 266/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Pst]_


_"Tahu aturan enggak sih? Mendesak Presiden mundur dari jabatannya, itu bukan perkara mudah dan perlu proses panjang,"_


*[TB Hasanuddin, 2/5/2021].*


Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Mayjen (Purn) TNI Tubagus Hasanuddin mempertanyakan langkah Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) yang mengajukan gugatan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dalam salah satu petitumnya meminta Presiden Joko Widodo mundur dari jabatannya.


TB Hasanuddin menjelaskan, proses pemakzulan terjadi di parlemen. Untuk itu, DPR harus menggunakan Hak Menyatakan Pendapat (HMP).


HMP ini bisa dilakukan jika dianggap presiden melakukan pelanggaran hukum atau pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, *maupun tindakan tercela.* Hak ini diusulkan oleh minimal 25 orang anggota DPR, dan bila memenuhi persyaratan administrasi dapat dilanjutkan dalam sidang paripurna.


Sidang paripurnanya sendiri takkan sah bila tak dihadiri oleh minimal 2/3 dari jumlah anggota DPR dan minimal 2/3 dari jumlah itu menyetujuinya.


Usai HMP disetujui, akan dilanjutkan pembentukan Panitia Khusus yang bekerja mendalami permasalahan yang ada. Hasilnya, dilaporkan kembali ke rapat paripurna DPR. Hasilnya bisa melanjutkan pemakzulan, dan bisa juga tidak. Sidang ini pun harus seusai syarat kehadiran yang sah.


Nampaknya, TB Hasanuddin terlalu jauh berkomentar tetapi belum membaca Posita gugatan yang kami ajukan. Keterangan dari TB Hasanuddin ini, justru menguatkan dalil-dalil gugatan perbuatan melawan hukum dalam fungsinya positif yang kami buat, yang tidak saja kami ajukan kepada Presiden Joko Widodo tetapi juga ke Lembaga DPR RI. 


Perlu kami tegaskan, bahwa langkah meminta Presiden mundur atau memakzulkan Presiden bukanlah perkara mudah, dan proses politiknya ada di DPR. Namun, karena DPR mayoritas dikuasai partai koalisi pro Jokowi, maka mustahil menempuh jalur politik melalui DPR RI.


Karena itu, kami menempuh upaya hukum yang konstitusional dengan tahapan-tahapan sebagai berikut :


*Pertama,* untuk mengaktifkan kembali fungsi kontrol DPR, baik melalui hak angket, interpelasi, hingga Hak Menyatakan Pendapat (HMP) sebagaimana yang disampaikan TB Hasanuddin, kami menggugat DPR RI. Dalam gugatan, kami meminta DPR RI dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum dalam fungsinya positif berupa Perbuatan Tercela atau Perbuatan Tidak Patut atau pembiaran terhadap perilaku Presiden yang tercela atau tidak melaksanakan kewajiban hukumnya.


Kami juga meminta, agar DPR RI dihukum untuk menjalankan Hak Angket, Hak Interpelasi, dan Hak Menyatakan Pendapat, sehubungan dengan adanya dugaan sejumlah tindakan yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo berupa Perbuatan Tercela atau Perbuatan Tidak Patut.


Prinsipnya, gugatan ke DPR bertujuan membangunkan DPR RI dari tidurnya yang panjang, agar bangun dan menjalankan fungsinya sebagaimana diamanatkan dalam UU. Gugatan ini, juga sebuah langkah rakyat yang memaksa DPR RI melalui putusan pengadilan, agar menjalankan aspirasi rakyat yang selama ini dikesampingkan oleh DPR RI.


*Kedua,* paralel menggugat DPR RI, kami juga menggugat Presiden Joko Widodo dalam kedudukannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Dalam petitum kami meminta majelis hakim menyatakan Presiden Joko Widodo telah melakukan perbuatan melawan hukum berupa Perbuatan Tercela atau Perbuatan Tidak Patut.


Meskipun, kami juga meminta sekiranya Presiden berkenan dapat mengundurkan diri. Langkah ini jauh lebih elegan dan bermartabat, ketimbang harus dipaksa berhenti melalui mekanisme politik di DPR, kemudian ke MK dan berakhir dalam sidang istimewa MPR RI, sebagai tindak lanjut gugatan yang kami ajukan.


*Ketiga,* Apa yang kami lakukan kami tempuh secara hukum, melalui lembaga peradilan. Bukan melalui demo anarkis yang memaksakan kehendak. Soal dikabulkan atau tidaknya, itu semua kami serahkan kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara.


Sekali lagi kami ingin tegaskan, langkah ini memang tidak mudah, tetapi bukan langkah yang mustahil. Kami juga tahu aturan, karenanya kami menempuh upaya hukum melalui gugatan ke pengadilan.


Justru, kami menyayangkan TB Hasanuddin mengikuti langkah Tenaga Ahli KSP Ade Irfan Pulungan  yang terlalu dini mengomentari gugatan, padahal belum membaca detail materi baik Posita maupun petitum gugatan yang kami ajukan. Sebaiknya, kita semua berfikir jernih dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Perbedaan pandangan, tidak kemudian dapat dijadikan dasar sesama elemen anak bangsa mudah men-judge pihak lainnya tak paham aturan. [].