Di Israel, Keturunan Arab Jadi Warga Kelas Dua


Selasa, 18 Mei 2021 

Faktakini.info, Jakarta - Israel menerapkan keadaan darurat di Lod, kota tetangga Tel Aviv, setelah berhari-hari terjadi bentrokan dan kerusuhan oleh warga Arab di sana.

Peristiwa ini menandai momen penting di tengah meningkatnya ketegangan antara Israel dan Palestina – karena ini adalah pertama kalinya pemerintah Israel menggunakan kekuatan darurat atas komunitas Arab di negaranya sejak 1966.

Jadi, siapakah komunitas Arab di Israel itu?

Israel bukan hanya negara Yahudi, namun juga rumah bagi warga non-Yahudi. Dari sekitar sembilan juta jiwa di Israel, sekitar seperlimanya – kira-kira 1,9 juta orang – adalah warga etnis Arab.

Mereka adalah keturunan orang-orang Palestina yang menetap di dalam perbatasan Israel setelah negara penjajah itu dibentuk pada 1948.

Ketika Israel didirikan pada 1948, 750 ribu orang Palestina memilih keluar maupun diusir dari rumah-rumah mereka dalam peperangan yang terjadi setelahnya.

Mereka yang pergi kemudian menetap di sebelah perbatasan Israel di Tepi Barat dan Gaza, maupun di kamp-kamp pengungsi di sekitarnya.

Sedangkan yang bertahan di Israel menamakan diri mereka sebagai orang Arab-Israel, orang Palestina-Israel, atau cukup orang Palestina.

Orang Arab di Israel mayoritas beragama Islam dan, seperti halnya masyarakat di Palestina, ada pula yang beragama Kristen.

Mereka punya hak pilih sejak Pemilu di Israel kali pertama digelar pada 25 Januari 1949 – namun mereka mengaku telah menjadi korban diskriminasi sistemik di negara itu selama puluhan tahun.

Integrasi

Komunitas Arab dan Yahudi di Israel tidak sering berbagi ruang-ruang publik, walau krisis Covid dalam beberapa bulan terakhir membuat mereka saling bekerja sama.

Salah satu faktor integrasi dua komunitas ini adalah sistem layanan kesehatan nasional – pasien etnis Yahudi dan Arab berbagi rumah sakit, perawatan, dan tenaga kesehatan.

Pasalnya, 20 persen dokter, 25 persen perawat, dan 50 persen apoteker adalah orang Arab-Israel. Tetapi identitas nasional bersama yang merangkum warga Arab dan Yahudi Israel sulit dideteksi.

Contohnya, militer memainkan peran sentral dalam masyarakat di Israel, dan bagi warga Yahudi ikut dinas militer merupakan kewajiban. Sedangkan orang Arab dibebaskan dari perekrutan itu

Orang Arab-Israel mengaku telah menjadi korban diskriminasi sistemik di negeri mereka sendiri, dan pandangan itu dibenarkan oleh sejumlah organisasi internasional pembela hak asasi manusia.

Amnesty International menyatakan, Israel menerapkan diskriminasi yang dilembagakan atas orang Palestina yang tinggal di Israel.

Menurut suatu laporan yang diterbitkan April 2021 oleh Human Rights Watch, otoritas Israel menjalankan praktik apartheid, kejahatan atas kemanusiaan, baik terhadap orang Palestina di Israel maupun mereka yang hidup di bawah pendudukan Israel di Tepi Barat dan Gaza.

Namun, Kementerian Luar Negeri Israel membantah laporan itu dan menyebutnya “tidak masuk akal dan salah.”

Orang Arab Israel menyatakan bahwa pemerintah sudah sejak lama dikenal merebut lahan punya mereka sekaligus mendiskriminasi mereka secara sistematis dalam alokasi anggaran negara.

Undang-undang yang diterapkan kepada masing-masing kelompok masyarakat di negara itu pun berbeda.

‘Warga Kelas Dua’

Contohnya, undang-undang di Israel yang mengatur kewarganegaraan selama ini lebih memprioritaskan orang-orang Yahudi. Mereka bisa otomatis mendapat paspor Israel, terlepas dari mana mereka berasal.

Sebaliknya, orang Palestina beserta anak-anak mereka tidak mendapat hak itu.

Pada 2018, parlemen Israel mengesahkan “undang-undang negara-bangsa” yang kontroversial. UU ini menghapus status bahasa Arab sebagai bahasa resmi – di samping bahasa Ibrani – dan mencanangkan hak penentuan nasib sendiri “untuk orang-orang Yahudi.”

Ayman Odeh, anggota parlemen Arab Israel, mengatakan bahwa saat itu telah disahkan undang-undang “supremasi Yahudi”, dengan menyatakan bahwa orang Arab Israel akan selalu menjadi “warga kelas dua.”

Sedangkan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah menjanjikan penegakan hak-hak sipil, namun juga mengatakan bahwa “mayoritas yang menentukan.”

Sumber: BBC News Indonesia