Di PN Jaktim, Dr Abdul Chair Ahli Hukum HRS Bantah Dakwaan JPU
Jum'at, 7 Mei 2021
Faktakini.info
*Ahli Hukum HRS Bantah Dakwaan JPU*
Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., MH., yang dihadirkan pada sidang kemarin Kamis 6 Mei 2021, dengan argumentasi teoretis membantah dakwaan JPU, yakni tentang Pasal 160 KUHP (Penghasutan).
Abdul Chair menjelaskan bahwa Pasal 160 KUHP merupakan padanan dari Pasal 131 KUHP Belanda. Rumusannya sama dengan Pasal 160 KUHP yang diberlakukan di Indonesia. Dikemukakan olehnya bahwa latar belakang pasal penghasutan disebabkan saat itu kondisi negara Belanda sedang menghadapi masalah sosial yang berat. Permasalahan sosial dimaksud yakni berkenaan dengan keadaan kaum buruh waktu itu. Situasi pada saat itu menunjukkan adanya ancaman pemberontakan dari kaum proletariat. Dengan demikian latar belakang lahirnya Pasal 131 KUHP adalah untuk menghadapi kemungkinan bangkitnya revolusi yang digerakkan oleh kaum buruh.
Abdul Chair mengatakan bahwa Pasal 160 KUHP adalah delik berpasangan yang membutuhkan adanya dua pihak yakni penghasut dan terhasut. Delik penghasutan bukan dimaknai sebagai delik penyertaan (deelneming) dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Delik penghasutan
membutuhkan perbuatan konkrit sebagai akibat dari penghasutan yang dilakukan. Dengan demikian keberadaannya tidak berdiri sendiri. Keberadaannya membutuhkan akibat konkrit yang menunjuk delik tertentu sebagaimana yang dimaksudkan oleh penghasut dan delik itu menunjuk pasal tertentu dalam Undang-Undang.
Menurut pendapat Abdul Chair delik penghasutan merupakan tindak pidana asal (predicate crime) dan kemudian ada tindak pidana lanjutannya. Sebagai tindak pidana asal yang akhirnya menimbulkan suatu perbuatan dari orang yang terhasut, maka keduanya jelas berpasangan. Dengan demikian, dalam delik penghasutan diperlukan adanya kausalitas (hubungan sebab-akibat) guna menilai terjadinya suatu peristiwa hukum. Abdul Chair menegaskan jika dalam delik penghasutan tidak terdapat seseorang yang terhasut, maka konsekuensinya Pasal 160 KUHP tidak dapat diterapkan.
Fakta dalam persidangan menunjukkan ternyata tidak ada satu orang pun yang berkedudukan sebagai terhasut. Dengan demikian, masuknya pasal penghasutan dipertanyakan. Oleh karena tidak ada seseorang sebagai yang terhasut dan tidak pula ada akibat konkrit yang terjadi, maka dakwaan JPU tidak terbukti.