Di Sidang Habib Rizieq, Refly Harun Ungkap Pasal Keonaran Dibuat di Era Sukarno


Rabu, 19 Mei 2021

Faktakini.info, Jakarta - Ahli hukum tata negara, Refly Harun menjadi saksi yang meringankan di sidang Habib Rizieq Shihab (HRS) dalam kasus swab palsu RS Ummi. Dalam sidang itu, Refly ditanyai pengacara Habib Rizieq, Aziz Yanuar, terkait awal mula terbentuknya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana.

Diketahui Habib Rizieq didakwa melanggar Pasal 14 ayat 1 UU RI Nomor 1 Tahun 1946. Pasal itu berbunyi, 'Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun'.

Mulanya, Aziz menanyakan tentang UU Nomor 1 Tahun 1946 yang ditafsirkan beragam. Dia pun meminta pendapat Refly mengenai orang yang menafsirkan UU tersebut sesuai dengan kehendak pribadi.

"Saya sering bertemu dengan orang positivis, tapi nanggung. Yang penting hukumnya ada tapi tafsirnya terserah saya. Sikap seperti itu tadi doktor menyampaikan sikap seperti itu bagaimana?" tanya Aziz, di PN Jakarta Timur (PN Jaktim), Jakarta Timur, Rabu (19/5/2021).

Refly menjelaskan hukum dibagi menjadi dua aspek, yakni hukum di atas kertas dan hukum penerapan di lapangan. Menurutnya, tafsir hukum bisa saja tidak sama di periode yang berbeda.

"Bicara hukum ada dua, ada law in the paper dan law in action, jadi hukum di atas kertas dan hukum di atas lapangan, jadi tidak hanya teks dan konteks. Kalau menafsir ketentuan konstitusi bisa jadi tafsir (tahun) 2000 berbeda dengan tafsir 2021," kata Refly.

Kemudian Refly menjelaskan mengenai bahasa penyebar berita bohong dalam UU Nomor 1 Tahun 1946 itu diperuntukkan untuk lembaga penyiaran. Dia juga menyinggung mengenai hukuman penjara bagi penyebar berita bohong paling lama 10 tahun.

"Maka saya katakan kalau kita pakai rasionalitas dan proporsionalitas, sangat proporsional jika ancaman hukumannya 10 tahun, tapi ketika itu digunakan oleh insan-insan penyiaran pada waktu itu untuk menyiarkan sesuatu yang sengaja untuk memunculkan keonaran masyarakat," katanya.

Aziz kemudian bertanya, apakah UU Nomor 1 Tahun 1946 itu dibuat untuk meredam penyebaran berita bohong saat Sukarno hendak memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta.

"Apakah UU Nomor 1 Tahun 1946, (ada hubungan) dengan pemindahan ibu kota ke Yogyakarta itu perlu diatur tentang penyiaran berita bohong, pemberitaan bohong, atau tidak pasti, sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat 1, apakah perlu pemberlakuan itu menurut ahli?" tanya Aziz.

Refly mengatakan saat itu ada sejumlah berita bohong yang disematkan ke Sukarno. Salah satunya disebutkan bahwa Sukarno dianggap menjadi kolaborator Jepang.

"Ya saya sudah menjelaskan sesuai teks dan konteksnya. Jakarta dianggap tidak aman, kemudian Belanda membonceng Mimika ingin menjajah Indonesia kembali. Di dalam negeri terjadi perdebatan antara kelompok Soekarno-Hatta yang dianggap kolaborator Jepang dan kelompok yang lebih revolusioner, yang nantinya akan melakukan pemberontakan," kata Refly.

Saat itu, kata Refly, terjadi chaos akibat berita bohong yang ada. Akibatnya, terjadi perubahan sistem negara dari presidensial menjadi parlementer.

"Jadi pada waktu itu terjadi chaos, saat pancaroba transisi, sistemnya presidensial, tapi tiba-tiba kita menjadi parlementer dengan adanya PM pertama, yakni Sjahrir," ucapnya.

Karena itu, DPR membuat undang-undang mengenai hukuman bagi pembuat berita bohong. Tujuannya melindungi eksistensi negara.

"Makanya kemudian proteksi itu menjadi penting pada waktu itu, untuk memelihara eksistensi Republik Indonesia," ujarnya.

Sementara itu, penasihat hukum Habib Rizieq lainnya, Sugito, bertanya kepada Refly terkait apakah kasus kerumunan saat pandemi, hak seseorang untuk menjadi pengurus ormas bisa dicabut atau tidak. Menurut Refly, hal itu tidak bisa dilakukan.

"Iya biasanya pidana pencabutan hak politik diberikan pada tindak pidana yang extraordinary, makar dan sebagainya. Karena kalau mereka bebas, dan mereka punya hak-hak politik dipilih dan memilih, maka mereka punya pengaruh besar, dan dikhawatirkan justru pengaruh itu damage-nya lebih besar," ucapnya.

"Tapi kalau kita kaitkan dengan pelanggaran prokes yang ancaman hukumannya cuma 1 tahun dan denda Rp 100 juta, lalu diberikan pidana tambahan, menurut saya itu itu excessive abuse, terlalu berlebihan. Tak proporsional dan tak rasional," imbuhnya.

Dalam kasus ini, Habib Rizieq Shihab didakwa menyebarkan berita bohong terkait hasil tes swab dalam kasus RS Ummi. Jaksa menuding perbuatan Habib Rizieq menimbulkan keonaran di masyarakat.

"Melakukan perbuatan dengan menyiarkan berita dan pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat," ujar jaksa penuntut umum saat membacakan dakwaannya dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim), Jumat (19/3/2021).

Dalam persidangan sebelumnya, terkait diksi 'onar' ini Habib Rizieq telah menunjukkan kesalahan fatal alias blunder ahli bahasa Andika Dutha Bachari dalam persidangan hari Rabu (5/5/2021). 

Habib Rizieq mempertanyakan definisi kata 'onar' yang diklaim ahli bahasa Andika Dutha Bachari sebagai 'resah' dalam sidang perkara kasus hasil swab RS Ummi. Habib Rizieq mencecar Andika soal sumber rujukan yang digunakannya dalam mendefinisikan kata 'onar'.

Awalnya, Andika menyampaikan adanya berita bohong dapat menimbulkan keresahan. Dia menyebutkan keresahan inilah yang disebutnya sebagai keonaran.

"Maksud onar dalam UU itu silakan dibaca keterangannya, itu bukan gejala material, tapi psikis. Bukan gejala material dalam pengertian keributan terjadi, ada bacok-bacokan, tapi sebetulnya itu gejala psikologis. Makanya didefinisikan onar itu resah," kata Andika dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Jalan Dr Sumarno, Cakung, Rabu (5/5/2021). 

Andika menilai keresahan sebagai bagian dari keonaran. Menurutnya, keonaran juga bisa timbul dari segi psikologis.

"Tidak dalam bentuk material, tapi psikologi, kecemasan. Tidak dilakukan tapi itu bohong. Pada gejala kecemasan yang ditimbulkan atau resah, apakah itu bagian dari onar?" tanya jaksa.

"Ya jelaslah. Onar itu kan kata kuncinya secara literal, secara harfiah, itu resah. Resah onar itu, Yang Mulia, galau...," jelas Andika.

Hakim ketua Khadwanto sempat menyela pernyataan Andika. Dia menanyakan soal apakah resah itu secara individual atau komunal.

"Sebentar, itu resah secara individual atau komunal?" sela hakim.

"Ini gejala individualnya, Yang Mulia. Kalau komunal itu kacau," jelas Andika.

Dalam kesempatannya, Habib Rizieq kemudian mencecar blunder dari Andika terkait definisi onar sebagai resah. Habib Rizieq mengungkapkan, arti itu tidak ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

"Bicara tentang keonaran, keonaran dalam KBBI ini diartikan, satu, huru-hara dan gempar, kedua, diartikan keributan dan kegaduhan. Pertanyaan saya, tadi Anda mengartikan onar itu resah, galau, gaduh ya, ini yang saya tanya yang di KBBI, buku apa yang menjadi rujukan Anda? Karangan siapa? Halaman berapa yang mengatakan onar itu artinya resah? Sebab, di KBBI nggak disebut resah," tegas Habib Rizieq.

"Saya minta rujukannya. Anda seorang ahli, seorang ahli dia harus rujukan, teori siapa yang dipakai, Anda tidak boleh buat teori sendiri sebagai ahli di ruang sidang," tambahnya.

Mendapat pertanyaan tersebut Andika  nampak gelagapan. Ia kemudian berkelit mengaku mendapatkan definisi itu dari buku berbahasa asing. 

Habib Rizieq kembali menanyakan sumber bahasa Indonesia yang mengatakan arti onar sebagai resah.

"Saya tidak hanya membaca buku bahasa Indonesia saja. Makanya tadi saya katakan ada terminologi sosiologis dan saya mengatakan onar ini sebenarnya terminologi sosiologis," kata Andika.

"Anda kan bukan ahli sosiologi, Anda kan ahli bahasa. Saya tanya onar diartikan resah itu rujukannya ke mana. Kalau tadi Anda mengatakan onar dikatakan kegaduhan, rujukannya ada di KBBI disebut, tapi onar diartikan resah ini di KBBI tidak ada. Saya mau tahu, dari mana Anda bawa itu kata resah?" cecar Habib Rizieq 

"Saya tidak menemukan dalam (buku) bahasa Indonesia," kelit Andika yang terpojok tak mampu menjawab. 

Sebagaimana diketahui Habib Rizieq didakwa pasal berlapis. Berikut pasal yang menjerat Habib Rizieq dalam kasus tes swab RS Ummi.

Pertama primer: Pasal 14 ayat (1) UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

Subsider: Pasal 14 ayat (2) UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

Lebih subsider: Pasal 15 UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, atau

Kedua: Pasal 14 ayat (1) UU RI Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, atau

Ketiga: Pasal 216 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sumber: detik.com