Dr Abdul Chair: Perkara Berita Bohong Habib Rizieq Dkk: Siapa Yang Berbohong?

 


Kamis, 20 Mei 2021

Faktakini.info

*PERKARA BERITA BOHONG IB HRS DKK: SIAPA BERBOHONG?*

Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.

(Dir. HRS Center & Ahli Hukum Pidana)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana diterbitkan dalam rangka melindungi kepentingan hukum negara (staatsbelangen). Rumusan pokok perbuatannya adalah larangan penyiaran berita atau pemberitahuan bohong dan timbulnya keonaran dikalangan rakyat. Pada prinsipnya kebohongan adalah bukan pidana. Kebohongan akan menjadi tindak pidana apabila terhubung dengan perbuatan lain dan bohong itu sebagai alat untuk memenuhi kehendak (maksud) yang dituju.

Penyiaran berita atau pemberitahuan bohong penekanannya bukan dari kebohongannya, melainkan menunjuk maksud tertentu dari orang menyiarkannya. Pada akhirnya menimbulkan keonaran yang terjadi secara meluas. Keonaran itu tentunya mengganggu stabilitas Keamanan Nasional.

Penyiaran berita atau pemberitahuan bohong dan timbulnya keonaran sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 14 ayat (1) menunjukkan bahwa delik ini adalah delik materiil. Keonaran dikalangan rakyat harus nyata dan sungguh-sungguh terjadi. Penjelasan Pasal 14 menyatakan bahwa, “keonaran adalah lebih hebat dari pada kegelisahan dan menggoncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya. Kekacauan meuat juga keonaran.” Dengan adanya penafsiran otentik ini, maka tidak dapat ditafsirkan lain bahwa keonaran adalah menunjuk pada suasana yang demikian hebat dan kekacauan terjadi secara meluas. Adapun pada ayat (2) dan Pasal 15 terdapat frasa “dapat menerbitkan keonaran”, hal ini bermakna bahwa keonaran sebatas potensi. Namun demikian, potensi yang dimaksudkan disini harus jelas ukurannya. Potensi harus menunjuk pada gejala-gejala yang mengarah pada timbulnya keonaran. Tidak dapat dipungkiri sifat fakultatif dalam Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 15 dalam penerapannya dapat berlaku subjektif.

Dilihat dari segi subjeknya, pelaku delik pada Pasal 14 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 15 adalah tidak sama. Pasal 14 ayat (1) menunjuk pada seeorang pembuat berita atau pemberitahuan bohong. Pada ayat (2) pembuat berita atau pemberitahuan bohong bukanlah dari dirinya, melainkan ia dapatkan dari pembuat berita bohong. Namun dirinya tetap menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong tersebut. Padahal ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong. Adapun Pasal 15 ditujukan pada orang yang menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap. Disini orang tersebut tidak mengetahui asal usul sumber beritanya (kabar angin). Padahal dirinya mengerti atau setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar yang tidak terjamin kebenaran itu akan mudah menimbulkan keonaran.

Dalam rangka penegakan hukum, maka semenjak awal (tahap penyidikan) harus dipastikan pelaku delik termasuk dalam kriteria yang mana dari ketiga gradasi tersebut. Pelaku delik tersebut apakah sebagai pembuat berita/pemberitahuan bohong yang kemudian menyiarkannya, atau sebagai pihak yang menyiarkan berita/pemberitahuan bohong yang ia dapatkan dari pembuat berita bohong, atau sebagai pihak yang menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap. Dengan demikian tidak mungkin terhadap satu orang diterapkan ketiga corak perbuatan yang berbeda secara sekaligus.

Dalam kaitannya dengan dakwaan Penuntut Umum pada perkara RS UMMI, dengan terdakwa Habib Rizieq Syihab, Habib Hanif Alatas dan dr. Andi Tatat, masing-masingnya diterapkan tiga corak perbuatan tersebut. Tidak cukup disitu, mereka juga didakwa dengan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan Pasal 216 ayat (1) KUHP. Terhadap semua dakwaan yang disusun secara alternatif melekat pula Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP yakni penyertaan (deelneming). Penerapan dakwaan yang demikian tentu membingungkan.

Penuntut Umum mengabaikan adanya perbedaan subjek delik dalam Pasal 14 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 15 Undang-Undang Peraturan Hukum Pidana. Sangat jelas, masing-masingnya berdiri sendiri. Sebagaimana uraian di atas disebutkan adanya tiga bentuk perbuatan. Masing-masing subjek pada ketiga perbuatan tersebut adalah berbeda. Perbedaan juga menunjuk pada perbuatan maupun kualitasnya. Disini dipertanyakan penerapan ketiga perbuatan - yang notabene tidak sama - kepada satu orang, padahal yang demikian itu berbeda dan berdiri sendiri. Terlebih lagi masing-masingnya diterapkan deelneming. Agar lebih jelas perihal yang membingungkan ini, maka patut dipertanyakan beberapa hal.

Pertama, kebohongan yang bagaimana yang terjadi itu bersintuhan dengan perbuatan dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Wabah Penyakit Menular.

Kedua, kebohongan yang bagaimana yang terjadi itu bersintuhan dengan Pasal 216 ayat (1) KUHP. Penuntut Umum sepertinya tidak memahami ketentuan Pasal 216 ayat (1) KUHP, bahwa substansi pasal ini ditujukan bagi pejabat pengawas tertentu, penyelidik dan penyidik dalam kaitannya dengan perkara pidana.

Ketiga, apa persintuhan kebohongan yang menimbulkan keonaran dengan perbuatan dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah. Apakah telah ada fakta terjadinya keonaran dalam hal ini terjadi kekacauan yang meluas? Begitupun terkait dengan penerapan Pasal 216 ayat (1) KUHP. Keonaran yang dimaksudkan tidaklah bersifat lokal. Terjadinya keonaran tersebut harus secara meluas di berbagai wilayah Indonesia.

Prediksi penulis terkait dengan perkara RS UMMI ini, sepertinya Penuntut Umum akan menuntut dengan dakwaan pertama (primair), yakni Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Peraturan Hukum Pidana jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Jika itu benar adanya, maka Penuntut Umum akan berhadapan dengan pembelaan (pledoi) Penasihat Hukum. Dipastikan dalam pledoi dinyatakan dengan tegas bahwa tuntutan a quo kepada para terdakwa tidak memiliki kekuatan pembuktian. Dikatakan demikian oleh karena tidak terdapat hubungan kausalitas dan tidak ada fakta konkrit terjadinya keonaran (kekacauan) yang meluas dikalangan rakyat. 

Jakarta, 20 Mei 2021.

🙏🙏🙏

Foto: Suasana sidang Habib Rizieq dkk, Rabu (19/5/2021) di PN Jaktim