Dr Abdul Chair: Prediksi Tuntutan Perkara Kerumunan Petamburan

 

Sabtu, 15 Mei 2021

Faktakini.info

*Prediksi Tuntutan Perkara Kerumunan Petamburan*

Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.

(Ahli Hukum Pidana HRS)

Dakwaan Penuntut Umum dalam perkara Petamburan memiliki persamaan penerapan pasal dakwaan dengan perkara Megamendung. Pada perkara Petamburan, dakwaan menyebutkan: Pertama; Pasal 160 KUHP jo. Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, atau Kedua; Pasal 216 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Ketiga; Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, atau Keempat; Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Kelima; Pasal 82A ayat (1) jo. Pasal 59 ayat (3) huruf c dan d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 10 huruf b KUHP jo. Pasal 35 ayat (1) KUHP. Adapun pada perkara Megamendung, dakwaan menyebutkan: Pertama; Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, atau Kedua; Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, atau Ketiga; Pasal 216 ayat (1) KUHP. Konstruksi dakwaan Penuntut Umum pada perkara kerumunan Petamburan yang disusun secara alternatif dan dikomulatifkan dengan dakwaan kelima patut dicermati.  Disini Penuntut Umum menerapkan dakwaan kelima agar menjadi satu kesatuan dengan salah satu dakwaan yang alternatif.

Menurut penulis tuntutan Penuntut Umum kepada Habib Rizieq Syihab akan menggunakan dakwaan pertama ditambah dakwaan kelima. Dengan demikian akan diformulasikan penerapan delik penghasutan (Pasal 160 KUHP) untuk tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (Pasal 93 Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan) dan melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial dan melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 82A ayat (1) jo. Pasal 59 ayat (3) huruf c dan d Undang-Undang Ormas) yang dilakukan secara bersama-sama dengan dengan Terdakwa Haris Ubaidillah, Ahmad Sabri Lubis, Ali Alwi Alatas Bin Alwi Alatas, Idrus Al-Habsyi dan Maman Suryadi (Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP).

Selanjutnya, sebagaimana telah disebut dimuka bahwa dakwaan pada perkara Petamburan memiliki persamaan dengan perkara Megamendung. Persamaan dimaksud menunjuk pada Pasal 93 Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan, Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Wabah Penyakit Menular dan Pasal 216 ayat (1) KUHP. 

Pada perkara tersebut, khususnya untuk Habib Rizieq Syihab, Penuntut Umum tidak menerapkan perbuatan berlanjut (voortgezette handeling) sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 64 ayat (1) KUHP. Pasal 64 ayat (1) KUHP selengkapnya berbunyi: “Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.”

Tidak diterapkannya ketentuan Pasal 64 ayat (1) KUHP mengandung makna adanya ‘rekayasa’ tertentu dalam perkara Petamburan. Pasal 64 ayat (1) KUHP telah membatasi Penuntut Umum untuk menentukan pasal yang mana yang akan digunakan. Penuntut Umum sengaja tidak mengunakan perbuatan berlanjut dimaksudkan agar perkara Petamburan tidak terhubung dengan perkara Megamendung. 

Dikatakan demikian, oleh karena terdapat ketentuan dalam Pasal 64 ayat (1) KUHP yang menegaskan adanya ketentuan yang menyebutkan “ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.” Menjadi jelas, maksud Penuntut Umum memang lebih mengedepankan perkara Petamburan dan dengannya memasukkan Pasal 82A ayat (1) jo. Pasal 59 ayat (3) huruf c dan d Undang-Undang Ormas yang dihubungkan dengan dakwaan pertama. Disini tergambar adanya rekayasa hukum terkait tidak digunakannya ketentuan delik berlanjut dalam Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Perlu ditegaskan, bahwa kesemua dakwaan pada perkara Megamendung, masing-masingnya tidak lebih dari 1 (satu) tahun dan oleh karena itu dipandang tidak layak menerapan Pasal 82A ayat (1) jo. Pasal 59 ayat (3) huruf c dan d Undang-Undang Ormas dan pidana tambahannya (Pasal 10 huruf b KUHP jo. Pasal 35 ayat (1) KUHP). 

Sebagai catatan, Pasal 93 Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan ancaman hukumnya pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Wabah Penyakit Menular ancaman hukumnya pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah). Pada Pasal 216 ayat (1) KUHP disebutkan ancaman pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu. Adapun Pasal 160 KUHP ancaman hukumannya pidana penjara paling lama enam tahun.

Disini terlihat keinginan Penuntut Umum mengaitkan delik penghasutan dengan delik Undang-Undang Ormas serta delik penyertaan (deelneming), dimaksudkan agar perkara Petamburan berdiri sendiri, terlepas dengan perkara Megamendung. 

Oleh karena itu penerapan pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 10 huruf b KUHP jo. Pasal 35 ayat (1) KUHP, khususnya tentang “pencabutan hak memilih dan dipilih’, dimaksudkan agar terhubung dengan Pasal 160 KUHP. Dikatakan demikian, sebab ancaman hukumannya dianggap relevan dan rasional.  Padahal tidak demikian, justru penerapan Pasal 10 huruf b KUHP jo. Pasal 35 ayat (1) KUHP adalah sangat berlebihan, tidak adil dan tidak proporsional.

Penerapan Pasal 10 huruf b KUHP jo. Pasal 35 ayat (1) KUHP lazimnya diterapkan terhadap kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime). Dalam sistem hukum Indonesia kejahatan yang luar biasa disebut sebagai tindak pidana khusus (lex specialist) dan diatur diluar KUHP, antara lain, Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang Narkotika dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan penjelasan ini, dipertanyakan relevansi dan rasionalitas delik Prokes/PSBB diterapkan dengan pidana tambahan sebagaimana layaknya kejahatan yang luar biasa.

Lebih lanjut, masuknya delik Ormas - yang sebelumnya tidak pernah ada dalam proses penyidikan - merupakan suatu penyimpangan. Sejalan dengan hal ini Marwan Mas mengatakan bahwa surat dakwaan yang menyimpang dari hasil pemeriksaan penyidikan merupakan surat dakwaan palsu dan tidak benar untuk dibawa ke sidang pengadilan.

Materi surat dakwaan sebagai dasar pemeriksaan hakim dalam sidang pengadilan, tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan tindak pidana yang disangkakan oleh penyidik dalam berkas perkara penyidikan (2012: 286). Dapat dikatakan bahwa dakwaan Penuntut Umum pada Terdakwa tidak sinkron, bertentangan dan menyimpang dari hasil pemeriksaan penyidikan. Hal ini dapat dilihat dari masuknya Pasal 59 ayat (3) huruf c dan d Undang-Undang Ormas, Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Pasal 10 huruf b KUHP jo Pasal 35 ayat (1) KUHP. Kesemuanya itu tidak ada dalam hasil pemeriksaan penyidikan. Disini terkonfirmasi bahwa surat dakwaan tersebut mengandung penyimpangan serius.

Disisi lain terhadap pelanggaran Prokes/PSBB sebagai mala prohibita/malum prohibitum, telah dibayarkan denda administratifnya dan oleh karenanya tentu tidak dapat lagi untuk dituntut ke Pengadilan. Sebagaimana dipahami bahwa hukum pidana mempunyai fungsi yang subsider, dan oleh karenanya ditempatkan sebagai instrumen terakhir (ultimum remedium). Jadi bukan berkedudukan sebagai yang utama/pertama (primum remedium). Ketika pengenaan denda administratif telah dibayarkan, maka terhadap sanksi pidana - sebagai primum remedium - tidak lagi diterapkan.

Menjadi pertanyaan serius, apakah penerapan pasal dakwaan pertama dan dakwaan kelima terhadap Habib Rizieq Syihab dkk dimaksudkan agar mereka tidak dapat lagi berperan aktif guna pemberian dukungan kepada Partai Politik dan Capres-Cawapres dalam Pileg dan Pilpres tahun 2024 yang akan datang. Jika demikian itu benar adanya, maka apa yang menjadi pendapat publik benar adanya, perkara Habib Rizieq Syihab dkk adalah bernuansa politis. Kepentingan politik lebih mendominasi kepentingan hukum. 

Jakarta, 16 Mei 2021.

🙏🙏🙏