Menanti Sikap Ksatria Presiden Joko Widodo Meminta Maaf Soal Babi Panggang Ambawang
Ahad, 9 Mei 2021
Faktakini.info
*MENANTI SIKAP KSATRIA PRESIDEN JOKO WIDODO MEMINTA MAAF SOAL BABI PANGGANG AMBAWANG*
Oleh : *Ahmad Khozinudin*
Sastrawan Politik
Polemik Bipang yang digulirkan Presiden Joko Widodo belum juga berakhir. Sejumlah klarifikasi baik yang berasal dari Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman, Tenaga Ahli Utama KSP Ali Mochtar Ngabalin, Juru Bicara Jokowi Mania hingga Menteri Perdagangan Muhammad Luthfi, tidak memuaskan publik khususnya umat Islam.
Sebab, yang nampak secara zahir yang meminta masyarakat pesan babi panggang ambawang adalah Presiden Joko Widodo. Dalam persepektif ilmu manajemen maupun militer, tidak ada bawahan yang salah.
Demikian pula, dalam konteks pemerintahan dan kenegaraan, Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan bertanggungjawab jawab penuh atas semua persoalan yang terjadi, apalagi karena kesalahan ucap Presiden. Presiden tidak dibenarkan cuci tangan, atau buang badan. Presiden wajib bersikap ksatria dan bertanggungjawab atas perbuatannya.
Mendag bisa salah, tapi Presiden bisa mengoreksi dan menolak konsep promo kuliner yang didesain Mendag. Scrypt yang disusun tim kreatif bisa keliru, namun Presiden bisa membaca ulang dan punya otoritas penuh untuk membatalkan bahkan memberi arahan langsung untuk merubah scrypt.
Dengan dalih apapun, Presiden Joko Widodo tidak bisa mengkambinghitamkan siapapun atas masalah ini. Mendag, Ali Mochtar Ngabalin, Fadjroel Rachman, betapapun siap menjadi kambing hitam tetap saja mereka bukan Presiden Joko Widodo, tidak memiliki wewenang bertindak untuk dan atas nama Presiden Joko Widodo.
Persoalan ini tidak akan selesai, kecuali ada niat yang tulus dan jujur untuk mengakui kesalahan. Tanpa kejujuran, niscaya isu ini akan menggelinding bak bola salju yang bisa terus membesar.
Semua berpulang kepada Pribadi Presiden Joko Widodo. Apakah, Presiden memiliki sikap ksatria dan mampu bertindak sebagai seorang Negarawan.
Apakah, Presiden Joko Widodo mampu menginsyafi kesalahan dan berbesar hati meminta maaf kepada umat Islam. Apalagi, di penghujung Ramadhan menjelang Hari Raya Idul Fitri.
Jangan sampai, bangsa ini disuguhi sikap teladan pengecut. Mudah berbuat salah, tapi enggan mengakuinya kesalahan dan meminta maaf.
Meminta maaf adalah budaya bangsa yang luhur, ajaran budi pekerti yang agung. Sementara kesombongan, enggan mengakui kesalahan adalah sikap jumawa yang dipenuhi angkara murka.
Bahkan, akan lebih berwibawa jika Presiden Joko Widodo berani menyatakan mengundurkan diri karena telah melakukan perbuatan tercela. Mengajak memesan babi panggang untuk menyambut perayaan Idul Fitri, disaksikan oleh segenap umat Islam, jelas merupakan tindakan tak patut, tindakan yang sangat tercela. [].
...
*PRESIDEN JOKO WIDODO MERUSAK CITRA KALIMANTAN YANG ISLAMI, TINTA SETITIK RUSAK AIR SUSU SEBELANGA*
Oleh : *Ahmad Khozinudin*
Sastrawan Politik
Beberapa hari ini, publik dihebohkan oleh seruan Presiden Joko Widodo yang meminta memesan Bipang Ambawang yang dikenal sebagai Babi Panggang Masakan dari Kalimantan. Tentu umat Islam sangat beralasan marah, karena merasa dilecehkan dan direndahkan.
Dilecehkan, karena makanan dari babi merupakan makanan yang diharamkan. direndahkan, karena seruan memesan bipang terjadi saat umat Islam sedang khusyuk menjalankan ibadah Shaum Ramadhan. lebih menjengkelkan, seruan ini dilakukan saat pemerintah melarang mudik dengan dalih pandemi, lalu menyarankan memesan Bipang jika rindu masakan kampung halaman.
Umat Islam di Kalimantan, tentu lebih berhak merasa marah. Karena omongan Presiden ini, Kalimantan jadi dikesankan lekat dengan Bipang. Seolah, Bipang menjadi kuliner khas citra rasa Kalimantan.
Padahal, ada puluhan hingga ratusan kuliner khas Kalimantan yang halal. kuliner ini lebih layak di endorse Presiden, ketimbang Babi Panggang.
Sebut saja : Ada Gangan Asam Patin, Gangan Pengat, Gangan Rojak Cabe, Gangan Salai, Gangan Keladi, Gangan Santan Kacang Hijau, Gangan Santan Nangka, Gangan Sayur Pisang
Gangan Tungkul, Gence Ruan, Jalo, Kelubutan Bella, Keat, Kamun, Kerubut, Salab, Kepiting Masak Santan, Nasi Bekepor, Nasi Kebuli, Nasi Lalap Tarakan, Nasi Sobot Ubi, Nasi Sobot Ubi, Rambat, Pengat Tirom, Rawon Cumi-Cumi, Rojak Keladi, Sagal, Sambal Goreng Gamik Kima, Sambal Raja, Sambal Tarakan, Sayur Asam Pisang Mentah, Sayur Pisang Daun Singkil, Semor Bali Ikan, Sop Bola-Bola Jagung, Sop Lemangu, Tumis Balelo, Tumis Ikan Kakap Berbumbu Saus Bawang Ala Singapura, dan masih banyak lagi.
Dari marga penganan : ada Abuh, Abon Kepiting, Akar Sampai, Amplang, Amperan Tetak, Apam Balembar, Apam Habang, Apam Putih, Babok, Bahui Dalam Tanah, Basong Berongkong Jagung, Bingka Labu, Bubur Biji Delima, Bubur Gunting, Bubur Susu, Cincin, Coplok, Cucur, Dadar Gulung, Dodol Jagung, Dodol Kertap, Elat Sapi Gagodoh, Gado gado spesial mesir, Gegaok, Getas, Getok, Kararaban
Kelepon, Keminting, Kericak, Kue Agar-Agar Laut, Lempeng Sagu, Lempeng Ubi, Lemuko, Lemuko Daun Silat, Lo Ulung, Madu Kasirat
Nangka Susun, dan masih banyak lagi.
Lantas, kenapa Presiden Joko Widodo menawari Babi Panggang ? padahal, jelas babi diharamkan dalam Islam. Bukankah, ini sama saja merusak citra Kalimantan ? seolah olah, orang Kalimantan hobi makan babi.
Padahal, Kalimantan dari dulu hingga sekarang dikenal daerah Islami. Mayoritas penduduknya muslim yang taat pada ketentuan-ketentuan syara' khususnya dalam hal makanan dan minuman.
Historinya, Kalimantan dahulu dikuasai oleh Kerajaan-Kerajaaan Islam yang konsisten menerapkan syariat bagi rakyatnya. ada Kerajaan Selimbau, Kerajaan Sintang, Kerajaan Mempawah, Kerajaan Tanjungpura, Kerajaan Landak, Kerajaan Kubu, Kerajaan Bangkalaan, dan Kerajaan Sanggau.
Sejumlah tokoh dan pahlawan Nasional dari Kalimantan seperti Pangeran Antasari, Hasan Basri, Idham Chalid, Pangeran Hidayatullah, Pangeran Muhammad Noor, Saadillah Mursyid dan Gusti Muhammad Hatta, semuanya beragama Islam.
Hanya karena Babi Panggang yang di endorse Presiden Joko Widodo, rusaklah citra Kalimantan yang Islami. persis seperti pepatah lama, tinta setitik rusak air susu sebelanga. [].
...
*TINDAKAN PRESIDEN PROMOSI BIPANG AMBAWANG TERKATEGORI PERBUATAN TERCELA SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 7A UUD 1945 ?*
Oleh : *Ahmad Khozinudin, S.H.*
Advokat, Koordinator TPUA
Rakyat terkejut dengan pernyataan Presiden Joko Widodo, dimana didalam salah satu rekomendasinya menyarankan kepada segenap rakyat untuk memesan kuliner Nusantara secara online. Salah satu kuliner yang direkomendasikan Presiden agar dipesan secara online adalah Bipang Ambawang.
Bipang sendiri adalah akronim dari Babi Panggang, sementara Ambawang salah satu desa di Kecamatan Batu Ampar, Tanah Laut, Kalimantan Selatan, Indonesia. Bipang Ambawang adalah makanan khas Kalimantan, merupakan sajian babi panggang yang haram dimakan kaum muslim yang merayakan Lebaran ataupun dihari biasa.
Belum ada klarifikasi resmi dari Presiden tentang tindakan yang tak patut ini. Juru Bicara Presiden, berusaha menetralisir isu dengan menyebut Bipang atau Jipang adalah makanan yang terbuat dari beras.
Klarifikasi Fadjroel Rachman ini tidak menyelesaikan perkara, karena yang disebut Presiden adalah Bipang bukan Jipang. Presiden juga melengkapi pernyataannya dengan menyebut Bipang Ambawang dari Kalimantan.
Secara gramatikal maupun konteks kebahasaan, makna yang dituju oleh Presiden Joko Widodo adalah Bipang dalam pengertian makanan khas Kalimantan yang merupakan sajian babi panggang. Fadjroel tidak bisa memalingkan makna bipang sebagai 'Babi Panggang' dengan mengalihkannya pada makanan jipang yang terbuat dari beras. Lagipula, jipang yang dimaksud oleh Fajroel bukanlah makanan khas Kalimantan, mungkin juga tidak ditemui di Kalimantan.
Berbeda dengan Fajroel Rachman yang masih 'ngeles' atas pernyataan Presiden Joko Widodo, Ketua Umum Jokowi Mania (JoMan) Immanuel Ebenezer atau Noel secara tegas mengakui makna yang dimaksud Presiden Joko Widodo adalah Bipang dalam pengertian Babi Panggang dan menyalahkan Menteri Sekretaris Negara Praktikno atas viralnya video ini.
"Ini sudah kesekian kalinya. Dari surat-surat, administrasi hingga data sambutan presiden pun bisa salah," kata Noel dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (8/5/2021).
Pernyataan Presiden yang tidak elok ini, tentu menimbulkan pertanyaan publik. Apakah dengan mempromosikan Babi Panggang Ambawang secara terbuka kepada segenap rakyat yang mayoritas muslim, apalagi menjelang perayaan Hari Raya Idul Fitri, terkategori perbuatan tercela ?
Kami dari TPUA memang sedang menggugat Presiden Joko Widodo yang salah satu petitum yang kami buat adalah menuntut Presiden Joko Widodo untuk menyatakan mengundurkan diri dihadapan publik. Alasannya, dalam Posita kami telah menjelaskan Presiden Joko Widodo telah melakukan tindakan tercela berupa banyaknya kebohongan dan janji-janji palsu Presiden, baik saat kampanye Pilpres maupun setelah menjabat menjadi Presiden.
Namun, tindakan Presiden yang mempromosikan Babi Panggang Ambawang secara terbuka kepada segenap rakyat yang mayoritas muslim, apalagi menjelang perayaan Hari Raya Idul Fitri, jelas terkategori perbuatan tercela yang memenuhi unsur perbuatan melawan hukum. Kami mengadopsi doktrin perbuatan melawan hukum secara materiil, dimana didalam gugatan kami terangkan sejumlah tindakan Presiden berupa tindakan kebohongan dan ingkar janji, yang menurut norma dan etika publik, norma susila dan agama, terkategori perbuatan yang tercela.
Pada kasus Bipang Ambawang ini, jelas Presiden Joko Widodo telah melakukan perbuatan tercela dengan mempromosikan Babi Panggang Ambawang secara terbuka kepada segenap rakyat yang mayoritas muslim, apalagi menjelang perayaan Hari Raya Idul Fitri. Tindakan seperti ini jelas, telah melanggar norma dan etika publik, norma susila dan agama, dan terkategori perbuatan yang tercela.
Peristiwa dimaksud, tentu saja semakin menguatkan gugatan yang kami ajukan terhadap Presiden Joko Widodo. Mengenai apakah hal tersebut bertentangan dengan ketentuan pasal 7A UUD 1945.
Kami dapat menjawabnya, itu kewenangan Mahkamah Konstitusi. Sebab, gugatan kami terhadap Presiden Joko Widodo hanya menuntut pengadilan menetapkan Presiden Joko Widodo telah melakukan perbuatan tercela dan meminta agar Presiden mengundurkan diri dari jabatannya.
Jika Presiden menolak mundur, kami telah siapkan opsi menggugat DPR RI (telah teregister dengan nomor perkara 265/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Pst) agar DPR RI menggunakan kewenangan kontrol terhadap eksekutif melalui hak angket, interpelasi dan Hak Menyatakan Pendapat (HMP). Dari DPR RI inilah, kelak Presiden diadili di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah lah yang berwenang untuk mengadili dan memutuskan apakah Presiden telah melanggar ketentuan pasal 7A UUD 1945 karena telah melakukan tindakan atau perbuatan tercela. [].
Nb.
Pasal 7A UUD 1945
*“Presiden dan / atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya* oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik terbukti telah melakukan kesalahan hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, *atau perbuatan tercela* atau terbukti tidak terbukti lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden.”