Pendahuluan Nota Pembelaan HRS Oleh PH: Mengetuk Pintu Langit: Menolak Kezaliman Menegakkan Keadilan

 

Jum'at, 21 Mei 2021

Faktakini.info

*PENDAHULUAN NOTA PEMBELAAN HRS OLEH PENASEHAT HUKUM*

*"MENGETUK PINTU LANGIT: MENOLAK KEZALIMAN MENEGAKAN KEADILAN"*

_OLEH: TA HRS_

*PENDAHULUAN*

Pertama-tama izinkan kami untuk memanjatkan Puji dan Syukur atas rahmat Allah SWT, yang telah memberikan perlindungan dan memberikan nikmat berupa kesehatan kepada kita semua, sehingga sampai hari ini kita masih dapat menjalankan tugas dan profesi kita masing-masing di dalam persidangan perkara ini.

Selanjutnya dengan hati yang tulus, kami sampaikan penghargaan dan rasa hormat yang setinggi-tingginya, disertai dengan ucapan terima kasih kepada Majelis Hakim, yang telah memimpin persidangan ini dengan penuh kesabaran, simpatik, teliti dan berwibawa disertai juga dengan sikap menghormati hak-hak asasi Terdakwa, sehingga telah mencerminkan bahwa Majelis Hakim telah menghormati asas praduga tidak bersalah _"Presumption of Innocence"_. Hal yang demikian itu, telah menempatkan Majelis Hakim pada tempat yang semestinya, yaitu tempat yang terhormat, berwibawa dan patut untuk dimuliakan.

_Majelis Hakim Yang Mulia,_

Sebelum kami masuk pada pembahasan pokok mengenai perkara, izinkan kami selaku penasihat hukum Terdakwa menyampaikan beberapa hal pada bagian Pendahuluan ini, agar kita bersama dapat mengambil pelajaran dan melihat secara utuh mengenai perkara ini secara utuh, termasuk didalamnya adalah melihat nilai-nilai yang diperjuangkan Terdakwa.

*PERKARA A QUO ADALAH PERKARA YANG BERBAU TENGIK KEPENTINGAN POLITIK PENGUASA.*

_“Tak usah kami uraikan lagi, bahwa proses ini adalah proses politik; ia, oleh karenanya di dalam pemeriksaannya, tidak boleh dipisahkan dari soal-soal politik...”,_ begitulah Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia memulai nota pembelaan bersejarahnya yang berjudul Indonesia menggugat dihadapan pengadilan lanraad Bandung pada 22 Desember 1930 atas tuduhan penghasutan dan berbuat keonaran. kalimat yang muncul dari Soekarno tersebut tidak mengherankan jika kita melihat konteks saat itu dimana penjajahan Belanda atas Indonesia terus berusaha menjaga status quo dari segala bentuk perlawanan anak bangsa dan segala bentuk gerakan memerdekakan bangsa Indonesia dari eksploitasi gila-gilaan serta kebobrokan yang dibawa rezim penjajah.


Soekarno menganggap proses hukum yang dialaminya adalah proses yang amat berbau tengik atas kepentingan politik penjajah yang berhasrat meredam gerakan yang dibangun oleh Soekarno dan berbagai kalangan pejuang kemerdekaan Indonesia, termasuk dari kalangan ulama dan santri, yang kritis atas eksploitasi penjajah terhadap rakyat Indonesia, yang dimiskinkan dan dibodohi secara sistemik oleh kaum penjajah, demi menjaga kelanggengan kekuasaan penjajah agar terus bisa menghisap secara besar-besar segala kekayaan yang ada di bumi pertiwi Indonesia.


Machiaveli menulis buku panduan bagi penguasa yang berjudul Il Principe atau Sang Pangeran yang menjelaskan panjang lebar tabiat politik kekuasaan yang intinya hanyalah dua; yakni bagaimana untuk merebut kekuasaan dan bagaimana mempertahankan kekuasaan. Dalam upaya mempertahankan kekuasaan, sudah menjadi tabiat rezim zalim dimanapun berada untuk melihat hukum bukan sebagai instrumen menegakan keadilan, akan tetapi semata-mata sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan. Segala bentuk kritik dan perlawan rakyat atas kekuasaan zalim sekonstitusional apapun upaya yang ditempuh adalah ancaman bagi kekuasaan otoriter yang dengan segala perangkat dan sumber daya yang dimiliki dapat dengan mudah mendesain kasus hukum bagi kaum oposisi.


Berkat rahmat Allah SWT serta keteguhan dari  pejuang kemerdekaan Indonesia, termasuk dari kalangan ulama dan santrinya, Indonesia akhirnya dapat dimerdekakan dari kungkungan penjajah. Akan tetapi walau Indonesia yang sudah hampir seabad merdeka dari kungkungan penjajah, namun tidak serta merta menghilangkan eksploitasi serta pemiskinan dan pembodohan sistemik yang ironisnya dilakukan oleh mereka yang mengaku sebangsa dan setanah air. Biarpun Indonesia telah menganut konsep negara hukum (Rechtstaat) bukan negara kekuasaan (Machtstaat) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, akan tetapi kecenderungan kekuasaan otoritarianisme yang melihat hukum sebagai subordinat kekuasaan dan salah satu alat pelanggengan kekuasaan tidak juga hilang.

Mahfud MD dalam bukunya Politik Hukum Di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2017), mengakui bahwa hukum tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya, dalam hal ini adalah politik. Politik kerapkali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum (h. 9). Mahfud MD, mengutip Carter dan Herz, memberikan penjelasan tentang ciri-ciri totalitarianisme yang diantaranya adalah dorongan negara untuk memaksakan persatuan dan usaha menghapus oposisi terbuka (h. 24), tentunya persatuan yang dimaksudkan bukan Persatuan Indonesia sebagaimana dimaksudkan oleh Pancasila yakni bersatu dengan tetap menghargai perbedaan, yang kita semua menyetujuinya, akan tetapi pemaksaan persatuan yang dimaksud adalah memaksakan untuk penyeragaman dengan apa yang diinginkan rezim otoriter, bila tidak seragam dengan hasrat kezaliman penguasa, maka siap-siaplah dibumi-hanguskan.


Rezim kekuasaan otoriter telah nyata membawa bangsa ini kepada kondisi zero sum game yang berpotensi memecah belah bangsa, dimana dapat digambarkan oleh pernyataan mantan presiden Amerika Serikat George Bush Jr. saat mendeklarasikan global war on terrorism dengan ungkapan “either you are with us or againts us”, kalau tidak mau ikut kemauan kekuasaan, maka siap-siaplah menjadi musuh negara, tidak ada posisi lain selain kedua posisi tersebut. Karena itu, dalam upaya pemaksaan penyeragaman, segala bentuk oposisi adalah ancaman bagi rezim otoriter sehingga harus ditumpas dan hukum acap kali diintervensi untuk menjadi alat represif dalam misi penumpasan oposisi demi melanggengkan status quo kezaliman rezim otoriter.


*KEZALIMAN YANG DIALAMI OLEH HABIB RIZIEQ SYIHAB.*


Pasca aksi 2 Desember 2016, atau yang lebih dikenal sebagai aksi 212, praksis Habib Rizieq Syihab muncul sebagai salah satu tokoh oposisi Indonesia diluar politik partai, terlebih dengan konteks perpolitikan Indonesia yang nyaris tak memiliki oposisi sebagai penyeimbang sehingga menyuburkan praktek oligarki. Akan tetapi, pasca aksi 212 juga serangan sistematis dan terkoordinir terhadap Habib Rizieq Shihab secara pribadi maupun mereka yang satu barisan dengan Habib Rizieq Shihab, biasa dijuluki kelompok 212, justru semakin keras dan semakin intensif, dari mulai serangan terhadap kehormatan, sampai kepada teror fisik. 


Serangan-serangan tersebut diduga kuat dilakukan oleh state actor dan/atau perpanjangan tangan dari state actor. Dugaan tersebut muncul dikarenakan aktifitas politik Habib Rizieq Shihab dan pendukungnya yang sangat kritis terhadap kebijakan-kebijakan publik zalim yang dikeluarkan oleh rezim otoriter. Tentu dalam konteks politik yang mengarah pada rezim oligarki zalim, dimana suara-suara oposisi diredam sedemikian rupa, aktifitas Habib Rizieq Shihab merupakan ancaman bagi perilaku koruptif penyelenggara negara yang memanfaatkan jabatan publiknya demi kepentingan pribadi dan kelompoknya.


Pada 2017 juga Habib Rizieq Shihab dan keluarga mengalami teror fisik, salah satunya rumahnya yang di Pondok Pesantren Markaz Syari’ah, Megamendung, Bogor, mengalami penembakan. Pada tahun 2017 juga, pada suatu acara pengajian di daerah Cawang, Jakarta Timur, ketika Habib Rizieq Shihab sedang memberi ceramah, tiba-tiba terdengar suara ledakan dari arah jalan, yang ternyata dari mobil yang terbakar hebat, dan berjalan mundur ke arah jama’ah. Ketika ditelusuri kembali ternyata satu mobil lagi yang didalamnya terdapat dirijen penuh dengan bensin yang juga bergerak mundur kearah jama’ah namun untungnya tidak ikut terbakar. Sampai detik ini kasus itu tidak pernah diungkap oleh pihak penegak hukum.


K.H. Slamet Ma’arif, Ketua Umum Persaudaraan Alumni 212, juga mengalami teror berkali-kali dirumahnya, seperti pelemn bom molotov dan batu, telah dilaporkan namun sampai sekarang tidak pernah diusut. Beberapa kantor cabang FPI di beberapa daerah mengalami teror serupa. Terakhir pada Minggu 6 Desember 2020, K.H. Slamet Ma’arif mengalami teror kembali lewat pengerusakan mobil miliknya.


Habib Rizieq Shihab sudah sering merasa diintai dan diawasi yang melanggar hak privasi warga negara, akan tetapi pasca aksi 2 Desember 2016, eskalasi aktifitas pengintaian yang melanggar hak privasi warga negara mengalami peningkatan tajam. Pasca Aksi 2 Desember 2016, sebelum hijrah/exile ke Saudi Arabia, Pondok Pesantren Markaz Syariah Megamendung, Bogor sering melintas tanpa izin beberapa drone yang tak dikenal. Selama Habib Rizieq Shihab tinggal di Saudi Arabia pun, menurut pengawal Habib Rizieq Shihab di Mekkah, tidak luput dari aktifitas pengintaian oleh orang berperawakan Indonesia yang dengan tanpa izin melakukan foto dan/atau video.


Yang paling memilukan adalah pada tanggal 6 Desember 2020, malam hari, Habib Rizieq Shihab beserta keluarga berangkat ke Karawang, Jawa Barat. Status Habib Rizieq Shihab ketika itu masih terpanggil sebagai saksi untuk senin tanggal 7 Desember 2020 di Polda Metro Jaya mengenai kasus tuduhan kerumunan Petamburan. Secara hukum pun, upaya penjemputan paksa belum bisa dilakukan, apalagi dinyatakan sebagai buronan atau DPO, Akan tetapi penguntitat terus dirasakan. Awalnya Habib Rizieq Shihab sekeluarga tidak mengetahui siapa yang melakukan penguntitan, namun kemudian diakui sendiri oleh Kapolda Metro Jaya bahwa penguntitan tersebut dilakukan oleh anak buahnya dengan klaim untuk kepentingan penegakan hukum. Suatu tindakan penegak hukum yang telah melanggar hukum itu sendiri, selain melanggar KUHAP, juga melanggar hak-hak warga negara yang dijamin oleh Konstitusi Indonesia.


Habib Rizieq Shihab dan  pendukungnya juga termasuk diantara korban serangan dari aktifitas propaganda buzzer politik, yang langsung menyerang kehormatan dengan berbagai tuduhan. Sebagaimana laporan dari ABC News, industri buzzer politik untuk kepentingan propaganda di Indonesia tumbuh subur  (https://www.abc.net.au/news/2018-08-13/indonesian-buzzers-paid-to-spread-propaganda-ahead-of-election/9928870). Kegiatan Buzzer politik ini digunakan oleh elit politik yang bercokol pada kekuasaan untuk menyebarkan berbagai propaganda, termasuk propaganda pembusukan terhadap lawan-lawan politik dengan cara disebarnya fake news, konten hoax dan sejenisnya yang amat melecehkan kehormatan orang yang dianggap sebagai musuh politik. 


Berkali-kali serangan-serangan baik secara non-fisik seperti fitnah dan propaganda dari buzzer politik maupun serang-serangan teror yang bersifat fisik dilakukan pelaporan kepada penegak hukum, namun nihil hasil. Diduga kuat, mereka  buzzer politik memang mendapat privilege atas aktifitas propaganda pembusukan terhadap lawan politik rezim yang berkuasa, sehingga tak bisa tersentuh oleh jerat hukum. Sebaliknya justru jerat hukum begitu mudahnya dikenakan kepada Habib Rizieq Shihab dan pendukungnya. Disini terlihat sikap unfairdalam penegakan hukum, sehingga menciderai prinsip equality before the law dan melanggar prinsip due process of law.


Kezaliman yang menimpa Habib Rizieq Syihab bukanlah hal yang baru sama sekali bagi ulama yang vokal dan kritis terhadap kezaliman dan teguh dalam menegakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Dalam lintasan sejarah terdapat  ulama yang teguh memegang prinsip kebenaran dan menegakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar harus berhadapan dengan kezaliman penguasa, sebagai contoh :



_Pertama : Sa’id bin Musayyab._

Seorang ulama besar dari kalangan tabi’in bernama Sa`id bin al-Musayyib, seorang ulama besar pada zamannya dan dikenal sebagai salah satu dari tujuh fuqaha Madinah, pernah mengalami kriminalisasi saat menolak baiat kepada putra Abdul Malik (al-Walid dan Sulaiman) sebagai ganti dari Abdul Aziz bin Marwan, akhirnya Hisyam bin Ismail (selaku Gubernur Madinah) memberi sanksi 60 cambukan kepadanya, dan dipenjara. [Siyaru A`lâm An-Nubalâ, 5/130] Pada riwayat lain bahkan Sa`id diboikot, tidak diajak bicara [al-Thabâqatu al-Kubra, 5/128], bahkan dicambuk [Siyaru A`lâm An-Nubalâ, 4/232].


_Kedua : Sa’id bin Jubair._

Lebih dari itu peristiwa itu, Sa`id bin Jubair yang juga seorang Tabi`in, murid dari sahabat Rasulullah SAW yakni sayyidina Abdullah bin Abbas RA, dipenggal kepalanya oleh Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi, yang merupakan panglima bengis perpanjangan tangan dari kekhilafaan Umawi,  gara-gara menentang kezaliman khilafah Umawi bersama Ibnu al-Asy`ats [Wafayâtul A`yân, 2/373] Demi memegang erat kebenaran, ia tak gentar kalaupun pada akhirnya harus gugur.


_Ketiga : Abu Hanifah._

Pada zaman khilafah Abbasiyah, Imam Abu Hanifah dicambuk [Târîkh Baghdâd, 13/327] dipenjara oleh al-Manshur gara-gara menolak dijadikan Qadhi [Siyaru A`lam An-Nubalâ, 6/401].


_Keempat : Malik bin Anas._

Nasib Imam Malik bin Anas juga tak jauh lebih indah, beliau dicambuk karena membangkang pada perintah Abu Ja`far al-Manshur, lantaran menolak iming-iming penguasa dan tetap teguh meriwayatkan hadits, “Tidak ada talak bagi orang yang dipaksa.” [Wafayâtul A`yân, 4/137].


_Kelima : Imam Syafi’i._

Imam Syafi’i yang merupakan murid dari Imam Malik, juga mengalami hal yang susah bersama penguasa. Imam Syafi`i yang adalah seorang ulama besar ahlus sunnah wal jama’ah dituduh sebagai pendukung Syi`ah, yang ketika masa Harun Al Rasyid dianggap sebagai kelompok pengacau, oleh pendengkinya, Mutharrif bin Mâzin. Bahkan pendengkinya memprovokasi Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk menangkap Imam Syafi`i dan orang-orang alawiyin. Diutuslah Hammad al-Barbari untuk menangkap Imam Syafi`i dan orang-orang alawiyin. Ia dirantai dengan besi bersama orang alawiyin dari Yaman hingga Raqqah, kediaman Harun Ar-Rasyid [Siyaru A`lâm al-Nubalâ, 8/273]. Bayangkan, betapa sengsaranya dengan rantai besi berjalan dari Yaman hingga Baghdad.


_Keenam : Ahmad bin Hanbal._

Imam Ahmad bin Hanbal, yang juga murid Imam Syafi’i, juga pernah mengalami nasib yang lebih menyakitkan dengan penguasa. Ia dicambuk, dipenjara selama 30 bulan oleh Ma`mun gara-gara tidak mengakui kemakhlukan al-Qur`an sebagaimana yang diyakini mu`tazilah [al-Kâmil fi at-Târîkh, 3/180].


Nama-nama ulama diatas adalah sedikit dari banyaknya ulama besar yang mengalami tindakan zalim oleh penguasa otoriter pada masanya masing-masing. Tapi dari nama-nama diatas kita bisa lihat justru berjalannya sejarah membuktikan bahwa mereka ulama yang teguh berpegang pada kebenaran dan senantiasa menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar justru namanya senantiasa harum dan tercatat dalam tinta emas sejarah serta selalu teringat dalam sanubari umat, akan tetapi mereka yang melakukan kezaliman dan mereka yang membantu pelaku kezaliman akan dicatat sejarah dengan tinta yang berbau tengik dan selalu menjadi bahan cemoohan umat manusia.


Bagi mereka  pelaku kezaliman maka kami ingatkan akan larangan Allah SWT dan Rasulullah SAW kepada pelaku kezaliman:


وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ ۚ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَارُ﴿٤٢﴾

_“Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak” (QS: Ibrahim, 42)_


Allah SWT mengingatkan kepada mereka pelaku kezaliman jangalah berpikir bahwa Allah SWT diam atas perilaku kezaliman mereka, karena Allah SWT sudah mempersiapkan balasan bagi mereka pelaku kezaliman.


وَعَنَتِ الْوُجُوهُ لِلْحَيِّ الْقَيُّومِ ۖ وَقَدْ خَابَ مَنْ حَمَلَ ظُلْمًا ﴿١١١﴾

_“Dan tunduklah semua muka (dengan berendah diri) kepada Tuhan Yang Hidup Kekal lagi senantiasa mengurus (makhluk-Nya). Dan sesungguhnya telah merugilah orang yang melakukan kezaliman” (QS: Thaha, 111)_


Begitu juga dalam Hadits shahih, Rasulullah SAW juga mengatakan:


اسْمَعُوا، هَلْ سَمِعْتُمْ أَنَّهُ سَيَكُونُ بَعْدِي أُمَرَاءُ؟ فَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ فَصَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ الحَوْضَ،َ 


_“Dengarkanlah, apakah kalian telah mendengar bahwa sepeninggalku akan ada  pemimpin? Siapa yang masuk kepada mereka, lalu membenarkan kedustaan mereka dan menyokong kezaliman mereka, maka dia bukan golonganku, aku juga bukan golongannya. Dia juga tak akan menemuiku di telaga.” (HR Tirmidzi, Nasai dan Al Hakim)._


Disini jelas Rasulullah SAW menerangkan bahwa bukan hanya penguasa zalim saja yang dibenci oleh Rasulullah SAW, tetapi juga mereka yang membenarkan kedustaan si penguasa zalim dan ikut membantu dalam kezaliman mereka, ikut pula Rasulullah SAW benci. Tidak bisa nanti di akhirat mendalilkan bahwa tindakan membenarkan kedustaan dan menyokong kezaliman adalah terpaksa atau berlindung dibalik alasan bahwa yang dilakukan hanya menjalankan perintah pimpinan. Itu semua akan dihisab di akhirat kelak.


*PERADILAN YANG IMPARSIAL SEBAGAI BENTENG DARI KEZALIMAN.*


Untuk mengimbangi kekuasaan yang otoriter, sangatlah penting posisi Lembaga Peradilan yang bebas dan merdeka dari segala bentuk intervensi kekuasaan zalim. Amandemen UUD 1945 memisahkan secara tegas cabang kekuasaan Yudikatif dari kooptasi cabang kekuasaan lainnya terutama eksekutif sebagaimana tergambar dalam pasal 24 ayat 1 UUD 1945 hasil amandemen ketiga yang berbunyi: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 juga menjelaskan lembaga yudikatif yang menjadi penyelenggara kekuasaan kehakiman, yang berbunyi: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah  Konstitusi.” 


Tanpa peranan pengadilan, menjadikan pemerintah menumpuk kekuasaan pada satu tangannya yang pada akhirnya dapat menjadikannya sewenang-wenang. Atas hal itu George Orwell menyatakan bahwa penguasa totaliter tidak hanya mau memimpin tanpa gangguan dari bawah: Ia justru secara aktif menentukan bagaimana masyarakat hidup dan mati; bagaimana mereka bangun dan tidak makan, belajar dan bekerja. Ia juga mau mengontrol apa yang mereka pikirkan; dan siapa yang tidak ikut, akan dihancurkan (Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik Di Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2011, Halaman 102 s.d. 103);


Kemerdekaan bagi lembaga yudikatif yang menjadi penyelenggara kekuasaan kehakiman merupakan syarat mutlak demi tegaknya negara hukum yang ingin dicapai Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Tahir Azhari, prinsip peradilan bebas merupakan persyaratan mutlak bagi tegaknya prinsip keadilan dan persamaan hukum. Lebih jauh lagi Tahir Azhari menceritakan :


_“Seorang yuris Islam terkenal Abu Hanifah berpendapat bahwa kekuasaan kehakiman harus memiliki kebebasan dari segala macam bentuk tekanan dan campur tangan kekuasaan eksekutif, bahkan kebebasan tersebut mencakup pula wewenang hakim untuk menjatuhkan putusannya pada seorang penguasa apabila ia melanggar hak-hak rakyat”_ (M. Tahir Azhari, Negara Hukum: Suatu studi tentang prinsip-prinsipnya dilihat dari segi hukum Islam, implementasinya pada periode Negara Madinah dan masa kini. (Jakarta: Kencana, 2007, hlm. 145);


Dalam buku the Federalist, Alexander Hamilton menyetujui pendapat Montesquieu yang menyatakan, “there is no liberty, if the power of judging be not seted from the executive and legislative powers.” (the federalist, h. 78) yang artinya “tidak akan ada kebebasan, jika kekuasaan kehakiman tidak dipisahkan dari kekuasaan eksekutif dan legislatif” Menurut David Currie, ungkapan Hamilton itu menjelaskan bahwa “Judicial independence was essential to ensure the impartial administration of justice and to enable the courts to act as a check on other branches of goverment” (Currie, 1998:10) yang artinya “kemerdekaan kehakiman adalah penting untuk menjamin peradilan imparsial dan menjadikan lembaga peradilan untuk mengawasi cabang kekuasaan lainnya”. Jadi kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari intervensi kepentingan zalim penguasa pada dasarnya adalah perwujudan dari mekanisme pengawasan dan keseimbangan yang bertujuan untuk melindungi kebebasan dan hak asasi manusia.


Majelis Hakim yang mulia, sebagai penutup, tidaklah kemulian itu tersemat kecuali datang dari keadilan dan kebijaksaan, karena perbuatan agama memerintahkan perbuatan adil, sebagaimana termuat dalam ayat Al Qur’an yang berbunyi :


إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ    


_“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”(QS: An Nahl, 90)_


وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ 


_”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (QS: An Nisaa, 58)_

*Karena itu, berbuat keadilan adalah perintah Allah SWT dan suatu kemuliaan luar biasa, akan tetapi tidak mungkin dapat terwujud keadilan bila kemerdekaan dan kebijaksanaan hakim diintervensi oleh kepentingan politik penguasa zalim.*

_((dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur 20 Mei 2021))._