Damai Lubis Bandingkan Vonis Tak Adil HRS Dengan 66 Kebohongan Jokowi
Kamis, 24 Juni 2021
Faktakini.info
*Ikhtisar*
"Vonis adil terhadap HRS tidak akan pernah ditemukan, karena sejak dimulainya proses perkara, diawali dengan pelanggaran hukum oleh sebab perkara ( sebenarnya) tidak pernah ada "
*Komparasi HRS 1 x Bohong Jo. Pelanggaran Prokes Covid 19 VS. Presiden Jokowi 66 x Delik Bohong Jo. Beberapa kali Pelanggaran Prokes Covid 19*
Oleh : Damai Hari Lubis, SH., MH
*Penulis adalah Sekretaris Dewan Kehormatan DPP. KAI ( Kongres Advokat Indonesia)*
*( Komparasi Tentang Pelaksanaan Fungsi Hukum Demi Keadilan dan Kepastian Hukum Merujuk Konstitusi dengan Realitas A quo)*
Fakta hukum Imam Besar Habib Rizieq Shihab HRS diseret ke Badan Peradilan melalui PN. Jakarta Timur dengan jumlah 3 kasus perkara. Pada perkara pertama lokus Petamburan, Jakarta Barat dituntut 2 Tahun penjara , perkara yang ke - dua, lokus Mega Mendung, Bogor Kabupaten, Jawa Barat, dituntut 10 bulan penjara, dan yang ke - tiga, lokus Rumah Sakit Ummi, Bogor Kota, dituntut 6 Tahun penjara oleh JPU vide perkara a quo in casu yang kini sedang berlangsung, dan semua perkara *yang dituduhkan diawali pada pokok perkara yakni pelanggaran Prokes Covid 19*
Namun pada sisi lain penegakan hukum, fakta menunjukkan, terhadap diri Jokowi/ Jkw sebagai Presiden RI tidak ada tuntutan apapun atas 66 Delik kebohongan pidana murni yang dilakukannya, bila dihubungkan dengan Pelanggaran Prokes Covid 19. Jkw juga melakukan pelanggaran kerumunan prokes dimaksud ( Maumere, dan pernikahan Atta Halilintar dengan Aurel Binti Anang Hermansyah)
Padahal secara hukum pelanggaran prokes sebagai bagian daripada ius konstituendum ( mudah mudahan berlaku), sebaliknya delik kebohongan yang dilakukan oleh Jokowi selaku Presiden ( Pejabat Negara) yang nota bene pejabat tertinggi negara, adalah murni delik yang mesti ditangani dengan cara tegas sesuai fungsi hukum yang dimaknai positif atau wajib mengikat atau ius konstitum ( hukum yang berlaku)
Secara hukum positif Presiden Jkw diancam oleh KUHP atas 66 Kebohongan yang dilakukannya bahkan lebih berat daripada orang biasa ( rakyat ) umumnya. Ketentuan lebh berat dimaksud adalah diatur hukumannya dengan ancaman terberat ditambah dengan sepertiganya, sesuai pasal KUHP ( UU. RI. No. 1 Tahun 1946 )
Pasal 52 KUHP :
" Bilamana seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya , atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga "
Dan peristiwa 66 kebohongan Jokowi, secara hukum merupakan bukti notoire feiten atau sebuah bukti yang dianggap semua orang telah mengetahuinya
Sehingga dapat dimaknai JPU ( Jaksa Agung dan Para JPU nya ) sebagai subjek hukum dan petugas negara yang sudah pasti mengetahuinya serta terbebani secara hukum untuk memproses hukum Jokowi terlepas dari apapun jabatan yang disandangnya sesuai konstitusi merujuk asas equality atau hak persaman hukum
Selain notoire feiten dan asas equal dimaksud JPU juga terikat serta terbebani pertanggung jawaban hukumnya sebagai petugas penegak hukum dan selaku pegawai negeri sesuai Pasal 108 ayat 3, KUHAP ( UU. RI No. 8 Tahun 1981
Pasal 108 ayat ( 3 ) : "
*" Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik.”*
*Dan adanya 66 kebohongan yang penulis sebut sebagai notoire feiten, tentu implikasi dari zaman iptek serba digital saat ini, sebagai alasan atau salah satu dasar hukumnya, maka dianggap telah diketahui umum, serta bahwasanya perbuatan kategori bohong juga merupakan perbuatan delik dari kacamata fiksi hukum, selain karena terbukti nyata memiliki asas legalitas*
Maka secara logika atau nalar sehat tekait adanya perbuatan dengan notoire feiten atau bukti sepengetahuan umum sejumlah 66 delik kebohongan yang dilakukan presiden pastinya juga sudah ditemukan oleh para penegak hukum ( JPU dan Anggota Polri), dan perbuatan delik dimaksud mempunyai sanksi hukum, terlebih bila prinsip fiksi hukum ( presumptio iures de iure) disandingkan terhadap bobot ilmu pengetahuan seseorang atau kelonpok orang sederajat Jaksa Agung, JPU atau Para Jaksa ( Kejagung RI ) dan Kapolri, Penyidik Polri ( Polri), pastinya mengetahui dan punya hak serta berkewajiban memproses hukum presiden Jokowi
Terlebih terhadap adanya 66 kebohongan tersebut telah diajukan petitum gugatan oleh beberapa orang masyarakat melalui pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Register Nomor Perkara 266/ PDT. G./ 2021/ JKT. PST. Dan Para Jaksa/ JPU tentu mengetahui secara pasti diluar daripada vonis kelak, karena salah satu peran jaksa dalam Perdata dan Tata Usaha Negara/ TUN. adalah pengacara negara oleh sebab UU. RI. Tentang Kejaksaan RI
Pasal 30 ayat ( 2 ) UU. RI No. 16 Tahun 2004 :
*"Dibidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus kewenangan dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah "*
*Sesuai judulnya komparasi, maka tulisan opini hukum ini adalah gambaran komparasi faktual, semestinya yang secara sanski hukum bagi pejabat negara pelanggar hukum adalah diperberat bahkan ditambah sepertiganya ( ancaman hukuman terbarat + 1/3 nya ) namun tidak dilakukan para abdi hukum negara ( Polri dan Kejari), namun mengapa kepada HRS justru dilakukan bahkan diperberat melebihi tuntutan para aparatur koruptor ?*
Maka inilah alasan hukum prokes Covid 19 yang disebut *walau bagian dari hukum namun sekedar cita - cita, atau sekedar mudah mudahan berlaku atau ius kostituendum, bila saja ius ini diterapkan menjadi ius konstitum, berapa juta manusia subjek hukum WNI yang mesti dipenjara termasuk presiden Jokowi ?*
*Pastinya dari fenomena perbandingan peristiwa penegakan hukum diatas yang kini tengah berjalan, bila diharapkan hukum dinegara ini akan berbuah vonis hukum yang ideal, atau diharapkan akan melahirkan dua fungsi hukum terkait keadilan (gerechtigheid), dan kepastian ( rechsecherheid ), analisa penulis menyatakan bahwa oleh sebab kedua asas yang menjadi prinsip hukum tersebut ditiadakan, maka pastinya asas kemanfaatan hukum ( zwachmatigheit) tentu nol atau nihil justru sekedar melahirkan catatan cacatan immoral, sebab hilang moralitasnya pada penegakan hukum itu sendiri sejak dimulainya proses perkara terhadap HRS dan tidak pernah adanya proses perkara terhadap presiden Jokowi termasuk penyelenggara negara atau publik figur dibawahnya*
Nb. Silahkan masyarakat pembaca simak tulisan pendapat hukum ini dan menilainya