Dr Abdul Chair: Dukungan Pembelaan Perkara RS Ummi Yang Menjerat HRS, Tangkisan Cerdas Terhadap Tuntutan JPU
Senin, 14 Juni 2021
Faktakini.info
Penyiaran berita atau pemberitahuan bohong termasuk juga penyiaran kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap sebagaimana diatur dalam Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dimaksudkan untuk menjaga kepentingan hukum negara (staat belangen), yakni dalam hal pemeliharaan Keamanan Dalam Negeri/Keamanan Nasional.
Pada prinsipnya kebohongan adalah bukan pidana. Kebohongan menjadi tindak pidana apabila dihubungkan dengan perbuatan lain yang dilarang dan kebohongan itu sebagai alat untuk memenuhi maksud/tujuan pelaku. Dengan demikian tidak pada tempatnya Penuntut Umum mendakwa dan menuntut HRS dkk dalam perkara RS UMMI sebab HRS menyatakan dirinya sehat didalilkan sebagai penyiaran berita atau pemberitahuan bohong yang menimbulkan keonaran. Penilaian kesehatan atas diri sendiri adalah hal yang lumrah, berlaku umum di masyarakat dan itu bukan merupakan perbuatan pidana.
Dalil Keonaran Tidak Logis
Penuntut Umum mendalilkan telah terjadi keonaran akibat kebohongan yakni: terjadinya demontrasi yang dilakukan FMPB, ratusan karangan bunga yang dikirim ke RS UMMI oleh masyarakat yang pro dan kontra, Pernyataan Sikap BEM se-Bogor terkait intervensi Walikota Bogor dan adanya keresahan di tengah masyarakat khususnya di Babakan Peundeuy Baranangsiang timbul rasa curiga pada pengajian Habib di Empang yang dikhawatirkan menularkan Covid-19 karena sering berkumpul melakukan pengajian. Penyiaran berita/pemberitahuan bohong dalam Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1/1946 mensyaratkan timbulnya keonaran di kalangan rakyat. Menurut Ahli Hukum Pidana, keonaran identik kekacauan, huru-hara atau kerusuhan. Berupa fisik dan terjadi secara meluas (masif) di berbagai wilayah Indonesia, jadi tidak bersifat lokal.
Penjelasan Pasal a quo menyebutkan “keonaran adalah lebih hebat dari pada kegelisahan dan menggoncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya. Kekacauan meuat juga keonaran.” Penjelasan otentik pembentuk undang-undang ini tidak dapat ditafsirkan lain. Kesemua dalil tersebut tidak ada hubungan kausalitas dan tidak sejalan dengan penjelasan otentik. Penuntut Umum memaksakan dalil keonaran, sehingga tidak masuk akal sehat.
Unsur Keonaran Tidak Terbukti
Pemberitahuan berita kondisi HRS dalam keadaan sehat, baik yang disampaikan oleh dr. Anti Tatat, Habib Hanif Alatas maupun HRS sendiri tidak dapat dikatakan sebagai menyiarkan berita atau pemberitaan bohong yang menimbulkan keonaran di kalangan rakyat. Berita bohong dinilai memiliki makna sepanjang perbuatan tersebut telah memenuhi unsur adanya suatu kelakuan dan akibat yang ditimbulkan dari kelakuan tersebut. Suatu akibat harus dirumuskan secara jelas dalam dakwaan dan tuntutan, yaitu suatu kenyataan empirik yang ditimbulkan oleh sesuatu penyebab (causa). Disini berlaku hukum sebab akibat (kausalitas).
Penuntut Umum tidak mampu membuktikan timbulnya akibat berupa keonaran, kekacauan, kerusuhan atau huru-hara di kalangan rakyat secara meluas (masif) di berbagai wilayah Indonesia sebagai akibat perbuatan para terdakwa. Oleh karena itu dalam persidangan tidak pernah ditemukan fakta adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dengan timbulnya akibat sebagaimana dimaksudkan. Oleh karena akibat tersebut memang tidak pernah ada, maka dalil Penuntut Umum mengada-ngada.
Unsur Kesalahan Tidak Terbukti
Menurut hukum seseorang tidak dapat dipidana karena atas dasar keadaaan batin seseorang. Hal ini sesuai dengan asas “cogitationis poenam nemo patitur”. Artinya “tidak seorangpun dipidana atas apa yang ada dalam pikirannya”. Oleh karena itu terhadap suatu perbuatan, maka didalamnya harus terkandung adanya kesalahan. Kesalahan menunjuk pada penggunaan pikiran seseorang secara salah yang kemudian mengarahkan dirinya dengan sengaja untuk melakukan tindak pidana.
Perihal ucapan bohong sebagaimana didalilkan oleh Penuntut Umum bertentangan dengan asas “tidak seorangpun dipidana atas apa yang ada dalam pikirannya”. Ucapan tersebut termasuk bagian dalam pikiran seseorang. Penilaian tersebut adalah penilaian yang wajar sebagaimana penilaian pada umumnya seseorang yang merasakan sudah sehat (pulih) dari rasa sakitnya. Tidak dimaksudkan oleh terdakwa (in casu HRS) menggunakan pikirannya secara salah yang kemudian mengarahkan tindakannya untuk mewujudkan perbuatan terlarang beserta akibatnya. FR Unsur Penyertaan Tidak Terbukti
Unsur Penyertaan Tidak Terbukti
Dakwaan dan tuntutan Penuntut Umum membingungkan, sebab para terdakwa diterapkan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP (penyertaan), namun tidak terhubung dengan syarat-syarat delik penyertaan. Tidak pernah ada fakta dalam persidangan tentang kerjasama yang didahului pemufakatan jahat (dolus premeditatus) diantara para terdakwa untuk mewujudkan kehendaknya melakukan perbuatan pidana. Padahal delik penyertaan mensyaratkan harus tampak adanya suatu kerjasama dan pemufakatan jahat diantara para pelaku. Penuntut Umum tidak mampu membuktikan adanya kesengajaan kerjasama dan pemufakatan jahat tersebut. Tidak pula mampu membuktikan adanya perjumpaan sikap batin (mens rea) diantara para terdakwa dalam kerjasama mewujudkan delik.
Kesemuanya itu membuktikan bahwa para terdakwa tidak memiliki kehendak dan pengetahuan (willens en wetens) untuk mewujudkan delik. Sepatutnya hal ini menjadi alat bukti petunjuk bagi Majelis Hakim bahwa tidak ada perbuatan pidana dan sekaligus tidak ada kesalahan, dan oleh karena itu tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Fakta yang terungkap dalam persidangan menunjukkan bahwa perbuatan yang didakwakan maupun yang dituntut tidak memenuhi unsur baik objektif maupun subjektif. Selama proses persidangan tidak ditemukan adanya alat bukti yang mampu menerangkan adanya perbuatan pidana dan keterhubungannya dengan kesalahan.
Perkara RS UMMI sejatinya adalah perkara Prokes dan bukan termasuk kejahatan. Begitupun dengan perkara Petamburan dan Megamendung. Rasa keadilan masyarakat selama ini terganggu dengan adanya proses hukum terhadap HRS dkk. Hanya terhadap HRS dkk dilakukan proses hukum, namun tidak pada yang lainnya. Kondisi demikian menyalahi asas kesamaan di depan hukum (equality before the law). Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Semoga putusan Majelis Hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.[]
Sumber: dinews.id dan lainnya