Lengkap, Duplik Habib Hanif Alatas Atas Replik JPU Terkait Kasus Perawatan HRS Di RS Ummi



Kamis, 17 Juni 2021

Faktakini.info

DUPLIK

Muhammad Hanif bin Abdurrahman Alathas, Lc.

ATAS REPLIK JAKSA PENUNTUT UMUM TERKAIT KASUS PERAWATAN HABIB RIZIEQ DI RS UMMI

KOTA BOGOR

No. Reg. Perkara : 224 / Pid.Sus / 2021 / PN.Jkt.Tim Pada Pengadilan Negeri Jakarta Timur

Jakarta, 17 JUNI 2021


اال عىل

 

بسم هللا الرمحن الرحي

امحلد هلل رب العاملني و العاقبة للمتقني و ال عدوان

الظاملني

 


 

أن س يدان

 

أشهد

 

اال هللا وحده ال رشيك هل و محمدا عبده و رسوهل

 

اهل

 

أن ال

 

أشهد

 


اللهم صل و سمل عىل س يدان محمد الفاحت ملا أغلق و اخلامت ملا


س بق انرص احلق ابحلق و الهادي اىل الرصاط املس تقي و


عىل أ هل و حصبه حق قدره و مقداره العظي


 

أمري و احلل عقدة من

 

يس يل

 

رب ارشح يل صدري و

 


لساين يفقه قويل و سدد لساين و اهد قليب حبق النيب و ال ل

و الصحب،

 أما بعد :

 

BAB I PENDAHULUAN


Perkenankanlah terlebih dahulu, kami menyampaikan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini dan memimpin jalannya persidangan secara arif, bijak, sabar dan sungguh-sungguh dalam upaya mencari kebenaran yang sesungguhnya/hakiki (materiele waarheid) guna mendapatkan keadilan yang akan dituangkan dalam putusan Majelis Hakim, demikian itulah tugas mulia para hakim, dan dari mengemban tugas yang demikian itu kedudukan hakim mendapatkan kemuliaan.

Salam penghormatan setinggi-tingginya teriring terimakasih juga kami haturkan kepada segenap Tim Penasihat Hukum tercinta yang sudah begitu luar biasa berkorban dzhohir, batin, pikiran, waktu, harta, jiwa dan tenaga. Saya tidak mampu membalas apa- apa jasa para penasihat hukum yang sudah begitu besar, mudah-mudahan Allah memberikan ganjaran pahala sebesar-besarnya untuk segenap Tim Penasihat Hukum di Dunia dan Akhirat.

Begitupula, ucapan terima kasih kami haturkan kepada Segenap Jaksa Penuntut Umum yang telah berpartisipasi dalam proses persidangan ini.


Bahwa setelah membaca dengan seksama Replik Jaksa Penuntut umum atas Pledoi saya, yang dibacakan pada hari Senin, 14 Juni 2021, maka dengan tegas saya menolak dan tidak sependapat atas Replik yang telah diajukan Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan ini.


Maka perkenankanlah saya sebagai Terdakwa menyampaikan DUPLIK atas Replik dari jaksa Penuntut Umum, hal itu kami uraikan sebagai berikut :

 

BAB II ISI DUPLIK


Yang Mulia Majelis Hakim,

Yang Tercinta Seluruh Penasihat Hukum,

Yang Terhormat Semua Jaksa Penuntut Umum,

Yang Istimewa Segenap Pecinta Keadilan dimana pun berada.



I. JPU menyatakan bahwa pernyataan saya dalam pledoi yang berbunyi “ Jaksa Penuntut Umum tidak objektif dan banyak mengabaikan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan serta lebih banyak fokus pada keterangan- keterangan yang ada dalam BAP padahal berbagai keterangan dalam BAP tersebut telah digali lebih dalam di muka persidangan sehingga apa yang terungkap dalam Persidangan lebih utuh dan jelas, bahkan sebagian ada yang diralat juga diluruskan “ adalah tidak didasari dengan bukti yang konkrit dan terkesan terdakwa tidak pernah serius memperhatikan jalannya persidangan yang sudah berlangsung.

Hal tersebut tentu tidak benar, karena apa yang saya sampaikan tersebut didasari oleh bukti kongkrit dan merupakan hasil keseriusan saya dalam mengikuti jalannya persidangan selama ini serta bukti-bukti tersebut tersebar dalam pleodi yang saya uraikan Panjang lebar. Di antara bukti-bukti ungkapan saya tersebut sebagai berikut :

1. JPU mendalilkan adanya unsur keonaran dikalangan Rakyat dengan adanya pernyataan sikap dari BEM se Kota Bogor dengan memaksakan bahwa pernyataan sikap tersebut adalah terkait perawatan Habib Rizieq berdasarkan apa yang ada di BAP.

Padahal Faktanya, Tidak ada Demo atau Pernyataan sikap TERKAIT MASALAH HABIB RIZIEQ yang dibuat oleh Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa se-Bogor pada tanggal 4 desember

 

2020. Pernyataan sikap yang dimuat dalam BAP dan dijadikan sebagai bukti dengan poin ke 3 terkait Habib Rizieq masih berupa draft yang pada akhirnya batal dan tidak pernah dirilis sama sekali, adapun pernyataan sikap resmi yang telah dirilis tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan Perawatan Habib Rizieq di RS UMMI ( Surat Pernyataan sikap sudah dilampirkan dalam Pledoi Penasihat Hukum ).

Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Saksi M. ADITIYA ABDURAHMAN & MUHAMAD ASLAM (KETUA & ANGGOTA BEM

SEBOGOR RAYA) dalam persidangan hari Rabu 28 April 2021 di bawah sumpah yang pada pokoknya menyatakan bahwa “Pernyataan sikap BEM Se Kota Bogor yang berisi 4 Point termasuk ada point ke 3 terkait Habib Rizieq Syihab di dalamnya masih berupa draft yang batal alias TIDAK PERNAH DIRILIS; Adapun, Pernyataan sikap BEM se Kota Bogor yang resmi dan telah di rilis berisi 3 point yang bersifat global seputar penanganan covid di Kota Bogor dan tidak sama sekali menyebut Habib Rizieq Syihab alias tidak ada sangkut pautnya dengan HRS dan Tidak ada Demo BEM KOTA BOGOR terkait bela Habib Rizieq Syihab “

Sehingga, menjadi jelas, bahwa pernyataan sikap ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Perawatan Habib Rizieq, Khususnya Pernyataan Saya, Habib Rizieq dan dr Andi Tatat dalam perkara A Quo.

Sangat disayangkan, meski fakta persidangan telah secara TERANG-TERANGAN dinyatakan oleh kedua saksi diatas dalam persidangan bahwa PERNYATAAN SIKAP RESMI yang dikeluarkan oleh BEM tersebut sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Habib Rizieq, namun JPU dalam tuntutannya tetap bersikeras menjadikan pernyataan sikap dari BEM se Kota Bogor sebagai bukti

 

keonaran yang ditimbulkan akibat pernyataan saya, dr Andi dan Habib Rizieq dalam perkara A Quo. Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa sikap JPU kerap subyektif sejak awal penanganan perkara A Quo.

2. Dalam tuntutannya, JPU juga mengatakan bahwa perbuatan saya MEMPERBURUK KEDARUATAN KESEHATAN MASYARAKAT, sehingga dijadikan pertimbangan yang memberatkan. Sungguh tuduhan tersebut sangatlah tidak berdasar, karena tidak ada satupun bukti dan fakta persidangan yang menunjukkan bahwa ada perburukan kedaruratan Kesehatan masyarakat yang diakibatkan oleh perbuatan saya.

Padahal faktanya dalam persidangan terungkap bahwa , Ketika dan sesudah di rawat di RS UMMI Habib Rizieq sama sekali tidak melakukan kontak langsung dengan masyarkat Kota Bogor sehingga tidak ada potensi penularan terhadap mereka apalagi memperburuk kedaruratan kesehatan. Hal ini sesuai dengan pernyataan saksi DR. Sri Retno Mars selaku Kadinkes Kota Bogor dalam BAP nya yang sudah diakui di bawah sumpah pada persidangan hari Rabu 14 April 2021, bahwasanya “ Hasil Tracing atau penelusuran, tidak ada yang kontak langsung dengan Habib Rizieq, “dalam persidangan yang sama saksi DR. Sri Retno juga menjelaskan pada pokoknya bahwa “ Dua perawat Habib Rizieq yang di periksa dengan Swab PCR pun hasilnya NEGATIF “. Adapun tudingan atau dugaan bahwa dr Andi Tatat tertular Covid dari Habib Rizieq maka dugaan tersebut tidak benar, sebab selama Habib Rizieq di rawat di RS UMMI, dr Andi Tatat sama sekali tidak melakukan kontak langsung atau bertemu dengan Habib Rizieq sehingga bisa dipastikan dr Andi bukan tertular dari Habib Rizieq. Hal ini sesuai dengan pernyataan dr Andi Tatat dalam persidangan 27 Mei 2021 dibawah sumpai sebagai Saksi Mahkota

 

mengatakan pada pokoknya bahwa “ selama Habib Rizieq dirawat di RS UMMI, dr Andi sama sekali tidak bertemu dan kontak langsung dengan Habib Rizieq “.

Tidak sampai disitu, Pada halaman 2 Data Dinkes Kota Bogor yang dilampirkan oleh Saksi Dr. Sri Nowo Retno dalam BAPnya di Bareskrim pada Halaman 15 bahwa pasca perawatan Habib Rizieq di RS UMMI dalam priode 30 November 2020 sampai 13 Desember 2020 justru laju kasus Covid-19 di Kota Bogor turun sampai minus - 5,4 % dibandingkan dengan priode sebelumnya yang mana laju kasus covid mencapai 90 %. Tentunya jika mau melihat apakah satu peristiwa berdampak pada laju covid maka yang dilihat adalah waktu setelahnya, sesuai dengan masa inkubasi bukan Ketika peristiwa itu terjadi, hal ini sudah diketahui oleh umum.

Dari fakta-fakta diatas menjadi terang benderang bahwa pernyataan JPU dalam tuntutan yang menyatakan perbuatan saya memperburuk kedaruratan kesehatan dikalangan rakyat adalah pernyataan yang menyimpang dari fakta yang sebenarnya.

3. JPU menjadikan demo super damai dan tertib yang dilakukan hanya 20 orang yang mengatasnamakan FRPB sebagai bentuk “ keonaran di kalangan Rakyat untuk memenuhi unsur keonaran dikalangan rakyat dalam perkara A quo.

Padahal Saksi ahli yang dihadirkan JPU Dr. Trubus Rahardiansyah, S.H., M.H., M.Si (Ahli Sosiologi Hukum) menjelaskan dibawah sumpah pada persidangan Rabu 5 Mei 2021, yang pada pokoknya Bahwasanya “ Demonstrasi damai yang menyampaikan curah pendapat atau aspirasi itu wajar-wajar saja, itu adalah HAK KONSTITUSIONAL dan BUKAN KEONARAN “

Namun sayang seribu sayang, keterangan tersebut diabaikan begitu saja oleh JPU dengan tetap mengkategorikan demo tersebut

 

sebagai bentuk keonaran dikalangan rakyat demi memenuhi unsur pasal dalam perkara AQUO.

3 poin diatas hanyalah 3 contoh dari sekian banyak contoh subyektifitas yang dilakukan JPU dalam pemilahan Fakta sebagaimana saya jelaskan. Oleh karena itu, pernyataan yang saya sampaikan dalam pledoi tersebut didasari oleh bukti kongkrit dan merupakan hasil keseriusan saya dalam mengikuti jalannya persidangan selama ini. Sebaliknya pernyataan JPU dalam replik tersebut diatas justru tidak berdasar dan membuktikan bahwa JPU tidak perhatian dengan fakta yang terungkap dipersidangan secara obyektif karena hanya mencatat dan memperhatikan fakta-fakta yang menguntungkan JPU saja.


II. JPU menyatakan bahwa ungkapan saya dalam pledoi yang berbunyi “ Bagi saya, dakwaan dan tuntutan tersebut TIDAK BENAR, bahkan merupakan sebuah dakwaan dan tuntutan yang SALAH ALAMAT, IRASIONAL dan TIDAK PROPORSIONAL. Hal itu – In Sya Allah – akan saya jelaskan melalui Analisa terhadap Konteks dan Teks pasal 14 (1) dan (2) serta pasal 15 (2) UU NO 1 Tahun 1946 serta kaitannnya dengan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan “ adalah pernyataan yang mengada-ngada dan tidak berdasarkan kejujuran sebab terdakwa belum memahami betul isi surat dakwaan dan surat tuntutan yang diajukan JPU dalam persidangan ini.

Tentu pernyataan JPU dalam Replik tersebut tidak benar, karena ungkapan saya tersebut bukan ungkapan yang mengada-ngada. Karena, dakwaan dan tuntutan yang ditujukan kepada saya memang SALAH ALAMAT, IRASIONAL dan TIDAK PROPORSIONAL.

Untuk membuktikan ungkapan saya tersebut saya telah menguraikannya sebanyak 106 Halaman, mulai halaman 94 sampai halama n 200 dari Pledoi saya, melalui Analisa terhadap Konteks dan Teks pasal 14 (1) dan (2) serta pasal 15 (2) UU NO 1 Tahun 1946 serta kaitannnya dengan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan.

Namun sayangnya, JPU dalam Repliknya hanya membantah ungkapan saya secara sepotong seperti diatas lalu membantahnya dengan alasan yang tidak

 

argumentatif. Sehingga hal tersebut justru menunjukkan JPU belum memahami betul Nota Pembelaan / Pledoi yang saya ajukan dalam persidangan ini.


Yang Mulia Majelis Hakim,

Yang Tercinta Seluruh Penasihat Hukum,

Yang Terhormat Semua Jaksa Penuntut Umum,

Yang Istimewa Segenap Pecinta Keadilan dimana pun berada.



III. Bantahan JPU atas beberapa hal yang ada dalam Pledoi.

1) ANALISA KONTEKSTUAL : PASAL 14 dan 15 UU NO 1 Tahun 1946 tidak lagi relevan dengan konteks kekinian.

A. Dalam hal ini, JPU tidak memahami uraian saya tersebut dengan baik. Tentunya, kita semua tau bahwa pasal 14 n 15 UU no 1 tahun 1946 secara normatif masih berlaku sebagai hukum positif karena belum pernah dicabut, semua sepakat tentang hal ini. Tapi pertanyaannya, meskipun masih belum dicabut, apakah penerapan pasal tersebut masih relevan dengan konteks yang ada saat ini ? mengingat pasal tersebut lahir dalam konteks yang sangat berbeda dengan konteks saat ini !

Relevansi dan berlaku atau belum dicabutnya sebuah aturan perundang-undangan tentunya adalah dua hal yang berbeda. Ada berbagai undang-undang yang masih berlaku sampai saat ini, namun dipandang sudah tidak relevan serta tidak adil dan mempunyai dampak negatif jika dipaksakan untuk diterapkan dalam konteks kekinian. Di antaranya, sebagai berikut :

www.antaranews.com memuat bahwa Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise mengatakan bawha Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah tidak relevan dengan situasi dan kondisi terkini, karena batasan usia perkawinan pada UU tersebut sudah tidak lagi tepat

 

dengan berbagai alasan. ( lihat Link : https://www.antaranews.com/berita/1052172/menteri- yohana-sebut-uu-perkawinan-sudah-tidak-relevan )

Web Resmi Kemenkumham Jateng memuat tulisan pada Oktober  2019 dengan judul UU Jaminan Fidusia Sudah Tidak Relevan Dengan Perkembangan Zaman, meskipun UU tersebut telah berlaku selama lebih dari 19 tahun ( https://jateng.kemenkumham.go.id/pusat- informasi/artikel/4320-undang-undang-jaminan-fidusia- sudah-tidak-relevan-dengan-perkembangan-jaman )

Pada Maret 2020, Liputan6.com memuat bahwa Gerindra menyatakan; perpu darurat sipil sudah tidak relevan lagi diterapkan sekarang meskipun UU tersebut masih berlaku ( Lihat Link

https://m.liputan6.com/news/read/4215624/gerindra- perppu-darurat-sipil-sudah-tidak-relevan-diterapkan- sekarang )

Inilah yang hendak saya uraikan berdasarkan keterangan para ahli, ini terkait RELEVANSI pasal tersebut terhadap perbuatan terdakwa dalam perkara A Quo bukan terkait apakah apakah pasal-pasal tersebut sudah dicabut atau belum dan masih berlaku atau tidak. Dalam Replik JPU mulai dari halaman 4 sampai halaman 15, kebanyakan JPU hanya berputar-putar menjelaskan bahwa Pasal ini masih berlaku atau belum dicabut. Padahal itu adalah hal yang tak perlu dijelaskan.

Karenanya, dalam Pledoi saya mulai dari halaman 94 -111, saya menguraikan dengan gamblang berdasarkan banyak refrensi dan keterangan para ahli yang kesimpulannya bahwa pasal 14 dan 15 No 1 thn 1946 sudah tidak relevan lagi dengan konteks saat ini terlebih dengan perkara Aquo. Sebab, sebuah aturan yang lahir dalam sebuah konteks serta kental dengan pengaruh konteks tersebut akan menjadi kehilangan

 

keadilan, relevansi, rasionalitas dan proporsionalitasnya ketika dipaksakan diterapkan dalam sebuah perkara yang sudah meleset sangat jauh dari konteks tersebut. Dalam pledoi saya juga sudah uraikan panjang lebar bahayanya kaku dalam memahami teks tanpa mempertimbangkan konteks lahirnya teks tersebut.

Namun sayang sekali, JPU tidak memahami uraian saya dalam pledoi tersebut secara utuh dan baik, sehingga bantahan JPU jauh sudah jauh panggang dari Api. JPU juga dengan sengaja mengabaikan metode Interpretasi Historis dan Sosiologis, padahal metode tersebut termasuk yang diakui dalam meingterpretasikan teks perundang-undangan dalam praktek hukum pidana, sebagaimana telah saya uraikan dalam pledoi saya, sehingga JPU tidak peduli dengan sejarah konteks lahirnya pasal tersebut tersebut untuk dijadikan salah satu pertimbagan utama dalam merepresentasikan pasal tersebut.

Pantas jika Dr. Margarito Khamis, SH. M.HUM sebagai seoarang ahli Hukum Tata Negara dalam sebuah tulisannya pernah mengungkapkan bahwa “ Orang Hukum beneran, tahu tidak ada kata yang tidak memiliki makna. Kata memantulkan makna. Tidak ada teks yang tidak punya pijakan empiris, sebagai konteks teks. Konteks teks tak dapat diperiksa hanya atas dasar debat pembentukan teks itu. Tidak begitu. Sebab debat teks harus didalami hingga ke soal bagaimana, dalam suasana apa, dan peristiwa apa yang melatarbelakangi sekaligus sebagai inspirasi teks itu. Ini disebut metateks. Metateks menggambarkan kehendak asli pementuknya1”

Karenanya, Demi memberikan pemahaman hukum yang baik tentang tidak relevannya penerapan Pasal tersebut terhadap perkara A



1. https://fnn.co.id/2021/03/30/menghukum-dr-syahganda-nainggolanmenghina-bung-hatta-dan-profesor- soepomo/

 

Quo, maka disini saya tuangkan ulang 3 alasan yang menjadi sebab munculnya kesimpulan bahwa pasal tersebut tidak lagi relevan dengan konteks saat ini :

a. Konteks saat ini sudah sangat berbeda dengan konteks Ketika lahirnya pasal tersebut. Saat ini NKRI sudah berdiri kokoh, aman dan stabil, berbeda dengan tahun 1946 dimana eksistensi Negara yang baru saja dideklarasikan terancam, keadaan tidak stabil, ancaman external dan internal didepan mata, kondisi negara yang sedang dalam masa transisi sebagaimana telah dijelaskan, sehingga wajar jika diperlakukan pasal tersebut, karena adanya DARURAT KEAMANAN.

Apalagi dalam perkara Aquo, sungguh jauh panggang dari api jika sebuah pasal dengan ancaman hukuman besar yang diperuntukkan untuk menjaga eksistensi negara yang sedang terancam, kemudian diterapkan kepada orang yang dituduh bohong karena mengatakan “ Habib Rizieq Sehat “ padahal pernyataan itu didasari niat baik untuk menenangkan pihak yang khawatir akibat berita hoax bahwa HRS kritis. Sekali lagi Sungguh jauh panggang dari api.


b. Dr Refli Harun menjelaskan bahwa “ Jadi konteksnya seperti itu dan teksnya dibuat under representatif sehingga ketika kemudian pasal ini muncul pada era sekarang ini, maka akan muncul sebuah A Big Question; sebuah pertanyaan yang luar biasa ! karena konstitusi berubah berkali-kali; setelah tahun 1945 berubah menjadi Konstitusi RIS tahun 1949, kemudian berubah lagi jadi Undang-Undang

 

Dasar Sementara tahun 1950, lalu tahun 59 Dekrit Presiden 5 Juli dan jangan lupa, konstitusi yang lebih demokratis dan memberikan perlindungan dasar pada Hak Asasi Manusia terbit antara tahun 1999 – 2002. Bila kita kaitkan dengan proporsionalitas test antara ketentuan Pasal itu dengan era hukum baru dengan rezim tata negara yang baru, maka saya dengan yakin mengatakan bahwa seharusnya UU seperti itu tidak diberlakukan lagi”

Terkait hal ini, Ahli Hukum Pidana Prof. Dr Muzakkir juga menjelaskan bahwa “ Pasal XIV dan Pasal XV UU Nomor 1 Tahun 1946 tersebut belum dihapus hingga sekarang, meskipun sudah ada penggantinya yaitu norma hukum pidana yang diatur dalam berbagai undang-undang yang tersebar di luar KUHP dan di luar Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946. Secara sistemik, seharusnya lebih mengedepankan norma hukum baru (Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan undang-undang baru lainnya) dan mengabaikan (tidak menggunakan) norma hukum pidana yang lama yaitu tindak pidana dimuat dalam Pasal XIV dan Pasal XV Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946.

Hal ini penting untuk diperhatikan karena kurun waktu sejak Tahun 1946 hingga Tahun 2021 telah terjadi perkembangan hukum, terutama adanya Amandemen Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945, yang secara akademik pembaruan hukum pidana dalam undang-undang dan

 

amandemen tersebut harus menjadi dasar interpretasi dalam penggunaan Pasal XIV dan Pasal XV serta penegakan hukum pidana lainnya yang dimuat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946.

Terjadinya pembaharuan hukum pidana dalam berbagai bidang tersebut selain untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, sebagian diantaranya karena Amandemen Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 yang memuat Norma Hukum Dasar yang baru yang mendasari dan sekaligus menjadi hukum dasar dan dasar hukum pembaruan hukum pidana dan pembaruan interpretasi norma hukum dalam pasal undang-undang, apalagi terkait dengan norma hukum pidana yang dibuat Tahun 1946 yang kontennya berkaitan dengan keadaan masyarakat pada saat itu yang dalam sejarah hukum pidana pada tahun 1946 dikatakan sebagai masa pancaroba”.

c. Saat ini, sudah ada undang-undang lain yang lebih khusus yang mengatur perbuatan pidana yang sama. Ahli Hukum Pidana Prof. Dr. Muzakkir menjelaskan bahwa “ sekarang telah dibentuk beberapa undang- undang yang terkait dengan penyiaran, yaitu Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan lainnya, maka segala tindak pidana yang terkait dengan penyiaran atau pemberitaan tunduk kepada undang-undang tersebut. Pasal yang terkait dengan penyiaran dan

 

pemberitaan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946, yaitu Pasal XIV dan XV, tidak relevan lagi untuk diterapkan dalam masa sekarang, apalagi masyarakat dalam susana atau keadaan normal”

Dari penjelasan diatas menjadi semakin terang bahwa sebetulnya pasal tersebut sudah tidak lagi relevan dengan konteks saat ini terlebih jika diterapkan dalam perkara A Quo, maka akan kehilangan Nilai Keadilan, Rasionalitas serta Proporsionalitasnya.

Di sinilah pentingnya kita merenungi bahwa tujuan dari sebuah proses peradilan bukan sekedar menerapkan teks-teks hukum semata, tapi lebih dari itu DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Dimana keadilan berada, disitulah putusan dari sebuah proses sebuah peradilan harus berpijak. Tentunya memaksakan sebuah teks yang sudah sangat jauh panggang dari api dengan sebuah konteks, akan mencederai nilai-nilai keadilan itu sendiri.

B. Pada Repliknya halaman 13 point no 2, JPU pada pokoknya mengatakan bahwa saya dalam pledoi hal 106 – 108 mendalilkan tentang kewenangan pengadilan umum untuk MEMBATALKAN UNDANG-UNDANG yang didasarkan pada pendapat Ahli A de Charge.

Lagi-lagi, JPU gagal dalam memahami dengan baik dan benar uraian saya yang berdasarkan pandangan ahli, sehingga, lahirlah kesimpulan keliru JPU sebagaimana diatas. Saya memaklumi mungkin karena waktu Menyusun replik yang mepet sehingga JPU tergesa-gesa dan tidak cermat dalam menyusun repliknya.

Jika JPU mencermati dengan baik, saya begitupula ahli yang saya jadikan pandangannya sebagai dasar, tidak pernah sama sekali mengatakan bahwa pengadilan umum memiliki wewenang untuk MEMBATALKAN UNDANG-UNDANG yang masih berlaku. Yang

 

Punya wewenang untuk Membatalkan atau mencabut Undang-Undang yang masih berlaku adalah DPR RI, Putusan MK atau PERPU yang dikeluarkan oleh Presiden. Siswa yang masih duduk di bangku SMA pun tau itu.

Yang kami uraikan disini adalah, kewenangan hakim peradilan umum untuk tidak menerapkan sebuah pasal dalam undang-undang terhadap sebuah perkara karena dianggap tidak relevan dengan perkara dan konteks tersebut, sebagai bentuk Interpretasi Lembaga Yudisial terhadap ketentuan yang sudah tidak relevan lagi, sehingga pada praktek vonis dalam kasus konkrit bisa saja pasal tersebut dikesampingkan peenerapannya karena dianggap tidak sesuai dengan nilai keadilan dan norma hukum. Apalagi dalam praktek hukum pidana dikenal Metode Interpretasi Historis, Telelogis/Sosiologis, dll. Belum lagi adanya asas-asas yang meski diikiuti dalam melakukan interpretasi teks hukum, seperti asas proporsionalitas, asas relevansi, asas kepatutan, asas in dubio pro reo yang semuanya menjadi bahan pertimbangan Majelis Hakim yang Mulia tentang semua pasal dalam Undang-undang apakah layak atau tidak dijeratkan kepada terdakwa dalam perkara tertentu.

Jika dibaca dengan seksama dan cermat serta hati yang bersih, maka hal tersebut dapat difahami dari keterangan ahli yang telah saya muat di pledoi sebagai berikut; Ahli Tata Negara Dr. Refli Harun mengatakan pada pokoknya bahwa “ Pertanyaannya adalah, kan masih hukum Positif, bukankah UU tersebut masih berlaku ? itu sebabnya ketidakberlakuan UU itu bisa dinyatakan secara formal melalui pencabutan oleh DPR dan Pemerintah dengan melakukan revisi UU yang mencabut UU yang lama, bisa dengan melakukan judicial review, tapi yang orang lupa adalah bisa MELALUI PUTUSAN-PUTUSAN PENGADILAN yang tidak lain adalah INTERPRETASI LEMBAGA YUDISIAL TERHADAP KETENTUAN- KETENTUAN YANG SUDAH TIDAK RELEVAN LAGI dengan

 

perkembangan zaman dan tertib hukum yang baru dalam masyarakat yang demokratis sebagaimana pesan konstitusi.

Ahli ingin menegaskan bahwa ada Institusi-institusi yang bisa menegakkan keadilan Ketika secara formal ketentuan yang tidak adil itu masih berlaku. Memang yang paling ideal adalah lakukan semua perubahan itu melalui wakil rakyat dan pemerintah, tapi kita sama tahu sering ada keterbatasan di DPR. Jangankan undang-undang yang lama, yang sudah diprioritaskan saja tidak terselesaikan seperti KUHP baru, jadi ada hambatan itu. Bisa juga dibawa ke Mahkamah Konstitusi, tapi Mahkamah Konstitusi tidak mungkin bisa men-take over semua hukum yang diangap tidak adil.

Jadi, semacam pasal 14 dan 15 nomor 1 tahun 1946 ini walaupun dia masih dalam tataran hukum positif karena dia tidak pernah dibatalkan oleh MK dan tidak juga dicabut oleh Legislator, tetapi pada praktek vonis dalam kasus konkrit bisa saja dia di set side atau dikesampingkan karena dianggap tidak lagi sesuai dengan aspirasi dan keadilan.

Secara umum mungkin kita Eropa kontinental, sementara negara-negara Amerika dan Inggris itu adalah anglo Saxon. Tapi pada dasarnya keadilan itu berada ditangan seorang hakim maka akhirnya kita bicara tentang hukum dan keadilan. Hukumnya A tetapi bagi hakim tidak adil maka saya mengatakan; hakim boleh mengenyampingkan undang-undang yang tidak adil tersebut. Karena kalau menunggu legislator kita mengubah undang-undang tersebut maka korban akan terlalu banyak. Sementara, legislator tidak terlalu lincah untuk mengubah undang-undang yang banyak karena mereka sibuk dan tidak pernah mencapai target legislasi pertahun “ demikian penjelasan Dr Refli Harun Ahli Tata Negara.

Ahli Hukum Pidana Prof. Dr. Muzakkir juga menjelaskan pada pokoknya bahwa “ meskipun Pasal 14 dan 15 UU Tahun 1946

 

tersebut belum dicabut, namun menegakkan hukum itu harus dalam konteks situasi kekinian bukan hanya teks. Karena hukum adalah sesuatu dibalik teks itu namanya norma hukum, dan bila itu norma hukum harus dipahami asas hukumnya dan ada nilai hukumnya, jadi bila nilai hukumnya tidak relevan otomatis dalam suatu konteks tidak sepatutnya ditegakkan “

Karenanya, Van Hattum telah menyangkal keras pendapat di dalam hukum pidana yang mengatakan hakim hanya sebagai corong undang- undang. Begitu pula, Van Hamel dengan tegas menyatakan bahwa pendapat yang mengatakan “ Hakim hanya sebagai corong undang- undang “ adalah pendapat yang telah ketinggalan zaman dan mungkin hanya tepat dikemukakan pada akhir abad ke-18 atau abad ke-192.

Ahli Hukum Tata Negara Dr Margarito Khamis, SH, M.Hum. dalam salah satu tulisannya juga mengatakan “ Hakim Yang Dirindukan, Hakim tipe John Rawls, tidak bakal menjadi mata, telinga dan mulut UU saja. Hakim tipe ini eksis sebagai mata, telinga dan mulut keadilan. Dia tahu teks hukum menjadi basis interpretasi. Tetapi dia akan pergi sejauh mungkin memeriksa pesan yang tak terlihat. Yang dilegalisasi oleh teks itu. Sebab tidak ada keadilan yang tak mengalir dari dan terikat pada hak. Betul hak didefenisikan hanya dalam hukum. Itu cara pandang positivis dalam lautan ilmu hukum. Cara pandang ini digunakan semua kaum oligarki.

Hakim berotak bening yang berhati mulia karena mengenal dirinya sendiri sesempurna yang bisa sebagai hamba Allah Subhanahu Wata’ala, tidak bakal menelan begitu saja konsep







2 Lamintang, Dasar Dasar Hukum Pidana … H 40

 

positivistik itu. Bagaimana hukum dibuat ? itu pasti menjadi arena pemeriksaannya3”.

Dengan demikian menjadi jelas, bahwa penilaian JPU dalam repliknya bahwa saya mengatakan Pengadilan Umum bisa membatalkan Undang-undang yang berlaku sebagaimana tersebut merupakan penilaian yang keliru akibat tidak cermat dan tergesa-gesa dalam memahami uraian yang saya tuangkan dalam pledoi.

4. Pada halaman 14-15 dalam repliknya, JPU menuduh bahwa saya MEMANIPULITIR keterangan Saksi Ahli JPU Dr. Trubus Rahardiansyah yang pada Pokoknya menyatakan Bahwa Pasal 14 ayat 1 uu no 1 tahun 1946 dengan ancaman maksimal 10 tahun sudah tidak RELEVAN lagi dan menyatakan bahwa sebetulnya tugas negara untuk mencabut aturan tersebut yang sudah tidak relevan lagi. Menurut JPU, pernyataan tersebut bertentangan dengan BAP Dr. Trubus dan tidak pernah dikemukakan olehnya, sehingga apa yang saya sampaikan merupakan fakta yang tidak valid dan bertanggung jawab.

Sekali lagi, sayang seribu sayang, tuduhan JPU tersebut justru semakin menunjukkan bahwa JPU tidak perhatian dengan apa yang disampaikan oleh Saksi di Persidangan sehingga kerap mengenyampingkan fakta persidangan dalam uraiannya.

Faktanya, Ungkapan Dr Trubus Rahardiansyah yang pada Pokoknya menyatakan Bahwa Pasal 14 ayat 1 uu no 1 tahun 1946 dengan ancaman maksimal 10 tahun sudah tidak RELEVAN lagi dan menyatakan bahwa sebetulnya tugas negara untuk mencabut aturan tersebut yang sudah tidak relevan lagi MEMANG BENAR ADANYA dan disampaikan di muka persidangan. Dr Trubus memang



3 . https://fnn.co.id/2021/03/21/hakim-itu-kuncinya-keadilan/

 

mengatakan bahwa Pasal tersebut memang MASIH BERLAKU, namun dengan objektif Dr Trubus mengatakan bahwa pasal tersebut sebetulnya sudah tidak Relevan dengan konteks saat ini. Bahkan dalam RUU KUHP, Dr Trubus mengusulkan kepada Baleg agar pasal yang rumusannya serupa dengan pasal 14 (1) no 1 thn 1946 dirubah ancaman maksimalnya dari 10 tahun menjadi 2 tahun itupun dengan mempertegas kata keonaran dengan “Kerusuhan Fisik” menurut Dr Trubus.

Keterangan diatas dapat disaksikan secara cermat dan seksama dalam siaran live streaming persidangan hari Rabu tanggal 5 Mei 2021 yang disiarkan oleh chanel youtube eradotid dalam link berikiut (https://youtu.be/cwjLJL7SS6I ) pada menit 1: 04

: 20 dan menit 2 : 07 : 17.

Dari sini, saya hendak menasihati JPU, agar melakukan evaluasi dan lebih perhatian terhadap fakta-fakta yang disampaikan dalam persidangan, sehingga dapat berlaku obyektif dan adil dalam menyusun sebuah tuntutan serta tidak mudah menuduh terdakwa melakukan perbuatan manipulatif.

5. JPU menerangankan dalam repliknya halaman 11 – 12 bahwa SAMPAI SAAT INI, dalam praktek peradilan masih tetap menerapkan pasal 14 (1) dan (2) serta pasal 15 UU no 1 tahun 1946, kemudian JPU menyebutkan 9 putusan pengadilan yang menerapkan ketentuan tersebut.


Menurut  saya,  JPU  kurang  tepat  dalam  menggunakan  redaksi  “ SAMPAI SAAT INI , yang betul seharusnya JPU dalam uraiannya menggunakan redaksi “ BARU BELAKANGAN INI” karena pasal tersebut semenjak kelahirannya pada tahun 1946 baru saja digunakan pada tahun 2019. Hal ini bisa dilihat dari 9 putusan yang disebutkan JPU, ditambah putusan kasus Ratna Sarumpaet, maka

 

tanggal putusan tersebut paling lama adalah tanggal 28 Juni 2019 dengan terdakwa Ratna Sarumpaet.

Data ini menguatkan apa yang saya telah muat dalam Pledoi menurut Ahli Hukum Tata Negara Dr. Margarito Kamis, SH, MH. bahwa dalam sejarahnya sejak pasal 14 No.1 Th. 1946 dikeluarkan pada Februari 1946 BELUM PERNAH digunakan sama sekali selama masa Pemerintahan Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY4.

Begitupula Informasi yang disampaikan oleh Praktisi Hukum Teuku Nashrullah, SH, MH. Dalam sebuah forum diskusi ia bercerita bahwa ia pernah bertanya tentang pasal 14 dan 15 uu No 1 thn 1946 ini kepada Prof. Dr. Andi Hamzah Pakar Hukum pidana yang sangat dikenal nama dan kiprahnya dalam dunia hukum pidana di Indonesia. Prof. Dr. Andi Hamzah menjelaskan beliau yakin selama era Orde Baru pasal ini tidak pernah dipakai sama sekali, dan seingat beliau di Orde Lama sekalipun pasal ini juga belum pernah dipakai. Karenanya, Teuku Nashrullah SH, M.H. menyatakan bahwa pasal ini pasal basi yang baru saja dipakai belakangan ini ( Lihat diskusi Secangkir Opini Refly Harun Chanel 1 Juni 2021 Link : https://youtu.be/Ww-Z2KqQtKo )

Dari sini harusnya kita berfikir, semenjak tahun 1946 sampai tahun 2019, selama 73 tahun pasal ini tidak dipakai, kenapa kok baru belakangan ini tiba-tiba muncul ? apakah politik hukumnya sudah tepat ? apakah dalam kurun waktu 73 tahun tidak ada orang yang berbohong dan menyebabkan keresahan seperti penafsiran JPU ? ataukah para penegak hukum dan ahli hukum tidak ada yang tau tentang keberadaan pasal tersebut ? atau mereka tahu namun memandang pasal tersebut tidak tepat untuk diterapkan diluar konteksnya ?



4 . Pledoi Syahganda Nainggolah Dalam Perkara Pidana Nomor : 619/Pid.Sus/2020/PN.Dpk, Hal 48.

 

Karenanya, besar harapan kami, agar pengadilan ini menjadi benteng terakhir untuk penegakkan hukum yang adil, rasional dan proporsional serta tepat sasaran.



Yang Mulia Majelis Hakim,

Yang Tercinta Seluruh Penasihat Hukum,

Yang Terhormat Semua Jaksa Penuntut Umum,

Yang Istimewa Segenap Pecinta Keadilan dimana pun berada.



IV. Pledoi tentang Analisa tekstual terhadap pasal 14 dan 15 UU No 1 thn 1946 serta kaitannya dengan fakta-fakta persidangan.

1. JPU dalam Repliknya hal 16 mengatakan bahwa pendapat ahli Prof. Dr. Mudzakkir yang mengatakan bahwa “ subjek hukum pada unsur “ barang siapa “ dalam konteks pasal XIV dan XV harus dimaknai orang yang pekerjannya mengolah berita” adalah tidak tepat dan tidak beralasan, dengan alasan tidak adanya klausul yang menjelaskan hal tersebut dalam penjelasan pasal diatas serta tidak adanya klausul yang menjelaskan bahwa tindak pidana dalam pasal diatas harus dilakukan dengan media penyiaran.

Padahal jika JPU membaca dengan cermat, alasan yang menjadi dasar Prof. Dr. Mudzakkir dalam mengemukakan pandangan hukumnya tersebut telah dikemukakan oleh beliau dalam persidangan sebagai berikut “ “Barang siapa; subjek hukum yang dapat melanggar tindak pidana dalam Pasal XIV ayat (1) sebagai subjek hukum umum yang diperlukan syarat khusus. Namun demikian, unsur berikut menggunakan kata “menyiarkan berita” yang maksudnya tindak pidana dalam Pasal XIV dan XV ini terkait dengan perbuatan menyiarkan berita, maka pengertian menyiarkan berita adalah pekerjaan yang terkait mengolah berita sehingga mengetahui atau patut dapat menyangka bahwa kontennya berita atau pemberitaan tersebut adalah benar atau tidak benar atau bohong tetapi tepat dipilih atau ditetapkan untuk disiarkan.

 

Dengan demikian subjek hukum “barang siapa” dalam konteks pasal XIV dan XV ini harus dimaknai orang yang pekerjaannya mengolah berita. Lalu ia Menyiarkan berita bohong atau pemberitahuan bohong dan seterusnya, berarti orang tersebut punya pekerjaan menyiarkan dan berita itu disiarkan melalui media siar yang menjadi tanggungjawabnya “

Prof Muzdzakkir juga menjelaskan di bawah sumpah bahwasanya “Term “menyiarkan” tersebut berarti memiliki pengertian yang berbeda dengan dengan pengertian “mengumumkan” atau “di tempat umum”, diketahui umum,” dan “di depan umum” yang intinya umum tahu atau mengetahui konten, gambar, tulisan, atau sjenisnya yang disampaikan oleh pembuat. Maknanya juga berbeda dengan istilah “menyebarluaskan” sebagaimana dimaksud dalam tindak pidana penghinaan dan tindak pidana lain dalam KUHP yang intinya membuat materi tulisan, gambar dan sejenisnya sebagai tndak pidana tersebut tersebut tersebar luas.

Seseorang yang membuat pernyataan yang isinya ternyata bohong dan dikutip oleh orang lain yang kemudian disebar luaskan melalui media sosial adalah perbuatan menyebar luaskan. Jadi, perbuatan menyebarluaskan tidak sama dengan menyiarkan.

Dalam KUHP itu ada perbuatan menyebarluaskan, itu biasanya zaman dulu itu fhotocopy tapi kalo sekarang melalui ITE menyebarluaskan menggunakan sarana ITE. Karena menggunakan term “menyiarkan” maka hari ini bahasa hukumnya itu ada dalam UU Penyiaran. Jadi bila hari ini menyiarkan ini dianggap menyebarluaskan maka itu salah karena menyebarluaskan sudah ada dalam ITE”

Karenanya, argumentasi yang mendasari pandangan hukum Prof. Dr. Mudzakkir terkait Unsur “ Barang Siapa “ dan “ Menyiarkan “ sangatlah jelas sebagaimana diuraikan diatas, justru bantahan dari JPU yang

 

cenderung sama sekali tidak menyentuh argumentasi yang disampaikan oleh Prof. Dr. Mudzakkir.

Lagipula, dalam persidangan JPU juga menerima Prof. Mudzakkir sebagai saksi ahli, sehingga seharusnya jika tak setuju dengan pandangannya tersebut di atas, harusnya JPU adu argumen secara langsung dengan yang bersangkutan secara langsung dimuka persidangan, agar bisa mendalami dasar argumentasi beliau, bukan malah membantah dibelakang tanpa ada Ahli yang bersangkutan.

2. Pada halaman 17, dalam Repliknya JPU pada pooknya mengatakan bahwa “ bukan hanya hasil swab PCR saja yang menentukan seseorang tersebut dikategorikan menjadi penderita Covid-19, yang mana setiap orang yang suspect dan probable berdasarkan swab antigen juga dikategorikan sebagai PENDERITA COVID-19”

Dari keterangan JPU tersebut, Saya melihat secara gamblang bahwa pemahaman JPU diatas adalah salah satu akar penyebab kekeliruan JPU dalam memahami perkara A Quo dan merumuskan tuntutannya. Entah Dari mana JPU mendapatkan kesimpulan di atas ?

Padahal sudah sangat jelas bahwa orang yang dinyatakan PENDERITA COVID-19 adalah orang yang SUDAH TERKONFIRMASI COVID-19 berdasarkan hasil test PCR. Sedangkan orang yang suspect atau probabel itu masih bersifat diduga covid. Bisa iya, bisa juga tidak. Dari segi bahasa saja seharusnya JPU sudah bisa memahami bahwa kata suspek diambil dari bahasa Inggris “ Suspected “ yang artinya “diduga” sedangkan “probabel” artinya “Mungkin”, karenanya disini belum bisa dipastikan Menderita Covid-19. Masih sebatas kemungkinan, bisa iya, bisa juga tidak. Beda halnya dengan orang yang Terkonfirmasi Covid-19 berdasarkan hasil PCR, maka bisa dipastikan ia menderita Covid-19.

Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam persidangan melalui pernyataan pada dokter yang menangani pasien Covid-19 juga keterangan para Ahli Patologi Klinik dan Medical Legal yang didasari oleh Keputusan Mentri Kesehatan terkait hal tersebut.

 

Untuk memberikan pemahaman yang utuh kepada JPU, maka hal tersebut akan saya uraikan kembali dalam duplik ini sebagai berikut :

dr Nerina Mayakarfita dalam persidangan di bawah sumpah mengatakan pada pokoknya bahwa “ untuk menyatakan seorang pasien Positif Terkonfirmasi Covid-19 harus melalui hasil Swab PCR” Pernyataan serupa juga dijelaskan oleh saksi dr. Nuri Dyah Indrasari, Sppk yang merupakan dokter spesialis patologi klinik dari laboraturium RSCM, pada persidangan Rabu 21 April 2021, dibawah sumpah mengatakan fakta pada pokoknya bahwa “ Pada November 2020, penetapan status "Confirm / Postif Covid 19" hanya dapat dilakukan jika berdasarkan hasil Swab PCR, sedangkan Rapid Antigen tidak bisa menjadi dasar penetapan Positif / Confirm Covid-19 kecuali setelah keluarnya Kemenkes no 446 pada 8 Februari 2021 dalam keadaan tertentu ”. Dr Hadiki Habib pun sebagai dokter ahli penyakit dalam di RSCM yang sudah menangani ribuan pasien covid dalam persidangan yang sama juga menyatakan dibawah sumpah pada pokoknya bahwa “ Untuk menentukan seseorang Positif Covid harus melalui Swab PCR dan tidak cukup dengan Antigen “


dr Nerina dan dr Hadiki sebagai dokter yang sudah sangat banyak menangani pasien Covid 19 juga mengungkapkan dalam persidangan dibawah sumpah pada pokoknya bahwa “ Ada pasien yang hasil Antigennya menunjukkan Reaktif, gejalanya juga sangat mengarah ke Covid-19 namun setelah dilakukan Swab PCR beberapa kali hasilnya NEGATIF “ Realita ini semakin memperkuat bahwa Swab Antigen tidak bisa dijadikan sandaran dalam penetapan status seseorang menderita Covid -19.


Hal ini juga diperkuat dengan pendapat Dr. M.NASEER SpKK, FINSDV, AADV, Doctor of Law sebagai Ahli Hukum Kesehatan pada persidangan Hari Selasa 11 Mei 2021 dibawah sumpah menyatakan pada

pokoknya  bahwa  “   Sebelum  keluarnya   Kemenkes     pada  8  bulan

 

Februari 2021, Rapid Antigen belum bisa dijadikan dasar untuk penetapan diagnosa positif atau confirm Covid-19, ia hanya sebatas alat untuk menetapkan Langkah selanjutnya. Sebelum keluarnya Kemenkes tsb, Rapid Antigen juga belum dapat dianggap sebagai alternatif atau pilihan dalam penetapan diagnosa Covid -19”


dr. Tonang Dwi Ardyanto, SpPK., Ph.D. sebagai Ahli Epidemiologi dan Patologi Klinik dan Dr. Muhammad Luthfie Hakim, S.H., M.H. Ahli Hukum Kesehatan dan Pidana Kedokteran yang merupakan Konsultan Hukum di Puluhan Rumah Sakit di Indonesia dalam persidangan 19 Mei 2021 dibawah sumpah pada pokoknya menjelaskan bahwa “ berdasarkan Keputusan Mentri Kesehatan (KMK) no 413 tahun 2020 bahwa Tes PCR lah yang dapat menetapkan seseorang itu terkonfirmasi sakit Covid-19 atau tidak, selain itu ia dinyatakan hanya suspect atau probable. Tapi untuk penetapan diagnosa terkonfirmasi Covid-19 maka wajib harus berdasarkan hasil PCR, diluar PCR tidak bisa digunakan istilah terkonfirmasi atau positif Covid-19 sedangkan Tes Rapid Antigen menurut aturannya itu maka hasilnya Reaktif atau Non Reaktif saja bukan Positif atau Negatif atau terkonfirmasi”

Semua keterangan diatas tentunya bukanlah pendapat pribadi, namun itu semua berdasarkan KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN (KMK) REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.01.07/MENKES/413/2020 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN COVID-19 atau yang

dikenal dengan KMK no 413 tahun 2020, yang secara eksplisit pada halaman 32 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kasus terkonfirmasi Covid-19 adalah Seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi virus Covid-19 yang DIBUKTIKAN DENGAN PEMERIKSAAN LABORATURIUM RT-PCR. Serta pada halaman 82 yang secara Eksplisit menjelaskan bahwa PENGGUNAAN RAPID TEST TIDAK DIGUNAKAN UNTUK DIAGNOSTIK”.

 

Dr. Muhammad Luthfie Hakim, S.H., M.H. selaku Ahli Hukum Kesehatan dan Pidana Kedokteran dalam persidangan 19 Mei 2021 dibawah sumpah pada pokoknya juga menjelaskan bahwa “ Jika seorang dokter mendiagnosa seorang pasien dengan status Positif Covid-19 dan ternyata hanya berdasarkan Rapid Antigen bukan PCR maka diagnosa tersebut tidak sesuai dengan aturan dan Medical Legal sehingga tidak memiliki kekuatan hukum”



Dari semua data dan fakta persidangan diatas, sangatlah jelas bahwa seseorang tidak bisa dinyatakan menderita Covid-19, kecuali setelah dikonfirmasi berdasarkan hasil Swab PCR yang menunjukkan hasil positif. Adapun Rapid Antigen maka tidak bisa dijadikan dasar menetapkan seseorang positif menderita Covid-19. Sedangkan Suspect artinya “diduga” dan Probabel artinya “ Mungkin” tentu orang yang “ Diduga “ atau “ Kemungkinan “ terjangkit Covid, maka masih belum bisa dipastikan ia menderita covid-19 sebelum dikonfirmasi melalui hasi test PCR, karena dugaan dan kemungkinan tersebut bisa benar dan bisa salah, sebagaimana telah diuraikan diatas.

Karenanya, pernyataan JPU dalam Repliknya yang mengatakan bahwa “ bukan hanya hasil swab PCR saja yang menentukan seseorang tersebut dikategorikan menjadi penderita Covid-19, yang mana setiap orang yang suspect dan probable berdasarkan swab antigen juga dikategorikan sebagai PENDERITA COVID-19” adalah pernyataan yang KELIRU dan Tidak BERDASAR serta memperjelas akar penyebab kelirunya JPU dalam memahami perkara A QUO, sehingga JPU menuduh pernyataan 3 terdakwa dalam perkara A Quo yang diucapkan sebelum adanya hasil PCR adalah sebuah Kebohongan.

3. Pada halaman 18, JPU mengatakan pada pokoknya bahwa “ Kalau terdakwa berkata sejujurnya atau tidak bohong, maka seharusnya adalah lebih baik dan bijaksana bila terdakwa tidak membuat video

 

tersebut, karena secara medis terdakwa tidak tau ciri-ciri seseorang yang positif Covid-19 “

Dalam pledoi saya dari hal 113 sampai hal 131 saya telah menjelaskan apa adanya dengan bukti-bukti yang terbuka jelas selama persidangan bahwa apa yang saya sampaikan dalam video pernyataan saya pada perkara A Qou bukanlah sebuah kebohongan, karena pernyataan itu apa adanya berdasarkan apa yang seaya ketahui, saya lihat serta saya dengar, ditambah pernyataan itu juga diungkapkan sebelum adanya hasil PCR yang mengkonfirmasi bahwa HRS positif menderita Covid-19. Saya rasa apa yang telah saya uraikan di pledoi sudah lebih dari cukup sehingga tidak perlu saya uraikan kemnbali disini.

Dan Perlu saya jelaskan kembali di sini, bahwa sebetulnya saya tidak ada kepentingan sama sekali untuk membuat video tersebut, apa keuntungan pribadi yang saya dapatkan dengan pernyataan saya tersebut dalam perkara A QUO ? Sama sekali tidak ada !!

Satu-satunya   motif   dan tujuan  yang mendorong saya untuk memembuat   video   pernyataan tersebut  adalah untuk meredakan keresahan dan menenangkan kekhawatiran yang timbul di kalangan kerabat, sahabat, Ulama, tokoh, pecinta dan simpatisan Habib Rizieq yang   resah,   gelisah   dan  khawatir  akibat beredarnya berbagai Informasi Hoax yang mengatakan bahwa kondisi Habib Rizieq kritis, parah, tumbang, sekarat, diazab, dll. Sebagaimana telah saya uraikan dengan bukti-bukti yang nyata dalam pledoi saya dari halaman 142 – 157. Demi ALLAH, tanpa tujuan tersebut saya tidak akan membuat video pernyataan saya dalam perkara Aquo, karena saya sama sekali tidak ada motif lain dan saya sama sekali tidak mendapatkan keuntungan pribadi apapun dari pernyataan itu. Karenanya aneh jika JPU mengatakan “lebih baik dan bijaksana bila terdakwa tidak membuat video tersebut” , pertanyaannya apakah baik dan bijak jika saya membiarkan orang-orang larut dalam rasa khawatir, resah dan gelisah karena gencarnya kabar hoax yang mengatakan bahwa mertua saya Kritis, Sekarat, dll ? Dimana

 

salahnya jika saya menenangkan mereka dengan informasi bawha Habib Rizieq Baik-Baik saja berdasarkan fakta yang saya ketahui, lihat dan dengar sendiri ? Wallahu ‘ala ma Aquulu Syahiid dan Allah adalah sebaik2nya saksi atas apa yang saya ucapkan ini.

4. Pada halaman 20, JPU mengatakan bahwa dalil saya dalam pledoi hal 130 yang meminta agar “ pernyataan saksi Agustiansyah, Bima Arya, DR. Sri Nowo Retno, Djohan Musali, Ferro Sopacua, Fitri Sri Lestari, dr Syarbini, Ikha Nur Hakim, A. Suhadi, M. Aditya, Muhamad Aslam dan Herdiansyah dalam BAP yang berpendapat bahwa para terdakwa berbohong dalam video tersebut karena menyatakan Habib Rizieq sehat, maka pernyataan tersebut HARUS DIABAIKAN “ adalah dalil yang “keliru dan ngawur”. Menurut JPU, dalil tersebut keliru dan ngawur karena keterangan para saksi tersebut merupakan keterangan yang diucapkan di Persidangan sesuai dengan pasal 185 (1) KUHAP serta setiap saksi diatas sudah menyatakan dalam persidangan bahwa mereka membenarkan isi BAP dan tetap pada keterangannya dalam BAP, dengan demikian keterangan saksi-saksi tersebut menjadi alat bukti keterangan saksi yang sah menurut JPU.

Lagi-lagi JPU tidak cermat dalam memahami uraian saya dalam pledoi. Dalil saya tersebut, bukan sedang mempermasalahkan apakah keterangan saksi-saksi tersebut diucapkan di persidangan atau tidak, tapi yang sedang dipermasalahkan disitu adalah keterangan-keterangan tersebut yang mengatakan bahwa pernyataan saya, Habib Rizieq dan dr Andi pada video dalam perkara A Qou adalah kebohongan merupakan PENDAPAT yang disimpulkan dari hasil perbandingan antara video dan rekam medis, bukan kesaksian atas sebuah fakta.

Padahal, saksi-saksi diatas dihadirkan sebagai SAKSI FAKTA, sedangkan pernyataan bahwasanya kata-kata saya adalah KEBOHONGAN dalam video tersebut adalah PENDAPAT dan KESIMPULAN PRIBADI para saksi di atas setelah disodorkan rekam medis dan video tersebut oleh para penyidik, untuk membandingkan

 

antara pernyataan dalam video dengan rekam medis yang ada serta mengambil kesimpulan dari perbandingan tersebut. Dan saksi fakta hanya boleh bersaksi atas apa yang ia lihat, dengar dan alami secara langsung. Mau seribu kali diucapkan dipersidanganpun, kalau itu merupakan PENDAPAT saksi fakta dan bukan merupakan kesaksian atas sebuah fakta maka tidak memliki kekuatan pembuktian dan harus diabaikan.

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam pasal 185 ayat 5 KUHAP bahwasanya PENDAPAT maupun REKAAN yang diperoleh dari hasil pemikiran saja BUKAN MERUPAKAN KETERANGAN SAKSI, dengan demikian maka kesaksian diatas harus diabaikan.

Hal ini juga telah dijelaskan oleh Ahli Hukum Pidana, Prof. Dr Mudzakkir, S.H., M.H dalam persidangan hari Rabu 19 Mei 2021, dibawah sumpah pada pokoknya mejelaskan bahwasanya “ Bila ada saksi fakta disodorkan satu video yang isinya seseorang menyatakan dirinya Negatif Covid, kemudian disodorkan dokumen bahwa ternyata pasien itu positif. Lalu penyidik bertanya apakah ini bohong atau tidak ? saksi itu menjawab “bohong” maka yang harus dipahami bahwa di dalam KUHAP yang dimaksud dengan keterangan saksi harus berdasarkan apa yang dilihat, didengar dan dialami, jadi harus langsung melihat, mendengar dan mengalami.

Jika tidak demikian, maka itu bukan saksi, karena dia bukan saksi maka keterangannya tidak memliki kekuatan pembuktian apapun dalam perkara pidana dan harus diabaikan. Kalau itu dipakai untuk pembuktian perkara pidana maka itu adalah embrio untuk lahirnya peradilan yang sesat; Pendapat, dugaan dan asumsi saksi fakta tidak bisa menjadi bukti dalam perkara pidana. kesimpulan saksi yang lihat video adalah kesimpulan subyektif yang tidak bisa dipakai sebagai bukti dalam perkara pidana. Andai ada 100 saksipun menyampaikan kesaksian seperti ini maka itu tidak memiliki kekuatan

 

pembuktian apapun dan penggunaannya sebagai bukti adalah sesat menyesatkan”

Anehnya, Di sisi lain bantahan JPU di atas kontradiktif dengan keterangan JPU pada permasalahan yang SAMA PERSIS dalam Replik JPU terhadap Pledoi Habib Rizieq Syihab halaman 12. Disitu JPU mengatakan bahwa “ Selama persidangan JPU sudah berusaha dengan maksimal untuk tidak menanyakan pendapat kepada saksi fakta, semua yang disampaikan terdakwa tersebut ( yaitu Pernyataan saksi-saksi diatas yang ditanyakan pendapatnya tentang isi video yang dibandingkan dengan rekam medis ) hanya ada dalam BAP yang dibuat oleh penyidik pada saat penyidikan, bukan saat persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum “

Penjelasan JPU dalam Replik atas Pledoi Habib Rizieq tersebut kontradiktif alias berbanding terbalik 180 derajat dengan penjelasan JPU dalam repliknya atas Pledoi saya, padahal masalah yang dibahas SAMA PERSIS. Apakah JPU tidak rembukan dulu untuk menyatukan persepsi dalam Menyusun replik terhadap pledoi para terdakwa agar keterangan JPU tidak saling kontradikitif satu dengan lainnya ? Saya berharap ini jadi pelajaran berharga untuk JPU agar hal seperti ini tidak terulang di kemudian hari.

5. Adapun Keterangan JPU dari halaman 20 point no 6 sampai halaman 22 point no , maka sebagian uraiannya telah saya bahas di duplik ini dan sebagian lagi sudah dijelaskan dalam Pledoi. Begitupula keterangan JPU dari halaman 23 – 24 point no 8 telah diuraikan jawabannya secara implisit dalam pledoi. Sehingga saya memandang tidak perlu untuk Kembali menguraikannya disini.

6. Pada hal 24 point ke 9, JPU mengatakan bahwa defenisi keonaran yang disampaikan oleh Ahli A De Charge ( dalam hal ini Prof. Dr. Mudzakkir ) terlalu BOMBASTIS DAN HIPERBOLA. Bahkan JPU mengatakan bahwa dalil saya dalam pledoi terkait makna keonaran memiliki letak kekonyolan yaitu bagaimana bisa diterima secara hukum dalil yang dikualifikasikan

 

keonaran diberikan oleh seorang ahli yang berpihak kepada terdakwa tidak di dasari pada refrensi putusan-putusan pengadilan atau pemikir-pemikir hukum yang Independen dan teruji kredibiltasnya.

Menanggapi pernyataan JPU tersebut, saya menjelaskan sebagai berikut :

a. Prof. Dr. Mudzakkir, SH, MH. Adalah Ahli hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, yang Namanya saat ini cukup dikenal, sudah melanglang buana dalam dunia hukum pidana, baik sebagai ahli di pengadilan,sebagai dosen di dunia akademis begitupula sering dimintai pendapatnya terkait Hukum Pidana di berbagai stasiun TV Nasional. Bahkan JPU pun mengakui beliau sebagai rekanan kejaksaan, sehingga tidak perlu diragukan lagi kredibilitasnya dalam Ilmu Hukum Pidana.

b. Terkait Independensi beliau, maka beliau sudah disumpah dengan nama Allah di muka persidangan untuk menyatakan pendapat sesuai dengan keahliannya, sehingga independensi tersebut sudah menjadi konsekwensi dari sumpahnya yang harus dipertanggungjawabkan dihadapan Allah.

c. Sidang ini masuk dalam kategori sidang perkara pidana, sehingga sudah tepat menghadirkan Prof. Dr. Mudzakkir sebagai Ahli Pidana, agar memberikan penjelasan secara konsisten berdasarkan Prespektif Ilmu Hukum. Namun, JPU sama sekali tidak menghadirkan ahli hukum pidana dalam persidangan ini, sehingga, kalau menggunakan logika JPU diatas, justru keterangan ahli JPU yang seharusnya diragukan kredibilitasnya, karena memandang sebuah perkara pidana tidak melalui prespektif ilmu hukum pidana.

d. Keterangan Prof. Dr. Mudzakkir, SH, MH. Yang mendefenisikan “ Keonaran di kalangan rakyat” sebagai

 

KERUSUHAN atau KEKACAUAN, sudahlah TEPAT DAN BENAR. Justru bantahan jaksa yang mengatakan keterangan itu terlalu BOMBASTIS dan HIPERBOLA tanpa didasari argumentasi hukum yang jelas adalah TIDAK BENAR.

Mengapa saya mengatakan bahwa keterangan Ahli tersebut sudah tepat, ada beberapa alasan kuat sebagai berikut :

1) Pemaknaaan Keonaran dengan KEKACAUAN tersebut sudah sejalan dengan TAFSIR OTENTIK yang dimuat oleh pembuat undang-undang.

Dr. Abdulchoir Ramadhan, SH, MH. Menjelaskan Bahwa : Menyangkut tentang makna keonaran, Penjelasan Pasal 14 menyatakan: “Keonaran adalah lebih hebat dari pada kegelisahan dan menggoncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya. Kekacauan meuat juga keonaran.” Dengan adanya penafsiran otentik ini, maka tidak dapat ditafsirkan lain bahwa keonaran adalah menunjuk pada suasana yang demikian hebat dan tidak sedikit penduduk yang mengalami kekacauan. Kekacauan yang terjadi pastinya bersifat meluas atau massif “

Justru pemaknaan “Keonaran” hanya cukup dengan Keresahan dan Kecemasan Sosial dari segelintir orang sebagaimana dimaknai oleh JPU, jelas-jelas bertentangan dengan tafsir otentik diatas.

2) Pemaknaan “keonaran” dengan KEKACAUAN DAN KERUSUHAN sudah sesuai dengan metode Interpretasi GRAMATIKAL.

Secara Bahasa / Etimologi, Dalam KBBI edisi Kelima yang diterbitkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan

 

Kebudayaan, Thn 2018 hal 1170, kata “ KEONARAN ” berasal dari akar kata “ ONAR” yang memiliki arti 1. Huru- hara; gempar; 2. Keributan; kegaduhan. Namun jika ditambahkan imbuhan “ke” dan “an” yaitu “ KEONARAN” sebagaimana dimuat dalam rumusan pasal diatas, maka kata ini dalam KBBI pada halaman yang sama memiliki arti yang lebih spesifik yaitu : KEGEMPARAN; KERUSUHAN; KERIBUTAN; ~ itu baru dapat diatasi setelah polisi bertindak.



Sekali lagi yang penting diperhatikan, dalam rumusan pasal 14 dan 15 UU no 1 tahun 1945, digunakan kata “ KEONARAN “ dengan Imbuhan Ke dan an, bukan sekedar kata “ONAR”. Dalam KBBI,secara eksplisit disebutkan bahwa kata “KEONARAN” memiliki makna yang lebih spesifik dari kata “ONAR”, sebagaimana telah dikutip diatas.

Karenanya, Makna keonaran sebagaimana disebutkan oleh Prof. Mudzakkir juga sudah tepat karena sesuai dengan metode Interpretasi Gramatikal yang diakui dalam praktek hukum pidana.

3) Pemaknaan Keonaran dalam pasal diatas dengan arti KERUSUHAN DAN KEKACAUAN juga sudah tepat jika melihat metode Interpretasi Historis, karena Pasal ini lahir dalam masa pancaraboa dan darurat kemanan yang sangat rawan terjadinya kerusuhan dam kekacauan akibat berita bohong yang membahayakan eksistensi NKRI yang baru saja merdeka, sebagaimana telah saya jelaskan Panjang lebar dalam Analisa kontekstual dalam pledoi saya dari halaman 94 – 111.

 

4) Pemaknaan tersebut juga sudah sesuai dengan prespektif POLITIK HUKUM, dimana Ahli Teori Pidana Dr. Abdulchoir Ramadhan menjelaskan bahwa “ Politik hukum pemberlakuan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dimaksudkan untuk melindungi kepentingan hukum negara (staatsbelangen), bukan ditujukan untuk kepentingan hukum individu (individuale belangen) dan kepentingan hukum masyarakat (sociale belangen) “.

5) Pemaknaan tersebut juga sesuai dengan Interpretasi Sistematis/logis yang jika melihat kepada pasal-pasal lain untuk menalar logika hukum dan kepatutannya, maka terlihat jelas bahwa penafsiran jaksa yang mengartikan ” Keonaran “ dalam pasal 14 (1) N0 1 Thn 1946 dengan ancaman 10 tahun sudah cukup terpenuhi dengan keresahan publik adalah penafsiran yang tidak logis dan tidak patut. Di antara contoh perbandingan tersebut sebagai berikut :

Pasal 172 KUHP yang berbunyi “ barang siapa dengan sengaja mengganggu ketenangan dengan mengeluarkan teriakan-teriakan, atau tanda-tanda bahaya palsu, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah ”

Dalam KBBI edisi kelima 2018 hal 1398 disebutkan bahwa salah satu arti RESAH adalah “Tidak Tenang”. Sedangkan dalam hal 1198 disebutkan bahwa salah satu arti dari kata PALSU adalah “ Tidak Jujur” yang berarti bohong.

 

Dalam rumusan pasal diatas disebutnya barang siapa yang punya tujuan sengaja mengganggu ketenangan ( Mens Rea ) yang artinya membuat resah, dengan cara mengeluarkan tanda-tanda bahaya palsu; yang Artinya dia melakukan kebohongan publik dengan mengeluarkan tanda-tanda bahaya palsu tersebut. Kemudian, karena kebohongan Publik dalam bentuk tanda-tanda bahaya palsu tersebut ketenangan jadi terganggu yang mana terganggunya ketenangan merupakan bentuk KERESAHAN. Maka diancam dengan ancaman MAKSIMAL 3 MINGGU PENJARA.

Bayangkan, jika Dengan adanya 3 Unsur; 1. Kebohongan dalam bentuk tanda-tanda palsu; 2. Keresahan dalam bentuk terganggunya ketenangan; 3. Kesengajaan untuk mengganggu ketenangan (Mens Rea); maka diancam dengan ancaman hanya Maksimal 3 Minggu Penjara, Lantas bagaimana mungkin unsur “ Keonaran di kalangan rakyat “ yang ada dalam Pasal 14 UU NO 1 tahun 1946 yang memuat ancaman maksimal 10 tahun penjara ingin ditafsirkan hanya dengan “keresahan di hati masyarakat” yang mirip dengan gambaran pasal 172 KUHP diatas. Dimana Logika Hukumnya ? dimana rasionalitasnya ? dimana proporsionalitasnya ? dimana keadilannya ? dimana hati nuraninya ?

6) Prof. Dr. Muzakkir dalam persidangan juga sudah menjelaskan secara Panjang, lebar, lugas dan jelas, alasan mengapa menurut Prespektif Ilmu Hukum Pidana yang merupakan keahliannya, “Keonaran” dalam rumusan pasal tersebut diartikan dengan kerusuhan dan kekacauan. Hal itu sudah saya muat dalam pledoi saya hal 159 – 161.

 

Karenanya, sudah sangat tepat penjelasan yang diuraikan oleh Ahli Hukum Pidana Prof. Dr. Mudzakkir, SH, MH serta para ahli lainnya Bahwa yang dimaksud keonaran dalam rumusan pasal 14 dan 15 UU NO 1 tahun 1945 adalah KEKACAUAN DAN KERUSUHAN, karena tafsir yurudis tersebut sudah sesuai dengan prespektif Interpretasi Gramatikal, Histroris dan sistematis juga logis serta mengandung nilai keadlian dan Proporsionalitas antara perbuatan, dampak dan ancaman hukum.

JPU dalam memaknai keonaran hanya berkutat pada keterangan Saksi Ahli Dr. Trubus, padahal jika diperhatikan dengan seksama, Dr Trusbus sendiri – tanpa mengurangi rasa hormat saya ke beliau - tidak konsisten dan bias dalam memaknai keonaran. Dalam keterangan yang JPU kutip pada Repliknya hal 25, Dr. Trubus mengatakan bahwa Kekacuan adalah bagian dari bentuk-bentuk keonaran, namun beberapa baris setelahnya Dr, Trubus mengatakan bahwa Keonaran itu setingkat dibawah situasi kekacauan. Padahal itu sudah menunjukkan dua hal yang berbeda, yang awal berarti menurut Dr. trubus kekacauan adalah bagian dari keonaran sedangkan yang kedua keonaran adalah hal yang berbeda dengan kekacuan. Pada Repliknya halaman 82, JPU mengutip lagi dari Dr Trubus bahwa Tingkatan tertinggi dari keonaran adalah ANOMI, padahal dalam persidangan secara jelas Dr Trubus mengatakan bahwa Anomi itu adalah tingkatan tersendiri diatas keonaran dan kerusuhan, sehingga berbeda. Di kesempatan lain, dalam BAPnya secara Eksplisit Ketika menjelaskan unsur-unsur dalam pasal 14, Dr Trubus mengatakan “ Penjelasan pasal XIV UU No. 1 Tahun 1946 memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan KEONARAN adalah bukan hanya kegelisahan dan menggoncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya, tetapi lebih dari itu berupa KEKACAUAN”

Dari sini terlihat betul, bahwa Dr Trubus Inkonsisten serta bias dalam menyampaikan pendapatnya mengenai makna keonaran, ditambah Dr Trubus tidak menjelaskan dasar argumentasi yang jelas dalam

 

pemaknaannya. Sehingga penjelasan Dr Trubus dalam hal ini menurut hemat saya lemah dan rapuh serta inkonsisten juga bias. Kritik ini saya sampaikan tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada beliau sebagai Ahli.

Karenanya, dalam pledoi saya halaman 159. Penjelasan tentang keonaran yang saya ambil dari keterangan Dr Trubus dalam BAPnya adalah pernyataan beliau bahwasanya “ Penjelasan pasal XIV UU No. 1 Tahun 1946 memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan KEONARAN adalah bukan hanya kegelisahan dan menggoncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya, tetapi lebih dari itu berupa KEKACAUAN” penjelasan ini saya kutip bukan karena saya memotong-motong keterangan Dr Trubus untuk cari pembelaan sebagaimana dituduhkan jaksa dalam repliknya, Bukan ! Akan Tetapi alasan ilmiah saya memilih penjelasan itu karena Dr Trubus mendasarkan defenisi keonaran tersebut ( pada paragraf ini ) kepada penjelasan UU no 1 Tahun 1946 yang merupakan tafsir otentik dari pasal tersebut, sehingga dasarnya jelas. Terlebih saya sudah mengkonfirmasikan penjelasan tersebut kepada Dr. Trubus di muka persidangan , sehingga itulah yang menjadi dasar saya mengutip penjelasan tersebut dari Dr. Trubus




Yang Mulia Majelis Hakim,

Yang Tercinta Seluruh Penasihat Hukum,

Yang Terhormat Semua Jaksa Penuntut Umum,

Yang Istimewa Segenap Pecinta Keadilan dimana pun berada.



Dalam Pledoi saya dari halaman 158 – 194, saya juga menguraikan secara gamblang dan jelas tentang unsur “keonaran” yang dimaksudkan dalam rumusan pasal 14 dan 15 UU No 1 Thn 1946, dari segi Defenisinya, jangkauannya dan hubungan kausalitas, berdasarkan keterangan para ahli dan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan serta argumentasi yang memliki pijakan yang kuat. Jika melihat dalil-dalil berupa peristiwa yang disampaikan oleh JPU dalam tuntutannya tentang terpenuhinya unsur “keonaran dikalangan rakyat” dalam perkara A Quo, maka berdasarkan keterangan ahli dan fakta-fakta di persidangan dapat disimpulkan bahwa tidak ada satupun dari peristiwa-peristiwa yang didalilkan oleh JPU yang dapat dikategorikan sebagai “keonaran dikalangan rakyat”, Baik dari segi defenisinya, jangkauannya, juga hubungan kausalitas antara pernyataan dengan peristiwa tersebut. Sehingga dapat dipastikan bahwa tidak ada keonaran dikalangan rakyat yang timbul akibat pernyataan saya, Habib Rizieq dan dr Andi Tatat. Untuk lebih jelasnya silahkan JPU buka Kembali pledoi saya halaman 158 – 194.

Namun dalam repliknya hal 26, JPU menyebutkan 1 dalil baru untuk memenuhi Unsur “ Keonaran di Kalangan Rakyat “ dalam perkara A Quo. JPU mengatakan bahwa Video saya yang ditayangkan oleh Chanel Youtube Kompas TV pada sore hari Jumat 27 November 2020, mengakibatkan keonaran dikalangan masyarakat yang menyebabkan terjadinya perpecahan dengan terbentuknya kelompok-kelompok pro dan kontra, yang terlihat dalam kolom komentar. Kemudian JPU menyebutkan 5 komentar yang diambil dari kolom komentar tersebut.



Menanggapi dalil JPU tersebut, saya menjelaskan sebagai berikut :


1. JPU tidak pernah menampilkan bukti ini selama persidangan juga dalam tuntutan, ini baru muncul diselundupkan dalam replik.

2. Saksi Ahli Dr. Refly Harun menjelaskan dalam persidangan yang pada pokoknya bahwa “ Yang dimaksud dengan Rakyat dalam rumusan pasal 14 dan 15 UU NO 1 Tahun 1946 tentuya adalah rakyat secara nyata/real. Bukan di dunia maya “ sehingga menjadi jelas bahwa dalil yang disampaikan JPU tidak memnuhi Unsur “ di Kalangan Rakyat “

3. JPU tidak pernah memverifikasi keaslian akun-akun tersebut, dari mana JPU bisa menyimpulkan bahwa akun-akun itu mewakili rakyat sehingga perbedaan komentar mereka adalah keonaran dikalangan rakyat ? mengingat banyaknya akun robot yang dibuat oleh para Buzzer untuk menyerbu kolom-kolom komentar dimana satu orang terkadang sampai memilki ratusan akun. Banyak penelitian yang mengungkap fenomena akun robot ini, diantanya :

a) Kepala Bidang Integritas Twitter Yoel Roth pada 2018 lalu seperti dikutip dari Twitter, mengatakan bahwa "Pada Mei 2018, sistem kami mengidentifikasi dan melakukan tindakan pada lebih dari 9,9 juta akun spam atau bot per minggunya," ( Lihat Link : https://www.kompas.com/tren/read/2019/10/09/10000 0665/buka-bukaan-soal-buzzer-3-akun-akun-palsu- yang-menggiring-opini-publik?page=3 )

b) Sebuah studi menunjukkan bahwa lebih 48 juta pengguna Twitter atau sekitar 15 persen dari 319 juta total pengguna Twitterharian, adalah bot. Dengan kata lain, retweet atau favorite yang bertebaran di lini masa Twitter bukan dari pengguna Twitter sungguhan, melainkan dari bot. Adapun studi ini dilakukan oleh University of Southern California (USC) dan Indiana University ( Lihat Link : https://m.liputan6.com/tekno/read/2884839/studi-48- juta-akun-twitter-adalah-bot )

c) Dari data PoliticalWave yang dilansir dari Liputan6.com, terdapat lebih dari 1 juta percakapan soal Pilpres 2019 oleh warganet, dan analisis ini

 

mengeluarkan banyak sekali akun bot dan akun palsu dari datanya. ( https://m.merdeka.com/teknologi/ini- mengapa-jual-beli-followers-adalah-hal-berbahaya- dan-harus-dilarang.html )

Dan masih banyak lagi keterangan-keterangan yang menjelaskan tentang banyaknya fenomena akun bot tersebut. Karenanya, darimana JPU tahu bahwa akun-akun yang komentar tersebut adalah betul-betul rakyat Indonesia yang ada perwujudannya dalam dunia nyata, sedangkan JPU sama sekali tidak pernah memverivikasi kebenaran akun- akun tersebut melalui Lab Forensik.


4. Pro dan kontra dalam dunia maya adalah hal yang sangat biasa dan lumrah. Jika JPU punya akun di medsos, pasti topik apapun yang dibahas tidak akan pernah lepas dari pro dan kontra atau suka dan tidak suka. Hampir setiap halaman dari media sosial tidak lepas dari itu. Jika Pro dan Kontra di Media Sosial adalah bentuk keonaran, maka seharusnya medsos dilarang saja, karena setiap halamanya tidak lepas dari keonaran. Karenanya, kesimpulan JPU bahwa 5 komentar tersebut adalah bentuk keonaran yang menimbulkan perpecahan di kalangan Rakyat adalah sangat berlebihan.

 

BAB III PENUTUP

Yang Mulia Majelis Hakim,

Yang Tercinta Seluruh Penasihat Hukum,

Yang Terhormat Semua Jaksa Penuntut Umum,

Yang Istimewa Segenap Pecinta Keadilan dimana pun berada.



Setelah apa yang saya uraikan menjadi jelas bahwa unsur-unsur yang ada dalam pasal-pasal yang didakwakan dan dituntut kepada para perdakwa tidaklah tepenuhi.

Karenanya, di penutup Pledoi ini saya ingin mengingatkan bahwa; Hari ini kita duduk di pengadilan, namun ini bukan pengadilan sesungguhnya, karena pengadilan sesungguhnya adalah kelak di hari akhir, dihari perhitungan, di hadapapan Allah yang Maha Adil.

Di Hari Itu, Pengadilan ini akan diadili, keputusannya akan dihakimi, tuntutannya akan dituntut dan pembelaan ini pun akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah. Di pengadilan dunia, kebenaran bisa ditutup-tutupi, fakta bisa diselewengkan tapi di Pengadilan Akhirat semuanya TERBUKA dan TERANG BENDERANG, karena yang menghakimi adalah ALLAH yang MAHA MENDENGAR, MAHA MELIHAT, MAHA MENGETAHUI DAN MAHA MENGHAKIMI. Jangan sampai ada ucapan, keterangan, tuntutan, pembelaan atau keputusan kita pada pengadilan hari ini yang menyebabkan kita menyesal tiada batas di PENGADILAN HARI AKHIR.

Semoga Majelis Hakim yang Mulia diberi kekuatan oleh Allah SWT untuk menegakkan Keadilan dan melenyapkan Kezaliman, serta menjadi Garda Terdepan dalam menjaga Tatanan Hukum di Indonesia Tercinta, agar tidak dirusak oleh MAFIA HUKUM mana pun. Karena manakala kedzaliman dan penyelewengan hukum telah merebak ke berbagai lini, maka Sidang Pengadilan yang dipimpin oleh Para Hakim yang Jujur, Berani lagi Amanah adalah menjadi harapan terakhir rakyat untuk menyelamatkan Tatanan Hukum demi Tegaknya Keadilan dan Lenyapnya Kezaliman.

 

Dan jika selama proses persidangan ini ada kata-kata atau perilaku saya yang kurang berkenan dalam pandangan Majelis Hakim yang Mulia, maka bagi saya mohon dibukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya.

Sebelum saya menyampaikan permohonan saya kepada Majelis Hakim, perkenankan saya untuk memanjatkan doa kepada Allah swt.

 

وعل ى  آ ِل ِه

 

ْين س ِل

 

ا ْل ُم ْر

 

ِ ي ِد س

 

عل ى

 

َل   ُم س

 

وال

 

ص َلةُ

 

وال

 

ال  ِم ْين

 

ر   ِب  ا ْل

 

هّلِلِ

 

ْم   ُد ح

 

ا  ْل

 

ح ْي ِم

 

ال َّر

 

ح ٰمن

 

 ال َّر ّٰللاِ

 

بس ِم

 

ْو ِم ال ِ د ْين.

 

ل ى

 

ع ِه

 

 تْ  با وأ

 

 ِب ْين ط ِي

 

ِب ِه ال صحا

 

 وأ

 

الطاه ِر ْين

 


اللهم بحق فاطمة و أبيها و بعلها و بنيها و محبيها اجعل لنا من كل ما أهمنا من أمر دنيانا و آخرتنا

فرجا و مخرجا و ارزقنا من حيث ال نحتسب و اغفر لنا ذنوبنا و ثبت رجاءك في قلوبنا واقطعه ممن سواك حتى ال نرجو أحدا غيرك يا رب العالمين. اللهم استر عوراتنا و آمن روعتنا و اجعل كيد من كادنا في نحره و مكر من مكر بنا عائدا عليه و حفرة من حفر لنا حفرة واقعا هو فيها و ال تمكن األعداء فينا و ال منا و ال

تسلط علينا بذنوبنا من ال يرحمنا يا أرحم الراحمين.


اللهم  إليك  أشكو  ضعف  قوتي،  وقلة  حيلتي،  وهواني  على  الناس،  يا  أرحم  الراحمين،  أنت  رب

المستضعفين، وأنت ربي، إلى من تكلني؟ إلى بعيد يتجهمني ؟ أم إلى عدو ملكته أمري؟ إن لم يكن بك علي غضب فَل أبالي، ولكن عافيتك هي أوسع لي، أعوذ بنور وجهك الذي أشرقت له الظلمات  ، وصلح عليه أمر الدنيا واآلخرة من أن تنزل بي غضبك، أو يحل علي سخطك، لك العتبى حتى ترضى، وال حول وال قوة إال بك يا رب العالمين. ال إله إال أنت سبحانك إني كنت من الظالمين 3 مرة يا غياث المستغيثين أغثني 3 مرة

كهيعص كفيت حمعسق حميت.


 

  با  ركا م

 

 ًدا آ ِمنًا و بل

 

عا ِد ًال

 

ما    ًما و ِإ

 

ْينًا وخَلصا جميَل وفرجا عاجَل م ِب

 

وف تْحا

 

ِز ْيزا ع

 

ص ًرا

 

      ا ْر ُز ْق  نا ه َّم

 

الله

 

 نا ع

 

واج م

 

ْو ِتن ا ُي

 

ل ى

 

ا عن

 

وا ْرج

 

ِف  ي ٍة وعا

 

وخ ْي ٍر ف

 

ى لُط

 

عاج ًَل

 

ِر ْي ًعا س

 

 سجن

 

من ال

 

ج  نا

 

خ ِر

 

 وأ

 

حك م ِة

 

ْرن ا  ِفى ا ْل  م ص

 

ف ا ْن

 

ْين س ِل

 

ِد ا ْل ُم ْر س ِ ي

 

ح  ِق

 

ْو ِر ْين ص

 

م ْن

 

َّي ِد ْين م ؤ

 

ا ِئ ِز ْين

 

جح ْين

 

ن ن ا

 

ِل ِم ْي سا

 

ِرح ْين

 

ِن ِم ْين غا

 

ِب  نا ح  با

 

 وأ

 

صحا ِبن ا

 

 وأ

 

ِت  نا ْي

 

مع أ هل

 

ح ِم ْين

 

 م ال َّرا ح

 

ا أ ْر

 

 رح  م ِتك

 



Akhirnya, kepada Majelis Hakim yang Mulia, kami meminta dari sanubari yang paling dalam agar dalam mengambil keputusan dengan keyakinan untuk menghentikan segala Kedzaliman demi terpenuhi rasa KEADILAN sekaligus menyelamatkan TATANAN

HUKUM dan SENDI KEADILAN di Tanah Air yang sedang dirongrong oleh KEKUATAN

 

JAHAT yang ANTI AGAMA dan ANTI PANCASILA serta membahayakan keutuhan Persatuan dan Kesatuan NKRI.


Karenanya, kami menyatakan tetap bertahan dengan pledoi yang telah kami sampaikan dan kami memohon karena Allah SWT demi Tegaknya Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, agar Majelis Hakim yang mulia MEMUTUSKAN untuk TERDAKWA dengan Vonis :


BEBAS MURNI

DIBEBASKAN DARI SEGALA TUNTUTAN DILEPASKAN DARI PENJARA TANPA SYARAT

DIKEMBALIKAN NAMA BAIK, MARTABAT DAN KEHORMATAN


TERIMA KASIH



Sekian Duplik saya,


 

ِصْيُ

 

َونِْع َم النَّ

 

ُل نِْع َم الْ َمْوََل

 

َونِْع َم الَْوكِْي

 

َح ْسبُ نَا ا هّٰللُ

 

َوال َحْوَل َوال قُ َّوَة إِال ِِب هّٰللِ الَْعلِ ِٰي الَْع ِظْيِم

و صلى هللا على سيدان حممد

و آله و صحبه و سلم

 

الَْعالَِمْ َي

 

َر ِٰب

 

ِهّٰللِ

 

ْْلَْم ُد

 

َوا

 

Jakarta, 10  Juni 2021


Muhammad Hanif bin Abdurrahman Alathas, Lc.