Lengkap, Duplik HRS Dkk Kasus Swab RS Ummi: Kriminalisasi Pasien, Dokter Dan RS Adalah Kejahatan Hukum Dan HAM

 

Kamis, 17 Juni 2021

Faktakini.info

DUPLIK

KRIMINALISASI

PASIEN, DOKTER & RUMAH SAKIT

ADALAH KEJAHATAN HUKUM DAN HAM

JAWABAN

AL-HABIB MUHAMMAD RIZIEQ BIN HUSEIN SYIHAB

ATAS REPLIK JAKSA PENUNTUT UMUM

TERKAIT KASUS TEST SWAB PCR DI RS UMMI KOTA BOGOR

No. Reg. Perkara : 225 / Pid.B / 2021 / PN.Jkt.Tim

Pada Pengadilan Negeri Jakarta Timur

TAHUN 2021

[17/6 10.15] .: BAB I

PENDAHULUAN

Kepada Yang Mulia Majelis Hakim

Kepada Yang Tercinta Seluruh Penasihat Hukum

Kepada Yang Terhormat Semua Jaksa Penuntut Umum

Kepada Yang Istimewa Segenap Pecinta Keadilan dimana pun berada

Sebelum saya menyampaikan Isi Pokok DUPLIK saya atas REPLIK Jaksa Penuntut Umum (JPU), dan sebelum kita sampai pada Puncak Persidangan Putusan yang akan datang, maka izinkanlah terlebih dahulu saya ingin menyampaikan ucapan Terima Kasih dan Penghargaan yang tinggi kepada Majelis Hakim yang mulia atas arahan dan bimbingannya selama masa persidangan, sehingga berjalan dengan baik dan lancar.

Majelis Hakim yang mulia telah memimpin jalannya persidangan dengan sangat arif dan bijak, serta memberikan waktu luas kepada Terdakwa dan Penasihat Hukum serta Jaksa Penuntut Umum, juga Para Saksi Fakta mau pun Ahli dalam menyampaikan keterangan dan argumentasi.

Semoga Majelis Hakim yang mulia tetap dalam lindungan serta limpahan Taufiq dan Hidayah dari Allah SWT hingga akhir persidangan, sehingga mengambil putusan yang diridhoi oleh Allah SWT, putusan yang mengantarkan ke Surga-Nya dan menjauhkan dari Neraka-Nya. آمين يا رب العالمي ن .

Dan saya sampaikan juga Terima Kasih dan Penghargaan yang tinggi kepada segenap Tim Penasihat Hukum yang telah mendampingi dan membela saya sejak awal persidangan hingga saat ini, tanpa mengenal lelah dan tanpa pamrih, serta tanpa pembayaran dalam bentuk apa pun, mereka semua bekerja dan berjuang dengan penuh

[17/6 10.15] .: keikhlasan dan ketulusan serta semangat pengorbanan yang luar biasa, semata-,mata hanya mengharap Ridho Allah SWT. Mereka adalah orang-orang hebat di waktu dan kondisi yang serba sangat berat. Sungguh saya salut dan bangga kepada segenap Penasihat Hukum, sekaligus bersyukur kepada Allah SWT yang telah mengirimkan Pengacara-Pengacara luar biasa untuk saya dkk.

Semoga Allah SWT memberi ganjaran yang berlipat ganda serta memudahkan segala urusan mereka di Dunia mau pun Akhirat. Dan semoga dengan izin Allah SWT dari tangan mereka ini dengan berkah keikhlasan dan ketulusan mereka akan datang kemenangan dan kemudahan dalam persidangan ini. آمين يا رب العالمي ن .

Dan saya juga menyampaikan Terima Kasih dan Penghargaan yang tinggi kepada segenap Keluarga saya, khususnya istri dan anak-anak saya tercinta dan tersayang, yang selalu sabar dan tegar, serta setia tanpa keluh kesah, terus memberi semangat kepada saya untuk tetap tabah dan gagah menegakkan keadilan dan melawan kezaliman.

Semoga kami sekeluarga tetap selalu dilimpahkan oleh Allah SWT sikap Istiqomah dalam Ibadah dan Mu’amalah, serta dalam Da’wah dan Hisbah, serta dalam Jihad di jalan Allah SWT untuk selalu mengatakan yang Haq itu adalah Haq dan yang Bathil itu adalah Bathil, karena Jihad yang sebenarnya adalah mengucapkan Kalimat yg Haq di depan Penguasa yang Zalim.

Semoga kami sekeluarga senantiasa disatukan oleh Allah SWT dalam cinta dan kasih sayang di Dunia mau pun di Akhirat. آمين يا رب العالمي ن .

Dan saya juga menyampaikan Terima Kasih dan Penghargaan yang tinggi kepada semua Sahabat seperjuangan saya, yang rela jatuh bangun dan menanggung suka duka dengan penuh kesetiaan dan pengorbanan bersama saya dalam perjuangan menegakkan Kalimat Allah SWT yang Maha Tinggi.

[17/6 10.16] .: Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan ridho-Nya untuk segenap Sahabat Setia saya, dan dimudahkan segala urusan Dunia mau pun Akhirat, serta kelak kami semua disatukan dalam Surga Firdaus-Nya. آمين يا رب العالمي ن .

Selanjutnya, saya sampaikan Terima Kasih dan Penghargaan yang tinggi kepada seluruh Habaib dan Ulama serta Tokoh bersama segenap Umat Islam, juga seluruh elemen bangsa, termasuk Emak-Emak dan para Pejuang Medsos, yang selama ini telah dengan setia memberi dukungan dan pembelaan dengan dzikir dan doa, dengan lisan mau pun tulisan, dengan senyum dan tawa mau pun air mata, dengan waktu dan tenaga, dengan harta mau pun jiwa raga, khususnya 6 Syuhada Laskar FPI yang telah dengan setia mengawal dan menjaga saya sekeluarga hingga dibantai Para Penjahat Bajingan Durjana.

Semoga Allah SWT memaafkan segala kesalahan mereka semua, dan menyempurnakan segala kekurangan, serta menerima segala amal sholeh, juga membahagiakan mereka semua di Dunia dan Akhirat. آمين يا رب العالمي ن .

Tidak lupa, saya dan kawan-kawan menyampaikan Terima Kasih dan Penghargaan yang tinggi kepada KAPOLRI dan seluruh jajarannya, khususnya segenap Pimpinan dan Petugas di Rutan Mabes Polri, yang selama ini telah memperlakukan kami di Rutan Mabes Polri dengan sangat baik, sehingga kami mendapatkan hak-hak kami sebagaimana mestinya, termasuk penjagaan dan pengantaran ke setiap persidangan, bahkan saya telah diberi kesempatan menyelesaikan program S3 saya, sehingga dapat mengikuti ujian Desertasi PhD saya dengan lancar di Rutan Mabes Polri.

Semoga Allah SWT memberi Taufiq dan Hidayah kepada mereka semua sehingga bisa menjadi hamba- hamba-Nya yang beriman dan bertaqwa agar selamat Dunia dan Akhirat. آمين يا رب العالمي ن .

[17/6 10.16] .: Akhirnya, Terima Kasih dan Penghargaan kami sampaikan juga kepada Jaksa Penuntut Umum yang telah berkali-kali mencambuk kami untuk fokus dan serius melakukan perlawanan hukum di persidangan ini demi mendapatkan keadilan.

Jaksa memang lawan kami dalam perkara, tapi Jaksa bukan musuh kami. Saya dan Penasihat Hukum dalam ruang sidang ini sering terlibat dalam perdebatan sengit dengan Jaksa, bahkan tidak jarang saling tuding dan saling bentak serta saling berteriak, apalagi dalam Dakwaan dan Eksepsi, serta Tuntutan dan Pledoi, hingga dalam Replik dan Duplik, kami saling serang dan saling menjatuhkan, bahkan tidak jarang kami akan saling melontarkan kata-kata bodoh, dungu, pandir, tidak berakal, tidak sopan, dangkal, ngawur, jahat, zalim, dan sebagainya, terhadap pendapat lawan. Itu biasa dalam persidangan, sehingga jangan diambil hati apalagi dijadikan dendam.

Akhirnya kita mohon kepada Allah SWT agar melimpahkan Rahmat dan Maghfiroh serta Ridho-Nya kepada kita semua, dan selalu membimbing kita untuk ke jalan Taubatan Nashuuhaa serta memberikan kita kekuatan Istiqomah dalam kondisi apa pun, suka atau pun duka, senang atau pun susah. آمين يا رب العالمي ن .

حسبنا الله ونعم الوكيل، نعم المولى ونعم النصير، ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم

[17/6 10.17] .: BAB II

ANALISA REPLIK

A. SOROTAN PEMBUKA REPLIK

Kepada Yang Mulia Majelis Hakim

Kepada Yang Tercinta Seluruh Penasihat Hukum

Kepada Yang Terhormat Semua Jaksa Penuntut Umum

Kepada Yang Istimewa Segenap Pecinta Keadilan dimana pun berada

Sebelum saya memulai menyampaikan tanggapan saya terhadap REPLIK JPU melalui DUPLIK ini, maka di pembukaan ini saya terlebih dahulu ingin menyoroti suatu perkara yang ”sepele tapi tidak sepele”. Saya katakan ”sepele” kalau hanya terkait dengan kepribadian saya semata, tapi saya katakan ”tidak sepele” kalau sudah terkait dengan kepentingan Umat Islam.

Saya sesalkan REPLIK JPU dibuka dengan masalah yang ”sepele tapi tidak sepele” tersebut, sehingga seluruh REPLIK JPU disiisi dan dipenuhi dengan gelora emosi dari persoalan ”sepele tapi tidak sepele” tersebut.

Masalah ”sepele tapi tidak sepele” yang saya maksudkan adalah tatkala dengan angkuh dan sombong serta penuh kebencian JPU menyatakan dalam pembuka REPLIK di halaman 2, sebagai berikut :

”Ternyata yang didengung-dengungkan sebagai seorang Imam Besar hanyalah isapan jempol belaka”.

[17/6 10.17] .: Kemudian kalimat pembuka tersebut entah oleh siapa dan dengan maksud apa difoto dari REPLIK JPU dan disebar-luaskan via Medsos ke para Pejabat Tinggi Negara serta Tokoh Nasional, hingga akhirnya viral dan sampai ke Umat Islam dimana-mana.

JPU yang terhormat ketahuilah bahwa saya tidak pernah menyebut diri saya sebagai Imam Besar, apalagi mendeklarasikan diri sebagai Imam Besar, karena saya tahu dan menyadari betul betapa banyak kekurangan dan kesalahan yang saya miliki, sehingga saya pun berpendapat bahwa saya belum pantas disebut sebagai Imam Besar.

Sebutan Imam Besar untuk saya datang dari Umat Islam yang lugu dan polos serta tulus di berbagai daerah di Indonesia, saya pun berpendapat bahwa sebutan ini untuk saya agak berlebihan, namun saya memahami bahwa ini adalah ROMZUL MAHABBAH yaitu TANDA CINTA dari mereka terhadap orang yang mereka cintai.

Karenanya hinaan JPU terhadap istilah ”Imam Besar” bukanlah hinaan JPU terhadap diri saya, sehingga saya tidak akan pernah merasa terhina atau merasa tersinggung apalagi marah, akan tetapi saya khawatir hinaan tersebut akan diartikan oleh Umat Islam Indonesia sebagai hinaan terhadap CINTA dan KASIH SAYANG mereka.

Dan saya lebih khawatir lagi kalau hinaan JPU tersebut akan ditafsirkan oleh Umat Islam Indonesia sebagai TANTANGAN, sehingga akan jadi pendorong semangat mereka untuk datang dan hadir serta mengepung dari segala penjuru Pengadilan Negeri Jakarta Timur ini, untuk menyaksikan langsung Sidang Terakhir yaitu Sidang Putusan pada hari Kamis tanggal 24 Juni 2021 yang akan datang.

Nasihat saya kepada JPU agar hati-hati. Jangan menantang para PECINTA, karena CINTA itu punya kekuatan dahsyat, yang tak kan pernah takut akan tantangan dan ancaman.

[17/6 10.18] .: Saya tidak bisa membayangkan di masa Pandemi yang semakin parah ini, bagaimana jika Jutaan PECINTA yang kemarin menyambut kepulangan saya di Bandara, terprovokasi oleh TANTANGAN JPU, lalu berbondong-bondong mendatangi pengadilan ini dari segala penjuru.

Apalagi jika 7,5 juta peserta Aksi 212 tahun 2016 , terlebih-lebih 15 juta peserta Reuni 212 Tahun 2018, yang datang berbondong-bondong mengepung pengadilan ini untuk menyambut TANTANGAN JPU sekaligus membuktikan kekuatan CINTA mereka, maka saya lebih tidak bisa membayangkannya lagi.

Sekali lagi nasihat saya untuk JPU dan juga untuk semua musuh yang membenci saya, hati-hati jangan menantang para PECINTA, karena CINTA tidak akan pernah bisa dikalahkan dengan KEBENCIAN.

B. SOROTAN ISI REPLIK

Kepada Yang Mulia Majelis Hakim

Kepada Yang Tercinta Seluruh Penasihat Hukum

Kepada Yang Terhormat Semua Jaksa Penuntut Umum

Kepada Yang Istimewa Segenap Pecinta Keadilan dimana pun berada

Majelis Hakim yang mulia, setelah saya mendengar dan membaca REPLIK JPU dengan teliti dan cermat, maka saya berpendapat sebagai berikut :

1. Bahwa REPLIK JPU hanya berisi CURHAT yang penuh emosi dan kemarahan karena MERASA dihujat, sehingga tidak lebih dari hanya sekedar pelampiasan uneg-uneg saja.

[17/6 10.18] .: 2. Bahwa REPLIK JPU banyak berisi PENGHINAAN baik kepada Saya mau pun Penasihat Hukum, bahkan terhadap Saksi Ahli yang tidak pernah menghina JPU sama sekali.

3. Bahwa REPLIK JPU juga TIDAK ARGUMENTATIF dan TIDAK ILMIAH, serta sifatnya hanya mengulang-ulang apa yang sudah dituangkan dalam TUNTUTAN.

4. Bahwa REPLIK JPU sama sekali TIDAK BERKUALITAS dan TIDAK BERNILAI, karena masih saja mengulangi Manipulasi Fakta Persidangan, sehingga penuh dengan KEBOHONGAN.

5. Bahwa REPLIK JPU sama sekali TIDAK MAMPU menjawab PLEDOI saya mau pun PLEDOI Penasihat Hukum sebagaimana mestinya.

Oleh sebab itu, sebenarnya saya enggan untuk meladeni REPLIK JPU yang tidak berharga tersebut, karena hanya membuang waktu kami yang sangat berharga. Akibat hanya mengurusi ocehan JPU yang ngalor-ngidul, dan harus menangkis satu per satu serangan JPU yang betubi-tubi, maka kegiatan Da’wah saya dan kawan-kawan di Rutan Mabes Polri jadi sering terganggu, mulai dari Kajian Shubuh, Pengajian Tafsir dan Hadits, serta Majelis Dzikir dan Sholawat, juga Pemberantasan Buta Huruf Al-Qur’an, dan lain-lain.

Namun jika saya tidak menjawab melalui DUPLIK ini, maka nanti JPU tidak akan pernah tahu dan tidak akan pernah menyadari akan kesalahannya dan ketidak-cermatannya bahkan kezalimannya dalam Kasus RS UMMI Kota Bogor.

Jadi terpaksa saya harus menjawab dalam DUPLIK ini untuk menjelaskan dan membuktikan kebenaran pendapat saya tersebut di atas tentang REPLIK JPU yang hanya berisi CURHAT dan PENGHINAAN, serta TIDAK ARGUMENTATIF dan TIDAK ILMIAH, juga TIDAK BERKUALITAS dan TIDAK BERNILAI, sehingga TIDAK MAMPU menjawab PLEDOI saya mau pun PLEDOI Penasihat Hukum sebagaimana mestinya.

[17/6 10.18] .: Berikut ini saya akan jawab semua kerancuan dan kengawuran yang dikemukakan JPU dalam REPLIK-nya satu per satu dan poin per poin, sesuai dengan nomor urutnya masing-masing dalam REPLIK, sehingga nomor urut dalam DUPLIK ini saling berhadap-hadapan dengan nomor urut dalam REPLIK JPU, yaitu sebagai berikut :

1. Bahwa JPU mengaku sebagai Penegak Hukum akan menegakkan hukum yang BERKEADILAN terhadap siapa pun tanpa ada DISKRIMINASI HUKUM. Namun FAKTANYA di Kota Bogor ada puluhan bahkan ratusan Pelanggaran Protokol Kesehatan, tapi sesuai pengakuan Saksi Fakta Walikota Bogor Bima Arya dan Kepala Satpol PP Kota Bogor Agustian Syah di bawah sumpah depan persidangan bahwa HANYA Kasus RS UMMI Kota Bogor yang dilaporkan ke polisi dan dibawa ke pengadilan.

Sekedar Nasihat untuk JPU yang adil dan jujur, ketahuilah bahwa DISKRIMINASI HUKUM itu TIDAK ADIL dan TIDAK JUJUR.

2. Bahwa JPU menyampaikan sebuah ADAGIUM ANEH yang sangat tidak tepat dalam perkara RS UMMI yaitu : ”Keadilan Tertinggi yang diperjuangkan Penegak Hukum dapat berarti Ketidak-adilan Tertinggi bagi Terdakwa. Dan suatu hal yang dipandang sebagai Ketidak-adilan Tertinggi bagi Terdakwa ini justru bermakna Keadilan Tertinggi bagi Masyarakat”.

ADAGIUM ini mengada-ada dan tidak masuk di akal, karena terkesan ingin memonopoli Keadilan-Tertinggi hanya milik Penegak Hukum seperti JPU, sementara posisi Terdakwa pasti salah dan harus salah serta wajib dihukum salah.

Cara membuktikan kengawuran ADAGIUM ini sederhana saja ; yaitu ambil saja Kasus yang dihadapi oleh orang yang bersalah dan Kasus yang dihadapi oleh orang yang tidak bersalah, yaitu sbb :

[17/6 10.18] .: a. Bagaimana bisa seorang penjahat yang dihukum sesuai kejahatannya melalui pengadilan, lalu hukum itu dikatakan ADIL bagi Jaksa dan Masyarakat tapi TIDAK ADIL bagi Terdakwa ?! Atau sebaliknya bagaimana bisa seorang penjahat yang tidak dihukum karena ada intervensi hukum terhadap pengadilan, lalu hukum itu dikatakan ADIL bagi Terdakwa tapi TIDAK ADIL bagi Jaksa dan Masyarakat ?!

Dalam kasus pertama ; yaitu seorang penjahat yang dihukum sesuai kejahatannya melalui pengadilan, maka hukum itu ADIL bagi Jaksa dan Masyarakat mau pun Terdakwa. Dan dalam kasus kedua ; yaitu sebaliknya seorang penjahat yang tidak dihukum karena ada intervensi hukum terhadap pengadilan, maka hukum itu TIDAK ADIL bagi Jaksa dan Masyarakat mau pun Terdakwa.

b. Bagaimana bisa seorang yang yang tidak bersalah dibebaskan dari tuntutan kejahatan yang tidak dilakukannya, lalu hukum itu dikatakan ADIL bagi Terdakwa tapi TIDAK ADIL bagi Jaksa dan Masyarakat ?! Atau sebaliknya bagaimana bisa seorang tidak bersalah dihukum atas kejahatan yang tidak dilakukannya, lalu hukum itu dikatakan ADIL bagi Jaksa dan Masyarakat tapi TIDAK ADIL bagi Terdakwa ?!

Dalam kasus pertama ; yaitu seorang yang tidak bersalah dibebaskan dari dakwaan kejahatan yang tidak dilakukannya, maka hukum itu ADIL bagi Jaksa dan Masyarakat mau pun Terdakwa. Dan dalam kasus kedua ; yaitu sebaliknya seorang yang tidak bersalah dihukum atas dakwaan kejahatan yang tidak dilakukannya, maka hukum itu TIDAK ADIL bagi Jaksa dan Masyarakat mau pun Terdakwa.

Sekedar Nasihat untuk JPU yang terhormat, belajarlah mengambil ADAGIUM-ADAGIUM yang jelas dan bermartabat serta tepat guna dan manfaat, seperti :

[17/6 10.19] .: a. Adagium ”similia similubus” yaitu dalam perkara yang sama harus diproses yang sama pula, artinya jangan tebang pilih alias jangan ada diskriminasi.

b. Adagium ”politiae legius non leges politii adoptandae” yaitu politik harus tunduk kepada hukum bukan sebaliknya.

c. Adagium ”lex nemini operatur iniquum, nemenini facit injuriam” yaitu hukum tidak memberikan ketidak-adilan kepada siapa pun, dan tidak juga melakukan kesalahan kepada siapa pun”.

3. Bahwa JPU menganggap pemaparan saya tentang RANGKAIAN PERISTIWA sebelum dan saat serta sesudah Kasus RS UMMI hanya uneg-uneg dan keluh-kesah. Padahal saya telah jelaskan dalam PLEDOI halaman 15 sbb :

”Sebelum saya BUKTIKAN dengan memaparkan berbagai INDIKASI yang menjadi PETUNJUK bahwa KASUS yang saya hadapi lebih tepat disebut sebagai KASUS POLITIK ketimbang KASUS HUKUM, maka saya memandang perlu untuk memaparkan RANGKAIAN PERISTIWA yang saya hadapi, sebelum dan saat serta setelah, saya dirawat di Rumah Sakit UMMI Kota Bogor, agar menjadi jelas BENANG MERAH yang menghubungkan semua Rangkaian Kejadian tersebut dengan KASUS yang sedang saya hadapi di pengadilan ini, sehingga menjadi masukan penting bagi mereka yang punya HATI JERNIH dan AKAL SEHAT serta NURANI KEADILAN untuk mengambil KESIMPULAN.”

Namun sayang ternyata JPU tidak mampu memahami persoalan, sehingga tidak bisa melihat BENANG MERAH yang menghubungkan semua Rangkaian Kejadian tersebut dengan KASUS RS UMMI.

Nasihat untuk JPU yang arif lagi bijaksana, ketahuilah bahwa orang yang tidak punya HATI JERNIH dan AKAL SEHAT serta NURANI KEADILAN tidak akan pernah bisa paham dan mengerti hubungan BENANG MERAH antara suatu kejadian dengan

[17/6 10.19] .: kejadian lainnya, sehingga dia tidak akan pernah bisa bersikap Arif dan Bijaksana dalam menarik suatu kesimpulan.

4. Bahwa JPU menilai Terdakwa menganggap sepele Kasus RS UMMI sehingga hanya berfikir soal Pelanggaran Protokol Kesehatan saja, padahal menurut JPU bahwa Kasus RS UMMI adalah persoalan besar karena terkait Tindak Pidana yang diatur dan diancam pidana oleh Undang-Undang.

Justru saya melihat dengan sangat jelas bahwa JPU lah sebenarnya yang membesar-besarkan kasus, buktinya sebagaimana saya paparkan dalam PLEDOI halaman 111 sbb :

”Pada awalnya saat SAYA diperiksa oleh Penyidik Kepolisian sebagai SAKSI pada tgl 4 Januari 2021 hanya berkaitan dengan PELANGGARAN PROTOKOL KESEHATAN, sehingga diduga melanggar Pasal 14 ayat (1) atau ayat (2) UU No. 4 / Th. 1984 ttg Wabah Penyakit Menular terkait dugaan dengan sengaja menghalangi pelaksanaan Penanggulangan Wabah, dan atau Pasal 216 ayat (1) KUHP terkait dugaan dengan sengaja tidak mentaati atau dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tugas pejabat.

Namun saat SAYA diperiksa sebagai TERSANGKA pada tgl 15 Januari 2021 ada penambahan PASAL PIDANA yaitu Pasal 14 dan atau Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 ttg Peraturan Hukum Pidana terkait dugaan dengan sengaja menyiarkan kebohongan untuk menimbulkan keonaran. Bahkan akhirnya pasal tambahan inilah yang justru djadikan DAKWAAN KESATU baik yang Primer mau pun Subsider dan Lebih Subsider. Ini adalah PENYELUNDUPAN pasal yang sangat dipaksakan.”

Jadi jelas, bukan saya yang menganggap Kasus RS UMMI sebagai persoalan sepele, tapi justru JPU yang sengaja membesar-besarkan Kasus RS UMMI, sehingga Kasus Protokol Kesehatan yang semula cukup Sanksi Administrasi,

[17/6 10.19] .: DISULAP oleh JPU jadi Kasus Kejahatan Pidana Kebohongan dan Keonaran dengan ancaman penjara 10 tahun.

Sekedar Nasihat untuk JPU yang baik lagi budiman, ketahuilah bahwa Pidanaisasi Kasus Prototkol Kesehatan dengan penyelundupan pasal pidana, sehingga terjadi Kriminalisasi Pasien dan Dokter serta Rumah Sakit bukanlah perilaku baik dan tidak pula perbuatan berbudi, tapi merupakan perbuatan jahat dan keji.

5. Bahwa JPU menuduh Saya hanya mengarang cerita tentang OLIGARKI ANTI TUHAN, dan JPU menyebut bahwa dalam Hukum tidak mengenal anasir-nanasir tersebut. Disini saya bisa langsung menyimpulkan bahwa JPU tidak paham apa itu OLIGARKI, dan lebih tidak paham lagi apa itu ANTI TUHAN. Karenanya, disini perlu saya terangkan secara singkat saja agar JPU sekurangnya tahu arti dan makna OLIGARKI ANTI TUHAN.

OLIGARKI secara bahasa sebagaimana termaktub dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu. Sedang dalam Istilah Politik bahwa OLIGARKI ialah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan tertentu, yang berusaha untuk mewujudkan kepentingan atau kesejahteraan kelompok sendiri, bukan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat.

Kata OLIGARKI itu sendiri berasal dari Bahasa Yunani yaitu Oligarkhia, yang terdiri dari dua kata yaitu Oligon artinya sedikit dan kata Arkho artinya memerintah, sehingga OLIGARKI diartikan kelompok sedikit yang memerintah / berkuasa.

Sedang ANTI TUHAN adalah kelompok yang mengingkari Tuhan seperti Atheisme, Komunisme, Marxisme dan Lininisme, atau kelompok yang mengingkari Hukum Tuhan seperti Liberalisme dan Sekularisme.

[17/6 10.19] .: Jadi jelas bahwa yang dimaksud dengan kelompok OLIGARKI ANTI TUHAN adalah Kelompok yang mengingkari Tuhan atau mengingkari Hukum Tuhan yang mulai menyusup dan menguasai pemerintahan, sehingga berkuasa dan bekerja hanya untuk kepentingan golongannya saja, bukan untuk kepentingan Rakyat dan Bangsa serta Negara.

Pemaparan saya dalam PLEDOI halaman 17 – 18 tentang 20 Indikasi Kebangkitan PKI yang pernah saya paparkan di Simposium Nasional Waspada PKI pada Tahun 2016 bukan ngarang cerita, tapi memang kejadian fakta yang terbukti, sebagaimana telah saya paparkan dalam Pledoi secara panjang lebar. Semoga keterangan yang singkat ini bermanfaat untuk menambah wawasan JPU.

Sekedar Nasihat untuk JPU yang jujur lagi amanah, ketahuilah bahwa pura-pura tidak tahu atau menutup mata dari gerakan OLIGARKI ANTI TUHAN yang sudah kasat mata dan sudah jadi Rahasia Umum di tengah masyarakat bukanlah sikap jujur dan amanah, bahkanmerupakan sikap khianat yang sangat berbahaya bagi keselamatan generasi penerus selanjutnya.

6. Bahwa JPU menuduh saya sedang mencari panggung dengan menyalahkan sejumlah pihak seperti Menko Polhukam RI Jenderal TNI (Pur) Wiranto, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal Polisi (Purn) Budi Gunawan dan Kapolri Jenderal Polisi (Pur) Muhammad Tito Carnavian.

Disini JPU sangat picik dan naif dalam membaca persoalan, karena penuh dengan buruk sangka. Padahal justru saya dalam PLEDOI halaman 20 – 21 sangat memuji sikap Wiranto dan BG serta Tito yang berjiwa besar sehingga mau membuka Pintu Dialog untuk Rekonsiliasi demi Persatuan dan Kesatuan NKRI, dan juga saya amat memuji bahwa Hasil Kesepakatan yang kami capai sangat bagus, serta justru saya menyesalkan kalau kesepakatan yang sudah sangat bagus tersebut akhirnya berantakan hanya karena adanya Operasi Liar Intelijen Hitam.

[17/6 10.20] .: Dari sana saya memberi masukan kepada semua pihak, khususnya kepada Wiranto dan BG serta Tito agar waspada adanya Operasi Liar Intelijen Hitam yang tidak suka melihat Dialog dan Rekonsiliasi di antara saya dan Rezim Penguasa.

Sekedar Nasihat untuk JPU yang berakhlak mulia, ketahuilah bahwa buruk sangka itu tidak baik dan bukan bagian dari akhlaq yang mulia, bahkan bisa mengantarkan kepada dosa dan fitnah.

7. Bahwa JPU kembali menyinggung soal OLIGARKI ANTI TUHAN, sehingga tidak perlu saya jawab lagi karena sudah saya paparkan tadi di atas pada nomor 5.

8. Bahwa JPU menolak istilah PIDANAISASI dan menyebutnya tidak ditemukan dalam khasanah Bahasa Indonesia yang baik. Disini JPU tidak benar, karena imbuhan ”isasi” yang merupakan serapan dari bahasa Inggris sudah diakui sebagai imbuhan dalam Bahasa Indonesia, sehingga lahirlah istilah-istilah yang sudah sangat populer penggunaannya dalam Hukum, Politik, Ekonomi, Industri dan lain sebagainya, seperti : Islam-isasi, Kristen-isasi, Nasional-isasi, Demokrat-isasi, Radikal-isasi, Modern-isasi, Organ-isasi, Legal-isasi, Formal-isasi, Zona-isasi, Normal-isasi, Positiv-isasi, General-isasi, Kapital-isasi, Sosial-isasi, Individual-isasi, Kriminal-isasi, dan termasuk Pidana-isasi, dan lain sebagainya.

JPU sendiri menggunakan istilah dengan imbuhan ”isasi” seperti pada REPLIK halaman 22 saat JPU mengutip pernyataan BEM se Bogor Raya dengan kalimat : ”Hentikan Kriminalisasi … dst”. Kata Kriminalisasi dari kata Kriminal yang diberi imbuhan ”isasi”, maknanya sama dengan Pidanaisasi yang kata JPU tidak ditemukan dalam khasanah Bahasa Indonesia yang baik. Padahal bukan tidak ditemukan, tapi para JPU memang dangkal penguasaan Bahasa Indonesianya dan miskin perbendaharaan kata.

Di REPLIK Nomor 8 ini juga JPU mengakui bahwa PELANGGARAN PROKES sesuai Inpres No 6 Tahun 2020 bahwa sanksinya beruDari sana saya memberi masukan kepada semua pihak, khususnya kepada Wiranto dan BG serta Tito agar waspada adanya Operasi Liar Intelijen Hitam yang tidak suka melihat Dialog dan Rekonsiliasi di antara saya dan Rezim Penguasa.

Sekedar Nasihat untuk JPU yang berakhlak mulia, ketahuilah bahwa buruk sangka itu tidak baik dan bukan bagian dari akhlaq yang mulia, bahkan bisa mengantarkan kepada dosa dan fitnah.

7. Bahwa JPU kembali menyinggung soal OLIGARKI ANTI TUHAN, sehingga tidak perlu saya jawab lagi karena sudah saya paparkan tadi di atas pada nomor 5.

8. Bahwa JPU menolak istilah PIDANAISASI dan menyebutnya tidak ditemukan dalam khasanah Bahasa Indonesia yang baik. Disini JPU tidak benar, karena imbuhan ”isasi” yang merupakan serapan dari bahasa Inggris sudah diakui sebagai imbuhan dalam Bahasa Indonesia, sehingga lahirlah istilah-istilah yang sudah sangat populer penggunaannya dalam Hukum, Politik, Ekonomi, Industri dan lain sebagainya, seperti : Islam-isasi, Kristen-isasi, Nasional-isasi, Demokrat-isasi, Radikal-isasi, Modern-isasi, Organ-isasi, Legal-isasi, Formal-isasi, Zona-isasi, Normal-isasi, Positiv-isasi, General-isasi, Kapital-isasi, Sosial-isasi, Individual-isasi, Kriminal-isasi, dan termasuk Pidana-isasi, dan lain sebagainya.

JPU sendiri menggunakan istilah dengan imbuhan ”isasi” seperti pada REPLIK halaman 22 saat JPU mengutip pernyataan BEM se Bogor Raya dengan kalimat : ”Hentikan Kriminalisasi … dst”. Kata Kriminalisasi dari kata Kriminal yang diberi imbuhan ”isasi”, maknanya sama dengan Pidanaisasi yang kata JPU tidak ditemukan dalam khasanah Bahasa Indonesia yang baik. Padahal bukan tidak ditemukan, tapi para JPU memang dangkal penguasaan Bahasa Indonesianya dan miskin perbendaharaan kata.

Di REPLIK Nomor 8 ini juga JPU mengakui bahwa PELANGGARAN PROKES sesuai Inpres No 6 Tahun 2020 bahwa sanksinya berupa Sanksi Administrasipa Sanksi Administrasi

[17/6 10.20] .: bukan Sanksi Pidana, tapi anehnya JPU tetap ”ngotot” bahwa Kasus RS UMMI adalah Kasus Pidana bukan Kasus Prokes. Padahal Saksi Fakta Walikota Bogor Bima Arya dan Kepala Satpol PP Kota Bogor Agustian Syah di bawah sumpah depan persidangan mengakui bahwa mereka melaporkan RS UMMI terkait urusan Prokes bukan urusan Pidana.

Dan para terdakwa dalam Kasus RS UMMI yaitu saya dan Habib Hanif Alattas serta Dr Andi Tatat pada awal pemeriksaan sebagai SAKSI oleh Penyidik Kepolisian hanya soal PELANGGARAN PROTOKOL KESEHATAN terkait Pasal 14 ayat (1) atau ayat (2) UU No. 4 / Th. 1984. Namun tiba-tiba saat pemeriksaan sebagai TERSANGKA ada PENYELUNDUPAN PASAL PIDANA yaitu Pasal 14 dan atau Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 ttg Peraturan Hukum Pidana terkait dugaan dengan sengaja menyiarkan kebohongan untuk menimbulkan keonaran.

Selanjutnya PASAL SELUNDUPAN inilah yang justru djadikan DAKWAAN KESATU, baik yang Primer mau pun Subsider dan Lebih Subsider. Bahkan akhirnya justru PASAL SELUNDUPAN inilah yang dimasukkan dalam TUNTUTAN JPU yaitu Pasal 14 ayat (1) No 1 Tahun 1946. Ini jelas sekali bahwa PENYELUNDUPAN PASAL PIDANA ke dalam Kasus Protokol Kesehatan adalah merupakan PIDANAISASI atau KRIMINALISASI.

Sekedar Nasihat untuk JPU yang beriman, ketahuilah bahwa pura-pura tidak tahu arti PIDANAISASI, padahal secara pro aktif melakukan perbuatan PIDANAISASI dengan meng-KRIMINALISASI Pasien dan Dokter serta Rumah Sakit, adalah merupakan bentuk KEMUNAFIKAN dan KEFASIKAN.

9. Bahwa JPU saat saya memaparkan soal DISKRIMINASI HUKUM dalam PLEDOI halaman 33 s/d 38 terkait Kasus Protokol Kesehatan dengan menyebut pernyataan Walikota Jakarta Pusat DR Bhayu Meghantara dalam Kasus Petamburan dan pernyataan Kasatpol PP Pemprov Bogor Agus Ridallah dalam

[17/6 10.21] .: Kasus Megamendung, maka JPU membantah dan menyatakan bahwa semua itu tidak ada kaitan dengan pembuktian perkara a quo.

Padahal dalam PLEDOI pada lembaran halaman yang sama saya juga menyebutkan pernyataan Walikota Bogor Bima Arya yang nota bene berkaitan langsung dengan Kasus RS UMMI Kota Bogor, yaitu sbb :

”Serta Wali Kota Bogor DR Bima Arya dalam sidang KASUS TEST SWAB PCR RS UMMI pun memberi kesaksian bahwa di Kota Bogor banyak terjadi PELANGGARAN PROKES tapi tak satu pun yang dipidanakan kecuali KASUS TEST SWAB PCR RS UMMI yang pun melibatkan SAYA. Bahkan juga memberi kesaksian bahwa ia dan Stafnya tidak pernah melaporkan SAYA ke Polisi, melainkan hanya melaporkan RS UMMI.”

Jadi JPU terang-terangan dengan sengaja menyembunyikan pernyataan Walikota Bogor ini karena tidak menguntungkan JPU, sekaligus JPU ingin mengabaikan dan mengenyampingkan Kebenaran Fakta Persidangan yang punya kekuatan sebagai Alat Bukti tersebut.

Sekedar Nasihat untuk JPU yang berwibawa, ketahuilah bahwa menyembunyikan Fakta Kebenaran dengan maksud memberatkan / mencelakakan seseorang adalah perbuatan tidak terpuji dan sekaligus bisa menghilangkan kewibawaan.

10. Bahwa JPU tetap berprinsip bahwa Asas EQUALITY BEFORE THE LAW dalam keadaaan apa pun tidak bisa diterapkan secara rigid atau kaku, sehingga JPU tetap membenarkan sikap DISKRIMINASI dalam Penegakan Hukum, dengan dalih adanya kaidah dan norma hukum yang baku berupa Alasan Pembenar dan Alasan Pemaaf serta Alasan Restorative Justice melalui proses Dialog dan Mediasi.

Saya nyatakan disini : Pantas saja JPU tidak pernah merasa bersalah, bahkan selalu merasa benar dan paling benar saat melakukan DISKRIMINASI HUKUM

[17/6 10.21] .: dengan Kriminalisasi Pasien dan Dokter dalam Kasus Pelanggaran Prokes RS UMMI, sementara Ribuan Kasus Pelanggaran Prokes yang lain cukup didialogkan dan dimediasikan serta dimaafkan dengan Alasan-Alasan tersebut.

Pertanyaannya : Alasan Pembenar dan Alasan Pemaaf yang bagimanakah bagi Presiden dan Menteri serta Gubernur yang berulang kali melakukan Pelanggaran Prokes sehingga tidak diproses HUKUM PIDANA !? Begitu juga Alasan Pembenar dan Alasan Pemaaf yang bagaimanakah bagi para Artis yang juga sudah berulang kali melakukan Pelanggaran Prokes sehingga tidak diproses HUKUM PIDANA !? Begitu pula Alasan Pembenar dan Alasan Pemaaf yang bagimanakah bagi gerai-gerai Mc Donald yang pun sudah berulang kali melakukan Pelanggaran Prokes sehingga tidak diproses HUKUM PIDANA !?

Semuanya cukup dengan dialog dan mediasi serta dimaafkan, sementara bagi RS UMMI yang telah berjasa membantu ribuan pasien Covid, bahkan pemerintah berutang milyaran rupiah kepada RS UMMI selama pandemi, belum lagi ratusan ribu pasien yang dibantu RS UMMI sejak berdiri, hanya karena dianggap melanggar Prokes langsung diproses hukum dan dipidanakan serta diseret ke pengadilan, sehingga Pasien dan Dokter serta Rumah Sakit DIKRIMINALISASI, karena dianggap tidak ada Alasan Pembenar dan Alasan Pemaaf mau pun Alasan Restorative Justice, sehingga tidak perlu lagi ada dialog dan mediasi serta tidak boleh dimaafkan.

Ada hal penting yang harus saya sampaikan disini kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya kepada para Praktisi Hukum, dan teristimewanya kepada JPU, bahwa saat Rapat Komisi 3 DPR RI bersama Jaksa Agung RI ST Burhanuddin pada hari Senin tgl 14 Juni 2020 yang baru lalu, anggota Komisi 3 DPR RI Ahmad Dimyathi dari Fraksi PKS menilai positif adanya peraturan Kejaksaan Agung RI No 15 Tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restorative (Restorative Justice), seharusnya penegakan Keadilan Restorative sebagaimana dalam PERJA tersebut bisa diterapkan dalam Kasus HABIB RIZIEQ, dan

[17/6 10.21] .: bahwasanya penanganan Kasus-Kasus seperti HABIB RIZIEQ ini tidak berlebihan juga.

Sedang anggota Komis 3 DPR RI yang lain Asrul Sani dari Fraksi PPP menyoroti adanya perbedaan penanganan hukum antara orang yang pro pemerintah dengan kalangan yang berseberangan dengan penguasa, sehingga terjadi DISPARITAS dalam Tuntutan Pidana. Asrul Sani mencontohkan perbedaan itu terlihat dalam penanganan perkara HABIB RIZIEQ dan SYAHGANDA NAINGGOLAN, yang keduanya dianggap punya sikap berseberabgan dengan pemerintah, sehingga dituntut penjara 6 tahun, sedangkan dalam kasus yang sama, tapi terdakwa bukan dari kelompok yang berseberangan dengan pemerintah, maka tuntutan hukum tidak seperti itu. Karena itu Asrul Sani mengatakan muncul kesan bahwa Kejaksaan tidak murni lagi menjadi PENEGAK HUKUM, tapi menjadi ALAT KEKUASAAN dalam Penegakan Hukum.

Menjawab itu Jaksa Agung ST Burhanuddin mengakui adanya perbedaan tuntutan hukum dalam penanganan perkara dan menyadari hal itu sebagai suatu kelemahan, dan Jaksa Agung RI juga mengakui belum bisa mengawasi DISPARITAS ini. Karena itu Jaksa Agung RI menugaskan Jampidum Fadil Zumhana untuk menangani DISPARITAS ini.

Sekedar Nasihat untuk JPU yang adil dan beradab, ketahuilah bahwa PRINSIP PENGABAIAN KEADILAN dan PRINSIP PEMBENARAN DISKRIMINASI dengan alasan apa pun adalah KEZALIMAN LUAR BIASA yang merusak prinsip dan norma serta nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab !!!

11. Bahwa JPU menuduh saya hanya menggiring opini untuk menyesatkan terkait pernyataan saya bahwa JPU telah menghina dan meremehkan para Saksi Ahli yang dihadirkan oleh saya dan Penasihat Hukum.

[17/6 10.21] .: Alangkah bagusnya kalau saat ini diputar saja kembali rekaman persidangan saat Saksi Ahli Sosiologi Hukum Prof DR Musni Umar dihina dan direndahkan oleh JPU di depan persidangan ini, sehingga saya dan Para Penasihat Hukum memprotes keras di ruang sidang sehingga ditengahi oleh Majelis Hakim yang mulia, bahkan sampai Saksi Ahli tersebut pun tersinggung hingga membuat pernyataan di ruang sidang ini bahwa dirinya adalah Profesor yang diakui oleh dalam dan luar negeri serta juga sebagai Rektor Perguruan Tinggi.

Alangkah bagusnya kalau saat ini diputar juga rekaman persidangan saat saya dan Penasihat Hukum menghadirkan enam Saksi Ahli sekaligus, yaitu : DR Refly Harun (Ahli Tata Negara), DR Muzakkir (Ahli Hukum Pidana), DR Abdul Choir Ramadahan (Ahli Teori Hukum Pidana), DR Luthfi Hakim (Ahli Hukum Pidana Kesehatan), DR Tonang (Ahli Kesehatan dan Epidemiologi) dan DR Frans (Ahli Linguistik Forensik), ternyata JPU dengan angkuh dan sombong langsung menolak semua Saksi Ahli tersebut tanpa alasan yang logis, kecuali DR Muzakkir (Ahli Hukum Pidana), itu pun JPU ingin seenaknya memaksakan pendapatnya kepada Saksi Ahli tersebut hingga ditegur oleh Majelis Hakim yang mulia, sampai-sampai yang mulia Hakim Ketua berkata kepada JPU : ”Kok begitu saja tidak paham !?”. Bahkan di dalam REPLIK halaman 24 JPU masih saja menghina Saksi Ahi Hukum Pidana DR Muzakkir dengan menyebut bahwa pendapat DR Muzakkir terlalu ”Bombastis”.

Karenanya disini saya nyatakan sekali lagi sebagaimana saya nyatakan dalam Pledoi halaman 39 : ”Tentu merupakan Hak JPU menerima atau menolak pendapat Ahli, tapi bukan Hak Jaksa untuk menghina dan melecehkan Keahlian para Saksi Ahli”. Selain itu kalau pun JPU menolak pendapat Ahli maka tetap harus disampaikan dengan sopan, bukan dengan angkuh dan sombong, merasa paling pintar dan paling benar sendiri. Padahal jangankan berdebat dengan para Ahli yang dihadirkan oleh saya dan Penasihat Hukum yang rata-rata adalah Profesor Doktor berpengalaman, untuk menjawab PLEDOI saya saja yang tidak pernah sekolah hukum, para JPU tidak punya kemampuan.

[17/6 10.22] .: Sekedar Nasihat untuk JPU yang rendah hati, ketahuilah bahwa menolak untuk mendengar Keterangan Saksi Ahli tanpa alasan yang jelas adalah merupakan kesombongan dan keangkuhan serta kecongkakan.

12. Bahwa JPU dalam bentuk pertanyaan menyindir bahwa saya sudah kusut dan rusak otaknya karena saya menjawab DAKWAAN KEDUA yang tidak dibuktikan dan tidak dimasukkan oleh JPU ke dalam Yuridis Surat TUNTUTAN JPU.

Wahai Jaksa yang pintar dan cerdas, ketahuilah bahwa Majelis Hakim yang mulia TIDAK BISA DIDIKTE oleh JPU harus ikut hanya kepada DAKWAAN yang dimasukkan ke dalam TUNTUTAN JPU saja, bahkan Majelis Hakim yang mulia punya HAK MUTLAK untuk mempertimbangkan DAKWAAN lain yang ada dalam Surat DAKWAAN JPU walau pun tidak dimasukkan ke dalam TUNTUTAN JPU.

Buktinya dalam KASUS PETAMBURAN yang sebagian Jaksanya ikut dalam JPU Kasus RS UMMI ini, pihak JPU hanya memasukkan dalam TUNTUTAN-nya DAKWAAN KESATU dan DAKWAAN KELIMA saja, tapi ternyata Majelis Hakim Kasus Petamburan justru memutuskan dengan DAKWAAN KETIGA yang tidak dibuktikan dan tidak dimasukkan oleh JPU ke dalam Yuridis Surat TUNTUTAN JPU.

Itulah sebabnya dalam PLEDOI saya tetap membahas dan membantah semua DAKWAAN JPU, baik yang dimasukkan ke dalam TUNTUTAN JPU mau pun tidak, agar nantinya bisa menjadi pertimbangan bagi Majelis Hakim yang mulia manakala melihat dan mempertimbangkan DAKWAAN yang lainnya.

Jadi, JPU jangan sok mengatur Majelis Hakim yang mulia, harus ambil DAKWAAN ini dan tidak boleh ambil DAKWAAN itu, karena Majelis Hakim yang mulia BEBAS mau ambil DAKWAAN yang mana saja, bahkan BEBAS untuk menolak semua DAKWAAN serta BEBAS juga untuk membebaskan TERDAKWA dari segala DAKWAAN dan TUNTUTAN.

[17/6 10.22] .: Sekedar Nasihat untuk JPU yang berpendidikan tinggi dan berpengalaman, ketahuilah soal sepele sepeti ini saya saja yang tidak sekolah hukum tahu dan paham, sehingga JPU yang sekolah hukumnya sampai tinggi dan sudah berpengalaman sidang ratusan kasus bahkan mungkin ribuan kasus, mana munglin tidak tahu dan tidak paham, kecuali kalau sedang error.

Dengan demikian saya balik bertanya, sebenarnya yang rusak dan kusut otaknya itu siapa, saya atau JPU !?

13. Bahwa JPU menuding bahwa ”Kisah Ayah, Anak dan Dokter” yang saya sampaikan di persidangan adalah bentuk meminta pendapat kepada Saksi Fakta. Disini saya jawab bahwa justru JPU lah yang memulai dahulu membawakan cerita penggiringan opini tentang jika ada seseorang yang diperiksa Antigen hasilnya reaktif, lalu saat ditanya ia menjawab ”baik-baik saja”. Lalu para Saksi Fakta mau pun Ahli ditanya apakah orang tersebut berbohong !? Kemudian para Saksi digiring untuk menjawab dengan satu kata : ”Ya”, sehingga jawaban para saksi tersebut pun dijadikan sebagai Fakta Persidangan oleh JPU.

Selain itu hampir semua SAKSI FAKTA KASUS RS UMMI saat pembuatan BAP ditunjukkan oleh Penyidik Kepolisian beberapa Rekaman Video ttg saya dan Habib Hanif Alattas serta Dr Andi Tatat yang menyatakan bahwa saya ”baik-baik saja”, lalu ditunjukkan Rekam Medis saya untuk dibandingkan, kemudian diminta PENDAPAT SAKSI FAKTA sambil digiring oleh Penyidik untuk menyatakan bahwa saya dan Habib Hanif Alattas serta Dr Andi Tatat telah BERBOHONG.

Dan Semua SAKSI AHLI yang dihadirkan JPU saat pembuatan BAP oleh Penyidik Kepolisian ada yang diceritakan FAKTA KASUS, bahkan ada yang ditunjukkan FAKTA KASUS berupa beberapa Rekaman Video ttg saya dan Habib Hanif Alattas serta Dr Andi Tatat yang menyatakan bahwa saya ”baik-baik saja”, lalu ditunjukkan berbagai Dokumen dan Rekam Medis saya untuk dibandingkan,

[17/6 10.22] .: kemudian diminta PENDAPAT SAKSI terhadap FAKTA KASUS sambil digiring Penyidik untuk menyatakan bahwa saya dan Habib Hanif Alattas serta Dr Andi Tatat telah BERBOHONG.

Itulah sebabnya, dalam rangka mengcounter MANUVER JAHAT Penyidik Kepolisian dan JPU yang tidak jujur dan amanah tersebut, sekaligus untuk meluruskan Sikap Saksi Fakta mau pun Pendapat Saksi Ahli yang terlanjur disesatkan oleh Penyidik dan JPU, maka saya membawakan sebuah cerita pengandaian tentang ”Kisah Ayah, Anak dan Dokter” sebagai gambaran tentang FAKTA KASUS RS UMMI. Dan setelah mendengar kisah terebut, maka semua SAKSI baik SAKSI FAKTA mau pun SAKSI AHLI sepakat bahwa baik Si Ayah mau pun Si Anak dan Si Dokter tidak boleh disebut BERBOHONG apalagi disebut mau berbuat KEONARAN, karena mereka menjawab sesuai FAKTA KONDISI saat ditanya, dan motifnya pun dengan niat dan maksud serta tujuan untuk meredam HOAX dan FITNAH yang meresahkan Kerabat dan Sahabat.

Dalam nomor ini juga JPU berbohong bahwa yang menanyakan PENDAPAT kepada Saksi Fakta dan menanyakan FAKTA KASUS kepada Saksi Ahli adalah PENYIDIK saat pembuatan BAP, bukan dilakukan JPU saat persidangan.

FAKTANYA : Silakan diputar saja rekaman persidangan ini, kita akan saksikan kembali bahwa sudah tidak terhitung banyaknya JPU menanyakan PENDAPAT kepada Saksi Fakta dan menanyakan FAKTA KASUS kepada Saksi Ahli, sehingga sering diprotes keras oleh saya mau pun Penasihat Hukum, dan tidak jarang terjadi perdebatan dan kegaduhan dalam ruang sidang, sampai ditegur oleh Majelis Hakim.

Bahkan dalam REPLIK JPU terhadap PLEDOI Habib Hanif Alattas pada Nomor 5 di halaman 20 JPU tertangkap basah dan mengaku sendiri telah menanyakan PENDAPAT SAKSI FAKTA tentang Isi Video yang dibandingkan dengan Rekam Medik, yaitu sbb :

[17/6 10.23] .: ”Bahwa untuk menegaskan hal tersebut, dalam persidangan Jaksa Penuntut Umum pernah menanyakan Saksi Dr Bima Arya tentang Video yang diperlihatkan dibandingkan dengan rekam medik dari Saksi Moh Rizieq, Saksi Bima Arya tetap menyatakan bahwa penyataan Saksi Moh Rizieq dalam video tersebut adalah BOHONG.”

Uniknya, di halaman yang sama saat JPU membantah Habib Hanif Alattas tentang Saksi Fakta yang tidak boleh ditanya PENDAPAT dan ASUMSI, JPU ”ngotot” bahwa menanyakan PENDAPAT dan ASUMSI kepada SAKSI FAKTA dalam persidangan dibolehkan dengan berdalihkan KUHAP, yaitu sbb :

”Bahwa dalil Terdakwa itu adalah keliru dan ngawur, karena keterangan para saksi tersebut merupakan yang diucapkan di persidangan sebagaimana ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP.”

Sekedar Nasihat untuk JPU yang pandai lagi pintar, ketahuilah bahwa membenarkan tindakan menanyakan PENDAPAT dan ASUMSI kepada SAKSI FAKTA dalam persidangan dengan berdalihkan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, adalah mempertontonkan Kedunguan di atas Kedunguan.

14. Bahwa JPU tidak mau menanggapi FAKTA PERSIDANGAN yang saya tuangkan dalam PLEDOI dari halaman 47 s/d 88. Saya maklumi JPU tidak mau menanggapinya karena sepengetahuan saya bahwa JPU punya Fakta Persidangan versinya sendiri yang dikurangkan disana dan ditambahkan disini. Lagi pula saya senang karena mengurangi beban saya untuk menjawabnya satu per satu. Terima Kasih untuk JPU.

15. Bahwa JPU memvonis saya berbohong telah melakukan ISOLASI MANDIRI di rumah karena tidak ada bukti mau pun dokumentasi. Kemudian JPU menambahkan akibat pulang dari RS UMMI telah membuat keresahan di lingkungan sekitarnya.

[17/6 10.23] .: Padahal di depan persidangan telah berulang kali para Saksi dari Tim Mer-C dan juga Saksi Mahkota Habib Hanif Alattas memberi keterangan dan membenarkan bahwa saya sepulang dari RS UMMI melaksanakan ISOLASI MANDIRI di rumah di bawah pengawasan Tim Mer-C, bahkan itu menjadi saah satu syarat saya diizinkan pulang dari RS UMMI sebelum keluar Hasil Test PCR sebagaimana diakui oleh Saksi Dr Hadiki dan Saksi Dr Nerina.

Dan saya sepulang dari RS UMMI membawa banyak obat dan didampingi Tim Mer-C yang terdiri dari para Dokter berpengalaman, serta langsung ISOLASI MANDIRI dalam rumah di bawah pengawasan Tim Mer-C tanpa melakukan kontak dengan siapa pun.

Jadi, Keterangan Saksi di bawah sumpah depan persidangan tidak lagi dianggap sebagai Alat Bukti oleh JPU.

Dan soal kepulangan saya dari RS UMMI telah menimbulkan keresahan di sekitar lingkungan tempat tinggal saya hanya karangan bebas JPU, karena tidak ada satu pun saksi dari warga sekitar yang dihadirkan di persidangan, sehingga darimana JPU tahu tentang keresahan mereka !?

Sekedar Nasihat untuk JPU yang terhormat, ketahuilah bahwa sungguh seseorang itu sangat tidak terhormat jika ngarang-ngarang cerita untuk memfitnah orang lain berbohong, padahal dirinya sendiri yang berbohong.

16. Bahwa JPU tetap ngotot dan kekeh serta keras kepala bahwa saya ke RS UMMI hanya karena Hasil Pemeriksaan Rapid Testnya Reaktif, bukan untuk General Medical Check Up, dengan alasan karena usai Rapid Test langsung disarankan ke RS oleh Dr Hadiki. Dan lagi-lagi JPU menuduh saya berbohong ke RS UMMI untuk General Medical Check Up.

Padahal sudah dijelaskan berulang-kali oleh saya mau pun para saksi dari RS UMMI dan Tim Mer-C di depan persidangan bahwa saya ke RS UMMI untuk General

[17/6 10.23] .: Medical Check Up, sekaligus menindak-lanjuti Hasil Rapid Tes Antigen yang reaktif, agar dari hasil General Medical Check Up bisa diketahui kondisi saya secara komprehensif, tidak hanya sebatas menindak-lanjuti Hasil Rapid Tes Antigen saja.

Dan FAKTANYA memang demikian, saya mengikuti pemeriksan Darah di Laboratorium, dan pemeriksaan Radiologi serta City Scan Thorax, juga EKG dan lainnya, sehingga saya mendapat Informasi lengkap tentang kondisi Jantung dan Paru-Paru serta Organ Tubuh lainnya, dan juga Kondisi Gula Darah dan Garam Darah, juga Cholesterol dan Limfosit serta lainnya.

Jadi, pemeriksaan saya di RS UMMI tidak semata-mata hanya untuk memastikan ada Covid atau tidak, tapi juga untuk menelusuri kemungkinan adanya penyakit lain seperti : Diabetes Melitus atau Tekanan Darah Tinggi atau Cholesterol yang tidak stabil atau Kekentalan Darah yang tidak normal, dan lain-lain.

JPU tetap ngotot dan kekeh serta keras kepala bahwa saya ke RS UMMI hanya untuk menindak-lanjuti hasil Rapid Test saja, tidak untuk yang lain. Ngototnya JPU ini hanya untuk menuduh saya berbohong, agar supaya memenuhi unsur KEBOHONGAN dalam DAKWAAN KESATU PRIMER terkait Pasal 14 ayat (1) UU No 1 Tahun 1946.

Namun lucunya ngototnya JPU tersebut tanpa didukung dengan Fakta Persidangan, karena tidak ada satu pun Saksi Fakta baik dari RS UMMI mau pun Tim Mer-C yang menyatakan bahwa saya ke RS UMMI hanya untuk menindak-lanjuti hasil Rapid Test saja.

Sekedar Nasihat untuk JPU yang sangat fair, ketahuilah bahwa sesungguhnya sikap ”ngotot” tanpa didukung dengan Fakta Persidangan adalah merupakan sikap yang tidak fair, bahkan merupakan sikap buruk dan jelek.

[17/6 10.23] .: Akhirnya saya balik bertanya : Sebenarnya siapa yang berbohong dalam persoalan tersebut : saya atau JPU !?

17. Bahwa JPU kembali menyerang saya karena saya menjawab DAKWAAN KETIGA yang tidak dibuktikan dan tidak dimasukkan oleh JPU ke dalam Yuridis Surat TUNTUTAN JPU. Jawaban saya sama dengan jawaban di Nomor 12.

18. Bahwa JPU tetap ngotot dan kekeh serta keras kepala menyatakan bahwa sejak awal masuk RS UMMI saya sudah mengetahui KONFIRM COVID, dengan dalih bahwa Dr Nerina dari RS UMMI atas info Dr Hadiki dari Tim Mer-C saat menerima operan pasien menulis dalam Diagnosa Awalnya bahwa saya sebagai pasien Konfirm Covid.

Padahal sesuai Keputusan Menteri Kesehatan RI No HK.01.07/Menkes/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) pada Bab III huruf B poin 3 halaman 32 menyatakan bahwa :

”Kasus Konfirmasi, Seseorang yang dinyatakan positif virus covid-19 yang dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium RT-PCR.”

Dan dalam persidangan sudah terungkap FAKTA KEBENARAN bahwa Dr Hadiki di bawah sumpah depan persidangan dengan sangat jujur mengakui ada kesalahan informasi yang disampaikan ke Dr Nerina, karena saya sebagai pasien belum Test Swab PCR, sehingga mestinya dilaporkan Suspect bukan Konfirm. Dan Dr Nerina juga mengakui di bawah sumpah depan persidangan bahwa kalau belum ada Hasil Test PCR mestinya ditulis Suspect bukan Konfirm.

Dan Para Saksi Ahli pun seperti DR TONANG (Ahli Kesehatan dan Epidemiologi) dan DR M NASSER (Ahli Hukum Kesehatan) serta DR LUTHFI HAKIM (Ahi Medco Legal & Hukum Pidana Kesehatan), semuanya sepakat mengakui di bawah sumpah

[17/6 10.24] .: depan persidangan bahwa sebelum ada Hasil Test PCR tidak boleh pasien ditulis Konfirm Covid dalam Diagnosa atau Rekam Medisnya.

Begitu juga Saksi Fakta dari RS UMMI seperti Dr Najamudin (Direktur Umum RS UMMI) dan Veni / Fenny Mayasafa (Petugas Rekam Medis RS UMMI), termasuk Saksi Fakta dari Tim Mer-C seperti Dr. Sarbini (Ketua Presidium Mer-C) dan Dr. Tonggo Mea (Relawan Mer-C), juga Saksi Fakta dari Laboratorium RSCM Dr. Nuri dan Saksi Mahkota Dr Andi Tatat (Dirut RS UMMI), termasuk para Saksi Fakta dari Satgas Covid Kota Bogor seperti Dr. Sri Nowo Retno (Kadinkes Kota Bogor) dan Johan Musali (Anggota Satgas Covid Kota Bogor) serta Ferro Sopacua (Anggota Satgas Covid Kota Bogor), semuanya sepakat mengakui di bawah sumpah depan persidangan bahwa sebelum ada Hasil Test PCR tidak boleh pasien dinyatakan Konfirm Covid / Positif Covid / Terpapar Covid / Menderita Covid.

Namun demikian, JPU tidak peduli dengan KEMENKES RI dan FAKTA KEBENARAN yang terungkap di persidangan, sehingga JPU tetap ngotot dan kekeh serta keras kepala bahwa sejak awal masuk RS UMMI saya sudah mengetahui KONFIRM COVID karena sudah dinyatakan KONFIRM COVID. Ngototnya JPU ini hanya untuk menuduh saya berbohong sebagaimana di nomor 16 tadi, agar supaya memenuhi unsur KEBOHONGAN dalam DAKWAAN KESATU PRIMER terkait Pasal 14 ayat (1) UU No 1 Tahun 1946.

Sekedar Nasihat untuk JPU yang baik hati, bahwa sesungguhnya sikap ”ngotot” menolak dan melawan Fakta Persidangan adalah merupakan sikap yang tidak baik, bahkan merupakan sikap angkuh dan sombong serta congkak dan takabbur yang bisa mengantarkan ke Neraka Jahannam.

Na’uudzu Billaahi Min Dzaalik …

19. Bahwa JPU menyerang saya tidak berakal dan kurang dewasa karena tidak memahami bahwa orang yang dirawat di RS Rujukan Covid dan perawatnya saat

[17/6 10.24] .: melayaninya menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) maka sudah pasti orang tersebut TERPAPAR COVID.

FAKTANYA : RS Rujukan Covid seperti RS UMMI adalah bukan RS Khusus Covid, sehingga pasien-pasien selain Covid tetap dilayani. Dan siapa saja pasien di Rumah Sakit Rujukan Covid yang Suspect atau Probable atau Konfirm / Positif Covid saat diperiksa maka Dokter atau Perawat yang memeriksa diwajibkan mengenakan pakaian APD. Bahkan orang sehat sekali pun saat diperiksa Swab Antigen mau pun Swab PCR maka pemeriksanya wajib mengenakan pakaian APD.

Jadi, penanganan pasien Suspect atau Probable atau Konfirm / Positif Covid secara umum mempunyai prosedur standar yang hampir sama, seperti sama-sama ada kewajiban memakai APD bagi Dokter dan Perawat, dan sama-sama pasiennya harus ditest Swab PCR, dsb.

Dengan demikian jelas bahwa pasien yang berada di RS Rujukan Covid dan dilayani oleh Dokter dan Perawat dengan memakai APD belum tentu si pasien sudah Konfirm Covid / Positif Covid / Terpapar Covid / Menderita Covid.

Sekedar Nasihat untuk JPU yang sangat santun, ketahuilah bahwa sesungguhnya seseorang yang ”ngotot” menuding orang lain tidak berakal dan kurang dewasa, padahal dia sendiri yang tidak paham masalah, maka sungguh sangat tidak santun, bahkan sangat memalukan.

Nah, kalau begitu saya balik bertanya, yang tidak berakal dan kurang dewasa itu sebenarnya siapa : saya atau JPU !?

20. Bahwa JPU tetap ngotot dan kekeh serta keras kepala menyatakan bahwa Video Wawancara Kalrifikasi Dr Andi Tatat dan Rekaman Klarifikasi Habib Hanif Alattas sebagai penyebab semakin banyaknya Video Hoax yang beredar, dengan mengutip pernyataan Habib Hanif Alattas yang berbunyi antara lain : ”… setelah saya

[17/6 10.24] .: membuat pernyataan pun tetap masih ada, BAHKAN LEBIH PARAH, mengatakan Habib sudah sekarat …”, anak kalimat ”BAHKAN LEBIH PARAH” oleh JPU dibesarkan dan ditebalkan, serta ditafsirkan oleh JPU secara sepihak dan sesukanya bahwa maksud LEBIH PARAH adalah semakin banyak video hoax yang beredar.

Padahal dalam pernyataan Habib Hanif Alattas tersebut setelah anak kalimat ”BAHKAN LEBIH PARAH” ada kalimat lanjutannya yaitu ”mengatakan Habib sudah sekarat”. Jadi jelas bahwa maksud LEBIH PARAH dalam pernyataan tersebut bukan lebih parah dalam hal jumlah Hoax yang beredar seperti Tafsir suka-suka JPU, tapi maksud LEBIH PARAH adalah lebih parah dalam hal isi hoaxnya, yang semula berita hoaxnya baru sekedar ”Habib sakit covid”, kemudian meningkat jadi ”Habib parah”, lalu memuncak jadi ”Habib sudah sekarat”.

Ngototnya JPU disini sampai nekat buat Tafsir sepihak untuk pernyataan Habib Hanif Alattas, bukan tanpa maksud, tapi ditujukan agar jadi BUKTI bahwa pernyataan Habib Hanif Alattas dan Dr Andi Tatat, bahkan termasuk Testimoni saya adalah penyebab kegaduhan di Medsos, sehingga ada pro kontra dan masyarakat resah, yang kemudian ditafsirkan oleh JPU sebagai KEONARAN. Dengan demikian tujuan JPU agar unsur KEONARAN dalam DAKWAAN KESATU PRIMER terkait Pasal 14 ayat (1) UU No 1 Tahun 1946 bisa terpenuhi.

Sekedar Nasihat untuk JPU yang sangat sopan, ketahuilah bahwa sesungguhnya seseorang yang ”ngotot” menafsirkan pernyataan orang lain bertentangan dengan maksud dari orang yang menyatakannya, sungguh sangat tidak sopan, bahkan tidak bermoral.

21. Bahwa JPU lagi-lagi tetap ngotot dan kekeh serta keras kepala menyatakan bahwa Kiriman Karangan Bunga ke RS UMMI sebagai akibat saya dirawat dan akibat dari Wawancara Klarifikasi Dr Andi Tatat, dengan Kronologis versi JPU sbb : Tgl 26 November 2020 jam 13.00 WIB Wawancara Dr Andi Tatat, lalu tgl 27 November

[17/6 10.24] .: 2020 pagi RS UMMI banjir Karangan Bunga, kemudian malamnya Bima Arya baru datang ke RS UMMI. Lalu JPU menyimpulkan bahwa Karangan Bunga datang setelah Wawancara Kalrifikasi Dr Andi Tatat dan Rekaman Video Klarifikasi Habib Hanif, bahkan seolah setelah Testimoni saya, sehingga semua rekaman tersebut telah menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat, sehingga mengakibatkan datangnya Kiriman Bunga dari yang pro dan kontra.

Ngototnya JPU disini sampai nekat buat Kronologis karangan sendiri, dimaksudkan agar bisa jadi BUKTI bahwa Wawancara Dr Andi Tatat adalah penyebab kegaduhan Karangan Bunga dari yang pro dan kontra, sehingga masyarakat resah, yang kemudian ditafsirkan oleh JPU sebagai KEONARAN. Dengan demikian tujuan JPU agar unsur KEONARAN dalam DAKWAAN KESATU PRIMER terkait Pasal 14 ayat (1) UU No 1 Tahun 1946 bisa terpenuhi.

Padahal Kronologis Lengkap sudah terungkap di persidangan melalui Keterangan Terdakwa dan para Saksi Fakta dari RS UMMI mau pun dari Tim Mer-C serta dari Saksi Mahkota. Silakan putar saja kembali semua rekaman kesaksian dalam persidangan ini, yaitu sbb :

a. Hari Senin tgl 23 November 2020 sore saya diperiksa Test Antigen di rumah.

b. Hari Selasa tgl 24 November 2020 malam saya masuk dirawat di RS UMMI.

c. Hari Rabu tgl 25 November 2020 pagi banjir Karangan Bunga di RS UMMI akibat berita Hoax bahwa saya kritis di RS UMMI.

d. Hari Kamis 26 November 2020 sore jam 17.00 WIB Dr Andi Tatat Wawancara Klarifikasi untuk meredam Berita Hoax tentang saya kritis.

e. Hari Kamis 26 November 2020 malam Walikota Bogor mendatangi RS UMMI dan koar-koar di Televisi.

f. Hari Jum’at 27 November 2020 pagi dini hari Habib Hanif buat Rekaman Video Klarifikasi untuk meredam Berita Hoax tentang saya kritis.

g. Hari Jum’at 27 November 2020 siang saya ditest Swab PCR.

[17/6 10.25] .: h. Hari Jum’at 27 November 2020 malam Walikota Bogor kembali mendatangi RS UMMI.

i. Hari Sabtu 28 November 2020 pagi dini hari Kasatpol PP Kota Bogor melaporkan RS UMMI ke Polisi atas perintah Walkot Bogor Bima Arya.

j. Hari Sabtu 28 November 2020 malam saya izin pulang dari RS UMMI.

k. Hari Ahad 29 November 2020 saya sudah ISOLASI MANDIRI di rumah.

l. Hari Senin 30 November 2020 saya mendapat hasil Test Swab PCR yaitu Positif Covid.

Akal Sehat akan berkata : Bagaimana bisa OPERASI KARANGAN BUNGA yang dikirim SEBELUM ada Rekaman Wawancara Dr ANDI TATAT dan Rekaman Video Klarifikasi HABIB HANIF serta Rekaman Video Testimoni SAYA bisa disebut sebagai KERESAHAN dan KEONARAN akibat dari Wawancara dan Klarifikasi serta Testimoni !?

Hanya ORANG TIDAK WARAS saja yang menjadikan AKIBAT lebih dulu dari SEBAB !!!

Sekedar Nasihat untuk JPU yang berakal, ketahuilah bahwa Akal tanpa Iman akan berpikir liar dan akan terus mengikuti Hawa Nafsu, sehingga cara berpikirnya akan tidak waras.

Na’uudzu Billaahi Min Dzaalik …

22. Bahwa JPU lagi-lagi tetap ngotot dan kekeh serta keras kepala menyatakan bahwa SATGAS COVID berhak mendatangi semua Rumah Sakit untuk meminta Rekam Medis para Pasien atau melaksanakan Test PCR terhadap para Pasien, dengan dalih Surat Keputusan Walikota Bogor Nomor : 900.45-201 Tahun 2020 yang merupakan turunan dan amanat dari UU No 4 Tahun 1984 ttg Wabah Penyakit Menular, UU No 24 tahun 2007 ttg Penanggulangan Bencana, UU N0 36 tahun 2009 ttg Kesehatan, Perpres No 17 Tahun 2018 ttg Penyelengaraan Kedaruratan

[17/6 10.25] .: Bencana pada Kondisi Tertentu, Keppres No 7 Tahun 2020 ttg Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 jo Keppres No 9 Tahun 2020 ttg Perubahan atas Keppres No 7 Tahun 2020.

Namun ternyata Surat Keputusan Walikota Bogor berikut semua UU yang disebutkan JPU tak satu pun menyebutkan bahwa SATGAS COVID berhak mendatangi semua Rumah Sakit untuk meminta Rekam Medis para Pasien atau melaksanakan Test PCR terhadap para Pasien.

Padahal di depan persidangan telah dinyatakan oleh para Saksi Ahli Hukum Kesehatan DR M Nasser, dan Saksi Ahli Kesehatan dan Epidemiologi DR Tonang, serta Saksi Ahli Medco Legal dan Hukum Pidana Kesehatan DR Luthfi Hakim : ”Bahwa SATGAS COVID adalah badan Ad-Hoc yang tupoksinya terkait KEBIJAKAN STRATEGIS, sehingga secara teknis tidak berhak mengambil Rekam Medis Pasien atau melakukan Test Swab Antigen mau pun Test Swab PCR.”

Jadi, lagi-lagi Keterangan Saksi Ahli di bawah sumpah depan persidangan tidak lagi dianggap sebagai Alat Bukti oleh JPU.

Sekedar Nasihat untuk JPU yang berilmu, ketahuilah bahwa ilmu harus digunakan sebagaimana mestinya untyuk meluruskan yang bengkok bukan membenkokkan yang lurus. Jangan gunakan ilmu untuk menipu atau memanipulasi atau untuk menzalimi orang lain.

23. Bahwa JPU lagi-lagi tetap ngotot dan kekeh serta keras kepala menyatakan bahwa saya pulang dari RS UMMI TANPA IZIN Dr Nerina selaku Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP).

Padahal dalam persidangan ini pihak RS UMMI telah secara tegas dan jelas menyatakan bahwa saya masuk dan keluar RS UMMI secara baik-baik dengan IZIN

[17/6 10.25] .: RESMI RS UMMI, sebagaimana disampaikan di depan persidangan oleh Direktur Utama RS UMMI Dr Andi Tatat dan Direktur Umum RS UMMI Dr Najamudin.

Kalau saya sebut IZIN DARI RS UMMI tentu artinya dari pihak Menejmen RS UMMI yang berwenang sesuai persyaratan yang ditetapkan pihak RS UMMI seperti harus ada izin DPJP, dan harus ada pelunasan biaya, serta harus menanda-tangani semua dokumen sebagaimana mestinya, dll.

Dan memang semula DPJP yang merawat saya yaitu Dr Nerina keberatan saya pulang, karena masih harus menuntaskan perawatan dan pengobatan, namun akhirnya beliau setuju dengan syarat perawatan dan pengobatan tetap dilanjutkan dengan ISOLASI MANDIRI DI RUMAH di bawah pengawasan Tim Dokter dari Mer-C. Silakan putar kembali rekaman keterangannya di ruang sidang ini.

Jadi soal IZIN DARI RS UMMI tidak perlu lagi dijelaskan oleh JPU secara LUCU tapi TIDAK LUCU, yaitu dengan menafsirkan bahwa IZIN RS UMMI adalah Izin DPJP, karena RS UMMI bukanlah sesosok manusia yang mempunyai mulut dan lidah sehingga bisa mengatakan mengizinkan atau tidak mengizinkan.

Dengan demikian jelas bahwa Izin RS UMMI bukan hanya izin DPJP, tapi juga ada persyaratan lain yang harus dipenuhi.

Ngototnya JPU disini bahwa saya pulang dari RS UMMI, ada maksud jahat, yaitu untuk membentuk OPINI PERSIDANGAN bahwa saya LARI DARI RS UMMI dalam kondisi POSITIF COVID, sehingga meresahkan masyarakat, yang kemudian ditafsirkan oleh JPU sebagai KEONARAN. Dengan demikian tujuan JPU agar unsur KEONARAN dalam DAKWAAN KESATU PRIMER terkait Pasal 14 ayat (1) UU No 1 Tahun 1946 bisa terpenuhi.

Sekedar Nasihat untuk JPU yang berakal sehat, ketahuilah bahwa AKAL SEHAT adalah akal yang digunakan untuk berpikir secara benar sebagai tanda rasa syukur

[17/6 10.25] .: kepada Allah SWT yang telah menganugerahkan Akal tersebut. Namun jika Akal digunakan untuk berpikir LICIK dan JAHAT guna mencelakakan orang lain yang tidak bersalah, maka itu AKAL SAKIT, dan niscaya akan membinasakan pemiliknya.

24. Bahwa JPU kembali menyerang saya karena saya menjawab DAKWAAN KETIGA yang tidak dibuktikan dan tidak dimasukkan oleh JPU ke dalam Yuridis Surat TUNTUTAN JPU. Jawaban saya sama dengan jawaban di Nomor 12.

25. Bahwa JPU menyalahkan pulangnya saya dari RS UMMI sebelum ada Hasil Test Swab PCR, karena bisa membahayakan bagi orang yang berada di sekitar saya.

Padahal saya sepulang dari RS UMMI membawa banyak obat dan didampingi Tim Mer-C yang terdiri dari para Dokter berpengalaman, serta langsung ISOLASI MANDIRI dalam rumah di bawah pengawasan Tim Mer-C tanpa melakukan kontak dengan SIAPA PUN, sebagaimana telah saya paparkan pada nomor 15.

26. Bahwa JPU kembali menyerang saya karena saya menjawab DAKWAAN KEDUA yang tidak dibuktikan dan tidak dimasukkan oleh JPU ke dalam Yuridis Surat TUNTUTAN JPU. Jawaban saya sama dengan jawaban di Nomor 12.

27. Bahwa JPU lagi-lagi tetap ngotot dan kekeh serta keras kepala menyatakan bahwa BEM se-Bogor Raya melakukan Aksi Demo di Kota Bogor terkait Perawatan saya di RS UMMI, sehingga menjadi bukti adanya pro kontra yang diartikan oleh JPU sebagai KEONARAN.

Padahal Saksi M Aditya (Ketua BEM se-Bogor Raya) dan saksi M Aslam (Anggota BEM se-Bogor Raya) di depan persidangan telah mencabut semua keterangannya di BAP dan menyatakan di hadapan Majelis Hakim yang mulia :

a. Bahwa benar BEM se-Bogor Raya sama sekali tidak melakukan Demo berkaitan dengan urusan HABIB RIZIEQ.

[17/6 10.25] .: b. Bahwa benar Surat Pernyataan BEM se-Bogor Raya yang ditunjukkan JPU yang di antara isinya ada keterkaitan dengan urusan HABIB RIZIEQ hanya baru berupa DRAFT.

c. Bahwa benar Surat Pernyataan BEM se-Bogor Raya yang resmi hanya berisi tiga poin dan satu pun tekait dengan urusan HABIB RIZIEQ.

Ngototnya JPU disini bahwa BEM se-Bogor Raya melakukan Aksi Demo di Kota Bogor terkait Perawatan saya di RS UMMI, dimaksudkan agar jadi BUKTI adanya keresahan masyarakat, yang kemudian ditafsirkan oleh JPU sebagai KEONARAN. Dengan demikian tujuan JPU agar unsur KEONARAN dalam DAKWAAN KESATU PRIMER terkait Pasal 14 ayat (1) UU No 1 Tahun 1946 bisa terpenuhi.

Sekedar Nasihat untuk JPU yang penuh tanggung-jawab, ketahuilah bahwa termasuk tanggung-jawab kita semua dalam persidangan ini adalah menjaga persidangan dari intrik-intrik jahat yang memutar balikkan Fakta Persidangan hanya untuk menjerat Terdakwa. Intrik semacam itu sangat kotor dan menjijikkan.

28. Bahwa JPU lagi-lagi tetap ngotot dan kekeh serta keras kepala menyatakan bahwa FMPB (Forum Massyarakat Padjadjaran Beratu) melakukan Aksi Demo di depan Perumahan Mutiara sentul terkait Perawatan saya di RS UMMI, sehingga menjadi bukti adanya pro kontra yang diartikan oleh JPU sebagai KEONARAN.

Padahal sesuai Pengakuan Pengurus FMPB Saksi Ahmad Suhadi dan Saksi Ikha Nurhakim di depan persidangan dan dibenarkan oleh JPU sendiri dalam TUNTUTAN JPU sendiri halaman 154 bahwa FMPB melakukan Aksi Demo karena BERITA HOAX yang sebut HABIB RIZIEQ LARI DARI RS UMMI, bukan karena Rekaman Wawancara dan Klarifikasi serta Testimoni yang sebut SAYA ”Baik-Baik saja”.

Lagi-lagi Ngototnya JPU disini bahwa FMPB melakukan Aksi Demo di depan Perumahan Mutiara sentul terkait Perawatan saya di RS UMMI, sehingga menjadi bukti adanya pro kontra di tengah masyarakat, dimaksudkan agar jadi BUKTI adanya

[17/6 10.26] .: keresahan masyarakat, yang kemudian ditafsirkan oleh JPU sebagai KEONARAN. Dengan demikian tujuan JPU agar unsur KEONARAN dalam DAKWAAN KESATU PRIMER terkait Pasal 14 ayat (1) UU No 1 Tahun 1946 bisa terpenuhi.

Sekedar Nasihat untuk JPU yang rajin dan tekun, ketahuilah bahwa kerajinan dan ketekunan dalam kebaikan akan membawa keberkahan, akan tetapi kerajinan dan ketekunan dalam membuat intrik-intrik jahat yang memutar balikkan Fakta Persidangan hanya untuk menjerat Terdakwa akan membawa malapetaka.

29. Bahwa JPU lagi-lagi tetap ngotot dan kekeh serta keras kepala dalam mengartikan KEONARAN menurut tafsirnya sendiri, tanpa mempedulikan MAKNA BAHASA yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mau pun TAFSIR OTENTIK yang termaktub dalam penjelasan Pasal 14 ayat 1 UU No 1 Tahun 1946, sambil menghina Saksi Ahli Hukum Pidana Dr Muzakkir dengan menyebut pendapatanya ”terlalu bombastis”.

Padahal makna ONAR dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai Rujukan Resmi Bahasa Indonesia adalah Huru Hara, Gempar, Keributan dan Kegaduhan. Sedang KEONARAN artinya lebih khusus lagi yaitu Kegemparan, Kerusuhan dan Keributan.

Dan TAFSIR OTENTIK KEONARAN sebagaimana termaktub dalam Penjelasan Pasal 14 ayat (1) UU No 1 Tahun 1946 menyatakan : ”Keonaran adalah lebih hebat dari pada kegelisahan dan menggoncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya. KEKACAUAN meuat juga KEONARAN.”

Saksi Ahli Teori Hukum Pidana DR Abdul Choir Ramadhan menyatakan di persidangan dan dituangkan dalam Pendapat Hukumnya halaman 76 sbb :

”Dengan adanya PENAFSIRAN OTENTIK ini, maka tidak dapat ditafsirkan llain selain dari penafsiran yang diberikan oleh pembentuk undang-undang.”

[17/6 10.26] .: Itulah sebabnya Saksi Ahli Hukum Pidana DR Muzakkir di depan persidangan dan juga dituangkan dalam Pendapat Hukumnya halaman 28 manyatakan :

”Dengan demikian, demonstrasi, konprensi pers, dan cuitan-cuitan / tweet pro dan kontra di media sosial tidak dapat dikualifikasi sebagai bentuk KEONARAN di kalangan rakyat.”

Jika pro kontra diartikan KEONARAN sebagaiama Tafsir Aneh JPU, maka berarti pro kontra suami istri dalam rasa masakan di rumah juga KEONARAN, dan pro kontra anggota DPR RI setiap hari di Gedung Parlemen pun KEONARAN, serta pro kontra pendapat Netizen di MEDSOS yang terjadi setiap detik dan setiap saat juga harus disebut KEONARAN, lalu apa semua juga melanggar Pasal 14 dan atau 15 UU No 1 Tahun 1946 !?

Jadi jelas bukan pendapat DR Muzakkir yang Bombastis, justru pendapat JPU yang Bombastis karena KEONARAN diartikan melebar kemana-mana tanpa pakem yang jelas !!!

Sekedar Nasihat untuk JPU yang sangat ramah, ketahuilah bahwa menuduh orang lain dengan perbuatan yang justru kita yang melakukannya adalah hal yang sama sekali tidak elok, bahkan akan menjadi bahan tertawaan. Karenanya bercerminlah sebelum menilai orang lain.

30. Bahwa JPU lagi-lagi tetap ngotot dan kekeh serta keras kepala menyatakan bahwa Rekaman Klarifikasi Habib Hanif Alattas telah menimbulkan KEONARAN pada masyarakat dengan bukti adanya komentar pro dan kontra dalam Channel Youtube Kompas sbb :

a. Brian El pitu : Alhamdulillah kalo sehat … ben iso sowan ke mapolda.

b. Banus satria : Ternyata cmn pindah tempat bobok aja.

[17/6 10.26] .: c. Sholeh thok : Semoga lekas sembuh supaya bisa beetanggung jawab atas apa yang diperbuat.

d. Aisyah Mubarak : Semoga lekas sembuh habi, sehat2 panjang umur … Amiiiinn, yarabbalalaminn.

e. Abdul Kodir : Alhamdulillah sehat selalu bib.

Semestinya JPU paham dan mengerti bahwa persidangan itu adalah proses pembuktian bukan proses pengumpulan komentar medsos, sehingga harusnya sebelum JPU menjadikan komentar-komentar tersebut sebagai DALIL, maka JPU harus membuktikan dulu di persidangan bahwa nama-nama komentator tersebut adalah asli dan identitasnya jelas, serta buktikan dulu di persidangan bahwa akun-akun tersebut bukan milik satu orang, karena saat ini banyak sekali satu orang punya puluhan dan ratusan bahkan ribuan akun, dan juga para komentator tersebut harusnya dihadirkan di persidangan untuk dimintai keterangannya tentang komentar-komentar tersebut, baru selanjutnya dijadikan DALIL sebagai Fakta Persidangan.

Sebagaimana telah saya uraikan pada nomor 29 tadi, ternyata JPU benar-benar menganggap pro kontra pendapat Netizen di MEDSOS yang terjadi setiap detik dan setiap saat sebagai bentuk KEONARAN. Sungguh sangat bombastis !!!

Padahal Saksi Ahli Hukum Pidana DR Muzakkir di depan persidangan dan juga dituangkan dalam Pendapat Hukumnya halaman 28 sudah menyatakan :

”Dengan demikian, demonstrasi, konprensi pers, dan cuitan-cuitan / tweet pro dan kontra di media sosial tidak dapat dikualifikasi sebagai bentuk KEONARAN di kalangan rakyat.”

Sekedar Nasihat untuk JPU yang Cendikia, ketahuilah sebagai seorang Penegak Hukum betapa penting menguasai Bahasa Idonesia yang baik, dan menguasai Teori-Teori Hukum secara komprehensif agar tidak kaku dalam memahami Teks, sehingga tidak terjerumus dalam jurang KEDUNGUAN.

[17/6 10.27] .: 31. Bahwa JPU tidak mampu menjawab FAKTA bahwa KASUS PELANGGARAN PROTOKOL KESEHATAN dalam Pandangan JPU bukan sekedar KEJAHATAN biasa, tapi KEJAHATAN LUAR BIASA yang jauh LEBIH JAHAT dan LEBIH BERAT dari pada KASUS KORUPSI yang telah merampok uang Rakyat dan membangkrtukan Negara, sehingga KASUS PELANGGARAN PROTOKOL KESEHATAN harus dituntut 6 tahun penjara.

FAKTA menunjukkan banyak KASUS KORUPSI yang merugikan Negara milyaran hingga Trilyunan rupiah tapi dituntut ringan, seperti : Dalam Kasus Koruptor Djoko Tjandra : Ternyata Djoko Tjandra dan Jaksa Pinangki masing-masing hanya dituntut 4 tahun penjara, sedang Irjen Napoleon lebih ringan hanya dituntut 3 tahun penjara, dan Brigjen Prasetyo lebih ringan lagi hanya dituntut 2,5 tahun penjara.

Bahkan Kasus mantan Bos Garuda Ary Askhara hanya dituntut 1 tahun penjara.

Dan Koferensi Pers Online ICW (Indonesian Corruption Watch) pada tgl 19 April 2020 dipaparkan DATA ICW yang menunjukkan bahwa sepanjang Tahun 2019 dari 911 Terdakwa Korupsi 604 orang dituntut di bawah 4 tahun penjara. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana pada tgl 22 Maret 2021 memberi keterangan pers bahwa sepanjang Tahun 2020 dari 1.298 Terdakwa Korupsi rata-rata tuntutan hanya 4 tahun penjara.

Bahkan bagi JPU bahwa KASUS PELANGGARAN PROTOKOL KESEHATAN bukan hanya KEJAHATAN biasa, tapi KEJAHATAN LUAR BIASA yang jauh LEBIH JAHAT dan LEBIH BERAT dari pada KASUS PENISTAAN AGAMA yang pernah dilakukan AHOK sehingga buat Gaduh Satu Negeri, tapi hanya dituntut Hukuman Percobaan 2 tahun. Dan juga LEBIH JAHAT dan LEBIH BERAT dari pada KASUS PENYIRAMAN AIR KERAS tehadap Petugas Negara & Penyidik KPK Novel Baswedan sehingga salah satu matanya Buta Permanen, tapi pelakunya hanya dituntut 1 tahun penjara.

[17/6 10.27] .: Selain itu JPU selalu ”ngeles” bahwa TUNTUTAN BERAT karena ada alasan yang memberatkan. Setelah kami cermati bahwa Alasan Pemberat terhadap saya dan kawan-kawan, baik dalam Kasus Petamburan mau pun Kasus Megamendung, juga dalam Kasus RS UMMI, yang selalu didengung-dengungkan JPU dalam ruang sidang ini, bahkan saat wawancara dengan insan media bahwa saya dan kawan-kawan : TIDAK SOPAN.

Saya jawab untuk JPU yang sangat santun dan ramah serta sopan, bahwa memang kami TIDAK SOPAN kepada mereka yang menzalimi kami, dan kami memang TIDAK SOPAN kepada mereka yang ingin mencelakakan kami, serta kami akan lebih TIDAK SOPAN kepada mereka yang merongrong Agama, Bangsa dan Negara.

Namun demikian ketahuilah wahai JPU yang baik hati, bahwa kami bersyukur kepada Allah SWT, Alhamdulillaah, walau kami disebut TIDAK SOPAN, tapi kami tidak pernah jual beli kasus dan perkara, atau memperdagangkan pasal dan ayat hukum, atau memutar-balikkan fakta untuk mencelakakan orang lain.

Dan kami juga bersyukur kepada Allah SWT, Alhamdulillaah, bahwasanya walau kami disebut TIDAK SOPAN, tapi kami tidak pernah menyusahkan pedagang kecil dengan memperkarakan dan memenjarakannya hanya karena pesanan kami terlambat dikirim, dan kami juga tidak pernah memeras pegawai Pemerintah mau pun Swasta serupiah pun, apalagi milyaran rupiah, hanya untuk memenangkan kasusnya.

Dan sekali lagi kami juga bersyukur kepada Allah SWT, Alhamdulillaah, bahwasanya walau kami disebut TIDAK SOPAN, tapi kami tidak termasuk rombongan Jaksa yang diberhentikan oleh Jaksa Agung RI beberapa waktu lalu karena terlibat main proyek. Terima Kasih untuk Jaksa Agung RI.

Sekedar Nasihat untuk JPU yang tulus dan berani, ketahuilah sebagai seorang Penegak Hukum jangan membawa kebencian dan dendam pribadi untuk

[17/6 10.27] .: mencelakan Terdakwa, apalagi membawa kebencian dan dendam orang lain terhadap Terdakwa. Seorang Penegak Hukum harus tulus menegakkan hukum tanpa membawa kebencian pribadi, dan seorang Penegak Hukum juga harus berani menolak PESANAN dan TEKANAN dari pihak mana pun.

Ingat bahwa mendakwa seseorang hanya karena ikut pesanan atau tekanan adalah KETIDAK-SOPANAN yang sesungguhnya !!!

32. Bahwa JPU kembali menyampaikan ADAGIUM ANEH yang mengada-ada dan tidak masuk di akal, karena terkesan ingin memonopoli Keadilan-Tertinggi hanya milik Penegak Hukum seperti JPU, sementara posisi Terdakwa pasti salah dan harus salah serta wajib dihukum salah, sebagaimana sudah saya jawab pada nomor 2.

33. Bahwa JPU kembali menyerang saya karena saya menjawab DAKWAAN PERTAMA yang SUBSIDAIR dan LEBIH SUBSIDAIR, yang keduanya tidak dibuktikan dan tidak dimasukkan oleh JPU ke dalam Yuridis Surat TUNTUTAN JPU. Jawaban saya sama dengan jawaban di Nomor 12.

Di nomor 33 ini juga JPU menyebutkan sejumlah PUTUSAN dari berbagai Pengadilan Negeri terkait penerapan Pasal 14 dan 15 UU No 1 Tahun 1946 dengan maksud JPU ingin membuktikan bahwa Pasal-Pasal tersebut masih RELEVAN.

Setelah kami teliti semua PUTUSAN yang disebutkan JPU ternyata semua Putusan terbit sekitar tahun 2019 s/d 2021, artinya JPU tidak mampu membuktikan kalau Pasal-Pasal tersebut pernah diterapkan dari sejak ditetapkan di Tahun 1946 hingga Zaman Orde Lama dan Orde Baru, bahkan hingga sebelum tahun 2019. Termasuk Putusan atas Kasus KEBOHONGAN RATNA SARUMPAET di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pun tertanggal 28 Juni 2019.

Selain itu rata-rata tuntutan dan putusan dari hampir semua PUTUSAN yang disebutkan JPU sangat normatif, tidak berlebihan atau gila-gilaan, antara lain :

[17/6 10.27] .: 1. Putusan PN Brebes No 42 tgl 7 Agustus 2019 Tuntutan 6 bulan tapi Vonis 4 bulan.

2. Putusan PN Garut No 19 tgl 27 Agustus 2019 Tuntutan 6 bulan tapi vonis 10 bulan percobaan.

3. Putusan PN Tasikmalaya No 208 tgl 16 Oktober 2019 Tuntutan 8 bulan tapi Vonis 6 bulan.

4. Putusan PN Jakarta Barat No 1346 tgl 21 Januari 2020 Tuntutan 5 bulan tapi Vonis 3 bulan.

5. Putusan PN Jakarta Pusat No 1249 tgl 18 Februari 2020 Tuntutan 1,5 tahun tapi Vonis 6 bulan.

6. Putusan PN Banjar No 85 tgl 24 November 2020 Tuntutan dan Vonis sama-sama 1 tahun percobaan.

7. Putusan PN Mentok No 153 tgl 2 Februari 2021 Tuntutan 7 bulan tapi Vonis 5 bulan.

Bandingkan dengan TUNTUTAN GILA JPU dalam Kasus RS UMMI terhadap saya yaitu penjara 6 Tahun dan terhadap Habib Hanif Alattas mau pun Dr Andi Tatat masing-masing penjara 2 Tahun !!!

Di Nomor 33 ini JPU juga menanyakan : ”Kalau memang Terdakwa menganggap Pasal 14 dan 15 dari UU No 1 Tahun 1946 sudah tidak relevan, kenapa Terdakwa masih membahas dan membantah satu per satu pasal-pasal tersebut ?

Pertanyaan ini bagi saya sangat lucu dan menggelikan sekali, kalau diizinkan oleh Majelis Hakim untuk tertawa, maka niscaya saya akan tertawa terbahak-bahak di ruang sidang ini saking lucunya, tapi saya khawatir nanti akan dituntut JPU sebagai Contempt of The Court.

[17/6 10.28] .: Baiklah singkat saja saya jawab pertanyaan lucu tersebut bahwa saya memang menilai Pasal 14 dan 15 dari UU No 1 Tahun 1946 sudah TIDAK RELEVAN, lalu saya bahas dan bantah satu per satu pasal-pasal tersebut untuk menjelaskan ketidak-relevanannya. Ini namanya penjelasan untuk pembuktian bahwa pasal-pasal tersebut memang TIDAK RELEVAN.

Semoga JPU paham dengan jawaban singkat padat dan ringkas jelas ini. Jika tidak paham juga, maka memang sungguh keterlalun !!!

34. Bahwa JPU kembali menyerang saya karena saya menjawab DAKWAAN KEDUA yang tidak dibuktikan dan tidak dimasukkan oleh JPU ke dalam Yuridis Surat TUNTUTAN JPU. Jawaban saya sama dengan jawaban di Nomor 12.

35. Bahwa JPU kembali menyerang saya karena saya menjawab DAKWAAN KETIGA yang tidak dibuktikan dan tidak dimasukkan oleh JPU ke dalam Yuridis Surat TUNTUTAN JPU. Jawaban saya sama dengan jawaban di Nomor 12.

36. Bahwa JPU lagi-lagi tetap ngotot dan kekeh serta keras kepala tentang Pasal Penyertaan yaitu Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, tapi tetap saja tidak mampu membuktikan bahwa antara saya dan Habib Hanif serta Dr Andi Tatat ada Niat Jahat / Itikad Kriminal (Means Rea) dan Pemufakatan Jahat untuk melakukan Perbuatan Jahat secara Bersama-sama.

Pasal Penyertaan ini berkaitan dengan NIAT JAHAT dan PEMUFAKATAN JAHAT untuk melakukan PERBUATAN JAHAT secara BERSAMA-SAMA, sehingga tidak ada kaitannya sama sekali dengan PELANGGARAN PROKES, karena PELANGGARAN PROKES BUKAN KEJAHATAN.

Penerapan Pasal Penyertaan pada Kasus RS UMMI terlalu mengada-ada dan lebay, serta menunjukkan bahwa kerja JPU tidak profesional dan tidak proposional, karena tidak ada satu pun Fakta Persidangan yang menunjukkan

[17/6 10.28] .: adanya NIAT JAHAT (MEANS REA) dari saya mau pun HABIB HANIF dan Dr ANDI TATAT untuk melakukan PERBUATAN JAHAT. Dan tidak ada juga Fakta Persidangan yang menunjukkan adanya KEMUFAKATAN JAHAT di antara saya dan HABIB HANIF serta Dr ANDI TATAT untuk melakukan PERBUATAN JAHAT secara BERSAMA-SAMA.

Sekedar Nasihat untuk JPU yang terhormat dan bermatabat, ketahuilah betapa agung dan mulianya sikap lapang dada dan besar jiwa dalam berperkara, sehingga jika ada TERDAKWA yang terbukti tidak bersalah, maka jangan pernah ragu untuk menuntut BEBAS. Jangan sekali-kali jika ada TERDAKWA yang tidak bersalah, tapi dipaksakan harus salah dan mesti dipersalahakan serta wajib dihukum salah.

Hati-hati dan ingatlah bahwa Allah SWT Maha Adil dan kelak kita semua akan diseret ke Pengadilan Yang Maha Adil. Siapa Adil di Dunia maka ia akan selamat di Pengadilan Yang Maha Adil, sebaliknya siapa tidak adil di Dunia maka ia akan binasa di Pengadilan Yang Maha Adil.

حسبنا الله ونعم الوكيل، نعم المولى ونعم النصير، ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم

[17/6 10.28] .: BAB III

ANALISA DAKWAAN DAN TUNTUTAN

Kepada Yang Mulia Majelis Hakim

Kepada Yang Tercinta Seluruh Penasihat Hukum

Kepada Yang Terhormat Semua Jaksa Penuntut Umum

Kepada Yang Istimewa Segenap Pecinta Keadilan dimana pun berada

Pada awalnya saat saya diperiksa oleh Penyidik Kepolisian sebagai SAKSI pada tgl 4 Januari 2021 hanya berkaitan dengan PELANGGARAN PROTOKOL KESEHATAN, sehingga diduga melanggar Pasal 14 ayat (1) atau ayat (2) UU No. 4 / Th. 1984 ttg Wabah Penyakit Menular terkait dugaan dengan sengaja menghalangi pelaksanaan Penanggulangan Wabah, dan atau Pasal 216 ayat (1) KUHP terkait dugaan dengan sengaja tidak mentaati atau dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tugas pejabat.

Namun saat saya diperiksa sebagai TERSANGKA pada tgl 15 Januari 2021 ada PENYELUNDUPAN PASAL PIDANA yaitu Pasal 14 dan atau Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 ttg Peraturan Hukum Pidana terkait dugaan dengan sengaja menyiarkan kebohongan untuk menimbulkan keonaran. Dan selanjutnya pasal tambahan inilah yang justru djadikan DAKWAAN KESATU baik yang Primer mau pun Subsider dan Lebih Subsider.

Bahkan dalam TUNTUTAN akhirnya JPU hanya menuntut DAKWAAN KESATU PRIMER yaitu Pasal 14 ayat (1) UU No. 1 / Th. 1946 ttg Peraturan Hukum Pidana jo Pasal 55 ayat (1) ke – 1 KUHP.

[17/6 10.28] .: Ada DUA KELICIKAN LUAR BIASA yang dilakukan JPU dalam Kasus Pelanggaran Prokes RS UMMI, yaitu :

1. Pembelokan Kasus PELANGGARAN PROKES RS UMMI menjadi Kasus KEBOHONGAN dan KEONARAN melalui PENYELUNDUPAN PASAL PIDANA yaitu Pasal 14 dan atau Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 di tengah proses pemeriksaan.

2. Pembentukan OPINI SESAT dengan menyamakan Kasus PELANGGARAN PROKES RS UMMI dengan Kasus KEBOHONGAN RATNA SARUMPAET dan menjadikan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No 203/PID.SUS/2019/PN.Sel tanggal 28 Juni 2019 sebagai Yurisprudensi bagi Kasus Pelanggaran Prokes RS UMMI.

Sebelum saya kembali menanggapi DAKWAN KESATU PRIMER yang diajukan JPU dalam TUNTUTAN mau pun REPLIK, maka saya tegaskan kembali sbb

1. Bahwa Kasus Test Swab PCR di RS UMMI adalah KASUS PELANGGARAN PROTOKOL KESEHATAN.

2. Bahwa KASUS PELANGGARAN PROTOKOL KESEHATAN adalah Kasus PELANGGARAN bukan Kasus KEJAHATAN, sehingga cukup diterapkan SANKSI ADMINSTRASI bukan SANKSI HUKUM PIDANA.

3. Bahwa sesuai Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) No 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pemcegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019, di halaman 7 – 8 pada angka 5 dan 6 ditetapkan sebagai berikut :

5) Memuat sanksi terhadap pelanggaran penerapan protokol kesehatan dalam pencegahan dan pengendalian Corona Virus Disease 2019 (Covi-19) yang

[17/6 10.28] .: dilakukan oleh perorangan, pelaku usaha, oengelola, penyelenggara, , atau penanggung-jawab tempat dan fasilitas umum.

6) Sanksi sebagaimana dimaksud pada angka 5) berupa :

a) teguran lisan atau teguran tertulis ;

b) kerja sosial ;

c) denda administratif : atau

d) penghentian atau enutupan sementara penyelenggaraan usaha

Jadi jelas dalam Inpres No 6 Tahun 2020 tersebut bahwa PELANGGARAN PROTOKOL KESEHATAN hanya diterapkan HUKUM ADMISNITRASI bukan HUKUM PIDANA.

4. Bahwa SELURUH DAKWAAN PIDANA terhadap KASUS PELANGGARAN PROTOKOL KESEHATAN harus DIBATALKAN DEMI HUKUM.

5. Bahwa TUNTUTAN JPU dalam Kasus Test Swab PCR RS UMMI adalah bentuk penyalah-gunaan wewenang (abuse of power) yang melampaui batas, dan bentuk Kriminalisasi Pasien dan Dokter serta Rumah Sakit yang harus dihentikan, serta bentuk DISKRIMINASI HUKUM yang manipulatif, sehingga wajib DIBATALKAN DEMI HUKUM.

حسبنا الله ونعم الوكيل، نعم المولى ونعم النصير، ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم

[17/6 10.29] .: Kepada Yang Mulia Majelis Hakim

Kepada Yang Tercinta Seluruh Penasihat Hukum

Kepada Yang Terhormat Semua Jaksa Penuntut Umum

Kepada Yang Istimewa Segenap Pecinta Keadilan dimana pun berada

Sesuai dengan keinginan JPU agar saya hanya fokus kepada tanggapan terhadap DAKWAAN KESATU PRIMER saja yang dimasukkan dalam TUNTUTAN JPU, sedang SEMUA DAKWAAN selain DAKWAAN KESATU PRIMER jangan dibahas lagi, karena baik JPU mau pun saya dan Penasihat Hukum secara langsung mau pun tidak langsung sudah sepakat TIDAK TERBUKTI di persidangan, sehingga harus DIBATALKAN DEMI HUKUM, maka dalam DUPLIK ini saya hanya menyoroti DAKWAAN KESATU PRIMER saja.

Namun demikian sebagaimana sudah saya paparkan pada jawaban nomor 12 bahwa Majelis Hakim yang mulia TIDAK BISA DIDIKTE oleh JPU harus ikut hanya kepada DAKWAAN yang dimasukkan ke dalam TUNTUTAN JPU saja, bahkan Majelis Hakim yang mulia punya HAK MUTLAK untuk mempertimbangkan DAKWAAN lain yang ada dalam Surat DAKWAAN JPU walau pun tidak dimasukkan ke dalam Surat TUNTUTAN JPU.

Jadi, JPU jangan sok mengatur Majelis Hakim yang mulia, harus ambil DAKWAAN ini dan tidak boleh ambil DAKWAAN itu, karena Majelis Hakim yang mulia BEBAS mau ambil DAKWAAN yang mana saja, bahkan BEBAS untuk menolak semua DAKWAAN, serta BEBAS juga untuk membebaskan TERDAKWA dari segala DAKWAAN dan TUNTUTAN.

Selanjutnya saya menyatakan disini bahwa saya tetap berpegang kepada PLEDOI yang sudah saya bacakan di depan persidangan ini, sehingga saya tidak akan menguraikan lagi jawaban saya terhadap semua DAKWAAN secara rinci sebagaimana sudah tertuang di dalalm PLEDOI.

[17/6 10.29] .: Namun demikian, khusus untuk DAKWAAN KESATU PRIMER yang dimasukkan dalam TUNTUTAN JPU yaitu Pasal 14 ayat (1) UU No. 1 / Th. 1946 ttg Peraturan Hukum Pidana jo Pasal 55 ayat (1) ke – 1 KUHP, maka saya akan menegaskan kembali jawaban saya sebagai berikut :

A. PASAL 14 AYAT (1) UU NO. 1 / TH. 1946.

Bahwa Pasal 14 ayat (1) UU No. 1 / Th. 1946 berbunyi sbb :

”Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.”

Ayat ini sama sekali tidak bisa diterapkan terhadap saya dalam Kasus Test Swab PCR RS UMMI Kota Bogor, karena :

1. Ayat ini sesuai Latar Belakang Historis kelahiran UU No 1 Tahun 1946 berkaitan dengan PENYIARAN dan yang dimaksud dengan ”Barang siapa” dalam ayat ini adalah LEMBAGA PENYIARAN, bukan orang per orang, sehingga TERDAKWA tidak memenuhi unsur ”Barang siapa” dalam ayat ini.

2. Ayat ini dengan jelas menggunakan kata MENYIARKAN bukan menyatakan, sehingga TERDAKWA tidak memenuhi unsur ”Menyiarkan” dalam ayat ini, karena TERDAKWA tidak pernah melakukan PENYIARAN.

3. Ayat ini secara eksplisit menyebutkan penyiaran terkait ”berita atau pemberitahuan bohong”, sedang TERDAKWA terbukti di persidangan tidak pernah menyampaikan atau menyatakan BERITA BOHONG atau PEMBERITAHUAN BOHONG, karena saat TERDAKWA menyatakan bahwa dirinya merasa ”baik-baik saja” adalah sesuai dengan yang yang dirasa dan diketahuinya saat itu, sementara saat itu belum ada Hasil Test Swab PCR yang

[17/6 10.29] .: menyatakan bahwa TERDAKWA POSITIF COVID, sehingga TERDAKWA tidak memenuhi unsur ”Menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong”, dalam ayat ini.

4. Ayat ini mensyaratkan adanya MEANS REA yaitu NIAT JAHAT / I’TIKAD KRIMINAL dalam penyiaran berita bohong untuk menimbulkan KEONARAN di tengah masyarakat, dan KEONARAN itu harus benar-benar terjadi sebagai akibat dari penyiaran berita bohong tersebut, sebagaimana termaktub ”dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat”. Unsur ini lebih tidak terpenuhi lagi, karena pertama unsur penyiarannya tidak ada, lalu kedua unsur kebohongannya juga tidak ada, dan ketiga terbukti di persidangan bahwa pernyataan TERDAKWA justru DINIATKAN dan DIMAKSUDKAN serta DITUJUKAN untuk meredam KERESAHAN bukan membuat KEONARAN, dan Faktanya tidak ada KERESAHAN apalagi KEONARAN di Kota Bogor mau pun di tempat lainnya akibat perawatan TERDAKWA di RS UMMI Kota Bogor.

5. Seluruh isi DAKWAAN KESATU PRIMER dengan Penerapan Pasal 14 ayat (1) UU No 1 Tahun 1946, saat ini sudah TIDAK RELEVAN, karena:

a. Dari segi ASAS dan TEORI serta PRINSIP HUKUM bahwa asas umum dalam Penafsiran Hukum Pidana yang harus diperhatikan adalah PRINSIP RELEVANSI.

b. Dari segi PENERAPAN HUKUM bahwa sejak ORDE LAMA hingga ORDE BARU tidak ada satu kasus pun yang dikenakan pasal ini, baru belakangan ini muncul penerapan pasal ini terhadap sejumlah Tokoh Oposisi dan kental warna politisnya, sehingga semestinya Ranah Peradilan yang mulia wajib dijauhkan sejauh-jauhnya dari INTERVENSI POLITIK pihak mana pun.

c. Dari segi JENIS PIDANA bahwa UU No 1 Tahun 1946 tidak ada kaitan dengan PROKES atau pun PSBB, sehingga tidak boleh digunakan untuk memidanakan Pelanggaran Protokol Kesehatan.

[17/6 10.29] .: d. Dari segi PENAFSIRAN TEKS HUKUM bahwa Penafisran Teks Hukum tidak boleh lepas dari sejumlah Metode Penafsiran Teks yang telah diakui oleh para PAKAR HUKUM PIDANA mau pun PAKAR TEORI HUKUM PIDANA, juga PAKAR SOSIOLOGI HUKUM dan PAKAR LINGUSITIK FORENSIK, yaitu :

1) Interpretasi Gramatikal atau Bahasa : yaitu Penafsiran Teks Hukum sesuai bahasa umum sehari-hari.

Itulah sebabnya penafsiran PENYIARAN dalam Pasal 14 ayat (1) UU No. 1 / Th. 1946 ttg Peraturan Hukum Pidana harus dibedakan dengan penafsiran PERNYATAAN. Begitu juga Penafsiran KEONARAN harus dibedakan dari penafsiran KERESAHAN atau PERBEDAAN PENDAPAT atau PRO KONTRA. Dan penafsiran Bahasa tidak boleh lepas dari Kamus- Kamus Bahasa yang dipercaya, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesai (KBBI) yang menjadi Rujukan Resmi dalam Bahasa Indonesia.

Terkait makna MENYIARKAN dalam KBBI disebutkan beberapa arti, yaitu :

a. Meratakan kemana-mana.

b. Memberitahukan kepada umum (melalu radio, sutrat kabar, dsb), mengumumkan (berita, dsb).

c. Menyebarkan atau mempropagandakan (pendapat, paham, agama, dsb).

d. Menerbitkan dan menjual (buku, gambar, foto, dsb).

e. Memancarakan (cahaya, terang, dsb).

f. Mengirimkan (lagu-lagu, musik, pidato, dsb) melalui radio.

Oleh karena itu Ahli Hukum Pidana DR Muzakkir di depan persidangan menyampaikan pendapatnya bahwa Rekaman Video Testimoni SAYA hanyalah sebuah PERNYATAAN bukan PENYIARAN. Begitu juga Rekaman Video Klarifikasi Hb Hanif Alattas dan Wawancara Dr Andi Tatat saat ditanya

[17/6 10.29] .: wartawan, sehingga semuanya tidak bisa diterapkan Pasal 14 ayat (1) UU No. 1 / Th. 1946, karena hanya sebuah PERNYATAAN bukan PENYIARAN.

Lalu terkait makna KEONARAN dalam dalam KBBI disebutkan BAHWA ARTINYA ADALAH Kegemparan, Kerusuhan dan Keributan.

Saksi Ahli Lingusitik Forensik DR FRANS dan Ahli Sosiologi Hukum Prof DR Musni Umar serta Ahli Hukum Pidana DR Muzakkir, yang ketiganya dihadirkan oleh SAYA dan Penasihat Hukum, menerangkan di depan persidangan bahwa ONAR adalah Kerusuhan dan Keributan serta Huru Hara, BUKAN KERESAHAN.

Saksi Ahli Sosiologi Hukum DR TRUBUS yang dihadirkan oleh JPU dalam BAP-nya tertanggal 18 Januari 2020 pada jawaban nomor 9 di halaman 16 menyatakan :

”Penjelasan Pasal XIV UU No 1 Tahun 1946 memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud KEONARAN adalah bukan hanya kegelisahan dan menggoncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya, tetapi lebih dari itu berupa KEKACAUAN”.

Saksi Ahli Teori Hukum Pidana DR Abdul Choir Ramadhan yang dihadirkan oleh SAYA dan Penasihat Hukum, menerangkan di depan persidangan dan juga menuangkan dalam Pendapat Hukumnya halaman 76 sbb :

”Timbulnya KEONARAN sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 14 ayat (1) menunjukkan bahwa DELIK ini adalah DELIK MATERIIL, harus benar-benar terjadi keonaran di kalangan rakyat. Menyangkut tentang makna keonaran, Penjelasan Pasal 14 menyatakan : ”Keonaran adalah lebih hebat dari pada kegelisahan dan menggoncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya. KEKACAUAN meuat juga KEONARAN.”

[17/6 10.30] .: Lalu Saksi Ahli DR Abdul Choir Ramadhan menekankan :

”Dengan adanya PENAFSIRAN OTENTIK ini, maka tidak dapat ditafsirkan lain selain dari penafsiran yang diberikan oleh pembentuk undang-undang.”

Dengan demikian tidak ada alasan bagi JPU untuk menafsirkan KEONARAN dengan Tafsirnya Sendiri yang memasukkan resah, gelisah, pro kontra, perdebatan, perbedaan pendapat, unjuk rasa dan Demo Damai sebagai KEONARAN. Penafsiran JPU ngawur dan amburadul serta kacau balau.

2) Interpretasi Sistematis atau Logis : yaitu Penafsiran Teks Hukum dengan menghubungkannya dengan peraturan hukum / undang-undang / dengan keseluruhan sistem hukum sebagai satu kesatuan tak terpisahkan.

Itulah sebabnya penafsiran PENYIARAN dalam Pasal 14 ayat (1) UU No. 1 / Th. 1946 ttg Peraturan Hukum Pidana semestinya ditarik ke UU PENYIARAN No 32 Th 2002 yang memang dibuat khusus tentang PENYIARAN.

Dan ini juga sesuai dengan Pendapat Ahli Hukum Pidana DR Muzakkir dalam sidang ini bahwa Penerapan Hukum Pidana terhadap PELANGGARAN PENYIARAN harus merujuk ke UU PENYIARAN No 32 Th 2002 tidak lagi ke Pasal 14 ayat (1) UU No. 1 / Th. 1946, sehingga Penerapan Pasal 14 ayat (1) UU No. 1 / Th. 1946 dalam Kasus RS UMMI sangat tidak tepat.

Andai pun dalam Kasus Rekaman Video Testimoni SAYA dan Rekaman Video Hb Hanif Alattas serta wawancara Dr Andi Tatat dikatagorikan sebagai PENYIARAN maka semestinya ditarik ke UU PENYIARAN No 32 Th 2002

[17/6 10.30] .: yang memang dibuat khusus tentang PENYIARAN bukan ke Pasal 14 ayat (1) UU No. 1 / Th. 1946.

Apalagi ternyata Rekaman Video Testimoni SAYA dan Rekaman Video Klarifikasi Hb Hanif Alattas serta Wawancara Klarifikasi Dr Andi Tatat hanya sebuah PERNYATAAN bukan PENYIARAN, maka lebih tidak tepat lagi ditarik ke Pasal 14 ayat (1) UU No. 1 / Th. 1946.

Saksi Ahli Sosiologi Hukum DR TRUBUS yang dihadrikan oleh JPU dalam BAP-nya tertanggal 18 Januari 2020 pada jawaban nomor 9 di halaman 16 saat menjabarkan tentang unsur MENYIARKAN dalam Pasal 14 dan 15 UU No 1 Tahun 1946 menyatakan :

”Dengan demikian tindak pidana penyebaran berita bohong dalam Pasal XIV dan Pasal XV UU No 1 Tahun 1946 diklasifiksikan sebagai DELIK PERS, karena adanya SYARAT UTAMA berupa UNSUR PUBLIKASI, meski pun dalam Pasal VIV dan Pasal XV UU No 1 Tahun 1946 tidak menyebutkan mengenai sarana atau media yang dipergunakan untuk menyebarkan berita bohong atau kabar angin atau kabar yang disiarkan dengan atmbahan atau dikuarngkan tersebut, apakah melalui lisan atau tulisan.”

3) Interpretasi Historis atau Sejarah : yaitu Penafsiran Teks Hukum sesuai sejarah lahirnya Teks tersebut.

Itulah sebabnya penafsiran Pasal 14 ayat (1) UU No. 1 / Th. 1946 ttg Peraturan Hukum Pidana harus melihat sejarah lahirnya dalam SITUASI DARURAT pada saat awal kemerdekaan Indonesia, dimana ada pihak-pihak yang menyiarkan berita bohong untuk menimbulkan keonaran sehingga berpotensi mengganggu Kemerdekaan dan Kedaulatan Indonesia, sehingga tidak tepat diterapkan di zaman yang kita sudah merdeka lebih dari 75 tahun.

[17/6 10.30] .: Semua AHLI HUKUM PIDANA dan AHLI HUKUM TATA NEGARA serta AHLI HUKUM KESEHATAN yang dihadirkan oleh SAYA dan Penasihat Hukum, yaitu DR Refly Harun (Ahli Tata Negara), DR Muzakkir (Ahli Hukum Pidana), DR Abdul Choir Ramadahan (Ahli Teori Hukum Pidana), DR Luthfi Hakim (Ahli Hukum Pidana Kesehatan), dan DR M Nasser (Ahli Hukum Kesehatan), semuanya sepakat bahwa penerapan UU No 1 Tahun 1946 di zaman sekarang untuk KONTEKS KEKINIAN sudah TIDAK RELEVAN, karena UU tersebut saat dibuat untuk konteks kondisi darurat baru merdeka yang penuh dengan berita BOHONG untuk membuat KEONARAN.

Saksi Ahli DR Muzakkir menyampaikan pendapatnya di depan Persidangan dan juga dituangkan dalam Tulisan Pendapat Hukumnya halaman 33 sbb :

”Bahwa Pasal 14 dan 15 UU No 1 Tahun 1946 dibuat dengan cara menghapus Pasal 171 KUHP diganti dengan Pasal 14 dan 15 tersebut yang diatur berdiri di luar Hukum Pidana Kodifikasi /KUHP yaitu dalam UU No 1 Tahun 1946.

Penghapusan Pasal 171 KUHP tersebut melalui S 47/180 yang memuat norma hukum yang sama dengan Pasal Pengganti dengan perbedaan ancaman pidana yang lebih berat. Dalam Pasal 171 KUHP ancamannya paling lama 3 tahun penjara, sedang dalam Pasal 14 ayat (1) UU No 1 Tahun 1946 ancamannya paling lama 10 tahun penjara.

Penempatan Pasal 14 dan 15 tersebut di luar Hukum Pidana Kodifikasi /KUHP mengandung maksud bahwa norma hukum pidana yang dimuat dalam UU No 1 Tahun 1946 hanya dipergunakan dalam keadaan tertentu (Darurat/ Chaos) yakni untuk mengatasi keadaan masyarakat yang kacau balau atau keonaran masyarakat yang luas atau situasi yang dalam keadaan darurat, sehingga ancaman pidanya dinaikkan menjadi 10 tahun penjara.

[17/6 10.30] .: Dengan demikian ”perbuatan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong yang tidak menimbulkan keonaran dalam masyarakart secara luas” tidak ditangani dengan menggunakan Pasal 14 dan 15 UU No 1 Tahun 1946, tapi cukup dengan menggunakan Hukum Pidana yang lain atau norma yang hidup dalam kehidupan masyarakat hukum Indonesia yang cocok untuk mengatasi situasi masyarakatr dalam keadaan normal.”

Penjelasan Saksi Ahli DR Muzakkir yang sangat ilmiah ini dengan argumentasi yang amat kuat dan pemaparan yang cerdas, ternyata tidak bisa dipahami oleh JPU, sehingga JPU dalam sidang bertanya mutar-mutar tidak karuan, hingga akhirnya dihentikan dan ditegur oleh Hakim Ketua di depan persidangan dengan ucapan : ”Kok Jaksa begitu saja tidak paham!?”

4) Interpretasi Teleologis atau Sosiologis : yaitu Penafsiran Teks Hukum sesuai dengan tujuan pembentukannya dengan tidak mengenyampingkan konteks kenyataan kemasyarakatan yang aktual atau KONTEKS KEKINIAN.

Itulah sebabnya penerapan Pasal 14 ayat (1) UU No 1 Tahun 1946 dalam SITUASI DARURAT pada saat awal kemerdekaan dengan sanksi hukum penjara 10 tahun menjadi sangat LOGIS, karena untuk menjaga keamanan Negara dari KAKACAUAN dan KERUSUHAN.

Namun saat ini SITUASI DARURAT tersebut sudah tidak ada, maka penerapan Pasal 14 ayat (1) UU No 1 Tahun 1946 dalam SITUASI NORMAL dengan Sanksi Hukum penjara 10 tahun menjadi TIDAK LOGIS lagi.

AHLI SOSIOLOGI HUKUM baik yang dihadirkan oleh JPU yaitu DR Trubus, mau pun yang dihadirkan oleh SAYA dan Penasihat Hukum yaitu PROF DR Musni Umar sepakat memberi keterangan di depan persidangan bahwa penerapan Pasal 14 ayat (1) UU No 1 Tahun 1946 di zaman sekarang untuk

[17/6 10.30] .: konteks Masyarakat Kekinian sudah TIDAK RELEVAN, apalagi dengan ancaman sanksi pemidanaan 10 tahun penjara.

Ahli Hukum Pidana DR Muzakkir juga sepakat dengan pendapat ini sebagaimana tadi sudah dikutip pendapatnya yang disampiakan di depan Persidangan dan juga dituangkan dalam Tulisan Pendapat Hukumnya halaman 33, yaitu :

”Dengan demikian ”perbuatan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong yang tidak menimbulkan keonaran dalam masyarakart secara luas” tidak ditangani dengan menggunakan Pasal 14 dan 15 UU No 1 Tahun 1946, tapi cukup dengan menggunakan Hukum Pidana yang lain atau norma yang hidup dalam kehidupan masyarakat hukum Indonesia yang cocok untuk mengatasi situasi masyarakatr dalam keadaan normal.”

Jadi jelas dengan sangat meyakinkan berdasarkan Empat Metode Penafsiran Teks Hukum yang diakui para PAKAR HUKUM PIDANA mau pun PAKAR TEORI HUKUM PIDANA, juga PAKAR SOSIOLOGI HUKUM dan PAKAR LINGUSITIK FORENSIK, yaitu : Pertama, Metode Interpretasi Gramatikal atau Bahasa. Kedua, Metode Interpretasi Sistematis atau Logis. Ketiga, Metode Interpretasi Historis atau Sejarah. Keempat, Metode Interpretasi Teleologis atau Sosiologis. Bahwa Penerapan Pasal 14 ayat (1) dari UU No 1 Tahun 1946 saat ini TIDAK RELEVAN, apalagi diterapkan untuk untuk KASUS PROTOKOL KESEHATAN, sehingga seluruh isi DAKWAAN KESATU dari JPU, baik yang PRIMER mau pun yang SUBSIDER dan yang LEBIH SUBSIDER harus DIBATALKAN DEMI HUKUM.

Sebagaimana telah disampaikan oleh Saksi Ahli Hukum Tata Negara DR Refly Harun di depan persidangan bahwa Undang-Undang yang sudah TIDAK RELEVAN ada tiga jalan menghapusnya atau mengenyampingkannya, yaitu : Pertama, dibatalkan dengan UU Baru via DPR RI. Kedua, diajukan Yudicial Review ke Mahkamah Konstitusi RI. Ketiga, Putusan Hakim.

[17/6 10.31] .: Karenanya, kami sangat berharap agar Majelis Hakim yang mulia berani mengenyampingkan Penerapan Pasal 14 ayat (1) UU No 1 Tahun 1946 karena sudah TIDAK RELEVAN, sehingga ke depan bisa menjadi YURISPRUDENSI bagi penanganan Hukum Penyiaran Berita Bohong yang menimbulkan Keonaran dengan menggunakan hukum lain yang sesuai dengan konteks kekinian.

KESIMPULAN : Bahwa unsur dalam Pasal 14 ayat (1) UU No. 1 / Th. 1946 ttg Peraturan Hukum Pidana TIDAK TERPENUHI, sehingga harus DIBATALKAN DEMI HUKUM.

حسبنا الله ونعم الوكيل، نعم المولى ونعم النصير، ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظي م

B. PASAL 55 AYAT (1) KE-1 KUHP

Pasal ini disebut PASAL PENYERTAAN. Semua DAKWAAN JPU, baik DAKWAAN KESATU Primer dan Subsider serta Lebih Subsider, mau pun DAKWAAN KEDUA dan DAKWAAN KETIGA, dijuntokan kepada Pasal Penyertaan yaitu Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dalam Pledoi saya halaman 127 – 128 sudah saya uraikan argumentasi kuat bahwa Penerapan Pasal Penyertaan ini pada Kasus RS UMMI terlalu mengada-ada dan lebay, serta menunjukkan bahwa kerja JPU tidak profesional dan tidak proposional, dan faktanya memang JPU tidak mampu menjawab argumetasi yang saya tuangkan dalam Pledoi tersebut.

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP berbunyi sebagai berikut :

(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;

[17/6 10.31] .: Saksi Ahli Teori Hukum Pidana DR Abdul Chair Ramadhan menyatakan di depan persidangan dan dituangkan juga dalam Pendapat Hukumnya halaman 16 :

”Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP menentukan dipidananya pelaku tindak pidana, yakni orang yang melakukan (pleger), dan yang menyuruh melakukan (doen pleger), serta yang turut serta melakukan perbuatan (mede pleger). Delik Penyertaan merupakan perluasan pertanggung-jawaban pidana bukan perluasan perbuatan pidana.”

Lalu Saksi Ahli DR Abdul Chair Ramadhan menekankan bahwa :

”Pada penyertaan lazim dilakukan secara sitsematis dengan menunjuk adanya PEMUFAKATAN JAHAT di antara pihak.”

Saksi Ahli Hukum Pidana DR Muzakkir menyatakan di persidangan dan juga dituangkan dalam Pendapat Hukumnya halaman 10 – 11 bahwa Tindak Pidana Penyertaan memiliki dua syarat, yaitu :

1. Syarat Subjektif : yaitu masing-masing pelaku memiliki NIAT BERBUAT JAHAT dan NIAT JAHAT tersebut hendak/ atau telah dilakukan secara bersama-sama dengan pelaku lain yang juga memiliki NIAT JAHAT yang sama.

2. Syarat Objektif : yaitu adanya hubungan antara kelakuan atau perbuatan yang dilakukan oleh pelaku satu dengan pelaku lainnya sedemekian rupa untuk melaksanakan NIATNYA MELAKUKAN KEJAHATAN secara bersama-sama.

Jadi, PASAL PENYERTAAN ini berkaitan dengan NIAT JAHAT dan PEMUFAKATAN JAHAT untuk melakukan TINDAK KEJAHATAN, sehingga tidak ada kaitannya sama sekali dengan PELANGGARAN PROKES, karena Pelanggaran Prokes bukan Kejahatan.

[17/6 10.32] .: Penerapan Pasal Penyertaan pada Kasus RS UMMI terlalu mengada-ada dan lebay, serta menunjukkan bahwa kerja JPU tidak profesional dan tidak proposional, karena tidak ada satu pun Fakta Persidangan yang menunjukkan adanya MEANS REA (Niat Jahat / Itikad Kriminal) dari SAYA dan HABIB HANIF serta Dr ANDI TATAT untuk melakukan TINDAK KEJAHATAN. Dan tidak ada juga Fakta Persidangan yang menunjukkan adanya KEMUFAKATAN JAHAT di antara SAYA dan HABIB HANIF serta Dr ANDI TATAT untuk melakukan TINDAK KEJAHATAN secara bersama-sama.

Justru sebaliknya terbukti melalui Fakta Persidangan bahwa Pernyataan SAYA dan HABIB HANIF serta Dr ANDI TATAT tentang kondisi SAYA ”baik-baik saja” untuk meredam KEJAHATAN BERITA HOAX yang meresahkan masyarakat, dan terbukti dengan pernyataan SAYA dan HABIB HANIF serta Dr ANDI TATAT tersebut menciptakan ketenangan dan menghilangkan keresahan.

Pada pembahasan tiap DAKWAAN telah diuraikan bahwa seluruh Pasal-Pasal yang dituduhkan tak satu pun yang terpenuhi unsur, sehingga Penerapan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP pada Kasus RS UMMI menjadi BATAL DENGAN SENDIRINYA manakala Pasal-Pasal yang dijuntokan kepadanya TIDAK TERPENUHI UNSUR.

KESIMPULAN : Tak satu pun unsur dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang terpenuhi, sehingga harus DIBATALKAN DEMI HUKUM. حسبنا الله ونعم الوكيل، نعم المولى ونعم النصير، ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم

[17/6 10.32] .: BAB IV

PENUTUP

Kepada Yang Mulia Majelis Hakim

Kepada Yang Tercinta Seluruh Penasihat Hukum

Kepada Yang Terhormat Semua Jaksa Penuntut Umum

Kepada Yang Istimewa Segenap Pecinta Keadilan dimana pun berada

Sejak hari pertama persidangan kita ini selalu diikuti oleh jutaan pasang mata dan telinga dari seluruh pelosok Tanah Air, bahkan menjadi sorotan Dalam mau pun Luar Negeri, dan menjadi perbincangan Nasional mau pun Internasional. Berbagai kalangan selalu dengan setia mengikuti dan mengamati serta mencermati jalannya persidangan kita ini, antara lain :

1. Para Habaib dan Ulama serta Santri dari berbagai Pondok Pesantren dan Majelis Ta’lim, terus mengikuti sambil menilai KWALITAS persidangan dengan kebersihan mata hati mereka.

2. Para Pakar Hukum Lokal mau pun Nasional terus memelototi jalannya sidang ini, karena banyak hal ANEH dlam persidangan ini yang tidak mereka dapatkan dalam persidangan lain.

3. Para Mahasiswa Fakulas Hukum dimana-mana banyak yang menyimak dari sidang ke sidang, sehingga menjadi KULIHAH HUKUM TERBUKA buat mereka.

4. Para Tokoh Politik dari berbagai daerah tidak ketinggalan menyoroti sidang demi sidang, karena mereka tahu betul bahwa kasus dalam persidangan ini kental dan menyengat dengan AROMA POLITIK.

[17/6 10.33] .: 5. Berbagai Komponen Masyarakat yang terdiri dari Bapak-Bapak dan Emak-Emak, hingga Pemuda dan Pemudi ikut menyaksikan semua kejadian dalam tiap persidangan, dan selalu ikut mengomentari melalui MEDIA SOSIAL.

Majelis Hakim yang mulia …

Mereka semua melihat dan menilai apa saja yang ada dan terjadi dalam persidangan kita selama ini. Mereka tahu apa itu DISKRIMINASI. Mereka juga paham apa itu KRIMINALISASI. Mereka pun mengerti apa itu MANIPULASI FAKTA. Mereka juga menilai semua perilaku kita dalam persidangan ini, apakah itu TERDAKWA dan Penasihat Hukumnya, atau pun Jaksa dan Hakimnya.

Mereka semua telah mendengar DAKWAAN Jaksa dan PEMBELAAN Pengacara, juga sudah menyimak mulai dari EKSEPSI hingga PLEDOI Terdakwa. Kini mereka tinggal menunggu PUTUSAN Majelis Hakim yang mulia, yang kelak juga akan mereka nilai secara khusus. Mereka semua berharap kepada Allah SWT, kemudian berharap kepada Majelis Hakim, agar lahir KEPUTUSAN yang memeuhi RASA KEADILAN.

Akhirnya, setelah semua FAKTA PERSIDANGAN didapatkan mulai dari Keterangan Para Saksi hingga Barang Bukti, sampai kepada apa saja yang sah menjadi ALAT BUKTI, maka kini kembali kepada KEYAKINAN HAKIM.

Kini KEYAKINAN Majelis Hakim menjadi penentu : Apakah Majelis Hakim yakin bahwa HABIB RIZIEQ SIHAB dan HABIB HANIF ALATTAS serta Dr ANDI TATAT benar sebagai PENJAHAT yang punya NIAT JAHAT dan BERMUFAKAT JAHAT untuk BERBUAT JAHAT secara BERSAMA-SAMA, sebagaimana tuduhan Jaksa Penuntut Umum, sehingga patut dihukum PIDANA PENJARA !? Atau sebaliknya, Majelis Hakim justru yakin bahwa mereka hanya KORBAN KEZALIMAN POLITIK, sehingga harus DIBEBASKAN dari segala DAKWAAN dan TUNTUTAN demi tegaknya Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa !?

[17/6 10.33] .: Majelis Hakim yang mulia …

Jika benar TIGA KASUS PELANGGARAN PROKES yaitu KASUS PETAMBURAN dan KASUS MEGAMENDUNG serta KASUS RS UMMI adalah murni hanya MASALAH PELANGGARAN PROKES, bukan MASALAH POLITIK yang dibungkus dengan MASALAH HUKUM, mana mungkin sampai terjadi hal-hal yang sangat TRAGIS yang menyertai semua KASUS tersebut, antara lain :

1. Penangkapan Saya dan Menantu 5. Pemblokiran Rekening Saya dan Keluarga

2. Penangkapan Pengurus FPI 6. Pemblokiran 75 Rekening Pengurus FPI

3. Pembubaran Ormas FPI 7. Upaya Penutupan Pesantren saya

4. Pelarangan Atribut FPI 8. Teror terhadap Keluarga dan Sahabat

Dan TRAGEDI yang paling SADIS adalah PEMBANTAIAN 6 PENGAWAL SAYA DARI LASKAR FPI DI KM 50.

Akhirnya, saya hanya bisa memohon kepada Allah SWT :

اللهم ارزقنا نص را عزي زا وفت حا مبين ا وخلَ صا جميلَ وفرَ جا عاج لَ

بحق فاطمة وأبيها وأمِٰها وجدَّتها وإخوتها وبعلها وبنيها ومحبِٰيه ا

عليهم الصلَة والسلَ م

يا قوي يا متين برحمتك نستغيث ... يا رب العالم ين

حسب نا الله ونعم الوكيل، نعم المولى ونعم النصير، ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظي م

[17/6 10.33] .: Majelis Hakim yang mulia …

Lihatlah LUBUK HATI anda yang paling dalam, galilah nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan dari SAMUDERA SANUBARI anda yang paling bersih, sehingga lahir penilaian yang tidak hanya semata terpaku kepada aspek hukum atau unsur perbuatan saja, tapi disana ada RASA KEADILAN di tengah Rakyat dan Bangsa Indonesia yang harus terpenuhi.

Semoga Majelis Hakim yang Mulia diberi kekuatan oleh Allah SWT untuk menegakkan Keadilan dan melenyapkan Kezaliman, serta menjadi Garda Terdepan dalam menjaga Tatanan Hukum di Indonesia, agar tidak dirusak oleh MAFIA HUKUM mana pun.

Semoga Majelis Hakim yang mulia bisa menjaga kemurnian dan kemulian pengadilan ini dari POLITIK KRIMINALISASI yang mempraktekkan PIDANAISASI dan DISKRIMINASI HUKUM serta MANIPULASI FAKTA yang mebahayakan Agama, Bangsa dan Negara. Karena manakala perangkat dan istrumen Negara banyak terkontaminasi oleh PRAKTEK JAHAT OLIGARKI, maka Sidang Pengadilan yang dipimpin oleh Para Hakim yang Jujur lagi Amanah adalah menjadi harapan rakyat untuk menyelamatkan Tatanan Hukum demi Tegaknya Keadilan dan Lenyapnya Kezaliman.

Semoga Majelis Hakim yang mulia senantiasa ada dalam Lindungan dan Penjagaan Allah SWT hingga selamat Dunia dan Akhirat.

Semoga Majelis hakim yang mulia mendapat limpahan Taufiq dan Hidayah dari Allah SWT, sehingga mengambil putusan yang diridhoi oleh Allah SWT, putusan yang mengantarkan ke Surga-Nya dan menjauhkan dari Neraka-Nya. آمين يا رب العالمي ن .

Dan kepada seluruh Rakyat dan Bangsa Indonesia saya serukan untuk bergerak bersama-sama dengan para Penegak Hukum Sejati dalam melawan segala bentuk KEZALIMAN demi Tegaknya KEADILAN.

[17/6 10.34] .: Sebelum saya akhiri PLEDOI ini izinkanlah saya sejenak untuk berdoa :

بِسْمِ ا ه للِّٰ الرَّ هْ حم نِ الرَّحِيْمِ وَالَْْمْدُ هِ للِّٰ رَبِٰ الْعَالَمِيْنَ

وَالصَّلََةُ وَالسَّلََمُ عَلَى سَيِٰدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى آلِهِ الطَّاهِرِيْنَ وَأَصْحَابِهِ الطَّيِٰبِيْنَ وَأَتْ بَاع هِ إِلَ ي وَْمِ الدِٰيْنَ .

. ١ اَلهلٰهُمَّ أَرِناَ الَْْقَّ حَقًّا وَارْ زُقْ نَا اتِٰبَاعَ هُ وَأَرِناَ الْبَاطِلَ بَاطِ لَ وَارْزُقْ نَا اجْتِنَابَه .

. ٢ اَلهلٰهُمَّ انْصُرْناَ عَلَى أَعْدَائِنَا وَأَعْدَائِكَ وَأَعْدَاءِ الدِٰيْنِ أَجمَْعِيْنَ .

. ٣ اَلهلٰهُمَّ لَا تَُُكِٰنِ الَْْعْدَاءَ فِيْ نَا وَلَا مِنَّا وَلَا تُسَلِٰطْهُمْ ع لَيْ نَا بِذُن وبِنَا وَعُيُ وْبِنَا .

. ٤ اَلهلٰهُمَّ اجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِِ نََْرِهِمْ وَمَكْرَهُمْ عَائِ دا عَلَيْهِمْ إِنَّكَ عَلَى كُلِٰ شَيْئٍ قَدِيْ ر .

. ٥ اَلهلٰهُمَّ عَلَيْكَ بِالُْْكَّامِ الظَّالِمِيْنَ جْرِمِيْن

ُ

والزُّعَمَاءِ الم وَالرُّؤَسَاءِ الكَاذِبِيْن . x ٣

. ٦ اَلهلٰهُمَّ فَ رِٰقْ جمَْعَهُمْ وَشَتِٰتْ شََْلَهُمْ وَمَزِٰقْ وِحْدَتَهُمْ وَخَرِٰبْ ق وَُّتَهُمْ وَزَلْزِلْ أَقَدَامَهُمْ وَق لِٰلْ عَدَدَهُمْ وَفُلَّ حَدَّهُمْ وَقلِٰبْ تَدْبِيْرَهُمْ

وَقَ رِٰرْ تَدْمِيْرَهُمْ وَدَمِٰ رْهُمْ تَدْمِيْر ا .

.٧ اَلهلٰهُمَّ ارْزُقْ نَا نَصْ را عَزِيْ زا وَفَ تْ حا مُبِيْ ن ا وخلَصا جميلَ وفرجا عاجلَ وَإِمَا ما عَادِ لا وَب لََ دا آمِن ا مُ بَارَ كا فَانْصُرْناَ فِِ الْمَحْكَمَةِ

وَأَخْرِجْنَا مِنَ السِٰجْنِ سَرِيْ ع ا عَاجِ لَ فِِ لُطْفٍ وَخَيْرٍ وعَافِيَةٍ وَارْجِعْنَا إِلَ ب يُُ وْتِنَا وَاجمَْعْنَا مَعَ أَهْلِ ب يَْتِنَا وَأَصْحَابِنَا وَأَحْبَابِنَا

غَانِِِيْنَ فَرِحِيْنَ سَالِمِيْنَ ناَجِحِيْنَ فَائِزِيْنَ مُؤَيَّدِيْنَ مَنْصُوْرِيْنَ بِحَقِٰ سَيِٰدِ الْمُرْسَلِيْنَ بِرَحمْ تِكَ يَا أَرْحَمَ ال رَّاحِمِ ين

[17/6 10.34] .: Akhirnya, kepada Majelis Hakim yang Mulia, kami meminta dari sanubari yang paling dalam agar dalam mengambil keputusan denga keyakinan untuk menghentikan PROSES HUKUM YANG ZALIM terhadap saya dan kawan-kawan, demi terpenuhi rasa KEADILAN sekaligus menyelamatkan TATANAN HUKUM dan SENDI KEADILAN di Tanah Air yang sedang dirongrong oleh KEKUATAN JAHAT yang ANTI AGAMA dan ANTI PANCASILA serta membahayakan keutuhan Persatuan dan Kesatuan NKRI.

Karenanya, kami memohon karena Allah SWT demi Tegaknya Keadilan agar Majelis Hakim yang mulia MEMUTUSKAN untuk SAYA dan HABIB HANIF ALATTAS serta Dr ANDI TATAT dengan Vonis :

BEBAS MURNI

DIBEBASKAN DARI SEGALA DAKWAAN DAN TUNTUTAN

DIKEMBALIKAN NAMA BAIK, MARTABAT DAN KEHORMATAN

Terima Kasih

Sekian Replik saya,

حَسْبُنَا ه اللُّٰ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْ ر

وَلا حَوْلَ وَلا قُوَّةَ إِلا بِا ه للِّٰ الْعَلِ يِ الْعَظِيْمِ

وَالْحَمْدُ هِ للِّٰ رَ بِ الْعَالَمِيْ ن

Jakarta, 17 Juni 2021

Al-Habib Muhammad Rizieq bin Husein Syihab