Pleidoi HRS Kasus Swab RS Ummi: Bab IV, Kriminalisasi Pasien, Dokter Dan Rumah Sakit
Sabtu, 12 Juni 2021
Faktakini.info
PLEDOI MENEGAKKAN KEADILAN & MELAWAN KEZALIMAN KRIMINALISASI PASIEN, DOKTER & RUMAH SAKIT VIA PIDANAISASI PELANGGARAN PROKES MENJADI KEJAHATAN PROKES
BALAS DENDAM POLITIK
VIA OPERASI PENGHAKIMAN & PENGHUKUMAN
NOTA PEMBELAAN
AL-HABIB MUHAMMAD RIZIEQ BIN HUSEIN SYIHAB
ATAS DAKWAAN & TUNTUTAN JAKSA PENUNTUT UMUM TERKAIT KASUS TEST SWAB PCR DI RS UMMI KOTA BOGOR
No. Reg. Perkara : 225 / Pid.B / 2021 / PN.Jkt.Tim
Pada Pengadilan Negeri Jakarta Timur
TAHUN 2021
BAB IV
KRIMINALISASI PASIEN, DOKTER DAN RUMAH SAKIT
Kepada Yang Mulia Majelis Hakim
Kepada Yang Tercinta Seluruh Penasihat Hukum
Kepada Yang Terhormat Semua Jaksa Penuntut Umum
Kepada Yang Istimewa Segenap Pecinta Keadilan dimana pun berada
POLITIK KRIMINALISASI sangat berbahaya, karena tidak lagi mencari KEBENARAN, akan tetapi hanya mencari PEMBENARAN, sehingga siapa saja yang melakukan praktek POLITIK KRIMINALISASI maka telinganya akan menjadi TULI tidak bisa mendengar SUARA KEBENARAN, dan mulutnya akan menjadi BISU tidak bisa berkata BENAR, serta matanya akan menjadi BUTA tidak bisa melihat CAHAYA KEBENARAN. Karenanya POLITIK KRIMINALISASI akan menghancurkan sendi-sendi KEADILAN dan meluluh-lantakkan TATANAN HUKUM serta menyuburkan KEZALIMAN.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an tentang orang-orang yang TULI, BISU dan BUTA dari KEBENARAN :
1. Surat Al-Baqarah ayat 18 :
يَرۡجِعُونَ ١٨ هُمۡ َ َ ٞۡ مٌ ُ صُ م بُ ۡ
Artinya : ”Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).”
2. Surat Al-Baqarah ayat 171 :
عۡقِلوُنَ ١٧١ َ هُمۡ َ َ ٞۡ مٌ ُ صُمُّ ب ُۡ
Artinya : ”Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.”
POLITIK KRIMINALSASI membuat pelakunya kehilangan HATI JERNIH dan AKAL SEHAT serta NURANI KEADILAN, sehingga ia akan jatuh ke martabat yang sangat hina. Allah SWT telah menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa manusia yang tidak menggunakan Hati Jernih dan Akal Sehat untuk mengenal KEBENARAN, serta tidak menggunakan Mata untuk melihat CAHAYA KEBENARAN dan tidak menggunakan Telinga untuk mendengar SUARA KEBENARAN, maka
32
derajat mereka lebih rendah dari BINATANG TERNAK, sebagaimana Firman-Nya SWT dalam Surat Al-A’raaf ayat 179 :
َّ ُٞ ۡ
َكَِ فۡقَهُونَ بهَِا وَلهَُمۡ أ وْ َٰٓ َ لهَُمۡ قُلُو ٞ ب َّ
ُسَۡمَعُونَ بهَِا أ ونَ بهَِا وَلهَُمۡ ءَاذَا ٞ ن َّ بۡ ُِ ُ
ٰمِ كَ ٱ نۡ َ
َۡ كَِ هُمُ وْ َٰٓ
ُضَلُّ أ
َ فَلِٰونُ ١٧٩ بلَۡ هُمۡ أ ٱ ل ۡ
Artinya : ”Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”
POLITIK KRIMINALISASI memang sering sulit dibuktikan secara konkrit (nyata), karena selalu tampil atas nama Hukum dan Undang-Undang, bahkan terkadang ada pelaku yang sadar sedang melakukan Kriminalisasi tapi tetap dilakukan dengan dalih tugas, dan ada juga pelakunya yang memang tidak sadar sama sekali sedang melakukan Kriminalisasi, karena tanpa terasa ia dijadikan operator saja oleh Aktor Intelektual yang sebenarnya.
Namun demikian sejumlah indikasinya bisa menjadi Bukti Petunjuk adanya Kriminalisasi, sekurangnya ada tiga indikator Kriminalisasi, yaitu : Pertama, adanya Praktek Pidanaisasi. Kedua, adanya Diskriminasi Hukum. Ketiga, adanya Manipulasi Fakta.
I. PRAKTEK PIDANAISASI
MEMPIDANAKAN suatu perbuatan yang bukan pidana adalah bentuk PIDANAISASI, sama halnya dengan MENGKRIMINALKAN suatu perbuatan yang bukan kriminal adalah bentuk KRIMINALISASI. Baik PIDANAISASI mau pun KRIMINALISASI adalah bentuk praktek KEJAHATAN HUKUM yang sangat berbahaya bagi PENEGAKAN KEADILAN, apalagi manakala praktek PIDANAISASI atau KRIMINALISASI dilakukan oleh Para PENEGAK HUKUM.
KRIMINALISASI terhadap siapa pun hukumnya HARAM, sekali pun terhadap orang yang kita benci atau musuhi, karena Allah SWT memerintahkan kita untuk berbuat dan bersikap adil kepada semua umat manusia, dan sekaligus memperingatkan agar jangan sampai kebencian kita kepada seseorang atau kepada suatu kaum membuat kita tidak adil terhadap mereka, sebagaimana Allah SWT Firmankan dalam Surat Al-Maa-idah ayat 8 :
33
Artinya :”Hai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang-orang yang menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi-saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada Takwa. dan bertakwalah kepada Allah.”
PELANGGARAN PROKES adalah sebuah PELANGGARAN bukan KEJAHATAN, sehingga dalam ATURAN pun disebut sebagai PELANGGARAN PROKES tidak disebut sebagai KEJAHATAN PROKES. Penggunaan istilah ini pun diakui oleh para Pakar Hukum Pidana mau pun Hukum Tata Negara, baik di tingkat Nasional mau pun Internasional. Karenanya PELANGGARAN PROKES sebagai sebuah Pelanggaran yang bukan Kejahatan cukup diberi Sanksi Administrasi bukan Sanksi Pidana.
Hal tersebut di atas disepakati oleh Para Saksi Ahli antara lain : DR Refly Harun (Ahli Tata Negara), DR Muzakkir (Ahi Hukum Pidana), DR Abdul Choir Ramadhan (Ahli Teori Hukum Pidana), dan DR Luthfi Hakim Ahli Hukum Pidana Kesehatan.
حسبنا لله ونعم الوكيل، نعم المولى ونعم النصير، ولا حول ولا قوة إلا ﺑﺎﻟﻠﻪ العلي العظيم
II. DISKRIMINASI HUKUM
POLITIK KRIMINALISASI adalah suatu KEZALIMAN yang sangat jauh dari nilai-nilai KEADILAN, karena hanya berisi DISKRIMINASI HUKUM, sehingga bertentangan dengan Ajaran Islam yang ANTI DISKRIMINASI.
Allah SWT telah menegaskan bahwa standar kemuliaan manusia adalah TAQWA, tiada ukuran keutamaan apa pun di antara manusia kecuali hanya TAQWA. Firman-Nya dalam Surat Al-Hujuraat ayat 13 :
هَا ُّ
َ
َعَارَفُوٓۚا إنَِّ لَِ ِ بَآ ا وَ َ مۡ شُعُو ٗ ُٰ وَجَعَلۡ َ اسَُّ ن َٰ ٱ َٰٓ
ُم مِّن ذَكَرٖ وَأ ُٰ إنِاَّ خَلقَۡ َ
مۡ عِندَ رَمَ ُ ۡ
َمۚۡ إِنَّ قَٮٰ ُ ۡ أ ٱ َّ
َ
ٞ ١٣ عَليِمٌ خَبِ ٱ ََّ
Artinya : ”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
34
Dan Rasulullah SAW pernah bersabda :
أَيهَُّا النَّاسُ، أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَﺑَﺎكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَ جَمِيٍّ ، وَلَا "َ
لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلَا أَحمَْرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحمَْرَ، إِلَّا ﺑِﺎلتَّقْوَى أَبلََّغ تُ ".
Artinya : ”Wahai Manusia, ketahuilah bahwa sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu, dan sesungguhnya Ayah kalian juga satu, ingatlah bahwasanya tiada Keutamaan bagi Arab atas ‘Ajam, dan tiada keutamaan bagi ‘Ajam atas Arab, dan tiada Keutamaan bagi Hitam atas Merah, dan tiada Keutamaan bagi Merah atas Hitam, kecuali dengan Taqwa. Saksikanlah bahwa aku telah menyampaikan.”
HADITS ini SHAHIH ada diriwayatkan dalam Kitab Musnad Imam Ahmad hadits ke-23.489, dan Kitab Musnad Abdullah Ibnul Mubarak hadits ke-239, dan Kitab Syu’abul Iman karya Imam Al-Baihaqi hadits ke-4.774, Kitab Mu’jam Ibnu ‘Asakir hadits ke-1.045, dan Kitab Majma’ Az-Zawaa-id karya Nuuruddin Al-Haitsami hadits ke-5.622, dan Kitab hadits lainnya.
Dalam penegakan Hukum, Islam secara tegas menolak DISKRIMINASI HUKUM, sebagaimana Allah SWT tegaskan dalam Al-Qur’an bahwa keadilan harus ditegakkan walau terhadap kerabat atau orang dekat sekali pun, sebagaimana Firman-Nya SWT dalam Surat Al-An’aam ayat 152 :
Artinya : “ Dan apabila kamu berkata, maka adillah, walau terhadap kerabat / orang dekat”
Dan Rasulullah SAW juga pernah mengingatkan tentang Bahaya Diskrimnasi Hukum sambil beliau bersumpah :
إِنَّماَ هَلَكَ مَنْ كَانَ قبَْلَكُمْ إِذَا سَرَقَ فِيْهِمُ الشَّرِيْفُ ترََكُوْهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيْهِمُ الضَّع يْفُ يقَُامُ
عَلَيْهِ الحَْدُّ، وَيْمُ اﻟٰﻠﻪِّ إِنْ كَانَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَ ا.
Artinya : “Sesungguhnya telah binasa umat sebelum kamu lantaran jika di tengah mereka ada seorang (yang dianggap) mulia / terhormat mencuri atau dibiarkan, tapi jika ada di tengah mereka seorang lemah / rakyat biasa mencuri maka ditegakkan atasnya hukum, Demi Allah, jika Fathimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya”
35
Dari HADITS SHAHIH ini kita mendapat pelajaran sangat berharga, antara lain :
1. Betapa pentingnya PENEGAKKAN KEADILAN.
2. Bahwa KETIDAK-ADILAN hanya membawa PETAKA.
3. Tidak boleh ada DISKRIMINASI dalam Penegakkan Hukum.
4. Betapa Adilnya Nabi Muhammad SAW.
5. Betapa Agungnya dan Mulianya kedudukan Sayyidah Fathimah RA, sehingga dijadikan contoh utama oleh Nabi SAW untuk memberi pesan bahwasanya jangankan orang lain yang dianggap terhormat, bahkan Fathimah Az-Zahra sekali pun, yang merupakan semulia-mulianya wanita, pemimpin wanita semesta alam, kecintaan dan jantung hati Nabi SAW, namun kalau salah tetap harus dihukum.
Subhaanallaah … betapa Agung dan Mulia serta Sempurnanya Akhaq Nabi Muhammad SAW.
POLITIK KRIMINALISASI sama sekali tidak berpegang pada prinsip EQUALITY BEFORE THE LAW yang NON DISKRIMINATIF, sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 Pasal 27 ayat 1 yang berbunyi : ”Semua Warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum.”
Ada ribuan PELANGGARAN PROTOKOL KESEHATAN (PROKES) di Tanah Air sejak awal Pandemi hingga kini, bahkan banyak dilakukan oleh Tokoh Nasional, mulai dari Artis hingga Pejabat, tidak terkecuali Menteri dan Presiden, akan tetapi waktu kita selama ini hanya habis dikuras untuk KRIMINALISASI PELANGGARAN PROKES yang melibatkan SAYA pada Kerumunan Petamburan di Jakarta dan Kerumunan Megamendung di Kabupaten Bogor, serta Test Swab PCR di Rumah Sakit UMMI Kota Bogor, sehingga SAYA diproses ke Pengadilan dengan 3 Kasus & 3
Sidang untuk 3 Vonis melalui 11 Dakwaan dengan 18 Pasal Undang-Undang.
Walikota Jakarta Pusat DR Bhayu Meghantara M.Si memberi Kesakksian dalam sidang KASUS KERUMUNAN PETAMBURAN ini bahwa di Jakarta banyak terjadi PELANGGARAN PROKES, tapi tak satu pun yang dipidanakan kecuali KASUS KERUMUNAN PETAMBURAN yang melibatkan SAYA. Bahkan juga memberi kesaksian bahwasanya Pemprov Jakarta hanya mengenakan Sanksi Denda kepada SAYA dan tidak pernah lapor polisi untuk dipidanakan.
Dan Ketua Satpol PP Kabupaten Bogor Agus Ridallah dalam sidang KASUS KERUMUNAN MEGAMENDUNG juga memberi kesaksian bahwa bahwa di Kabupaten Bogor pun banyak terjadi PELANGGARAN PROKES tapi tak satu pun yang dipidanakan kecuali KASUS KERUMUNAN MEGAMENDUNG yang juga melibatkan SAYA. Bahkan juga memberi kesaksian bahwa ia tidak pernah melaporkan SAYA ke Polisi, melainkan yang dilaporkan hanya soal kerumunannya.
Serta Wali Kota Bogor DR Bima Arya dalam sidang KASUS TEST SWAB PCR RS UMMI pun memberi kesaksian bahwa di Kota Bogor banyak terjadi PELANGGARAN PROKES tapi tak satu pun yang dipidanakan kecuali KASUS TEST SWAB PCR RS UMMI yang pun melibatkan SAYA.
36
Bahkan juga memberi kesaksian bahwa ia dan Stafnya tidak pernah melaporkan
SAYA ke Polisi, melainkan hanya melaporkan RS UMMI.
Jadi jelas, ketiga KASUS PELANGGARAN PROKES itu memang dirancang untuk mempidanakan SAYA, sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa ini semua adalah KRIMINALISASI dan sekaligus DISKRIMINASI untuk memenuhi syahwat pelampiasan DENDAM POLITIK OLIGARKI.
Adanya DISKRIMINASI dalam Kasus SAYA diakui oleh Majelis Hakim KASUS KERUMUNAN PETAMBURAN melalui Amar Putusannya menyatakan :
”Bahwa dalam perkara A quo dari pertanyaan TERDAKWA mau pun PENASIHAT HUKUMNYA ada KETERANGAN SAKSI yang menyatakan banyaknya terjadi KERUMUNAN MASSA yang mengabaikan Aturan PROTOKOL KESEHATAN namun tidak memiliki IMPLIKASI HUKUM. Memanglah mencermati FENOMENA tersebut MAJELIS berpendapat sbb :
1. Bahwa telah terjadi KETIMPANGAN PERLAKUAN atau DISKRIMINASI yang seharusnya tidak terjadi dalam Negara Kesstuan Republik Indonesia yang mengagungkan dirinya sebagai NEGARA HUKUM bukan sebagai NEGARA KEKUASAAN.
2. Bahwa telah terjadi pengabaian Aturan PROTOKOL KESEHATAN oleh masyarakat itu sendiri karena kejenuhan terhadap kondisi PANDEMI ini dan juga ada PEMBEDAAN PERLAKUAN di antara masyarakat satu sama lain.”
Pernyataan yang sangat tulus dan mulia dari Majelis Hakim KASUS KERUMUNAN PETAMBURAN, namun sayangnya tidak diikuti dengan pemenuhan RASA KEADILAN, sehingga tetap saja KASUS KERUMUNAN PETAMBURAN mau pun KASUS KERUMUNAN MEGAMENDUNG yang divonis sebagai PELANGGARAN PROKES dikenakan Sanksi Pidana terkait Pasal 93 ayat (1) UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Dan walau pun kedua Kasus tersebut sama-sama divonis lewat UU dan Pasal serta Ayat yang sama, namun ada PERBEDAAAN SANKSI, yaitu KASUS KERUMUNAN MEGAMENDUNG hanya divonis Denda Rp 20 juta Tanpa Penjara, sedang KASUS KERUMUNAN PETAMBURAN yang sebelumnya sudah bayar Denda Rp 50 juta, tapi masih tetap ditambah dengan Vonis Penjara 8 bulan tanpa mempertimbangkan Denda yang sudah dibayar tersebut.
Pantas, seorang mantan Hakim Mahkamah Kontitusi RI, DR Hamdan Zoelva SH, MH, mengomentari Vonis Kedua Kasus tersebut dalam cutian di akun Twitter TResminya dengan pernyataan :
”Putusan Perkara HRS, memenuhi aspek hukum memenuhi pelanggaran pidana, tetapi tidak memenuhi rasa keadilan. Hukum tanpa rasa keadilan adalah hukum yang kehilangan jiwa.”
Namun demikian PENGAKUAN JUJUR Majelis Hakim KASUS KERUMUNAN PETAMBURAN tentang adanya DISKRIMINASI dalam proses hukum SAYA, serta PENGAKUAN JUJUR Majelis
37
Hakim tentang pentingnya penegakan
prinsip EQUALITY BEFORE THE LAW yang NON DISKRIMINATIF, patut diacungkan jempol. Tidak seperti JPU dalam Kasus RS UMMI ini yang berusaha mencari dalih penghalalan DISKRIMINASI dan dalih pembenaran melanggar prinsip EQUALITY BEFORE THE LAW, sebagaimana dituangkan sendiri oleh JPU dalam Pembukaan TUNTUTAN-nya halaman 2 yang berbunyi sbb :
”Asas EQUALITY BEFORE THE LAW dalam keadaan apa pun tidak bisa dilaksanakan secara ”rigid”, atau tidak dapat dilaksanakan sebagaimana ”Pukat Harimau”, yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan, baik ikan kecil mau pun ikan yang besar seluruhnya dapat terjaring.”
Sungguh sangat memalukan dan sekaligus menjijikkan tatkala Penegak Hukum mengucapkan kalimat seperti ini, yang secara terang-terangan membenarkan tindakan DISKRIMINASI dan mengabaikan prinsip EQUALITY BEFORE THE LAW dalam penegakan hukum. Kalimat seperti ini sangat sangat tidak pantas diucapkan oleh seorang Penegak Hukum, karena :
1. Bahwa Prinsip EQUALITY BEFORE THE LAW adalah Amanat Konstitusi yaitu : Pancasila sila kedua ”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dan sila kelima ”Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia”, serta UUD 1945 Pasal 27 ayat 1 yang berbunyi : ”Semua Warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum.”
2. Bahwa sesulit apa pun Penegakan Prinsip EQUALITY BEFORE THE LAW tetap saja seorang Penegak Hukum wajib berusaha sekuat tenaga dan semaksimal kemampuan untuk menegakkannya.
3. Bahwa Pengabaian Prinsip EQUALITY BEFORE THE LAW dalam penegakan hukum akan mengantarkan kepada DISKRIMINASI HUKUM yang diharamkan semua Agama dan dilarang Konstitusi Negara.
4. Bahwa sikap Penegak Hukum yang mencari-cari Dalih Pembenaran DISKRIMINASI dalam penegakan hukum akan membuat si Penegak Hukum merasa benar dan merasa tidak bersalah saat melakukan KEZALIMAN DISKRIMINASI.
5. Bahwa sikap Penegak Hukum yang mencari-cari Dalih Pembenaran DISKRIMINASI dalam penegakan hukum juga akan meluluh-lantakkan norma-norma hukum dan nilai-nilai kehidupan serta sendi-sendi keadilan di tengah kehidupan berbangsa dan bertanah-air.
Melalui sidang terhormat ini di hadapan Majelis Hakim yang mulia, SAYA mengingatkan bahwa di dalam ruang sidang ini, Para Saksi Ahli antara lain : DR Refly Harun (Ahli Tata Negara), DR Muzakkir (Ahli Hukum Pidana), DR Abdul Choir Ramadahan (Ahli Teori Hukum Pidana), DR Luthfi Hakim (Ahli Hukum Pidana Kesehatan), dan DR M Nasser (Ahli Hukum Kesehatan) semuanya sepakat bahwa DISKRIMINASI HUKUM adalah Pelanggaran terhadap Konstitusi dan sekaligus merupakan ancaman bagi Tatanan Hukum, yang bisa membuat kehancuran Bangsa dan Negara.
38
Karenanya menurut hemat SAYA bahwasanya Para Penegak Hukum yang berprinsip seperti Prinsip JPU tadi wajib segera disingkirkan dari Dunia Peradilan, karena keberadaan mereka hanya membuat keonaran dan kekacauan di Dunia Hukum, serta sangat membahayakan Penegakan Hukum di Negara Hukum Indonesia.
Penegak Hukum yang sudah tidak peduli dengan Prinsip EQUALITY BEFORE THE LAW yang NON DISKRIMINATIF dalam penegakan hukum, maka akan mudah untuk memperdagangkan Kasus dan Perkara, memperjual-belikan Pasal dan Ayat, serta mengindustrikan Hukum dan Perundang-undangan. Menko Polhukam RI Prof DR Mahfud MD dalam salah satu ceramahnya yang viral tentang INDUSTRI HUKUM sebagai berikut :
”Sering kali di Indonesia itu, hukum menjadi industri itu sendiri. Tahu hukum menjadi industri itu sendiri? Hukum dibuat sedemikian rupa agar orang yang benar menjadi salah, yang salah menjadi benar.”
Lalu Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi RI ini melanjutkan :
”Karena Hukum itu diindustrikan, hukum itu bisa diolah sedemikian rupa, bisa menjadi Industri Hukum bukan Hukum Industri, maka kalau ada orang berperkara kepada saya, seketika itu juga saya bisa mengatakan kalau anda mau menang saya tahu pasalnya, saya tahu Undang-Undangnya, tapi kalau anda mau salah, saya tahu juga pasalnya, saya tahu Undang-Undangnya untuk menyatakan anda salah, saya tahu pasalnya dan Undang-Undangnya untuk menyatakan anda benar. Tinggal saya memilih.”
Bahkan Prof Dr Mahfud MD dalam cuitan di Twitter Resminya pada tgl 9 November 2017 pernah menyatakan :
”Setiap kasus bs dicari pasal benar atau salahnya mnrt hukum. Tinggal siapa yg lihai m,encari atau membeli. Intelektual tukang bs mencarikan pasal2 sesuai dgn esanan dan bayarannya.”
Semoga Allah SWT selamatkan Bangsa dan Negara Indonesia dari Para Penegak Hukum yang korup dan berhati Iblis, yang suka memperdagangkan Kasus dan Perkara, memperjual-belikan Pasal dan Ayat, serta mengindustrikan Hukum dan Perundang-undangan.
حسبنا لله ونعم الوكيل، نعم المولى ونعم النصير، ولا حول ولا قوة إلا ﺑﺎﻟﻠﻪ العلي العظيم
39
III.MANIPULASI FAKTA
POLITIK KRIMINALISASI juga menghalalkan segala acara dalam rangka mencari PEMBENARAN, di antaranya adalah MANIPULASI FAKTA. Dan MANIPULASI FAKTA ini merupakan KEJAHATAN SERIUS dalam Penegakan Hukum. Karenanya seorang Penegak Hukum Sejati yang selalu mencari kebenaran pasti akan senantiasa menjaga diri dari kejahatan MANIPULASI FAKTA.
Dalam KASUS TEST SWAB PCR DI RS UMMI KOTA BOGOR, banyak kita dapatkan PAKTEK MANIPULATIF, baik dengan menghilangkan Fakta Kebenaran atau membuat Fakta Bohong atau Cara Kontroversial lainnya.
1. MENGHILANGKAN FAKTA KEBENARAN
Banyak Fakta Persidangan KASUS TEST SWAB PCR DI RS UMMI KOTA BOGOR, baik berupa Keterangan Saksi Fakta yang kuat mau pun Pendapat Ahli yang bagus diabaikan begitu saja oleh JAKSA Penuntut Umum (JPU), karena tidak sesuai dengan syahwat mencari pembenaran dalam praktek Politik Kriminalisasi, antara lain :
a. Semua SAKSI FAKTA A DE CHARGE yang dihadirkan oleh SAYA dan Penasihat Hukum diabaikan JPU, sehingga tak satu pun kesaksian mereka dijadikan bahan pertimbangan dalam membuat Analisa Hukum untuk mengambil kesimpulan.
b. Semua SAKSI AHLI A DE CHARGE yang dihadirkan oleh SAYA dan Penasihat Hukum juga diabaikan oleh JPU, yaitu :
1) Saat SAYA dan Penasihat Hukum menghadirkan Saksi Ahli Sosiologi seorang PROFESOR DOKTOR dan REKTOR PERGURUAN TINGGI yaitu Prof DR Musni Umar yang diakui di dalam mau pun luar negeri, dengan seenaknya JPU meremehkan keahliannya dalam ruang sidang. Tentu merupakan Hak JPU menerima atau menolak pendapat Ahli, tapi bukan Hak Jaksa untuk menghina dan melecehkan Keahlian para Saksi Ahli.
2) Bahkan pada saat SAYA dan Penasihat Hukum menghadirkan enam Saksi Ahli sekaligus, yaitu : DR Refly Harun (Ahli Tata Negara), DR Muzakkir (Ahli Hukum Pidana), DR Abdul Choir Ramadahan (Ahli Teori Hukum Pidana), DR Luthfi Hakim (Ahli Hukum Pidana Kesehatan), DR Tonang (Ahli Kesehatan dan Epidemiologi) dan DR Frans (Ahli Linguistik Forensik), ternyata JPU dengan angkuh dan sombong langsung menolak semua Saksi Ahli tersebut tanpa alasan yang logis, kecuali DR Muzakkir (Ahli Hukum Pidana), itu pun JPU ingin seenaknya memaksakan pendapatnya kepada Saksi Ahli tersebut hingga ditegur oleh Hakim Ketua dari Majelis
Hakim yang mulia.
40
Lucunya, dalam Tuntutan halaman 119 JPU mengklaim bahwa Saksi Ahli DR Muzakkir sengaja tidak menjawab pertanyaan JPU, untuk mengesankan bahwa Saksi Ahli seolah tidak bisa menjawab pertanyaan JPU, padahal JPU sendiri yang tidak mampu mengajukan pertanyaan yang berkualitas dan juga tidak mampu memahami uraian ilmiah Saksi Ahli, sehingga sampai ditegur oleh Hakim Ketua dengan mengatakan kepada JPU : ”Kok anda begitu saja tidak mengerti ?!”
Sungguh sangat kami sesalkan para JPU yang konon katanya berpendidikan tinggi dan konon katanya menjunjung tinggi kesopanan, ternyata berani dengan sengaja dan secara sadar melakukan perbuatan yang sangat hina yaitu MANIPULASI FAKTA dengan cara MENGHILANGKAN FAKTA KEBENARAN.
2. MEMBUAT FAKTA BOHONG
Dalam KASUS TEST SWAB PCR DI RS UMMI KOTA BOGOR, dalam DAKWAAN mau pun TUNTUTAN JPU ada didapat FAKTA PALSU yang tidak pernah dipersaksikan oleh Keterangan TERDAKWA mau pun Saksi Fakta atau pun Pendapat Ahli, tapi oleh JPU dijadikan sebagai Fakta Persidangan demi mendapat Dalil Pembenaran atas Dakwaan atau Tuntutannya hanya untuk memenuhi syahwat Politik Kriminalisasinya, antara lain :
a. Dalam TUNTUTAN halaman 19 pada bagian DAKWAAN KEDUA, JPU tanpa punya rasa malu dengan semangat jahat untuk mempidanakan dan mengkriminalisasikan serta memenjarakan SAYA menyatakan :
”Akibat perbuatan Tedakwa mengisi Formulir Persetujuan Umum (General Consent) tgl 24 November 2020 dan membuat surat pernyataan yang pada pokoknya tidak mau memberikan informasi terkait hasil pemeriksaan terdakwa yang POSITIF COVID merupakan tindakan dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah.”
Disini ada Manipulasi Data dan Fakta, karena tidak ada seorang Saksi pun, baik Saksi Fakta mau pun Saksi Ahli yang menyatakan bahwa SAYA sudah POSITIF COVID dengan hasil Test PCR pada tgl 24 November 2020 saat ditanda-tangani General Consent RS UMMI hingga tgl 28 November 2020 saat dibuat Surat Pernyataan tersebut, karena Faktanya Test PCR baru dilakukan tgl 27 November 2020.
HASIL RESMI Test PCR baru SAYA terima dari Dr Hadiki melalui Habib Hanif Alattas pada tgl 30 November 2020 sesuai Keterangan SAYA dan Keterangan Saksi Fakta Dr Hadiki serta Saksi Mahkota Habib Hanif Alattas di depan persidangan, karena Test PCR dilaksanakan hari JUM’AT 27 November 2020, sementara hari SABTU dan AHAD yaitu tgl 28 dan 29 November 2020 merupakan HARI LIBUR, sehingga Laporan Hasil PCR baru bisa disampaikan kepada SAYA pada hari SENIN tgl 30 November 2020
41
Dari mana JPU bisa langsung menyebut sudah POSITIF COVID sejak tgl 24 November 2020 tanpa Fakta Kesaksian dan tanpa Data Hasil Test PCR !?
Padahal ada pengakuan JPU bahwa Test PCR baru diambil tgl 27 November 2020 dalam TUNTUTAN JPU halaman 121 yang berbunyi : ”Test PCR tersebut diambil oleh Tim Mer-C pada hari Jum’at tgl 27 November 2020 setelah Shalat Jum’at, hasilnya diperoleh Positif Covid-19”.
Namun JPU tetap saja licik, karena dalam pengakuan ini kalimat ”hasilnya diperoleh Positif Covid-19” ditebalkan oleh JPU tanpa disebut kapan keluar hasil tersebut, seolah hasil tersebut diterima oleh SAYA dan RS UMMI pada hari itu juga yaitu Jum’at 27 November2020.
Padahal HASIL RESMI Test PCR baru SAYA terima dari Dr Hadiki melalui Habib Hanif Alattas pada tgl 30 November 2020 sesuai Keterangan SAYA dan Keterangan Saksi Fakta Dr Hadiki serta Saksi Mahkota Habib Hanif Alattas di depan persidangan, karena Test PCR dilaksanakan hari JUM’AT 27 November 2020, sementara hari SABTU dan AHAD yaitu tgl 28 dan 29 November 2020 merupakan HARI LIBUR, sehingga Laporan Hasil PCR baru bisa disampaikan kepada SAYA pada hari SENIN tgl 30 November 2020
Selain itu, Formulir GENERAL CONSENT yang disediakan di setiap RS adalah Hak Pasien untuk mengisi dan menanda-tanganinya sesuai UU Kesehatan dan UU Kedokteran mau pun UU Rumah Sakit. Dan dalam GENERAL CONSENT sudah dijelaskan bahwa Kerahasiaan Pasien tetap wajib dijaga KECUALI untuk keperluan kesehatan yang sudah diatur dalam UU seperti pengiriman sampling ke Laboratorium atau laporan ke Dinkes dan Kemenkes, apalagi pada saat Darurat Wabah, sehingga pengisian General Consent atau pembuatan Surat Pernyataan yang sejalan dengannya tidak bisa diartikan sebagai menghalangi Penanggulangan Wabah, justru itu merupakan bagian Hak Pasien yang tetap harus dijaga sesuai UU Kesehatan dan UU Kedokteran mau pun UU Rumah Sakit, tanpa melanggar UU Kekarantinaan Kesehatan mau pun UU Penanggulangan Wabah.
b. Dalam TUNTUTAN halaman 20 pada bagian DAKWAAN KEDUA, JPU melanjutkan pernyataannya sbb :
”Akibat perbuatan terdakwa tersebut menimbulkan Penyebaran Covid 19 di wilayah Kota Bogor mengalami peningkatan”
Disini jelas sekali JPU menjadikan OBSERVASI dan PERAWATAN serta PENGOBATAN SAYA di RS UMMI dan ISOLASI MANDIRI di Rumah setelah pulang dari RS UMMI, sebagai penyebab Peningkatan Covid di Kota Bogor.
42
Kok bisa JPU yang konon katanya berpendidikan tinggi dan konon katanya selalu menjunjung kesopanan, secara serampangan dan seenaknya menuduh dan memfitnah bahwa OBSERVASI dan PERAWATAN serta PENGOBATAN SAYA di RS UMMI sebagai penyebab Peningkatan Covid di Kota Bogor. Sungguh sangat menjijikkan melihat cara-cara kotor dan jorok JPU dalam membuat Analisa Hukum dengan FAKTA KHAYALAN alias PALSU demi mendapat Dalil Pembenaran atas Dakwaan atau Tuntutannya hanya untuk memenuhi syahwat Politik Kriminalisasinya.
Sebagian Jaksa dalam Kasus RS UMMI ini memang terlibat juga dalam Tim Jaksa dalam KASUS KERUMUNAN MEGAMENDUNG dan KASUS KERUMUNAN PETAMBURAN. Dalam kedua KASUS KERUMUNAN tersebut mengaitkan dan menghubungkan Peristiwa Kerumunan dengan Peningkatan Covid masih bisa dianggap logis dan wajar, karena memang kerumunan berpotensi meningkatkan penyebaran virus, sehingga masih ada potensi hubungan kausalitas (sebab akibat), akan tetapi itu pun masih harus dibuktikan melalui Penyelidikan Epidemiologis yang dilanjutkan dengan Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat oleh Pemerintah yang berwenang, untuk memastikan bahwa Kerumunan tersebut sebagai sebab satu-satunya atau setidaknya sebagai sebab dominan bagi terjadinya Peningkatan Covid di wilayah tersebut.
Namun dalam KASUS PERAWATAN SAYA di RS UMMI Kota Bogor yang dijadikan sebagai sebab Peningkatan Covid di Kota Bogor sangat tidak logis dan amat tidak wajar, walau pun benar ada Data Peningkatan Covid di Kota Bogor, namun tidak ada hubungan kausalitas sama sekali dengan SAYA yang dirawat sebagai pasien di RS UMMI. Dan Para Saksi dari Satgas Covid Kota Bogor di persidangan tak satu yang menyatakan bahwa Peningkatan Covid di Kota Bogor akibat SAYA dirawat di RS UMMI.
Bahkan setelah SAYA pulang ke rumah di Sentul Kabupaten Bogor yaitu tgl 28 November 2020 langsung melanjutkan ISOLASI MANDIRI di bawah pengawasan Tim Mer-C, sehingga tidak melakukan kontak fisik dengan SIAPA PUN, lalu dari mana JPU langsung menyatakan bahwa akibat SAYA pulang tgl 28 November 2020, maka pada tgl 1 Desember 2020 langsung terjadi Peningkatan Covid di Kota Bogor, sebagaimana tertera di TUNTUTAN halaman 20 pada bagian DAKWAAN KEDUA tadi secara lengkap :
”Akibat perbuatan terdakwa tersebut menimbulkan Penyebaran Covid 19 di wilayah Kota Bogor mengalami peningkatan. Hal tersebut berdasarkan penetapan Gugus Tugas Nasional Kota Bogor masuk dalam Zona Resiko Sedang / Zona Orange per tanggal 1 Desember 2020, jumlah pasien Covid 19 yang sudah terkonfirmasi sebagai berikut : Jumlah terkonfirmasi Positif 3.398 orang, meninggal 98 orang, masih sakir 540 orang dan sembuh 2.760 orang.”
Ajaib Data Peningkatan Covid Kota Bogor tersebut dibebankan kepada SAYA yang dirawat di RS UMMI dan lanjut ISOLASI di rumah tanpa kontak dengan siapa pun selama perawatan. Kenapa JPU tidak sekalian saja peningkatan Covid di seluruh Indonesia juga dibebankan kepada SAYA agar angkanya lebih fantastis !?
Justru orang yang suspect / probable / konfirm covid sekali pun yang melakukan perawatan di RUMAH SAKIT atau melakukan ISOLASI MANDIRI di rumah sesuai aturan, telah mengambil langkah tepat dalam menekan Peningkatan Covid tersebut. Lain halnya orang yang Positif Covid keluyuran di jalan atau di pasar, bahkan yang sehat pun jika tidak menjaga PROKES, termasuk berpotensi meningkatkan Penyebaran Covid.
Jadi, Otak Jaksa sudah kusut dan rusak, karena AKAL SEHAT mustahil menjadikan OBSERVASI dan PERAWATAN serta PENGOBATAN PASIEN di RUMAH SAKIT sebagai penyebab Peningkatan Covid. Ini Bukti bahwa JPU telah mengarang cerita sehingga mengambil kesimpulan dengan FAKTA PALSU.
Sekali lagi, sungguh sangat kami sesalkan para JPU yang konon katanya berpendidikan tinggi dan konon katanya menjunjung tinggi kesopanan, ternyata berani dengan sengaja dan secara sadar melakukan perbuatan yang sangat hina yaitu MANIPULASI FAKTA dengan cara MEMBUAT FAKTA BOHONG.
3. CARA KONTROVERSIAL LAINNYA
Dalam Fakta Persidangan sering terjadi SAKSI FAKTA diminta pendapat, sementara SAKSI AHLI ditanya Fakta Kasus. Padahal perbedaan antara SAKSI FAKTA dan SAKSI AHLI adalah bahwa SAKSI FAKTA memberi keterangan berdasarkan sesuatu yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri, sedang SAKSI AHLI memberikan keterangannya berdasarkan keahlian khusus yang dimilikinya.
Dan praktek SAKSI FAKTA diminta pendapat, sementara SAKSI AHLI ditanya Fakta Kasus sering terjadi semenjak pembuatan BAP hingga pemeriksaan di persidangan, termasuk dalam KASUS TEST SWAB PCR DI RS UMMI KOTA BOGOR .
Banyak Saksi Fakta dalam BAP KASUS TEST SWAB PCR DI RS UMMI KOTA BOGOR ditanya tentang PENDAPAT dan ASUMSI mereka. Padahal Saksi Fakta tidak boleh ditanya tentang PENDAPAT atau ASUMSINYA, tapi hanya boleh ditanya tentang apa yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Dan sebaliknya banyak sekali Saksi Ahli ditunjukkan oleh Penyidik FAKTA-FAKTA KASUS secara rinci berikut berbagai Dokumen dan Barang Buktinya, lalu ditanya pendapatnya tentang FAKTA KASUS tersebut. Berikut rinciannya :
a. Hampir semua SAKSI FAKTA KASUS TEST SWAB PCR DI RS UMMI KOTA BOGOR kecuali Dr Andi Tatat (Dirut RS MMI) dan Dr. Nuri (Petugas Laboratorium RSCM Jakarta) serta Zulfickar (Manager Media RS UMMI Kota Bogor), saat pembuatan BAP ditunjukkan oleh Penyidik Kepolisian beberapa Rekaman Video ttg SAYA dan Hb Hanif Alattas serta Dr Andi Tatat yang menyatakan bahwa SAYA ”baik-baik saja”, lalu ditunjukkan Rekam Medis SAYA, kemudian diminta PENDAPAT SAKSI FAKTA sambil digiring oleh Penyidik untuk menyatakan bahwa
44
SAYA dan Hb Hanif Alattas serta Dr Andi Tatat telah BERBOHONG, bahkan dalam Ruang Sidang pun JPU sering menggiring hal serupa sebagaimana di BAP :
1) Walikota Bogor Bima Arya di BAP TAMBAHAN tgl 18 Jan 2021 No 5 ttg Rekam Medis & N0 6 – 10 ttg Video.
2) Kasatpol PP Kota Bogor Agustian Syah BAP TAMBAHAN tgl 26 Jan 2021 No 7 - 10 ttg Video.
3) Dr. Sri Nowo Retno (Kadinkes Kota Bogor) di BAP TAMBAHAN tgl 26 Jan 2021 No 6 - 9 ttg Rekam Medis & No 12 ttg Video.
4) Johan Musali (Anggota Satgas Covid Kota Bogor) di BAP tgl 29 Des 2020 No 16 ttg Rekam Medis & BAP TAMBAHAN tgl 26 Jan 2021 No 8 ttg Video.
5) Ferro Sopacua (Anggota Satgas Covid Kota Bogor) di BAP TAMBAHAN tgl 30 Des 2020 No 9 – 11 ttg Video.
6) Dr. Sarbini (Ketua Presidium Mer-C) di BAP TAMBAHAN tgl 14 Jan 2021 No 11 ttg Rekam Medis & No 12 – 13ttg Video).
7) Dr. Hadiki (Relawan Mer-C) di BAP TAMBAHAN tgl 11 Jan 2021 No 23 ttg Video.
8) Dr. Tonggo Mea (Relawan Mer-C) di BAP TAMBAHAN tgl 14 Jan 2021 No 6 ttg Video.
9) Dr. Faris (Dr Jaga RS UMMI) di BAP TAMBAHAN tgl 27 Jan 2021 No 6 - 7 ttg Rekam Medis & No 8 ttg Video.
10) Dr. Nerina (Dr Rawat RS UMMI) di BAP TAMBAHAN tgl 11 Jan 2021 No 15 - 17 ttg Rekam Medis & No 18 - 20 ttg Video.
11) Dr. Nuri (Lab RSCM) hanya ditanya seputar Hasil Laboratorium Hasil Pemeriksaan PCR SAYA.
12) Herdiansyah (Pedagang Sayur) di BAP TAMBAHAN tgl 28 Jan 2021 No 13 ttg Rekam Medis & No 14 - 16 ttg Video.
13) Dr Najamudin (Direktur Umum RS UMMI) di BAP TAMBAHAN tgl 11 Jan 2021 No 25 ttg Rekam Medis & No 27 ttg Video & BAP TAMBAHAN tgl 27 Jan 2021 No 8 – 9 ttg Video.
14) Fitri Sri Lestari (Perawat RS UMMI) di BAP TAMBAHAN tgl 27 Jan 2021 No 13 - 14 ttg Rekam Medis & No 15 ttg Video.
15) Zulfickar (Manager Media RS UMMI) di BAP tgl 27 Jan 2021 No 10 : Video yg diupload saksi.
16) Ahmad Suhadi (Pimpinan FMPB) di BAP tgl 14 Jan 2021 No 8 - 10 ttg Video.
17) Ikha Nurhakim (Anggota FMPB) di BAP tgl 14 Jan 2021 N0 10 – 13 ttg Video.
18)M Aditiya (Ketua BEM se-Bogor Raya) di BAP tgl 27 Jan 2021 No 11 ttg Video & No 15 – 16 ttg Rekam Medis.
19) M Aslam (Anggota BEM se-Bogor Raya) di BAP tgl 27 Jan 2021 No 14 - 16 ttg Video & No 13 ttg Rekam Medis.
b. SAKSI MAHKOTA pun Hb Hanif Alattas saat pembuatan BAP ditunjukkan oleh Penyidik Kepolisian ditunjukkan Rekam Medis SAYA, kemudian diminta PENDAPAT SAKSI FAKTA, namun SAKSI menolak untuk menjawab kecuai nanti di persidangan.sebagaimana di BAP tgl 4 Jan 2021 No 35 ttg Rekam Medis.
45
c. Semua SAKSI AHLI saat pembuatan BAP oleh Penyidik Kepolisian ada yang diceritakan FAKTA KASUS, bahkan ada yang ditunjukkan FAKTA KASUS berupa beberapa Rekaman Video ttg SAYA dan Hb Hanif Alattas serta Dr Andi Tatat yang menyatakan bahwa SAYA ”baik-baik saja”, lalu ditunjukkan berbagai Dokumen dan Rekam Medis SAYA, kemudian diminta PENDAPAT SAKSI terhadap FAKTA KASUS sambil digiring Penyidik untuk menyatakan bahwa SAYA dan Hb Hanif Alattas serta Dr Andi Tatat telah BERBOHONG.
1) DR TRI YUNIS (Ahli Epidemiologi & Anggota Satgas Covid Kota Bogor) saat pembuatan BAP oleh Penyidik Kepolisian diceritakan FAKTA KASUS SAYA, kemudian diminta PENDAPAT SAKSI tentang FAKTA KASUS tersebut, sambil digiring oleh Penyidik untuk memposisikan SAYA sebagai pihak yang melanggar PIDANA sebagaimana termaktub dalam BAP SAKSI AHLI tgl 28 Des 2020 No Soal 16 s/d 19.
Saksi Ahli ini ditolak oleh SAYA dan Penasihat Hukum karena posisinya sebagai ANGGOTA SATGAS COVID KOTA BOGOR, artinya satu Grup dengan PELAPOR, sehingga diragukan INDEPENDENSI dan OBJEKTIVITASNYA.
SAYA cantumkan Saksi Ahli ini disini bukan untuk mengambil pendapatnya, karena sudah SAYA tolak, tapi untuk sebagai BUKTI bagi CARA KONTROVERSIAL PENYIDIK dalam buat BAP.
2) DR TRUBUS (Ahli Hukum Sosiologi) saat pembuatan BAP oleh Penyidik Kepolisian diceritakan FAKTA KASUS SAYA secara rinci sebagaimana tertulis dalam BAP SAKSI AHLI tgl 18 Jan 2021 Soal No 3, bahkan ditunjukkan oleh Penyidik FAKTA KASUS beberapa Rekaman Video ttg SAYA dan Hb Hanif Alattas serta Dr Andi Tatat yang menyatakan bahwa SAYA ”baik-baik saja”, lalu ditunjukkan berbagai Dokumen dan Rekam Medis SAYA, kemudian diminta PENDAPAT SAKSI terhadap FAKTA KASUS tersebt, sambil digiring Penyidik untuk menyatakan bahwa SAYA dan Hb Hanif Alattas serta Dr Andi Tatat telah BERBOHONG, sebagaimana tertulis dalam BAP SAKSI AHLI tgl 18 Jan 2021 Soal No 13 ttg Dokumen dan Rekam Medis SAYA, dan Soal No 14 – 15 ttg Video.
3) DR ANDHIKA (Ahli Lingusitik Forensik) saat pembuatan BAP oleh Penyidik Kepolisian diceritakan FAKTA KASUS SAYA secara rinci sebagaimana tertulis dalam BAP SAKSI AHLI tgl 18 Jan 2021 Soal No 3, bahkan ditunjukkan oleh Penyidik FAKTA KASUS beberapa Rekaman Video ttg SAYA dan Hb Hanif Alattas serta Dr Andi Tatat yang menyatakan bahwa SAYA ”baik-baik saja”, lalu ditunjukkan berbagai Dokumen dan Rekam Medis SAYA, kemudian diminta PENDAPAT SAKSI terhadap FAKTA KASUS tersebt, sambil digiring Penyidik untuk menyatakan bahwa SAYA dan Hb Hanif Alattas serta Dr Andi Tatat telah BERBOHONG, sebagaimana tertulis dalam BAP SAKSI AHLI tgl 18 Jan 2021 Soal No 18 ttg Dokumen dan Rekam Medis SAYA, dan Soal No 19 - 22 ttg Video.
Sekali lagi dan sekali lagi, sungguh sangat kami sesalkan para JPU yang konon katanya berpendidikan tinggi dan konon katanya menjunjung tinggi kesopanan, ternyata berani dengan sengaja dan secara sadar melakukan perbuatan yang sangat hina yaitu MANIPULASI FAKTA dengan CARA-CARA KONTROVERSIAL yang tidak jujur dan jauh dari amanah semacam ini.
4. KISAH AYAH, ANAK DAN DOKTER
Dalam rangka mengcounter MANUVER JAHAT Penyidik Kepolisian dan Jaksa Penuntut Umum yang tidak jujur dan amanah tersebut, karena didorong oleh semangat mencari DALIL PEMBENARAN bukan mencari FAKTA KEBENARAN, sekaligus unutk meluruskan Sikap Saksi Fakta mau pun Pendapat Saksi Ahli, maka SAYA membawakan sebuah cerita pengandaian tentang Kisah Ayah, Anak dan Dokter sebagai gambaran tentang FAKTA KASUS RS UMMI, sbb :
”Ada seorang Ayah ditanya oleh anaknya tentang kondisi dirinya, maka ia menjawab :”Saya baik-baik saja”, dan saat jumpa sahabatnya yang berprofesi Dokter, ia juga berkata yang sama. Lalu Sang Dokter mengajak Sang Ayah mengikuti Test Swab PCR di sebuah Rumah Sakit untuk mengantisipasi karena sedang musim Pandemi. Sebelum Hasil Test PCR keluar, tersebar berita HOAX bahwa Si Ayah di Rumah Sakit sedang Kritis dan Parah, bahkan ada berita ia sudah Mati akibat Covid, sehingga Kerabat dan Sahabat Si Ayah resah dan menghubungi anaknya, maka Si Anak pun untuk meredam HOAX dan menenangkan keresahan langsung mengklarifikasi lewat Rekaman Video singkat bahwa Ayahnya sesuai yang ia lihat dan tanyakan langsung bahwa Ayahnya baik-baik saja. Dan Sang Dokter pun saat ditanya wartawan tentang kebenaran berita KRITIS dan PARAH, juga menjawab bahwa Si Ayah baik-baik saja dan masih dalam OBSERVASI PEMERIKSAAN. Beberapa hari kemudian keluar Hasil Test PCR ternyata si Ayah POSITIF COVID, sehingga harus dirawat. Semenjak itu Si Ayah, Si Anak dan Si Dokter jika ditanya kondisi Si Ayah maka dijawab sesuai Hasil Test PCR bahwasanya Si Ayah POSITIF COVID. Pertanyaannya apakah Si Ayah, Si Anak dan Si Dokter saat memberi pernyataan jawaban sebelum ada Hasil Test PCR bisa dikatagorikab BERBOHONG ?!”
Setelah mendengar kisah terebut, maka semua SAKSI baik SAKSI FAKTA mau pun SAKSI AHLI sepakat bahwa baik Si Ayah mau pun Si Anak dan Si Dokter tidak boleh disebut BERBOHONG apalagi disebut mau berbuat KEONARAN karena mereka menjawab sesuai FAKTA KONDISI saat ditanya, dan motif tujuannya pun dengan niat dan maksud untuk meredam HOAX dan FITNAH yang meresahkan Kerabat dan Sahabat.
حسبنا لله ونعم الوكيل، نعم المولى ونعم النصير، ولا حول ولا قوة إلا ﺑﺎﻟﻠﻪ العلي العظيم