Pleidoi HRS Kasus Swab RS Ummi: Bab VII, Analisa Dakwaan Dan Tuntutan
Ahad, 13 Juni 2021
Faktakini.info
PLEDOI MENEGAKKAN KEADILAN & MELAWAN KEZALIMAN KRIMINALISASI PASIEN, DOKTER & RUMAH SAKIT VIA PIDANAISASI PELANGGARAN PROKES MENJADI KEJAHATAN PROKES
BALAS DENDAM POLITIK
VIA OPERASI PENGHAKIMAN & PENGHUKUMAN
NOTA PEMBELAAN
AL-HABIB MUHAMMAD RIZIEQ BIN HUSEIN SYIHAB
ATAS DAKWAAN & TUNTUTAN JAKSA PENUNTUT UMUM
TERKAIT KASUS TEST SWAB PCR DI RS UMMI KOTA BOGOR
No. Reg. Perkara : 225 / Pid.B / 2021 / PN.Jkt.Tim
Pada Pengadilan Negeri Jakarta Timur
TAHUN 2021
BAB VII
ANALISA DAKWAAN DAN TUNTUTAN
Kepada Yang Mulia Majelis Hakim
Kepada Yang Tercinta Seluruh Penasihat Hukum
Kepada Yang Terhormat Semua Jaksa Penuntut Umum
Kepada Yang Istimewa Segenap Pecinta Keadilan dimana pun berada
Pada awalnya saat SAYA diperiksa oleh Penyidik Kepolisian sebagai SAKSI pada tgl 4 Januari 2021 hanya berkaitan dengan PELANGGARAN PROTOKOL KESEHATAN, sehingga diduga melanggar Pasal 14 ayat (1) atau ayat (2) UU No. 4 / Th. 1984 ttg Wabah Penyakit Menular terkait dugaan dengan sengaja menghalangi pelaksanaan Penanggulangan Wabah, dan atau Pasal 216 ayat (1) KUHP terkait dugaan dengan sengaja tidak mentaati atau dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tugas pejabat.
Namun saat SAYA diperiksa sebagai TERSANGKA pada tgl 15 Januari 2021 ada penambahan PASAL PIDANA yaitu Pasal 14 dan atau Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 ttg Peraturan Hukum Pidana terkait dugaan dengan sengaja menyiarkan kebohongan untuk menimbulkan keonaran. Bahkan akhirnya pasal tambahan inilah yang justru djadikan DAKWAAN KESATU baik yang Primer mau pun Subsider dan Lebih Subsider. Ini adalah PENYELUNDUPAN pasal yang sangat dipaksakan.
PENYELUNDUPAN PASAL tersebut bukan sekedar hasil pengembangan kasus sebagaimana alasan yang selalu didengungkan para penyidik dari Kepolisian mau pun Kejaksaan, tapi memang JPU mempunyai TARGET untuk menjerat SAYA dengan Pasal-Pasal berlapis yang sangat berat, sehingga SAYA semakin yakin bahwasanya Kasus RS UMMI ini merupakan bagian dari OPERASI INTELIJEN HITAM BERSKALA BESAR dimana JPU secara sadar atau pun tidak sadar sedang dijadikan alat dalam operasi tersebut untuk kepentingan OLIGARKI ANTI TUHAN.
Dan semakin jelas POLITISASI HUKUM dan KRIMINALISASI PELANGGARAN PROKES manakala JPU merasa benar dengan DISKRIMINASI dan merasa bangga dengan pengabaian Prinsip EQUALITY BEFORE THE LAW dalam penegakan hukum, sebagaimana dituangkan sendiri oleh JPU dalam Pembukaan TUNTUTAN-nya halaman 2 yang berbunyi sbb :
”Asas EQUALITY BEFORE THE LAW dalam keadaan apa pun tidak bisa dilaksanakan secara ”rigid”, atau tidak dapat dilaksanakan sebagaimana ”Pukat Harimau”, yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan, baik ikan kecil mau pun ikan yang besar seluruhnya dapat terjaring.”
111
Karenanya, JPU tidak pernah menunjukkan sikap keprihatiannya terhadap adanya ribuan PELANGGARAN PROTOKOL KESEHATAN (PROKES) di Tanah Air sejak awal Pandemi hingga kini, bahkan banyak dilakukan oleh Tokoh Nasional, mulai dari Artis hingga Pejabat, tidak terkecuali Menteri dan Presiden.
Ada DUA KELICIKAN LUAR BIASA yang dilakukan JPU dalam Kasus Pelanggaran Prokes RS UMMI, yaitu :
1. Pembelokan Kasus PELANGGARAN PROKES RS UMMI menjadi Kasus KEBOHONGAN dan KEONARAN dengan penambahan PASAL PIDANA yaitu Pasal 14 dan atau Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946.
Jika kita JUJUR, maka sebenarnya selama ini di Indonesia sering terjadi KEBOHONGAN NASIONAL yang dilakukan para PEJABAT TINGGI yang telah menimbulkan keresahan dan kegaduhan secara masif dimana-mana, tapi tak satu pun dari mereka yang diseret oleh para Jaksa ke Pengadilan, tak satu pun dari mereka yang dituntut dengan Pelanggaran terhadap Pasal 14 dan atau Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 ttg Peraturan Hukum Pidana terkait dugaan dengan sengaja menyiarkan KEBOHONGAN untuk menimbulkan KEONARAN.
Kasus KEBOHONGAN dan KEONARAN yang terbaru saat ini adalah KEBOHONGAN NASIONAL yang dilakukan oleh Pimpinan DPR RI dan Menteri Agama RI tentang Pembatalan Pelaksanaan Ibadah Haji Tahun 2021 dengan dalih Pemerintah Saudi tidak memberikan Indonesia Quota Haji, yang ternyata berita soal Quota tersebut adalah HOAX alias BOHONG, sebagaimana dijelaskan oleh Dubes Saudi untuk RI Syeikh ‘Isham bin Ahmad bin ‘Abdi Ats-Tsaqofi pada tgl 3 Juni 2021 dalam suratnya yang ditujukan langsung kepada Ketua DPR RI.
KEBOHONGAN tersebut telah nyata menimbulkan KERESAHAN dan KEGELISAHAN secara NASIONAL : puluhan ribu Jama’ah Haji Indonesia dirugikan, dan menggangu hubungan baik anatara Indonesia dan Saudi, serta mempermalukan Indonesia di Dunia Internasional karena sebagai Negara Mayorits Muslim terbesar di Dunia justru membatalkan Pelaksanaan Ibadah haji tahun 2021 secara sepihak.
Jadi, jika kita fair dan jujur, mestinya Kasus KEBOHONGAN NASONAL seperti inilah yang diajukan ke Pengadilan dengan tuntutan Pelanggaran terhadap Pasal 14 dan atau Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 ttg Peraturan Hukum Pidana terkait dugaan dengan sengaja menyiarkan KEBOHONGAN untuk menimbulkan KEONARAN, bukan Kasus Pelanggaran Prokes RS UMMI yang murni merupakan PELANGGARAN ADMINISTRATIF bukan KEJAHATAN PIDANA.
2. Pembentukan OPINI SESAT dengan menyamakan Kasus PELANGGARAN PROKES RS UMMI dengan Kasus KEBOHONGAN RATNA SARUMPAET dan menjadikan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan N0 203/PID.SUS/2019/PN.Sel tanggal 28 Juni 2019 sebagai Yurisprudensi bagi Kasus Pelanggaran Prokes RS UMMI.
112
Tidak bisa dipungkiri bahwa Kasus Kebohongan Ratna Sarumpaet memang murni KASUS KEBOHONGAN, dimana yang bersangkutan usai operasi wajah mengaku dianiaya orang, dan juga betul akibat Kebohongannya tersebut telah menimbulkan keresahan dan kegaduhan di tangan masyarakat, sehingga banyak Tokoh Nasional membuat pernyataan sikap keras membela Ratna dan mengecam pelaku penganiayaan, serta mendorong POLRI dan DPR RI untuk bertindak, bahkan muncul aneka kecurigaan kepada berbagai pihak sebagai pelaku penganiayaan.
Karenanya walau pun masih ada perbedaan pendapat antara Jaksa dan Pengacara serta Saksi Ahli dalam Kasus Kebohongan Ratna Sarumpaet terkait wujud KEONARAN itu sendiri, namun sangat wajar yang bersangkutan dituntut dengan Pasal 14 dan atau Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 ttg Peraturan Hukum Pidana terkait dugaan dengan sengaja menyiarkan KEBOHONGAN untuk menimbulkan KEONARAN. Dan sangat wajar pula pada akhirnya Hakim memvonis bersalah kepada Ratna Sarumpaet.
Namun untuk Kasus Kasus Pelanggaran Prokes RS UMMI tidak sedikit pun ada unsur persamaannya dengan Kasus Kebohongan Ratna Sarumpaet. Kasus Pelanggaran Prokes RS UMMI adalah Kasus Pelanggaran Administrasi bukan Kasus Kejahatan Pidana. Dan dalam Kasus Pelanggaran Prokes RS UMMI tidak ada KEBOHONGAN dan tidak ada juga KERESAHAN apalagi KEONARAN.
Dalam Kasus Pelanggaran Prokes RS UMMI yang ada adalah dugaan keterlambatan Laporan Real Time Pasien ke Dinkes kota Bogor, dan dugaan menghalangi tugas Satgas Covid, serta perbedaaan pendapat antara Satgas Covid dengan RS UMMI, dan soal Objektivitas mau pun Subjektivitas pernyataan ”baik-baik saja” dari seseorang yang tidak tahu atau belum tahu kalau dirinya positif covid.
Jadi, cara JPU menganalogikan atau mengqiyaskan Kasus Pelanggaran Prokes RS UMMI dengan Kasus Kebohongan Ratna Sarumpaet adalah cara-cara kotor dan jorok serta menjijikkan, yang tidak akan pernah dilakukan oleh orang yang masih punya iman dan rasa malu.
Karena semua itulah, SAYA tidak kaget dengan TUNTUTAN SADIS JPU untuk memenjarakan SAYA selama 6 tahun, sebab sejak awal REKAYASA KASUS ini sudah sangat nyata dan kasat mata. Apalagi saat pertama kali SAYA ditahan dalam Kasus Kerumunan Petamburan, pada tgl 12 Desember 2020 salah satu Staf Presiden bidang Intelijen Diaz Hendropriyono yang diduga kuat terlibat dalam Pembantaian 6 Laskar Pengawal SAYA pada tgl 7 Desember 2020, langsung memposting pesan singkat dalam akun Instagram dan Twitter Resminya dengan bunyi : ”Sampai Ketemu di 2026.” Ini isyarat jelas tentang rencana mengkandangkan SAYA untuk waktu yang lama. Diaz sebagaimana ayahnya AM Hendropriyono masih belum puas dengan Pembantaian 6 Laskar Pengawal SAYA, sehingga masih terus mengejar agar SAYA dihukum berat.
Bahkan BUZZERP BAYARAN ISTANA yang selama ini KEBAL HUKUM, berkali-kali dilaporkan tapi tidak pernah diproses, yaitu DENNI SIREGAR yang telah memposting cuitan lebih vulgar lagi, yaitu mengakui adanya perintah langsung dari atas untuk HABISI SAYA, bunyi cuitannya sbb :
”Sebenarnya doi awal2 masih berkelit untuk gak mau datang ke polis. Tapi tiba2 dengan perintah yang mengerikan ”Habisi aja kalau dia ga mau datang. Kita capek nunggunya. Ini perintah dari atas langsung.”
Jika cuitan ini benar, maka berarti memang ada REKAYASA KASUS SAYA dari Penyidik Kepolisian, namun jika cuitan ini tidak benar, maka berarti FITNAH terhadap POLISI yang mestinya DENNI SIREGAR diproses dan ditangkap. FAKTANYA DENNI SIREGAR dibiarkan hingga saat ini, sehingga cuitannya tersebut menimbulkan berbagai asumsi negatif terhadap INSTITUSI KEPOLISIAN bahkan terhadap ISTANA PRESIDEN.
Belum lagi cuitan-cuitan hinaan dan fitnah lainnya yang dipropagandakan oleh para BuzzeRp seperti Abu Janda, Ade Armando, Eko Kuntadi, Guntur Romli, dan lainnya, serta akun-akun jahat kaki tangan OLIGARKI ANTI TUHAN seperti akun @digembook dan lainnya. Kesemuanya ini semakin meyakinkan bahwa memang disana ada OPERASI INTELIJEN HITAM BERSKALA BESAR untuk mentarget SAYA dan Keluarga serta Kawan-Kawan.
Semoga Allah SWT mengahncurkan mereka semua sehancur-hancurnya, dan menyelamatakan Bangsa dan Negara Indoensia dari rongrongan mereka yang selalu mengadu domba anak bangsa. Hasbunallahu wa Ni’mal Wakiil Ni’mal Maulaa wa Ni’man Nashiir.
Menanggapi TUNTUTAN 6 TAHUN PENJARA yang diajukan JPU terhadap SAYA, maka Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI) KH Kuhyiddin Junaidi pd tanggal 3 Juni 2021 menyatakan di berbagai Media Massa sbb :
”Kami sangat kecewa dengan Tuntutan JPU terhadap Habib Rizieq, karena itu sangat memberatkan, di luar nalar logika sehat, beraroma politik dan bernuansa dendam serta mengada-ada.”
Kekecewaan para Habaib dan Ulama serta Umat Islam terhadap Tuntutan JPU sangat wajar, karena fakta menunjukkan banyak Kasus Korupsi yang merugikan Negara milyaran hingga Trilyunan rupiah tapi dituntut ringan, seperti : Dalam Kasus Koruptor Djoko Tjandra : Ternyata Djoko Tjandra dan Jaksa Pinangki masing-masing hanya dituntut 4 tahun penjara, sedang Irjen Napoleon lebih ringan hanya dituntut 3 tahun penjara, dan Brigjen Prasetyo lebih ringan lagi hanya dituntut 2,5 tahun penjara. Bahkan Kasus mantan Bos Garuda Ary Askhara hanya dituntut
1 tahun penjara.
Koferensi Pers Online ICW (Indonesian Corruption Watch) pada tgl 19 April 2020 dipaparkan DATA ICW yang menunjukkan bahwa sepanjang Tahun 2019 dari 911 Terdakwa Korupsi 604 orang dituntut di bawah 4 tahun penjara. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana pada tgl
114
22 Maret 2021 memberi keterangan pers bahwa sepanjang Tahun 2020 dari 1.298 Terdakwa Korupsi rata-rata tuntutan hanya 4 tahun penjara.
Jadi, dalam pandangan JPU bahwa KASUS PELANGGARAN PROTOKOL KESEHATAN bukan sekedar KEJAHATAN biasa, tapi jauh LEBIH JAHAT dan LEBIH BERAT dari pada KASUS KORUPSI yang telah merampok uang Rakyat dan membangkrtukan Negara, sehingga KASUS PELANGGARAN PROTOKOL KESEHATAN harus dituntut 6 tahun penjara.
Bahkan bagi JPU bahwa KASUS PELANGGARAN PROTOKOL KESEHATAN bukan hanya KEJAHATAN biasa, tapi jauh LEBIH JAHAT dan LEBIH BERAT dari pada KASUS PENISTAAN AGAMA yang pernah dilakukan AHOK sehingga buat Gaduh Satu Negeri, juga LEBIH JAHAT dan LEBIH BERAT dari pada KASUS PENYIRAMAN AIR KERAS tehadap Petugas Negara & Penyidik KPK Novel Baswedan sehingga salah satu matanya Buta Permanen. Buktinya Penistaan Agama Ahok hanya dituntut Hukuman Percobaan 2 tahun, sedang Penyiram Air Keras ke Penyidik KPK hanya dituntut 1 tahun penjara, tapi KASUS PELANGGARAN PROTOKOL KESEHATAN dituntut 6 tahun penjara.
Semoga Majelis Hakim yang mulia diselamatkan oleh Allah SWT dari jeratan jahat OPERASI INTELIJEN HITAM BERSKALA BESAR tersebut, dan diberi kekuatan oleh Allah SWT untuk tetap mempertahankan Indonesia sebagai NEGARA HUKUM bukan sebagai NEGARA KEKUASAAN sebagaimana Amanat Konstitusi Pancasila dan UUD 1945.
Sebelum SAYA menyoroti satu per satu DAKWAAN JPU, maka perlu SAYA tegaskan terlebih dahulu disini :
1. Bahwa Kasus Test Swab PCR di RS UMMI adalah KASUS PELANGGARAN PROTOKOL KESEHATAN.
2. Bahwa KASUS PELANGGARAN PROTOKOL KESEHATAN adalah Kasus PELANGGARAN bukan Kasus KEJAHATAN, sehingga cukup diterapkan SANKSI ADMINSTRASI bukan SANKSI HUKUM PIDANA.
3. Bahwa sesuai Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) No 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pemcegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019, di halaman 7 – 8 pada angka 5 dan 6 ditetapkan sebagai berikut :
5) Memuat sanksi terhadap pelanggaran penerapan protokol kesehatan dalam pencegahan dan pengendalian Corona Virus Disease 2019 (Covi-19) yang dilakukan oleh perorangan, pelaku usaha, oengelola, penyelenggara, , atau penanggung-jawab tempat dan fasilitas umum.
115
6) Sanksi sebagaimana dimaksud pada angka 5) berupa :
a) teguran lisan atau teguran tertulis ;
b) kerja sosial ;
c) denda administratif : atau
d) penghentian atau enutupan sementara penyelenggaraan usaha
Jadi jelas dalam Inpres No 6 Tahun 2020 tersebut bahwa PELANGGARAN PROTOKOL KESEHATAN hanya diterapkan HUKUM ADMISNITRASI bukan HUKUM PIDANA.
4. Bahwa SELURUH DAKWAAN PIDANA terhadap KASUS PELANGGARAN PROTOKOL KESEHATAN harus DIBATALKAN DEMI HUKUM.
5. Bahwa TUNTUTAN JPU dalam Kasus Test Swab PCR RS UMMI adalah bentuk penyalah-gunaan wewenang (abuse of power) yang melampaui batas, dan bentuk Kriminalisasi Pasien dan Dokter serta Rumah Sakit yang harus dihentikan, serta bentuk DISKRIMINASI HUKUM yang manipulatif, sehingga wajib DIBATALKAN DEMI HUKUM.
حسبنا لله ونعم الوكيل، نعم المولى ونعم النصير، ولا حول ولا قوة إلا ﺑﺎﻟﻠﻪ العلي العظيم
Selanjutnya SAYA akan menyoroti satu per satu DAKWAAN JPU,sebagai berikut :
A. DAKWAAN KESATU
I. PRIMER :
Bahwa Dakwaan Pertama Primer dari Surat Dakwaan Penuntut Umum adalah mengenai perbuatan sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 14 ayat (1) UU No. 1 / Th. 1946 ttg Peraturan Hukum Pidana jo Pasal 55 ayat (1) ke – 1 KUHP.
Bahwa Pasal 14 ayat (1) UU No. 1 / Th. 1946 ttg Peraturan Hukum Pidana berbunyi sbb :
”Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.”
Ayat sama sekali ini tidak bisa diterapkan terhadap SAYA dalam Kasus Test Swab PCR RS UMMI Kota Bogor, karena :
1. Ayat ini sesuai Latar Belakang Historis kelahiran UU No 1 Tahun 1946 berkaitan dengan PENYIARAN dan yang dimaksud dengan ”Barang siapa” dalam ayat ini adalah LEMBAGA PENYIARAN, bukan orang per orang, sehingga TERDAKWA tidak memenuhi unsur ”Barang siapa” dalam ayat ini.
2. Ayat ini dengan jelas menggunakan kata MENYIARKAN bukan menyatakan, sehingga TERDAKWA tidak memenuhi unsur ”Menyiarkan” dalam ayat ini, karena TERDAKWA tidak pernah melakukan PENYIARAN.
3. Ayat ini secara eksplisit menyebutkan penyiaran terkait ”berita atau pemberitahuan bohong”, sedang TERDAKWA terbukti di persidangan tidak pernah menyampaikan atau menyatakan BERITA BOHONG atau PEMBERITAHUAN BOHONG, karena saat TERDAKWA menyatakan bahwa dirinya merasa ”baik-baik saja” adalah sesuai dengan yang yang dirasa dan diketahuinya saat itu, sementara saat itu belum ada Hasil Test Swab PCR yang menyatakan bahwa TERDAKWA POSITIF COVID, sehingga TERDAKWA tidak memenuhi unsur ”Menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong”, dalam ayat ini.
4. Ayat ini mensyaratkan adanya niat/I’tikad (mens rea) dalam penyiaran berita bohong untuk menimbulkan KEONARAN di tengah masyarakat, dan keonaran itu harus benar-benar terjadi sebagai akibat dari penyiaran berita bohong tersebut, sebagaimana termaktub ”dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat”. Unsur ini lebih tidak terpenuhi lagi, karena pertama unsur penyiarannya tidak ada, lalu kedua unsur kebohongannya juga tidak ada, dan ketiga terbukti di persidangan bahwa pernyataan TERDAKWA justru DINIATKAN dan DIMAKSUDKAN serta DITUJUKAN untuk meredam KERESAHAN bukan membuat KEONARAN, dan Faktanya tidak ada KERESAHAN apalagi KEONARAN di Kota Bogor mau pun di tempat lainnya akibat perawatan TERDAKWA di RS UMMI Kota Bogor.
KESIMPULAN : Bahwa unsur dalam Pasal 14 ayat (1) UU No. 1 / Th. 1946 ttg Peraturan Hukum Pidana TIDAK TERPENUHI, sehingga harus DIBATALKAN DEMI HUKUM.
II. SUBSIDER :
Bahwa Dakwaan Pertama Subsider dari Surat Dakwaan Penuntut Umum adalah mengenai perbuatan sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 14 ayat (2) UU No. 1 / Th. 1946 jo Pasal 55 ayat (1) ke – 1 KUHP
Bahwa Pasal 14 ayat (2) UU No. 1 / Th. 1946 ttg Peraturan Hukum Pidana berbunyi sbb :
117
”Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.”
1. Ayat ini masih berkaitan dengan PENYIARAN dan sesuai Latar Belakang Historis kelahiran UU No 1 Tahun 1946 bahwa yang dimaksud dengan ”Barang siapa” dalam ayat ini adalah LEMBAGA PENYIARAN, bukan orang per orang, sehingga TERDAKWA tidak memenuhi unsur ”Barang siapa” dalam ayat ini.
2. Ayat ini juga dengan jelas menggunakan kata MENYIARKAN bukan menyatakan, sehingga TERDAKWA tidak memenuhi unsur ”Menyiarkan” dalam ayat ini, karena TERDAKWA tidak pernah melakukan PENYIARAN.
3. Ayat ini secara eksplisit mengikat PENYIARAN SUATU BERITA atau PENGELUARAN PEMBERITAHUAN dengan dua syarat : Pertama ; ”yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat”. Dan Kedua ; ”ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong”. Untuk Syarat Pertama sama sekali tidak terpenuhi, karena Fakta Persidangan menunjukkan dengan sangat meyakinkan bahwa terkait Perawatan TERDAKWA di RS UMMI sama sekali tidak ada KEONARAN dalam bentuk apa pun di Kota Bogor mau pun di tempat lainnya. Dan untuk Syarat Kedua juga tidak terpenuhi, karena sesuai Keterangan TERDAKWA dan SAKSI MAHKOTA bahwa pernyataan mereka DINIATKAN dan DIMAKSUDKAN serta DITUJUKAN untuk meredam KERESAHAN, sehingga yang mereka duga dan sangka bahkan YAKIN bahwa pernyataan tersebut justru akan meredakan KERESAHAN, bukan menimbulkan KEONARAN, dan ternyata Faktanya tidak ada KERESAHAN apalagi KEONARAN di Kota Bogor mau pun di tempat lainnya akibat perawatan TERDAKWA di RS UMMI Kota Bogor.
KESIMPULAN : Bahwa unsur dalam Pasal 14 ayat (2) UU No. 1 / Th. 1946 ttg Peraturan Hukum Pidana juga TIDAK TERPENUHI, sehingga harus DIBATALKAN DEMI HUKUM.
III. LEBIH SUBSIDER :
Bahwa Dakwaan Pertama Lebih Subsider dari Surat Dakwaan Penuntut Umum adalah mengenai perbuatan sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 15 UU No. 1 / Th. 1946 jo Pasal 55 ayat (1) ke – 1 KUHP
Bahwa Pasal 15 UU No. 1 / Th. 1946 ttg Peraturan Hukum Pidana berbunyi sbb :
118
”Barangsiapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau sudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi, tingginya dua tahun.”
1. Ayat ini juga masih berkaitan dengan PENYIARAN dan sesuai Latar Belakang Historis kelahiran UU No 1 Tahun 1946 bahwa yang dimaksud dengan ”Barang siapa” dalam ayat ini adalah LEMBAGA PENYIARAN, bukan orang per orang, sehingga TERDAKWA tidak memenuhi unsur ”Barang siapa” dalam ayat ini.
2. Ayat ini juga dengan jelas menggunakan kata MENYIARKAN bukan menyatakan, sehingga TERDAKWA tidak memenuhi unsur ”Menyiarkan” dalam ayat ini, karena TERDAKWA tidak pernah melakukan PENYIARAN.
3. Ayat ini berkaitan dengan PENYIARAN suatu KABAR YANG TIDAK PASTI atau KABAR YANG BERKELEBIHAN atau YANG TIDAK LENGKAP, sehingga tidak tepat diterapkan dengan pernyataan TERDAKWA yang menyatakan baik-baik saja karena saat TERDAKWA menyatakan bahwa dirinya merasa ”baik-baik saja” adalah sesuai dengan yang yang dirasa dan diketahuinya serta diyakini saat itu berdasarkan kondisi yang semakin hari semakin membaik serta tidak ada pantangan dalam makanan dan minuman. Dan hal tersebut bukan KABAR YANG TIDAK PASTI yaitu Kabar Angin, atau KABAR YANG BERKELEBIHAN yaitu yang ditambah-tambah dari yang sebenarnya, atau YANG TIDAK LENGKAP yaitu yang dikurang-kuarngi dari yang sebenarnya, tapi justru PASTI dan TIDAK BERKELEBIHAN serta SUDAH LENGKAP sesuai DATA dan FAKTA saat pernyataan tersebut dibuat oleh TERDAKWA. Ada pun di waktu selanjutnya terjadi PERUBAHAN kondisi TERDAKWA menjadi ”tidak baik-baik saja” itu persoalan lain, dan sama sekali tidak bisa ditarik mundur untuk menghakimi pernyataan TERDAKWA di waktu sebelumnya.
4. Ayat ini secara eksplisit juga mengikat PENYIARANNYA dengan syarat ”ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau sudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat”, sehingga sama sekali tidak bisa diterapkan untuk pernyataan TERDAKWA karena sesuai Keterangan TERDAKWA dan SAKSI MAHKOTA bahwa pernyataan mereka DINIATKAN dan DIMAKSUDKAN serta DITUJUKAN untuk meredam KERESAHAN, sehingga yang mereka duga dan sangka bahkan YAKIN bahwa pernyataan tersebut justru akan meredakan KERESAHAN, bukan menimbulkan KEONARAN, dan ternyata Faktanya tidak ada KERESAHAN apalagi KEONARAN di Kota Bogor mau pun di tempat lainnya akibat perawatan TERDAKWA di RS UMMI Kota Bogor.
KESIMPULAN : Bahwa unsur dalam Pasal 15 UU No. 1 / Th. 1946 ttg Peraturan Hukum Pidana juga TIDAK TERPENUHI, sehingga harus DIBATALKAN DEMI HUKUM
Selain itu, seluruh isi DAKWAAN KESATU baik yang PRIMER mau pun yang SUBSIDER dan yang LEBIH SUBSIDER dengan Penerapan Pasal 14 dan 15 dari UU No 1 Tahun 1946, saat ini sudah TIDAK RELEVAN, karena:
1. Dari segi ASAS dan TEORI serta PRINSIP HUKUM bahwa asas umum dalam Penafsiran Hukum Pidana yang harus diperhatikan adalah PRINSIP RELEVANSI.
2. Dari segi PENERAPAN HUKUM bahwa sejak ORDE LAMA hingga ORDE BARU tidak ada satu kasus pun yang dikenakan pasal ini, baru belakangan ini muncul penerapan pasal ini terhadap sejumlah Tokoh Oposisi dan kental warna politisnya, sehingga semestinya Ranah Peradilan yang mulia wajib dijauhkan sejauh-jauhnya dari INTERVENSI POLITIK pihak mana pun.
3. Dari segi JENIS PIDANA bahwa UU No 1 Tahun 1946 tidak ada kaitan dengan PROKES atau pun PSBB, sehingga tidak boleh digunakan untuk memidanakan Pelanggaran Protokol Kesehatan.
4. Dari segi PENAFSIRAN TEKS HUKUM bahwa Penafisran Teks Hukum tidak boleh lepas dari sejumlah Metode Penafsiran Teks yang telah diakui oleh para PAKAR HUKUM PIDANA mau pun PAKAR TEORI HUKUM PIDANA, juga PAKAR SOSIOLOGI HUKUM dan PAKAR LINGUSITIK FORENSIK, yaitu :
1) Interpretasi Gramatikal atau Bahasa : yaitu Penafsiran Teks Hukum sesuai bahasa umum sehari-hari.
Itulah sebabnya penafsiran PENYIARAN dalam Pasal 14 ayat (1) UU No. 1 / Th. 1946 ttg Peraturan Hukum Pidana harus dibedakan dengan penafsiran PERNYATAAN. Begitu juga Penafsiran KEONARAN harus dibedakan dari penafsiran KERESAHAN atau PERBEDAAN PENDAPAT atau PRO KONTRA. Dan penafsiran Bahasa tidak boleh lepas dari Kamus- Kamus Bahasa yang dipercaya, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesai (KBBI) yang menjadi Rujukan Resmi dalam Bahasa Indonesia.
Terkait makna MENYIARKAN dalam KBBI disebutkan beberapa arti, yaitu :
a. Meratakan kemana-mana.
b. Memberitahukan kepada umum (melalu radio, sutrat kabar, dsb), mengumumkan (berita, dsb).
c. Menyebarkan atau mempropagandakan (pendapat, paham, agama, dsb).
d. Menerbitkan dan menjual (buku, gambar, foto, dsb).
e. Memancarakan (cahaya, terang, dsb).
120
f. Mengirimkan (lagu-lagu, musik, pidato, dsb) melalui radio.
Oleh karena itu Ahli Hukum Pidana DR Muzakkir di depan persidangan menyampaikan pendapatnya bahwa Rekaman Video Testimoni SAYA hanyalah sebuah PERNYATAAN bukan PENYIARAN. Begitu juga Rekaman Video Klarifikasi Hb Hanif Alattas dan Wawancara Dr Andi Tatat saat ditanya wartawan, sehingga semuanya tidak bisa diterapkan Pasal 14 ayat (1) UU No. 1 / Th. 1946, karena hanya sebuah PERNYATAAN bukan PENYIARAN.
Lalu terkait makna KEONARAN dalam dalam KBBI disebutkan BAHWA ARTINYA ADALAH Kegemparan, Kerusuhan dan Keributan.
Saksi Ahli Lingusitik Forensik DR FRANS dan Ahli Sosiologi Hukum Prof DR Musni Umar serta Ahli Hukum Pidana DR Muzakkir, yang ketiganya dihadirkan oleh SAYA dan Penasihat Hukum, menerangkan di depan persidangan bahwa ONAR adalah Kerusuhan dan Keributan serta Huru Hara, BUKAN KERESAHAN.
Saksi Ahli Sosiologi Hukum DR TRUBUS yang dihadirkan oleh JPU dalam BAP-nya tertanggal 18 Januari 2020 pada jawaban nomor 9 di halaman 16 menyatakan :
”Penjelasan Pasal XIV UU No 1 Tahun 1946 memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud KEONARAN adalah bukan hanya kegelisahan dan menggoncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya, tetapi lebih dari itu berupa KEKACAUAN”.
Saksi Ahli Teori Hukum Pidana DR Abdul Choir Ramadhan yang dihadirkan oleh SAYA dan Penasihat Hukum, menerangkan di depan persidangan dan juga menuangkan dalam Pendapat Hukumnya halaman 76 sbb :
”Timbulnya KEONARAN sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 14 ayat (1) menunjukkan bahwa DELIK ini adalah DELIK MATERIIL, harus benar-benar terjadi keonaran di kalangan rakyat. Menyangkut tentang makna keonaran, Penjelasan Pasal 14 menyatakan : ”Keonaran adalah lebih hebat dari pada kegelisahan dan menggoncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya. KEKACAUAN meuat juga KEONARAN.”
Lalu Saksi Ahli DR Abdul Choir Ramadhan menekankan :
”Dengan adanya PENAFSIRAN OTENTIK ini, maka tidak dapat ditafsirkan lain selain dari penafsiran yang diberikan oleh pembentuk undang-undang.”
Dengan demikian tidak ada alasan bagi JPU untuk menafsirkan KEONARAN dengan Tafsirnya Sendiri yang memasukkan resah, gelisah, pro kontra, perdebatan, perbedaan pendapat, unjuk rasa dan Demo Damai sebagai KEONARAN. Penafsiran JPU ngawur dan amburadul serta kacau balau.
2) Interpretasi Sistematis atau Logis : yaitu Penafsiran Teks Hukum dengan menghubungkannya dengan peraturan hukum / undang-undang / dengan keseluruhan sistem hukum sebagai satu kesatuan tak terpisahkan.
Itulah sebabnya penafsiran PENYIARAN dalam Pasal 14 ayat (1) UU No. 1 / Th. 1946 ttg Peraturan Hukum Pidana semestinya ditarik ke UU PENYIARAN No 32 Th 2002 yang memang dibuat khusus tentang PENYIARAN.
Dan ini juga sesuai dengan Pendapat Ahli Hukum Pidana DR Muzakkir dalam sidang ini bahwa Penerapan Hukum Pidana terhadap PELANGGARAN PENYIARAN harus merujuk ke UU PENYIARAN No 32 Th 2002 tidak lagi ke Pasal 14 ayat (1) UU No. 1 / Th. 1946, sehingga Penerapan Pasal 14 ayat (1) UU No. 1 / Th. 1946 dalam Kasus RS UMMI sangat tidak tepat.
Andai pun dalam Kasus Rekaman Video Testimoni SAYA dan Rekaman Video Hb Hanif Alattas serta wawancara Dr Andi Tatat dikatagorikan sebagai PENYIARAN maka semestinya ditarik ke UU PENYIARAN No 32 Th 2002 yang memang dibuat khusus tentang PENYIARAN bukan ke Pasal 14 ayat (1) UU No. 1 / Th. 1946.
Apalagi ternyata Rekaman Video Testimoni SAYA dan Rekaman Video Klarifikasi Hb Hanif Alattas serta Wawancara Klarifikasi Dr Andi Tatat hanya sebuah PERNYATAAN bukan PENYIARAN, maka lebih tidak tepat lagi ditarik ke Pasal 14 ayat (1) UU No. 1 / Th. 1946.
Saksi Ahli Sosiologi Hukum DR TRUBUS yang dihadrikan oleh JPU dalam BAP-nya tertanggal 18 Januari 2020 pada jawaban nomor 9 di halaman 16 saat menjabarkan tentang unsur MENYIARKAN dalam Pasal 14 dan 15 UU No 1 Tahun 1946 menyatakan :
”Dengan demikian tindak pidana penyebaran berita bohong dalam Pasal XIV dan Pasal XV UU No 1 Tahun 1946 diklasifiksikan sebagai DELIK PERS, karena adanya SYARAT UTAMA berupa UNSUR PUBLIKASI, meski pun dalam Pasal VIV dan Pasal XV UU No 1 Tahun 1946 tidak menyebutkan mengenai sarana atau media yang dipergunakan untuk menyebarkan berita bohong atau kabar angin atau kabar yang disiarkan dengan atmbahan atau dikuarngkan tersebut, apakah melalui lisan atau tulisan.”
122
3) Interpretasi Historis atau Sejarah : yaitu Penafsiran Teks Hukum sesuai sejarah lahirnya Teks tersebut.
Itulah sebabnya penafsiran Pasal 14 ayat (1) UU No. 1 / Th. 1946 ttg Peraturan Hukum Pidana harus melihat sejarah lahirnya dalam SITUASI DARURAT pada saat awal kemerdekaan Indonesia, dimana ada pihak-pihak yang menyiarkan berita bohong untuk menimbulkan keonaran sehingga berpotensi mengganggu Kemerdekaan dan Kedaulatan Indonesia, sehingga tidak tepat diterapkan di zaman yang kita sudah merdeka lebih dari 75 tahun.
Semua AHLI HUKUM PIDANA dan AHLI HUKUM TATA NEGARA serta AHLI HUKUM KESEHATAN yang dihadirkan oleh SAYA dan Penasihat Hukum, yaitu DR Refly Harun (Ahli Tata Negara), DR Muzakkir (Ahli Hukum Pidana), DR Abdul Choir Ramadahan (Ahli Teori Hukum Pidana), DR Luthfi Hakim (Ahli Hukum Pidana Kesehatan), dan DR M Nasser (Ahli Hukum Kesehatan), semuanya sepakat bahwa penerapan UU No 1 Tahun 1946 di zaman sekarang untuk KONTEKS KEKINIAN sudah TIDAK RELEVAN, karena UU tersebut saat dibuat untuk konteks kondisi darurat baru merdeka yang penuh dengan berita BOHONG untuk membuat KEONARAN.
Saksi Ahli DR Muzakkir menyampaikan pendapatnya di depan Persidangan dan juga dituangkan dalam Tulisan Pendapat Hukumnya halaman 33 sbb :
”Bahwa Pasal 14 dan 15 UU No 1 Tahun 1946 dibuat dengan cara menghapus Pasal 171 KUHP diganti dengan Pasal 14 dan 15 tersebut yang diatur berdiri di luar Hukum Pidana Kodifikasi /KUHP yaitu dalam UU No 1 Tahun 1946.
Penghapusan Pasal 171 KUHP tersebut melalui S 47/180 yang memuat norma hukum yang sama dengan Pasal Pengganti dengan perbedaan ancaman pidana yang lebih berat. Dalam Pasal 171 KUHP ancamannya paling lama 3 tahun penjara, sedang dalam Pasal 14 ayat (1) UU No 1 Tahun 1946 ancamannya paling lama 10 tahun penjara.
Penempatan Pasal 14 dan 15 tersebut di luar Hukum Pidana Kodifikasi /KUHP mengandung maksud bahwa norma hukum pidana yang dimuat dalam UU No 1 Tahun 1946 hanya dipergunakan dalam keadaan tertentu (Darurat/ Chaos) yakni untuk mengatasi keadaan masyarakat yang kacau balau atau keonaran masyarakat yang luas atau situasi yang dalam keadaan darurat, sehingga ancaman pidanya dinaikkan menjadi 10 tahun penjara.
123
Dengan demikian ”perbuatan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong yang tidak menimbulkan keonaran dalam masyarakart secara luas” tidak ditangani dengan menggunakan Pasal 14 dan 15 UU No 1 Tahun 1946, tapi cukup dengan menggunakan Hukum Pidana yang lain atau norma yang hidup dalam kehidupan masyarakat hukum Indonesia yang cocok untuk mengatasi situasi masyarakatr dalam keadaan normal.”
Penjelasan Saksi Ahli DR Muzakkir yang sangat ilmiah ini dengan argumentasi yang amat kuat dan pemaparan yang cerdas, ternyata tidak bisa dipahami oleh JPU, sehingga JPU dalam sidang bertanya mutar-mutar tidak karuan, hingga akhirnya dihentikan dan ditegur oleh Hakim Ketua di depan persidangan dengan ucapan : ”Kok Jaksa begitu saja tidak paham!?”
4) Interpretasi Teleologis atau Sosiologis : yaitu Penafsiran Teks Hukum sesuai dengan tujuan pembentukannya dengan tidak mengenyampingkan konteks kenyataan kemasyarakatan yang aktual atau KONTEKS KEKINIAN.
Itulah sebabnya penerapan Pasal 14 dan 15 UU No 1 Tahun 1946 dalam SITUASI DARURAT pada saat awal kemerdekaan dengan sanksi hukum penjara 10 tahun menjadi sangat LOGIS, karena untuk menjaga keamanan Negara dari KAKACAUAN dan KERUSUHAN.
Namun saat ini SITUASI DARURAT tersebut sudah tidak ada, maka penerapan Pasal 14 dan 15 UU No 1 Tahun 1946 dalam SITUASI NORMAL dengan Sanksi Hukum penjara 10 tahun menjadi TIDAK LOGIS lagi.
AHLI SOSIOLOGI HUKUM baik yang dihadirkan oleh JPU yaitu DR Trubus, mau pun yang dihadirkan oleh SAYA dan Penasihat Hukum yaitu PROF DR Musni Umar sepakat memberi keterangan di depan persidangan bahwa penerapan UU No 1 Tahun 1946 di zaman sekarang untuk konteks Masyarakat Kekinian sudah TIDAK RELEVAN, apalagi dengan ancaman sanksi pemidanaan 10 tahun penjara.
Ahli Hukum Pidana DR Muzakkir juga sepakat dengan pendapat ini sebagaimana tadi sudah dikutip pendapatnya yang disampiakan di depan Persidangan dan juga dituangkan dalam Tulisan Pendapat Hukumnya halaman 33, yaitu :
”Dengan demikian ”perbuatan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong yang tidak menimbulkan keonaran dalam masyarakart secara luas” tidak ditangani dengan menggunakan Pasal 14 dan 15 UU No 1 Tahun 1946, tapi cukup dengan menggunakan Hukum Pidana yang lain atau norma yang hidup dalam kehidupan
masyarakat hukum Indonesia yang cocok untuk mengatasi situasi masyarakatr dalam keadaan normal.”
Jadi jelas dengan sangat meyakinkan berdasarkan Empat Metode Penafsiran Teks Hukum yang diakui para PAKAR HUKUM PIDANA mau pun PAKAR TEORI HUKUM PIDANA, juga PAKAR SOSIOLOGI HUKUM dan PAKAR LINGUSITIK FORENSIK, yaitu : Pertama, Metode Interpretasi Gramatikal atau Bahasa. Kedua, Metode Interpretasi Sistematis atau Logis. Ketiga, Metode Interpretasi Historis atau Sejarah. Keempat, Metode Interpretasi Teleologis atau Sosiologis. Bahwa Penerapan Pasal 14 dan 15 dari UU No 1 Tahun 1946 saat ini TIDAK RELEVAN, apalagi diterapkan untuk untuk KASUS PROTOKOL KESEHATAN, sehingga seluruh isi DAKWAAN KESATU dari JPU, baik yang PRIMER mau pun yang SUBSIDER dan yang LEBIH SUBSIDER harus DIBATALKAN DEMI HUKUM.
Sebagaimana disampaikan oleh Saksi Ahli Hukum Tata Negara DR Refly Harun di depan persidangan bahwa Undang-Undang yang sudah TIDAK RELEVAN ada tiga jalan menghapusnya atau mengenyampingkannya, yaitu : Pertama, dibatalkan dengan UU Baru via DPR RI. Kedua, diajukan Yudicial Review ke Mahkamah Konstitusi RI. Ketiga, Putusan Hakim.
Karenanya, kami sangat berharap agar Majelis Hakim yang mulia berani mengenyampingkan Penerapan Pasal 14 dan 15 UU No 1 Tahun 1946 karena sudah TIDAK RELEVAN, sehingga ke depan bisa menjadi YURISPRUDENSI bagi penanganan Hukum Penyiaran Berita Bohong yang menimbulkan Keonaran dengan menggunakan hukum lain yang sesuai dengan konteks kekinian.
حسبنا لله ونعم الوكيل، نعم المولى ونعم النصير، ولا حول ولا قوة إلا ﺑﺎﻟﻠﻪ العلي العظيم
125
B. DAKWAAN KEDUA
Bahwa Dakwaan Kedua dari Surat Dakwaan Penuntut Umum adalah mengenai perbuatan sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Bahwa Pasal 14 ayat (1) UU No. 4 / Th. 1984 ttg Wabah Penyakit Menular berbunyi sbb :
”Barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,-(satu juta rupiah).”
Pasal ini juga tidak bisa dan tidak boleh diterapkan untuk Kasus Test Swab PCR RS UMMI, karena SAYA dan Keluarga mau pun RS UMMI tidak pernah menghalangi Pelaksanaan Penanggulangan Wabah dan tidak pernah menghalang-halangi Satgas Covid dalam melaksanakan Tugasnya, BUKTINYA :
1. Saat Walikota Bogor Bima Arya dan Satgas Covid Kota Bogor datang ke RS UMMI disambut hangat oleh RS UMMI mau pun Keluarga SAYA yang diwakili oleh Habib Hanif Alattas, dan ini diakui sendiri oleh Walkot Bogor Bima Arya dalam kesaksiannya di persidangan ini.
2. Saat Walikota Bogor Bima Arya dan Satgas Covid Kota Bogor meminta agar SAYA ditest Swab PCR, maka SAYA dan Keluarga juga RS UMMI setuju dan siap melaksanakannya bersama Tim Mwer-C, dan ini juga diakui sendiri oleh Walikota Bogor Bima Arya dalam kesaksiannya di persidangan ini.
3. Saat Walikota Bogor Bima Arya dan Satgas Covid Kota Bogor meminta agar pelaksanaan Tets Swab PCR terhadap SAYA yang akan dilakukan oleh Tim Mer-C didampingi oleh Satgas Covid Kota Bogor, maka SAYA dan Keluarga juga RS UMMI setuju dan menjadwalkannya, dan ini pun diakui sendiri oleh Walikota Bogor Bima Arya dalam kesaksiannya di persidangan ini.
4. Saat pelaksaan Test Swab PCR terhadap SAYA oleh Tim Mer-C sesuai jadwal yang sudah ditentukan, ternyata Tim Satgas Covid Kota Bogor TIDAK DATANG. Ini pun akhirnya diakui baik oleh Walikota Bogor Bima Arya mau pun para saksi dari Satgas Covid Kota Bogor dalam persidangan ini bahwa mereka memang TIDAK HADIR dengan berbagai alasan keterlambatan.
5. Saat Walikota Bogor Bima Arya dan Satgas Covid Kota Bogor meminta Tets Swab PCR terhadap SAYA diulang, maka dengan santun SAYA melalui Habib Hanif Alattas
126
menanyakan urgensi Test Swab PCR DUA KALI di hari yang sama dalam waktu yang sangat berdekatan dengan selisih hanya beberapa jam, sehingga Habib Hanif Alattas menyarankan agar menunggu saja Hasil Test PCR dari Tim Mer-C, dan Walkot Bogor Bima Arya serta Satgas Covid Kota Bogor setuju.
Ini pun diakui oleh Walikota Bogor Bima Arya dalam kesaksiannya di persidangan ini.
6. Selain itu RS UMMI secara Real Time setiap hari melaporkan kondisi seluruh pasien Suspect / Probable / Positif Covid di RS UMMI, termasuk SAYA, ke Dinkes Kota Bogor dan Kemenkes RI, sehingga Walikota Bogor dan Satgas Covidnya bisa kapan saja melihat dan memeriksa serta mendapatkan laporan tentang SAYA dari Dinkes Kota Bogor, tanpa mesti datang ke RS UMMI.
Jadi TIDAK BENAR tuduhan JPU dalam TUNTUTAN-nya halaman 129 bahwa ”Satgas Covid Kota Bogor tidak bisa melaksanakan tugasnya untuk melakukan Swab PCR Test Covid-19 terhadap TERDAKWA”, seolah SAYA menolak dan menghalang-halangi Satgas Covid sehingga Test Swab PCR tidak terlaksana terhadap SAYA.
KESIMPULAN : Bahwa unsur dalam Pasal 14 ayat (1) UU No 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular TIDAK TERPENUHI, sehingga harus DIBATALKAN DEMI HUKUM.
C. DAKWAAN KETIGA
Bahwa Dakwaan Ketiga dari Surat Dakwaan Penuntut Umum adalah mengenai perbuatan sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 216 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke – 1 KUHP
Bahwa Pasal 216 ayat (1) KUHP berbunyi sbb :
”Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda puling banyak Rp 9.000 (sembilan ribu rupiah).”
Pasal ini pun tidak bisa dan tidak boleh diterapkan untuk Kasus Test Swab PCR RS UMMI, karena SAYA dan Keluarga mau pun RS UMMI TIDAK PERNAH tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat dan SAYA TIDAK PERNAH JUGA mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat, sebagaimana telah
diuraikan BUKTI-BUKTI TIDAK ADANYA PENGHALANGAN SATGAS COVID KOTA BOGOR pada jawaban untuk DAKWAAN KEDUA tadi.
Dengan demikian semua unsur Pasal 216 ayat (1) KUHP tersebut, sama sekali TIDAK TERPENUHI, sehingga tidak boleh diterapkan dalam Kasus Tets Swab PCR RS UMMI.
Lagi pula menurut Saksi Ahli Teori Pidana DR Abdul Choir Ramadhan bahwa Pasal 216 ayat (1) KUHP tidak ada relevansinya dengan penyelengaraan PSBB dan PROKES, karena tidak ada perbuatan PIDANA dalam PSBB dan PROKES, sehingga Penerapan Pasal tersebut TIDAK TEPAT.
KESIMPULAN : Tak satu pun unsur dalam Pasal 216 ayat (1) KUHP yang terpenuhi, sehingga harus DIBATALKAN DEMI HUKUM.
D. PASAL PENYERTAAN.
Semua DAKWAAN di atas, baik DAKWAAN KESATU Primer dan Subsider serta Lebih Subsider, mau pun DAKWAAN KEDUA dan DAKWAAN KETIGA, dijuntokan kepada Pasal Penyertaan yaitu Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang menyatakan sebagai berikut :
(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
Saksi Ahli Teori Hukum Pidana DR Abdul Chair Ramadhan menyatakan di depan persidangan dan dituangkan juga dalam Pendapat Hukumnya halaman 16 :
”Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP menentukan dipidananya pelaku tindak pidana, yakni orang yang melakukan (pleger), dan yang menyuruh melakukan (doen pleger), serta yang turut serta melakukan perbuatan (mede pleger). Delik Penyertaan merupakan perluasan pertanggung-jawaban pidana bukan perluasan perbuatan pidana.”
Lalu Saksi Ahli menekankan bahwa :
”Pada penyertaan lazim dilakukan secara sitsematis dengan menunjuk adanya PEMUFAKATAN JAHAT di antara pihak.”
128
Saksi Ahli Hukum Pidana DR Muzakkir menyatakan di persidangan dan juga dituangkan dalam Pendapat Hukumnya halaman 10 – 11 bahwa Tindak Pidana Penyertaan memiliki dua syarat, yaitu :
1. Syarat Subjektif : yaitu masing-masing pelaku memiliki NIAT BERBUAT JAHAT dan NIAT JAHAT tersebut hendak/ atau telah dilakukan secara bersama-sama dengan pelaku lain yang juga memiliki NIAT JAHAT yang sama.
2. Syarat Objektif : yaitu adanya hubungan antara kelakuan atau perbuatan yang dilakukan oleh pelaku satu dengan pelaku lainnya sedemekian rupa untuk melaksanakan NIATNYA MELAKUKAN KEJAHATAN secara bersama-sama.
Jadi, Pasal Penyertaan ini berkaitan dengan NIAT JAHAT dan PEMUFAKATAN JAHAT untuk melakukan TINDAK KEJAHATAN, sehingga tidak ada kaitannya sama sekali dengan PELANGGARAN PROKES, karena Pelanggaran Prokes bukan Kejahatan.
Penerapan Pasal Penyertaan pada Kasus RS UMMI terlalu mengada-ada dan menimbulkan masalah serius, serta menunjukkan bahwa kerja JPU tidak profesional dan tidak proposional, karena tidak ada satu pun Fakta Persidangan yang menunjukkan adanya MEANS REA (Niat Jahat / Itikad Kriminal) dari SAYA dan HABIB HANIF serta Dr ANDI TATAT untuk melakukan TINDAK KEJAHATAN. Dan tidak ada juga Fakta Persidangan yang menunjukkan adanya KEMUFAKATAN JAHAT di antara SAYA dan HABIB HANIF serta Dr ANDI TATAT untuk melakukan TINDAK KEJAHATAN secara bersama-sama.
Justru sebaliknya terbukti melalui Fakta Persidangan bahwa Pernyataan SAYA dan HABIB HANIF serta Dr ANDI TATAT tentang kondisi SAYA ”baik-baik saja” untuk meredam KEJAHATAN BERITA HOAX yang meresahkan masyarakat, dan terbukti dengan pernyataan SAYA dan HABIB HANIF serta Dr ANDI TATAT tersebut menciptakan ketenangan dan menghilangkan keresahan.
Pada pembahasan tiap DAKWAAN telah diuraikan bahwa seluruh Pasal-Pasal yang dituduhkan tak satu pun yang terpenuhi unsur, sehingga Penerapan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP pada Kasus RS UMMI menjadi BATAL DENGAN SENDIRINYA manakala Pasal-Pasal yang dijuntokan kepadanya TIDAK TERPENUHI UNSUR.
KESIMPULAN : Tak satu pun unsur dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang terpenuhi, sehingga harus DIBATALKAN DEMI HUKUM.
BAB VIII
PENUTUP
Kepada Yang Mulia Majelis Hakim
Kepada Yang Tercinta Seluruh Penasihat Hukum
Kepada Yang Terhormat Semua Jaksa Penuntut Umum
Kepada Yang Istimewa Segenap Pecinta Keadilan dimana pun berada
Semoga Majelis Hakim yang Mulia diberi kekuatan oleh Allah SWT untuk menegakkan Keadilan dan melenyapkan Kezaliman, serta menjadi Garda Terdepan dalam menjaga Tatanan Hukum di Indonesia, agar tidak dirusak oleh MAFIA HUKUM mana pun.
Semoga Majelis Hakim yang mulia bisa menjaga kemurnian dan kemulian pengadilan ini dari POLITIK KRIMINALISASI yang mempraktekkan PIDANAISASI dan DISKRIMINASI HUKUM serta MANIPULASI FAKTA yang mebahayakan Agama, Bangsa dan Negara. Karena manakala perangkat dan istrumen Negara banyak terkontaminasi oleh PRAKTEK JAHAT OLIGARKI, maka Sidang Pengadilan yang dipimpin oleh Para Hakim yang Jujur lagi Amanah adalah menjadi harapan rakyat untuk menyelamatkan Tatanan Hukum demi Tegaknya Keadilan dan Lenyapnya Kezaliman.
Dan kepada seluruh Rakyat dan Bangsa Indonesia saya serukan untuk bergerak bersama-sama dengan para Penegak Hukum Sejati dalam melawan segala bentuk KEZALIMAN demi Tegaknya KEADILAN.
Sebelum saya akhiri Pledoi saya ini izinkan sejenak untuk berdoa :
بِسْمِ اﻟٰﻠﻪِّ الرَّحمْٰ نِ الرَّحِيْمِ اَلحَْمْدُ ﻟِٰﻠﻪِّ رَ ب الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلَاة وَالسَّلَام عَلَى سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وعَلَى آلِهِ الطَّاهِرِيْنَ وَأَصْحَابِهِ
الطَّيِّبِيْنَ وَأَتْبَاعِهِ إِلَى يوَْمِ الدِّيْنَ .
الْبَاطِلَ ﺑَﺎطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَه . الحَْقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاع ه وَُأَرَِ ١ .اَل لّهُمَّ أَرَِ
عَلَى أَعْدَائِنَا وَأَعْدَائِكَ وَأَعْدَاءِ الدِّيْنِ أَجمَْعِيْنَ . ٢ .اَل لّهُمَّ انْصُرَْ
٣ .اَل لّهُمَّ لَا تُمَكِّنِ الْأَعْدَاء فِيْنَا وَلَا مِنَّا وَلَا تُسَلِّطْهُمْ عَلَيْنَا بِذُنوُْبِنَا وَعُيُوْبِ نَا.
٤ .اَل لّهُمَّ اجْعَلْ كيْدَهُمْ فِى نَحْرِهِمْ وَمَكْرَهُمْ عَائِدًا عَلَيْهِمْ إِنَّكَ عَلَى ك ل شَيْئٍ قَدِي رٌ .
x ٥ .اَل لّهُ مَّ عَلَيْكَ ﺑِﺎلحُْكَّامِ الظَّالِمِيْنَ ٣
130
٦ .اَل لّهُمَّ فَرِّقْ جمَْعَهُمْ وَشَتِّتْ شمَْلَهُمْ وَمَزِّقْ وِحْدَتَهُمْ وَخَرِّبْ قوَُّتَهُمْ وَزَلْزِلْ أَ قَدَامَهُمْ وَقَلِّلْ عَدَدَهُمْ وَفُلَّ حَدَّهُمْ وَقلِّبْ
تَدْبِيْرَهُمْ وَقَرِّرْ تَدْمِيْرَهُمْ وَدَمِّرْهُمْ تَدْمِيْرًا.
فِى الْمَحْكَمَةِ ٧.اَل لّهُمَّ ارْزُقْنَا نَصْرًا عَزِيْزًا وَفَتْحًا مُبِيْنًا وخلاصا جميلا وفرجا عاجلا وَإِمَامًا عَادِلًا وَب لَدًا آمِنًا مُبَارَكًا فَانْصُرَْ
وَأَخْرِجْنَا مِنَ السِّجْنِ سَرِيْعًا عَاجِلًا فِى لُطْفٍ وَخَيْرٍ وَعَافِيَةٍ وَارْجِعْنَا إِ لى بيُُوْت نَا وَاجمَْعْنَا مَعَ أَهْلِ بيَْتِنَا وَأَصْحَابِنَا وَأَحْ بَابِنَا
أ رْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ جِحِ ين فَائِزِيْنَ مُؤَيَّدِيْنَ مَنْصُوْرِيْنَ بِحَقِّ سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ بِرَحمَْتِكَ َ غَانِمِيْنَ فَرِحِيْنَ سَالِمِيْنَ َ
Akhirnya, kepada Majelis Hakim yang Mulia, kami meminta dari sanubari yang paling dalam agar dalam mengambil keputusan denga keyakinan untuk menghentikan PROSES HUKUM YANG ZALIM terhadap saya dan kawan-kawan, demi terpenuhi rasa KEADILAN sekaligus menyelamatkan TATANAN HUKUM dan SENDI KEADILAN di Tanah Air yang sedang dirongrong oleh KEKUATAN JAHAT yang ANTI AGAMA dan ANTI PANCASILA serta membahayakan keutuhan Persatuan dan Kesatuan NKRI.
Karenanya, kami memohon karena Allah SWT demi Tegaknya Keadilan agar Majelis Hakim yang mulia MEMUTUSKAN untuk SAYA dan HABIB HANIF ALATTAS serta Dr ANDI TATAT dengan Vonis :
BEBAS MURNI
DIBEBASKAN DARI SEGALA DAKWAAN DAN TUNTUTAN
DIKEMBALIKAN NAMA BAIK, MARTABAT DAN KEHORMATAN
TERIMA KASIH
131
Sekian Pledoi saya,
حَسْبُنَا اﻟٰﻠﻪُّ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ
وَلا حَوْلَ وَلا قوَُّةَ إِلا ﺑِﺎﻟٰﻠﻪِّ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ
وَالحَْمْدُ ﻟِٰﻠﻪِّ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Jakarta, 10 Juni 2021
Al-Habib Muhammad Rizieq bin Husein Syihab