Tragedi Duit Haji


Rabu, 9 Juni 2021

Faktakini.info

BUKAN kali ini saja, duit calon haji sudah menjadi kecurigaan umat. Jauh sebelum Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengumumkan pembatalan pemberangkatan haji pada 3 Juni 2021, duit haji telah jadi misteri.

Rezim boleh saja membantah bahwa duit haji tidak disalahgunakan. Tetapi empat tahun yang lalu, Presiden Jokowi memerintahkan kepada Kepala Badan Pelaksana Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Anggito Abimanyu untuk mengelola dana haji biar lebih produktif. “BPKH siap menjalankan instruksi Presiden Joko Widodo untuk menginvestasikan dana haji sebesar Rp 80 Triliun, 80 persen (dari total dana haji),” kata Anggito seusai dilantik sebagai Anggota BPKH oleh Presiden Joko Widodo, di Istana Negara, Jakarta, Rabu (26/7/2017).

Demikian juga Ma’ruf Amin. Melalui juru bicara Masduki Baidlowi, Wapres menyarankan dana haji bisa dimasukkan ke investasi-investasi saham yang menguntungkan pemerintah, yang sangat terjamin amannya, “Itu boleh. Kira-kira begitu waktu itu,” lanjut Masduki saat memberi klarifikasi beredarnya video Wapres tentang dana haji, di Jakarta Senin (7/6/2021).

Sejak pembentukan BPKH umat bertanya-tanya, mengapa duit haji dipakai seenaknya. Bukankah dana haji diperuntukkan hanya bagi kepentingan ibadah.

Kini setelah ribut soal dana haji, pemerintah kembali ngeles bahwa dana haji aman.

BPKH dalam laman resminya mengungkapkan, selama tiga tahun mengelola dana haji telah berhasil membukukan peningkatan dana kelolaan, meski berada pada situasi yang tidak mudah akibat pandemi Covid-19 dan kontraksi ekonomi.

Pada 2020, saldo dana haji yang dikelola BPKH sebesar Rp 143,1 triliun atau meningkat 15,08%. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2019 yang sebesar Rp 124,32 triliun. Realisasi tersebut juga telah melebihi target dana kelolaan yang ditetapkan oleh BPKH tahun 2020 sebesar Rp 139,5 triliun. Terkait instrumen dana kelolaan tahun 2020, sebesar Rp 99,53 triliun atau mencakup 69,6% untuk diinvestasikan, dan sisanya 30,4% atau Rp 43,53 triliun ditempatkan di bank syariah.

Sebetulnya calon jamaah haji tidak butuh penjelasan teknis yang njlimet dan bikin mumet. Calon jamaah tidak butuh pengetahuan tentang valas, sukuk, surat utang atau investasi lainnya. Mereka hanya butuh kejujuran, mengapa saatnya berangkat tidak bisa berangkat. Itu saja.

Calon jamaah haji tidak semuanya melek ekonomi. Mereka bukan mau berwisata. Uang yang mereka setorkan bukan untuk dibungakan, apalagi main valas yang tentu saja mengandung unsur judi. Mereka juga percaya kepada pengelola haji yang notabene adalah pemerintah.

Mereka yakin pemerintah tidak akan jahat seperti pengelola First Travel, arisan berantai dan investasi bodong lainnya. Oleh karena itu, jujurlah wahai rezim.

Kepercayaan mahal harganya. Pepatah mengatakan, “Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya.” Pengingkaran inilah yang bikin kecewa umat. Ada puluhan ribu calon haji yang petani miskin, tukang bubur, dan pekerja kasar lainnya.

Setiap keping rupiah, mereka sisihkan demi memenuhi rukun Islam kelima sebagai umat yang taat. Jika tiba-tiba pemerintah membatalkan ibadah suci tersebut, jelas menjadi pertanyaan besar. Mengapa pemerintah tidak mendata berapa jumlah calon haji yang lansia, sepuh, dan tak berdaya untuk diprioritaskan?

Bukankah pengelolaan ibadah haji sudah seusia dengan republik ini? Sangat absurd jika alasan terlalu mepet waktunya untuk persiapan sehingga haji harus dibatalkan. Bukankah pandemi ini sudah memasuki tahun kedua? Mengapa pemerintah tidak menyiapkan skenario ibadah haji di tengah pandemi?

Yang terjadi justru pemerintah sibuk berkilah, cari-cari alasan, dan ngeles. Saking terdesaknya, pemerintah mengizinkan dana haji ditarik kembali. Sungguh tawaran yang aneh. Apalagi para calon haji sesungguhnya hanya punya satu tujuan yakni berhaji. Bukan bertujuan ambil duit. Tidak elok menarik kembali duit haji.

Akan tetapi, tawaran tersebut lagi-lagi curang, yang boleh ditarik hanya biaya pelunasan. Bagaimana dengan duit Rp 25 juta yang sudah mengendap selama 15 tahun, apakah boleh diambil? Jika demikian, salahkah jika umat menduga dana haji zonk?

Tampak sekali rezim punya tabiat tukang pungut. Mereka memungut apa saja. Mereka mengincar duit yang ada di kantong rakyat. Ada saja target yang dipungut, dari pembelian permen hingga donasi kemanusiaan.

Dari biaya admin transaksi bank hingga pajak penghasilan. Dari kotak amal hingga dana haji. Ini preseden buruk bagi generasi yang akan datang. Rezim tak kreatif menghasilkan uang, selain melakukan pungutan. Wajar jika calon jamaah haji pun geram.

Mana lebih produktif, apakah investasi dikelola pemerintah atau dikelola umat sendiri. Sejauh ini setiap calon haji harus setor dana sebesar Rp 25 juta. Masa tunggu berkisar 10-20 tahun. Bahkan kini ada yang 30 tahun.

Jika uang Rp 25 juta itu dibuat usaha jualan martabak, maka akan menghasilkan 3 gerobak martabak plus bahan bakunya. Jika setiap gerobak martabak menghasilkan keuntungan Rp 2 juta per bulan, maka akan terkumpul Rp 6 juta. Dalam setahun bisa terkumpul Rp 72 juta. Sepuluh tahun Rp 720 juta per jamaah.

Di Indonesia ada 450. 000 calon jamaah haji. Fantastis. Jauh lebih menguntungkan ketimbang main valas, bukan?

Belum lagi jika dana itu dipakai buat beternak kalajengking seperti saran Presiden Jokowi. Harga racun scorpion itu mahal, 1 (satu) liter mencapai Rp 150 miliar. Wow menarik sekali.

Bisa dibayangkan berapa keuntungan umat jika dana haji dikelola sendiri. Ongkos naik haji dibayar sebelum keberangkatan saja.

Pemerintah boleh berargumen, namun umat tidak akan pernah percaya. Rezim boleh teriak dana haji aman, tapi rakyat berhak bertanya mengapa sampai dua kali musim haji selalu gagal dan batal. Mengapa negara-negara lain bisa berhaji.

Sederhana saja. Motor titipan tidak boleh dipakai oleh pengelola untuk ngojek apalagi motornya kemudian digelapkan. Demikian juga dana titipan harus siap dikembalikan manakala dibutuhkan oleh penitip, tidak boleh dipakai untuk keperluan apa pun.

Ke mana duit haji? Mengapa tidak juga diaudit? Mengapa donasi untuk Palestina yang cuma Rp 39 miliar ngotot mau diaudit? Sementara dana haji yang mencapai ratusan triliun dibiarkan?

Sejak kapan umat menyatakan ikrarnya bahwa dana haji untuk infrastruktur, valas atau sukuk? Para calon haji tidak pernah menyatakan dana haji dipakai buat selain haji. Mereka percaya pemerintah menjaga dana umat apalagi untuk kepentingan ibadah wajib.

Jika pada saatnya ibadah harus ditunaikan tetapi tidak bisa dilakukan karena duitnya gak ada, apakah ini bukan upaya menghalang- halangi umat untuk beribadah dan menjalankan keyakinan? Apakah ini bukan pelanggaran hak asasi manusia?

Pemerintah bertidaklah secara wajar biar tidak ada prasangka liar. Jangan kebohongan ditutupi dengan kebohongan baru. Jangan terbiasa putuskan dahulu, jelaskan kemudian. Jangan menganggap semua pelanggaran bisa dijelaskan dengan konferensi pers dan grafik apalagi dengan gonggongan buzzer.

Tampaknya rezim telah menempatkan diri sebagai makhluk paling sempurna, tanpa salah. Apapun yang dilakukan selalu benar. Untuk kasus yang sudah nyata saja pemerimtah enggan meminta maaf apalagi untuk kasus yang samar. Arogansimu bisa menjerumuskanmu.**

Sumber: FNN.co.id