Geliat Palu Arit Di Tanah Jawara (Banten)

 


Ahad, 25 Juli 2021

Faktakini.info

Hi Historimean!

Dibanding daerah-daerah lain di Jawa, wilayah Banten boleh dikatakan lebih jarang terekspos dari peredaran. Padahal, wilayah ini berbatasan langsung dengan ibukota negara disamping pula memiliki posisi strategis dengan letaknya di mulut selat Sunda. Hal ini tidak hanya dirasakan pada masa kontemporer semata. 

“Keterasingan” Banten jauh bermula sejak era kolonial atau sesudah institusi Kesultanan Banten meredup dan akhirnya hancur di permulaan abad ke-19. Menikmati era kejayaan pada abad keenam belas dengan perdagangan lada dan hasil bumi lain, Banten juga merasakan kehormatan sebagai representasi kekuatan Islam di ujung barat pulau Jawa, kala mengislamkan pedalaman Jawa Barat dibawah sultan-sultan mereka. Era kejayaan tersebut perlahan-lahan surut ketika pengaruh Barat merembes masuk, terutama ketika VOC mulai turut serta di dalam rumah tangga Kesultanan. 

Surutnya kekuasaan Banten mencapai titik nadir ketika masa Hindia Belanda dibawah Gubernur Jenderal H.W. Daendels yang membubarkan Kesultanan akibat pembangkangan sultan yang menolak pengerahan rakyat untuk kerja rodi. Sejak saat itu Banten tak lebih dari sekedar karesidenan terbelakang yang tak berarti. Meski demikian, wilayah ini tidak sama sekali kehilangan gambarannya pada periode tersebut. 

Buku berjudul “Arit dan Bulan Sabit” karangan Michael C. Williams berhasil menyajikan saat-saat di mana, daerah yang juga dikenal sebagai “Tanah Jawara” ini, muncul kembali ke panggung perpolitikan negeri namun dengan corak yang nyaris sama sekali berbeda. Dikenal dengan predikat sebagai daerah dengan basis keislaman yang mengakar kuat, justru pada tahun 1926-1927 Banten menjadi daerah pemberontakan PKI paling dahysat dibanding daerah-daerah lain, kecuali Sumatera Barat juga terjadinya pemberontakan yang sama dahsyat.

Mengawali studinya tentang permasalahan ini, Williams menganalisis kondisi sosial-ekonomi masyarakat Banten sebelum pemberontakan PKI meletus. Keterangan tentang jarangnya jumlah penduduk, tidak adanya industri besar, kepemimpinan riil ditangan kaum ulama, disuguhkan Williams sembari menyodorkan data-data sejarah dari sumber primer. Menurut Williams, meskipun secara de jure Banten berada dibawah langsung pemerintahan kolonial dibantu para bangsawan setempat, namun secara de facto justru kaum ulama yang lebih didengar dan ditaati segenap rakyat Banten. 

Masuknya ideologi Komunisme ke Banten dapat ditelusuri ketika 2 orang pimpinan eksekutif ISDV, sebagai cikal-bakal organisasi komunis di Hindia, menetap di Banten. Selain itu serikat buruh kereta api (VSTP) sudah membuka cabang di daerah Labuan, Pandeglang. Bahkan ketika PKI baru diproklamirkan pendiriannya pun, tokoh-tokoh PKI sering mengadakan rapat-rapat akbar dan menyampaikan orasinya di hadapan rakyat.

Tak disangka-sangka, meskipun dilabeli sebagai daerah dengan identitasi keislaman yang kuat, rakyat Banten sekaligus juga sebagian besar ulama berhasil terbius dengan propaganda-propaganda yang dicetuskan tokoh-tokoh PKI. Menurut Williams, kemampuan adaptasi PKI dengan tidak menolak tradisi Islam di Banten disamping terus mencari persamaan ideologi Komunis dengan Islam, menjadi faktor penentu pesatnya perkembangan PKI di Banten.

Memiliki musuh bersama yang terjelma dalam kolonialisme dan imperialisme Belanda, menjadikan 2 komponen yang sebetulnya saling bersebrangan secara fundamental ini, berhasil membangun koalisi yang kuat. Apalagi dengan ditambahi janji-janji akan lepasnya beban berat penghidupan sebagai dampak dari “pemerintahan kafir” Belanda, semakin membuat rakyat percaya pada kalangan komunis. Walhasil pada tahun 1925 PKI mengumumkan pendirian cabangnya di Banten sebagai seksi ke-37, dengan Puradisastra sebagai ketuanya.

Konferensi Prambanan PKI pada akhir tahun 1925 yang melahirkan keputusan untuk melancarkan pemberontakan besar-besaran di seluruh Hindia Belanda, tak urung jua sampai ke Banten. Meskipun keputusan berontak tersebut sudah ditolak oleh tokoh-tokoh utama PKI karena alasan banyaknya penangkapan dan pengasingan yang dilakukan terhadap tokoh-tokoh sentral partai, nyatalah bahwa penolakan itu hanya dianggap angin lalu. Untuk kesekian kalinya dalam sejarah, Banten kembali menampakkan gairahnya untuk memberontak terhadap pemerintahan kolonial. 

Sepanjang permulaan hingga pertengahan tahun 1926 aktivitas PKI Banten meningkat ditandai penyusunan rencana, memobilisasi massa, dan menyiapkan persenjataan yang diselundupkan dari luar negeri. Pada masa-masa inilah kaum ulama dibantu para jawara menunjukkan pengaruh dan kewibawaannya dihadapan rakyat Banten. 

Rakyat yang tidak tahu-menahu soal ideologi Komunisme, terjerat kedalam pemberontakan karena mengikuti guru-guru agamanya yang menyerukan ajakan perang pada kafir Belanda. Dimana-mana di seluruh pedesaan Banten, para petani melakukan puasa dan menyiapkan kain putih sebagai persiapan pemberontakan yang tak lama lagi terjadi. Disamping mengikuti guru agama dan keinginan melepaskan beban berat pajak, rakyat Banten juga dijanjikan akan pemulihan Kesultanan Banten sebagai prestise masa lampau. 

Namun sayang, rupa-rupanya pemerintah kolonial sudah mencium terlebih dulu rencana pemberontakan ini. Sepanjang Agustus hingga September 1926 terjadi penangkapan besar-besaran terhadap tokoh-tokoh sentral PKI Banten yang membuat rencana aksi dan kelanjutan dari pemberontakan yang akan dilaksanakan menjadi berantakan. Praktis kepemimpinan pemberontakan ada ditangan ulama.

Karena massa sudah terlanjur disiapkan untuk memberontak, maka pilihan membatalkan pemberontakan bukanlah sikap yang tepat. Begitu kira-kira yang ada di benak KH. Ahmad Chatib selaku pimpinan utama pemberontakan. Maka pemberontakan yang sebetulnya tidak matang tersebut meletus juga pada bulan November 1926. Banten kembali terbakar dalam api pemberontakan. Para petani bahu-membahu dengan golongan lain membasmi pihak-pihak yang dipandang kaki-tangan kafir Belanda. 

Pemberontakan luas pun terjadi yang kemudian diikuti langsung pukulan balik yang mematikan dari pemerintah kolonial. Pasukan berjumlah 100 prajurit dibawah komando Kapten Becking bergerak dari Batavia untuk memukul mundur para pemberontak dan menegakkan kembali orde en rust di wilayah Keresidenan Banten. Dengan cepat tokoh-tokoh dan massa pemberontak berhasil dilumpuhkan. Sebagian besar dari mereka yang tertangkap harus merasakan pengasingan di Boven Digul sebagai ganjarannya. Dan sekali lagi, Banten kembali tenggelam senyap usai pemberontakan.

-------------------------------------

Penulis : Ibnu Aghniya

Penyunting : Zakaria

-------------------------------------

Refrensi :

• Ricklefs, M. C. 1999. Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: UGM Press).

• Williams, Michael C. 2003. Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten (Yogyakarta: Syarikat Indonesia).

• Bonnie Triyana. Satu Perahu Dua Haluan. Dalam (Historia id). 

-------------------------------------

• Akses semua situs Historical Meaning : 

linktr.ee/HistoricalMeaning

• Instagram Historical Meaning :

Instagram.com/Historical


• Forum Diskusi Historical Meaning :

https://chat.whatsapp.com/GHmsabz6nBjAWAOZCBqNju


• Dukung Historical Meaning : https://saweria.co/historicalmeaning