Habib Ali Akbar bin Aqil: Agama Itu Pengorbanan

 

Jum'at, 16 Juli 2021

Faktakini.info

Agama Itu Pengorbanan

Oleh : Ali Akbar bin Muhammad bin Aqil*

Ada sebuah ungkapan dalam bahasa Arab, "Ad-Diinu Tadhhiyyah." Agama itu adalah pengorbanan. 

Maksudnya, setiap Muslim  dalam menjalankan keyakinannya, harus mau berkorban. Termasuk dalam Hari Raya Qurban yang berkaitan erat dengan sejarah kehidupan Nabi Ibrahim. 

Nabi Ibrahim lulus cumlaude setelah berhasil menghadapi ujian antara  mengutamakan anak atau perintah Allah SWT. Kelulusan ini diganjar dengan hadiah berupa seekor domba sebagai pengganti korban manusia. 

Hakikat Pengorbanan

Dalam kehidupan moderen, terkadang membuat manusia nekad menghalalkan segala cara demi meraih keinginan. Oleh karena itu, peristiwa pengorbanan Nabi Ibrahim AS selalu relevan untuk kita hadirkan.

Betapa masih banyak manusia yang mengorbankan orang lain demi memuaskan sifat rakus dan ambisi, tanpa peduli halal haramnya. Bahkan perbuatan keji yang melanggar hak asasi manusia berani dikerjakan dengan menumpahkan darah orang-orang yang tidak bersalah yang mengawal ulama untuk pergi ke tempat pengajian, atau memalak bantuan sosial yang seharusnya diberikan kepada orang-orang yang terdampak pandemi.

Dari sini kita belajar bahwa yang harus kita korbankan adalah sifat-sifat buruk dan akhlaq tercela yang mengendap dalam diri ini. Kita buang dan ganti dengan sikap terpuji. 

Kita ubah sifat kikir dengan kedermawanan. Kita ganti sifat mencela dengan mendoakan yang baik. Kita hilangkan sikap gemar menfitnah dengan menyampaikan hanya yang benar dan sesuai fakta. Kita eliminasi sifat sombong dengan kerendahan hati (tawadhu). 

Kita 'sembelih' hobi berpecah belah karena perbedaan sudut pandang, mazhab, dan organisasi. Ganti dengan saling menghargai agar tercipta persaudaraan yang hangat di antara sesama Muslim.

Saat kita menyembelih domba, kambing, atau sapi,  sebenarnya kita tengah belajar untuk berbagi dalam bentuk mengenyangkan perut yang lapar. Kita belajar untuk menahan diri dari menumpahkan darah manusia dan membela orang-orang yang tertindas nan lemah. Kita berupaya mendaki derajat yang mulia di hadapan Allah SWT.

Allah SWT berfirman : "Daging (hewan qurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu." (Al-Hajj [22] : 37).

Menjaga Semangat Qurban

Semangat berkorban harus terus dipelihara pasca Idul Adha. Ada beberapa hal yang perlu kita lakukan, antara lain :

Pertama, sadarilah keutamaan dan nilai di balik pengorbanan. Setiap pengorbanan yang disemai dengan keikhlasan semata-mata karena Allah, Insya akan menuai berkah.

"Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui." (Al-Baqarah [2] : 261)

Karena itu, Abu Hasan Al-Busyanji tidak ingin menunda sedekah dan melakukan kebaikan. Suatu hari, ia berteriak memanggil muridnya, "Ambilkan bajuku dan segera berikan berikan kepada si fulan." 

Si murid bertanya, "Mengapa engkau tidak memberikan pakaian itu nanti setelah keluar dari kamar mandi?" 

Abu Hasan menjawab, "Saat itu dalam hatiku terbetik keinginan untuk memberikan pakaian itu kepada fulan. Jika kutunda sampai keluar dari kamar mandi, aku kuatir, niat baikku ini akan berubah."

Kedua, kita akan menyadari bahwa kemajuan yang kita rasakan dan capai sekarang ini adalah hasil dari pengorbanan orang lain dan orang-orang yang pernah membantu kita. Dari pengorbanan orang lain pula kita bisa berkorban dengan harta dan semua yang bisa kita lakukan, demi meringankan beban orang-orang yang membutuhkan bantuan.

Ketiga, hadirkan kesadaran dalam diri kita tentang adanya tuntutan untuk berkorban. Setiap orang pada dasarnya mampu berkorban dengan apa yang ia miliki. Waktu, tenaga, dan ilmu yang kita punya, adalah modal yang sekecil apa pun itu,  sebenarnya bisa kita korbankan. 

Ungkapan "Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah" merupakan motivasi untuk menolong orang yang lemah. Saat kita melihat hamparan kemiskinan terpampang di depan mata, katakan, "Allah menciptakan saya dan orang-orang yang diberi kemampuan untuk berbagi agar bisa membantu mereka yang kekurangan." Dengan itu, kita berusaha untuk meringankan beban dan mengenyangkan perut yang lapar.

Keempat, kenali profil dan biografi sosok-sosok yang rela berkorban, tidak dengan hartanya saja, tapi juga nyawanya. Begitu banyak orang-orang di sekitar kita yang bisa kita jadikan panutan dalam kerelaannya untuk berkorban, meskipun di saat yang sama ia sesungguhnya sangat membutuhkan. Demi saudaranya, ia sisihkan kebutuhannya demi memenuhi kebutuhan saudaranya, mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan pribadi. Sejarah mencatat dengan tinta emas tokoh-tokoh yang telah berkorban waktu, tenaga, pikiran, harta dan segala yang dimiliki demi tegaknya Islam.

Kelima, kita hadirkan kesadaran tentang buruknya sifat kikir. Jika tidak kita hilangkan, ini akan menjadi penghalang yang mempengaruhi sikap untuk berkorban. Misalnya kikir ilmu, kikir harta, maupun kikir dalam bentuk yang lain.

"Orang-orang yang kikir, menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka (maka) Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan." (An-Nisa' [4] : 37)

Akhirnya kita bisa mengambil kesimpulan, untuk memperbaiki kualitas kehidupan umat dan bangsa, berkorban merupakan sebuah keniscayaan yang tidak boleh diabaikan. 

Kemerosotan kualitas kehidupan bangsa dalam berbagai bidang adalah akibat hilangnya semangat berkorban. Yang ada justru mengorbankan orang banyak demi memuaskan keserakahan kelompok dan kepentingan diri sendiri. Tidak lagi berpikir tentang apa yang bisa mereka berikan untuk masyarakat, tapi berpikir tentang apa yang bisa mereka dapatkan. 

Mari bersama kita perbaiki dengan berpikir dan berusaha tentang manfaat apa yang bisa kita lakukan untuk kebaikan serta kemajuan umat dan bangsa ini.

*Pengajar di Pondok Pesantren Daruttauhid Malang

(Tulisan ini telah dimuat di Majalah Suara Hidayatullah, Edisi 3 | XXXIII | Juli 2021 / Dzulqodah 1442, Hal. 40-41)