KH Idrus Ramli: Dalil Yasinan dan Kesunnahan Dzikir Tahlilan 7 Hari, Hari ke-40, 100 dan 1000
Sabtu, 31 Juli 2021
Faktakini.info
KH Muhammad Idrus Ramli
TRADISI YASINAN DAN TAHLILAN
Kaum Muslimin di Indonesia meyakini bahwa Islam disebarkan di Nusantara oleh para ulama yang alim dalam hal ilmu agama. Berdasarkan kealiman mereka, yang sudah barang tentu melebihi kealiman orang-orang sekarang, mereka melakukan inovasi dan melestarikan tradisi-tradisi Islam yang berlangsung hingga sekarang, seperti tradisi Yasinan, Tahlilan 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari dan lain-lain. Hanya saja karena umat Islam Nusantara, tidak pernah mempersoalkan dalil-dalil teradisi amaliah Islami tersebut, para ulama kita jarang sekali menjelaskan dalil-dalil tradisi tersebut.
Belakangan setelah fitnah kaum Wahabi mulai masuk ke Nusantara, mulai terjadi gugatan terhadap beragam tradisi yang telah berkembang sebelumnya. Kaum Wahabi beralasan, bahwa tradisi tersebut tidak memiliki dalil. Padahal sebagaimana kita maklumi, kaum Wahabi-lah yang paling miskin dalil. Akan tetapi setelah para ulama kita menjelaskan dalil-dalil tradisi tersebut, kaum Wahabi masih berkilah, “Itu mendalili amal, bukan mengamalkan dalil.” Tentu saja, karena kaum Wahabi belum mampu menjawab dalil-dalil yang dikemukakan oleh para ulama. Mengamalkan dalil dan mendalilkan amal, selama dalilnya shahih, tidak ada bedanya.
Berikut ini dalil-dalil bolehnya menetapkan waktu-waktu tertentu untuk melakukan kebaikan dan ibadah.
1) Dalil pertama, hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا وَكَانَ عَبْدُ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَفْعَلُهُ. رواه البخاري
“Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mendatangi Masjid Quba’ setap hari sabtu, dengan berjalan kaki dan berkendaraan.” Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu juga selalu melakukannya. (HR. al-Bukhari, [1193]).
Hadits di atas menjadi dalil bolehnya menetapkan waktu-waktu tertentu secara rutin untuk melakukan ibadah dan kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan hari Sabtu sebagai hari kunjungan beliau ke Masjid Quba’. Beliau tidak menjelaskan bahwa penetapan tersebut, karena hari Sabtu memiliki keutamaan tertentu dibandingkan dengan hari-hari yang lain. Berarti menetapkan waktu tertentu untuk kebaikan, hukumnya boleh berdasarkan hadits tersebut. Karena itu al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وفي هذا الحديث على اختلاف طرقه دلالة على جواز تخصيص بعض الأيام ببعض الأعمال الصالحه والمداومه على ذلك وفيه أن النهي عن شد الرحال لغير المساجد الثلاثه ليس على التحريم
“Hadits ini, dengan jalur-jalurnya yang berbeda, mengandung dalil bolehnya menentukan sebagian hari, dengan sebagian amal saleh dan melakukannya secara rutin. Hadits ini juga mengandung dalil, bahwa larangan berziarah ke selain Masjid yang tiga, bukan larangan yang diharamkan.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari, juz 3 hlm 69).
2) Hadits Sayidina Bilal radhiyallahu ‘anhu
وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلاَلٍ عِنْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ: «يَا بِلاَلُ حَدِّثْنِيْ بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي اْلإِسْلاَمِ فَإِنِّيْ سَمِعْتُ دُفَّ نَعْلَيْكَ فِي الْجَنَّةِ» قَالَ: مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِيْ مِنْ أَنِّيْ لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُوْرًا فِيْ سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطَّهُوْرِ مَا كُتِبَ لِيْ. وَفِيْ رِوَايَةٍ : قَالَ لِبِلاَلٍ: «بِمَ سَبَقْتَنِيْ إِلَى الْجَنَّةِ؟ قَالَ: مَا أَذَّنْتُ قَطُّ إِلاَّ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَمَا أَصَابَنِيْ حَدَثٌ قَطُّ إِلاَّ تَوَضَّأْتُ وَرَأَيْتُ أَنَّ للهِ عَلَيَّ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «بِهِمَا» أَيْ نِلْتَ تِلْكَ الْمَنْزِلَةَ». رواه البخاري (1149) ومسلم (6274) وأحمد (9670) والنسائي في فضائل الصحابة (132) والبغوي (1011) وابن حبان (7085) وأبو يعلى (6104) وابن خزيمة (1208) وغيرهم.
“Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Bilal ketika shalat fajar: “Hai Bilal, kebaikan apa yang paling engkau harapkan pahalanya dalam Islam, karena aku telah mendengar suara kedua sandalmu di surga?”. Ia menjawab: “Kebaikan yang paling aku harapkan pahalanya adalah aku belum pernah berwudhu’, baik siang maupun malam, kecuali aku melanjutkannya dengan shalat sunat dua rakaat yang aku tentukan waktunya.” Dalam riwayat lain, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Bilal: “Dengan apa kamu mendahuluiku ke surga?” Ia menjawab: “Aku belum pernah adzan kecuali aku shalat sunnat dua rakaat setelahnya. Dan aku belum pernah hadats, kecuali aku berwudhu setelahnya dan harus aku teruskan dengan shalat sunat dua rakaat karena Allah”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Dengan dua kebaikan itu, kamu meraih derajat itu”.(HR. al-Bukhari (1149), Muslim (6274), al-Nasa’i dalam Fadhail al-Shahabah (132), al-Baghawi (1011), Ibn Hibban (7085), Abu Ya’la (6104), Ibn Khuzaimah (1208), Ahmad (5/354), dan al-Hakim (1/313) yang menilainya shahih.).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam belum pernah menyuruh atau mengerjakan shalat dua rakaat setiap selesai berwudhu atau setiap selesai adzan, akan tetapi Bilal melakukannya atas ijtihadnya sendiri, tanpa dianjurkan dan tanpa bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membenarkannya, bahkan memberinya kabar gembira tentang derajatnya di surga, sehingga shalat dua rakaat setiap selesai wudhu menjadi sunnat bagi seluruh umat. Dengan demikian, berarti menetapkan waktu ibadah berdasarkan ijtihad hukumnya boleh. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata ketika mengomentari hadits tersebut:
ويستفاد منه جواز الاجتهاد في توقيت العبادة لأن بلالا توصل إلى ما ذكرنا بالاستنباط فصوبه النبي صلى الله عليه و سلم
“Dari hadits tersebut dapat diambil faedah, bolehnya berijtihad dalam menetapkan waktu ibadah. Karena sahabat Bilal mencapai derajat yang telah disebutkan berdasarkan istinbath (ijtihad), lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membenarkannya.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari, juz 3 hlm 34).
3) Hadits Ziarah Tahunan
عن محمد بن إبراهيم قال: كان النبي صلى الله عليه وسلم يأتي قبور الشهداء على رأس كل حول فيقول:"السلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار"، وأبو بكر وعمر وعثمان
“Muhammad bin Ibrahim berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mendatangi makam para syuhada’ setiap tahun, lalu berkata: “Salam sejahtera semoga buat kalian sebab kesabaran kalian. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” Hal ini juga dilakukan oleh Abu Bakar, Umar dan Utsman. (HR. al-Thabari dalam Tafsir-nya [20345], dan Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya juz 4 hlm 453).
Hadits di atas juga disebutkan oleh al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi dalam Syarh al-Shudur hlm 185, dan ditentukan bahwa makam Syuhada yang diziarahi setiap oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Syuhada peperangan Uhud. Hadits ini dapat dijadikan dalil, tentang tradisi haul kematian setiap tahun.
4) Atsar Sayyidah Fathimah radhiyallahu ‘anha
عن محمد بن علي قال كانت فاطمة بنت رسول الله صلى الله عليه و سلم تزور قبر حمزة كل جمعة
“Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin berkata: “Fathimah putrid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berziarah ke makam Hamzah setiap hari Jum’at.” (HR. Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf [6713]).
عن الحسين بن علي : أن فاطمة بنت النبي صلى الله عليه و سلم كانت تزور قبر عمها حمزة كل جمعة فتصلي و تبكي عنده هذا الحديث رواته عن آخرهم ثقات
“Al-Husain bin Ali berkata: “Fathimah putri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berziarah ke makam pamannya, Hamzah setiap hari Jum’at, lalu menunaikan shalat dan menangis di sampingnya.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak [4319], al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra [7000]).
5) Atsar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ حَدِّثْ النَّاسَ كُلَّ جُمُعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ أَبَيْتَ فَمَرَّتَيْنِ فَإِنْ أَكْثَرْتَ فَثَلَاثَ مِرَارٍ وَلا تُمِلَّ النَّاسَ هَذَا الْقُرْآنَ. رواه البخاري.
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata: "Sampaikanlah hadits kepada manusia setiap hari Jum'at. Jika kamu tidak mau, maka lakukan dua kali dalam sepekan. Jika masih kurang banyak, maka tiga kali dalam sepekan. Jangan kamu buat orang-orang itu bosan kepada al-Qur’an ini. (HR. al-Bukhari [6337]).
Keterangan:
Menetapkan hari-hari tertentu dengan kebaikan, telah berlangsung sejak masa sahabat. Karena itu para ulama di mana-mana, mengadakan tradisi Yasinan setiap malam Jum'at atau lainnya, dan beragam tradisi lainnya. Hal ini telah berlangsung sejak masa salaf.
6) Atsar Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
عَنْ شَقِيقٍ أَبِى وَائِلٍ قَالَ كَانَ عَبْدُ اللهِ يُذَكِّرُنَا كُلَّ يَوْمِ خَمِيسٍ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّا نُحِبُّ حَدِيثَكَ وَنَشْتَهِيهِ وَلَوَدِدْنَا أَنَّكَ حَدَّثْتَنَا كُلَّ يَوْمٍ. فَقَالَ مَا يَمْنَعُنِى أَنْ أُحَدِّثَكُمْ إِلاَّ كَرَاهِيَةُ أَنْ أُمِلَّكُمْ. إِنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَتَخَوَّلُنَا بِالْمَوْعِظَةِ فِى الأَيَّامِ كَرَاهِيَةَ السَّآمَةِ عَلَيْنَا. رواه البخاري ومسلم
“Syaqiq Abu Wail berkata: “Abdullah bin Mas’ud memberikan ceramah kepada kami setiap hari Kamis. Lalu seorang laki-laki berkata kepada beliau: “Wahai Abu Abdirrahman, sesungguhnya senang dengan pembicaraanmu dan selalu menginginkannya. Alangkah senangnya kami jika engkau berbicara kepada kami setiap hari?” Ibnu Mas’ud menjawab: “Tidaklah mencegahku untuk berbicara kepada kalian, kecuali karena takut membuat kalian bosa. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan nasehat kepada kami dalam hari-hari tertentu, khawatir membuat kami bosan.” (HR. al-Bukhari [70], dan Muslim [7305]).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memiliki waktu tertentu untuk berceramah kepada para sahabatnya, kecuali dalam khutbah Jum’at dan hari raya secara rutin. Beliau memberikan nasehat kepada mereka kadang-kadang saja, atau ketika ada suatu hal yang perlu diingatkan kepada mereka. Kemudian setelah beliau wafat, para sahabat menetapkan hari-hari tertentu untuk menggelar pengajian. Hal ini membuktikan bahwa menetapkan hari-hari tertentu untuk kebaikan hukumnya boleh.
7) Fatwa Syaikh Nawawi Banten rahimahullah
والتصدق عن الميت بوجه شرعي مطلوب، ولا يتقيد بكونه سبعة أيام أو أكثر أو أقل، وتقييده ببعض الأيام من العوائد فقط كما أفتى بذلك السيد أحمد دحلان، وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت في ثالث من موته وفي سابع وفي تمام العشرين وفي الأربعين وفي المائة وبعد ذلك يفعل كل سنة حولا في يوم الموت كما أفاد شيخنا يوسف السنبلاويني. (الشيخ نووي البنتني، نهاية الزين ص/281).
Bersedekah untuk orang meningga dengan cara yang syar’i itu dianjurkan. Hal tersebut tidak terbatas dengan tujuh hari, lebih atau kurang. Membatasi sedekah dengan sebagian hari, termasuk tradisi saja sebagaimana fatwa Sayyid Ahmad Dahlan. Tradisi masyarakat telah berlangsung dengan bersedekah pada hari ketiga kematian, ketujuh, keduapuluh, keempat puluh, keseratus, dan sesudah itu dilakukan setiap tahun hari kematian, sebagaimana dijelaskan oleh guru kami Yusuf al-Sunbulawaini. (Syaikh Nawawi Banten, Nihayah al-Zain, hlm 281).
Paparan di atas memberikan kesimpulan, bahwa menetapkan hari-hari tertentu untuk melakukan kebaikan secara rutin, adalah tradisi Islami yang mulia, berdasarkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan tradisi para sahabat. Alhamdulillah.
..
DALIL KESUNNAHAN DZIKIR TAHLILAN 7 HARI, HARI KE-40, 100 DAN 1000
WAHABI: “Anda harus meninggalkan Tahlilan 7 hari, hari ke 40, 100, dan ke 1000. Kalau tidak anda akan masuk neraka.”
SUNNI: “Apa alasan Anda mewajibkan kami meninggalkan Tahlilan tujuh hari, hari ke-40, 100 dan 1000?”
WAHABI: “Karena itu tasyabbuh dengan orang-orang Hindu. Mereka orang kafir. Tasyabbuh dengan kafir berarti kafir pula.”
SUNNI: “Owh, itu karena Anda baru belajar ilmu agama. Coba Anda belajar di pesantren Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Anda tidak akan bertindak sekasar ini. Anda pasti malu dengan tindakan Anda yang kasar, dan sangat tidak Islami. Ingat, Islam itu mengedepankan akhlaqul karimah, budi pekerti yang mulia. Bukan sikap kasar seperti Anda.”
WAHABI: “Kalau begitu, menurut Anda acara Tahlilan dalam hari-hari tersebut bagaimana?”
SUNNI: “Justru acara dzikir Tahlilan pada hari-hari tersebut hukumnya sunnah, agar kita berbeda dengan Hindu.”
WAHABI: “Mana dalilnya? Bukankah pada hari-hari tersebut, orang-orang Hindu melakukan kesyirikan.”
SUNNI: “Justru karena pada hari-hari tersebut, orang Hindu melakukan kesyirikan dan kemaksiatan, kita lawan mereka dengan melakukan kebajikan, dzikir bersama kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dengan Tahlilan. Dalam kitab-kitab hadits diterangkan:
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم:ذَاكِرُ اللهِ فِي الْغَافِلِيْنَ بِمَنْزِلَةِ الصَّابِرِ فِي الْفَارِّيْنَ. (رواه الطبراني في الكبير والأوسط، وصححه الحافظ السيوطي في الجامع الصغير).
“Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang yang berdzikir kepada Allah di antara kaum yang lalai kepada Allah, sederajat dengan orang yang sabar di antara kaum yang melarikan diri dari medan peperangan.” (HR. al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [9797] dan al-Mu’jam al-Ausath [271]. Al-Hafizh al-Suyuthi menilai hadits tersebut shahih dalam al-Jami’ al-Shaghir [4310]).
Dalam acara tahlilan selama tujuh hari kematian, kaum Muslimin berdzikir kepada Allah, ketika pada hari-hari tersebut orang Hindu melakukan sekian banyak kemungkaran. Betapa indah dan mulianya tradisi tahlilan itu.
WAHABI: “Saya tidak menerima alasan dan dalil Anda. Bagaimanapun dengan Tahlilan pada 7 hari kematian, hari ke-40, 100 dan 1000, kalian berarti menyerupai atau tasyabbuh dengan Hindu, dan itu tidak boleh.”
SUNNI: “Itu karena Anda tidak mengerti maksud tasyabbuh. Tasyabbuh itu bisa terjadi, apabila perbuatan yang dilakukan oleh kaum Muslimin pada hari-hari tersebut persis dengan apa yang dilakukan oleh orang Hindu. Kaum Muslimin Tahlilan. Orang Hindu jelas tidak Tahlilan. Ini kan beda.”
WAHABI: “Tapi penentuan waktunya kan sama?”
SUNNI: “Ya ini, karena Anda baru belajar ilmu agama. Kesimpulan hukum seperti Anda, yang mudah mengkafirkan orang karena kesamaan soal waktu, bisa berakibat mengkafirkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”
WAHABI: “Kok bisa berakibat mengkafirkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”
SUNNI: “Anda harus tahu, bahwa kesamaan waktu itu tidak menjadi masalah, selama perbuatannya beda. Coba Anda perhatikan hadits ini:
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ يَوْمَ السَّبْتِ وَيَوْمَ اْلأَحَدِ أَكْثَرَ مِمَّا يَصُومُ مِنْ اْلأَيَّامِ وَيَقُولُ إِنَّهُمَا عِيدَا الْمُشْرِكِينَ فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أُخَالِفَهُمْ. (رواه أحمد والنسائي وصححه ابن خزيمة وابن حبان).
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berpuasa pada hari Sabtu dan Ahad, melebihi puasa pada hari-hari yang lain. Beliau bersabda: “Dua hari itu adalah hari raya orang-orang Musyrik, aku senang menyelisihi mereka.” (HR. Ahmad [26750], al-Nasa’i juz 2 hlm 146, dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
Dalam hadits di atas jelas sekali, karena pada hari Sabtu dan Ahad, kaum Musyrik menjadikannya hari raya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, menyelisihi mereka dengan berpuasa. Sama dengan kaum Muslimin Indonesia. Karena orang Hindu mengisi hari-hari yang Anda sebutkan dengan kesyirikan dan kemaksiatan, yang merupakan penghinaan kepada si mati, maka kaum Muslimin mengisinya dengan dzikir Tahlilan, sebagai penghormatan kepada si mati.
WAHABI: “Owh, iya ya.”
SUNNI: “Saya ingin tanya, Anda tahu dari mana bahwa hari-hari tersebut, asalnya dari Hindu?”
WAHABI: “Ya, baca Kitab Weda, kitab sucinya Hindu.”
SUNNI: “Alhamdulillah, kami kaum Sunni tidak pernah baca kitab Weda.”
WAHABI: “Awal mulanya sih, ada muallaf asal Hindu, yang menjelaskan masalah di atas, sering kami undang ceramah pengajian kami. Akhirnya kami lihat Weda.”
SUNNI: “Itu kesalahan Anda, orang Wahabi, yang lebih senang belajar agama kepada muallaf, dan gengsi belajar agama kepada para Kiai Pesantren yang berilmu. Jelas, ini termasuk bid’ah tercela.”
WAHABI: “Terima kasih ilmunya.”
SUNNI: “Anda dan golongan Anda tidak melakukan Tahlilan, silahkan. Bagi kami tidak ada persoalan. Tapi jangan coba-coba menyalahkan kami yang mengadakan dzikir Tahlilan.”
Insya Allah bersambung