Khozinudin: Mendorong MPR Lakukan Pemakzulan Terhadap Jokowi Karena Kegagalan Penanggulangan Pandemi

 

Kamis, 22 Juli 2021

Faktakini.info

*MENDORONG LEMBAGA MPR RI UNTUK MELAKUKAN PEMAKZULAN TERHADAP PRESIDEN JOKOWI KARENA KEGAGALAN PENANGGULANGAN PANDEMI*

Oleh : *Ahmad Khozinudin, S.H.*

Advokat, Aktivis Pejuang Khilafah

Pemerintah dibawah Panglima Tertinggi Presiden Jokowi, benar-benar telah gagal menanggulangi pandemi. PPKM Darurat yang digadang-gadang akan mampu menekan laju infeksi Covid-19 ternyata tak mampu menghentikan atau setidaknya mengerem laju infeksi.

Tercatat, sampai tanggal 18 Juli 2021, Indonesia telah melaporkan 2.877.476 total kasus positif, menempati peringkat pertama terbanyak di Asia Tenggara. Dalam hal angka kematian, Indonesia menempati peringkat ketiga terbanyak di Asia dengan 73.582 kematian.

Namun, angka kematian diperkirakan jauh lebih tinggi dari data yang dilaporkan lantaran tidak dihitungnya kasus kematian dengan gejala Covid-19 akut yang belum dikonfirmasi atau dites. Sementara itu, diumumkan 2.261.658 orang telah sembuh, menyisakan 542.236 kasus yang sedang dirawat. Pemerintah Indonesia baru menguji 15.793.858 orang dari total 269 juta penduduk, yang berarti hanya sekitar 58.582 orang per satu juta penduduk.

Dampak destruktif pandemi Covid-19 yang gagal ditangani dengan baik, juga berdampak pada rapuhnya kohesi sosial masyarakat. Bukan hanya dampak pada sektor ekonomi khususnya wong cilik, PPKM Darurat yang digulirkan juga berdampak pada praktik kejumawaan dan represifme aparat baik polisi, tentara hingga satpol PP kepada segenap rakyat.

Pembubaran paksa kerumunan, penyitaan barang dagangan, mengobrak abrik dagangan, hingga kekerasan terhadap rakyat oleh oknum satpol PP, menjadi pemandangan yang memilukan ditengah pandemi. Darurat pandemi telah ditetapkan dengan gaya 'Darurat Militer'. Rakyat kecil diperlakukan tak ubahnya seperti pemberontak dan pengacau.

Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan mengumumkan permintaan maaf atas kekacauan penyelenggaraan PPKM Darurat. Terpisah, Asisten Bidang Media Menko Marves Singgih Widiyastono mengungkap keengganan Presiden Jokowi mengambil kebijakan lockdown pada permulaan pandemi.

Padahal, jika sejak awal pandemi ditanggulangi dengan kebijakan lockdown (Karantina Wilayah) tentu wabah covid-19 lebih bisa terkendali. Setidaknya, tidak menjadi super destruktif seperti yang terjadi saat ini.

Karena itu, Presiden Jokowi dinilai sejumlah pihak gagal menanggulangi pandemi.  *Presiden Jokowi terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, yakni tidak dapat lagi mengemban tugas-tugas sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang bertanggungjawab penuh melindungi segenap rakyat dan seluruh tumpah darah Indonesia.*

Politisi Partai Ummat MS Kaban mengusulkan MPR RI menggelar Sidang Istimewa terhadap Presiden Jokowi yang dinilai gagal mengatasi pandemi. MS Kaban meminta agar Presiden Jokowi dan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan untuk menyerah jika tak mampu mengatasi pandemi di tanah air.

MS Kaban mengatakan, meminta bantuan dari luar negeri bukanlah solusi untuk mengatasi keterbatasan dana untuk menangani pandemi Covid-19. Hanya saja, *persoalannya adalah bahwa Lembaga MPR RI tak lagi dapat melakukan proses pemakzulan terhadap Presiden kecuali telah diperiksa secara hukum oleh Mahkamah Konstitusi.*

Mahkamah Konstitusi juga tidak akan memeriksa perkara, sebelum ada kehendak politik DPR RI yang dibuktikan dengan adanya 50% + 1 dari 2/3 anggota DPR RI yang sepakat mengajukan rekomendasi Hak Menyatakan Pendapat (HMP) untuk memakzulkan Presiden. Masalahnya, mekanisme ini secara politik akan membutuhkan waktu yang lama, sementara persoalan pandemi ini wajib segera dituntaskan.

Karena itu, untuk memutus mata rantai pemakzulan dan agar persoalan pandemi ini bisa segera ditangani oleh anak bangsa yang kompeten, sebaiknya lembaga MPR RI segera melakukan tindakan sebagai berikut :

*Pertama,* MPR RI segera melakukan sidang istimewa yang didalamnya memuat dua agenda utama : 1. Pemakzulan Presiden, 2. Amandemen konstitusi agar memberikan kewenangan kepada MPR RI untuk melakukan pemakzulan tanpa melalui lembaga Mahkamah Konstitusi.

Pada agenda amandemen, juga dirancang norma tentang mekanisme penggantian Presiden baik jika Wakil Presiden dirasa mampu untuk menggantikan posisi Presiden atau jika pemakzulan Presiden satu paket dengan penggantian Wakil Presiden. Mengingat, kegagalan Jokowi dalam menangani pandemi juga tak lepas dari kegagalan Ma'ruf Amien yang lebih banyak diam disaat negara butuh komando utuh dari Presiden dan Wakil Presiden.

*Kedua,* Penentuan masa suksesi di era emergency dalam situasi pandemi juga wajib dengan batasan waktu yang limitatif, baik hal ini diberlakukan untuk masa kegentingan di masa mendatang atau hanya berlaku untuk pemakzulan Jokowi. Jangan sampai, proses pemakzulan dan suksesi berlangsung lama sehingga rakyat terkena dampak lebih destruktif akibat mewabahnya pandemi.

Dengan demikian, butuh konsolidasi partai politik dan anggota DPR RI, juga elemen stakeholder lainnya, ormas Islam, kaum cendekiawan, praktisi dan akademisi, agar suksesi benar-benar berorientasi pada penuntasan pandemi, bukan semata kesempatan untuk mengambil alih kekuasaan. Segenap anak bangsa wajib benar-benar menampakkan sikap kenegarawanan dalam menyelesaikan persoalan ini.

*Ketiga,* kekuasaan yang baru terbentuk harus fokus pada upaya penanganan pandemi sehingga tidak boleh ada pemanfaatan pandemi untuk menguasai lembaga eksekutif dan memperpanjang masa kekuasaannya. Pemerintahan pengganti hanya bersifat sementara, maksimal hingga tahun 2024 atau dipercepat dengan Pemilu untuk menentukan kepemimpinan nasional pengganti, jika secara nyata pandemi telah dapat diatasi.

Rasanya, hanya ini solusi terobosan hukum untuk menyelesaikan persoalan pandemi di negeri ini. Mempertahankan Jokowi sebagai Presiden sama saja melestarikan pandemi, sebab Presiden Jokowi terbukti gagal menjalankan tugas jabatannya.

Hanya saja, upaya amandemen untuk pemakzulan Jokowi ini tidak perlu terjadi, jika Jokowi mampu legowo mengundurkan diri. Dengan pengunduran diri ini, MPR RI dapat menjalankan mekanisme pengalihan kekuasaan sebagaimana diatur dalam konstitusi. [].

Beberapa Pasal Rujukan :

Pasal 7A

_Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden._

Pasal 7B

_(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden._

_(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat._

_(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat._

_(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadiladilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi._

_(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat._

_(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut._

_(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat._