Lengkap: Buku Putih Pelanggaran HAM Berat Pembunuhan 6 Pengawal HRS (Part-5)
Kamis, 8 Juli 2021
BUKU PUTIH PELANGGARAN HAM BERAT
PEMBUNUHAN ENAM PENGAWAL HRS
BAB IV
ANOTASI LAPORAN KOMNAS HAM
GAMBARAN UMUM LAPORAN KOMNAS HAM
1. Tim Pengawalan Peristiwa Pembunuhan 6 (enam) pengawal HRS (TP3) menerima resmi dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) salinan laporan dari Komnas HAM yang diberi judul “Laporan Penyelidikan” Peristiwa 6 (enam) Orang laskar FPI di Karawang, 7 Desember 2020. Laporan Komnas HAM terdiri dari 103 halaman laporan utama yang diakhiri dengan Kesimpulan dan Rekomendasi. Di bagian lampiran terdapat 20 halaman lampiran termasuk 7 halaman lampiran berupa keterangan pers dan 8 halaman berupa transkrip “voice notes” yang terperinci dalam 203 voice notes.
2. Di halaman terakhir dari laporannya Komnas HAM, TP3 bisa mengetahui bahwa laporan yang ditulis dengan mengatasnamakan Komnas HAM tersebut dibuat oleh suatu tim yang mereka beri nama; “Tim Penyelidikan Peristiwa Kematian 6 (enam) orang Laskar FPI di Karawang, 7 Desember 2020 dengan susunan organisasi, Ketua Tim M. Choirul Anam dengan Anggota TIM Ahmad Taufan Damanik, Amirudin, dan Beka Ulung Hapsara. Selebihnya terdiri dari satu orang sekretaris, 11 orang dalam tim pemeriksa saksi, dan 5 orang berada pada tim olah TKP dan tempat lainnya.
3. Sejak di halaman pertama dari laporan Komnas HAM sudah menimbulkan pertanyaan. Pada bagian Latar Belakang disampaikan bahwa Komnas HAM RI “menerima informasi” terkait peristiwa penembakan 6 (enam) orang laksus FPI oleh anggota tim dari PMJ (Polda Metro Jaya). Dari kalimat ini saja sudah kelihatan Komnas HAM tidak transparan. Tidak dijelaskan dari mana informasi tersebut diperoleh. Sehingga tidak jelas dari laporan Komnas HAM ini, dari mana dan dari siapa informasi perihal terbunuhnya enam pengawal HRS tersebut pertama kali diketahuinya.
4. Dari segi penggunaan istilah, Komnas Ham juga menunjukkan keberpihakannya karena mengikuti iramanya pihak PMJ. Misalnya, istilah “pembunuhan” dilunakkan dengan istilah “menembak mati”. Komnas HAM juga menggunakan istilah “petugas” untuk konteks peristiwa di jalan tol. Padahal Komnas HAM mencatat keterangan FPI yang mengatakan bahwa pihak FPI baru mengetahui yang melakukan pembuntutan adalah PMJ setelah kapolda Metro Jaya memberikan konferensi pers. FPI menggunakan istilah “Orang Tidak Dikenal” namun istilah ini tidak pernah dijadikan rujukan oleh Komnas HAM, yang lebih memilih istilah “petugas” yang berasal dari PMJ. Demikian pula tentang nama Habib Rizieq Shihab yang disingkat HRS, Komnas HAM menyingkatnya dengan MRS, mengikuti singkatan yang dibuat oleh PMJ.
Bahkan ketika memberikan uraian keterangan yang bersumber dari FPI, Komnas HAM juga tetap menggunakan julukan yang digunakan PMJ bukan FPI. TP3 memperhatikan seluruh narasinya Komnas HAM dalam laporannya. Meskipun sedang mengutip atau menceritakan kembali keterangan dari FPI, singkatan HRS diganti dengan MRS oleh Komnas HAM. Sebagai contoh bisa kita lihat kalimat terakhir dari paragraf 4 di halaman 1.
Kalimat terakhir di paragraf ini mengatakan “Pihak FPI baru mengetahui bahwa pihak yang melakukan pembuntutan kepada rombongan MRS adalah anggota Resmob PMJ”. Jika yang menceritakan pihak FPI tentu mereka akan menyingkatnya dengan singkatan HRS bukan MRS. Perhatikan juga laporan Komnas HAM halaman 20 hingga 28 di bawah judul kronologi “versi FPI” yang ditulis kembali oleh Komnas HAM, namun sepanjang 8 halaman catatan kronologi, semua yang merujuk pada HRS oleh Komnas HAM diganti menjadi MRS. Hal ini memberi petunjuk jelas bahwa Komnas HAM merupakan bagian dari kampanye aparatur negara untuk menurunkan wibawa seorang habib yang bernama Habib Rizieq Syihab atau HRS.
5. Pelaporan yang dibuat Komnas HAM ini seolah- olah mencakup keterangan dua belah pihak, yaitu pihak PMJ dan pihak FPI, namun kenyataannya yang terkesan berbeda. Di paragraf yang menceritakan keterangan PMJ (paragraf 3 halaman 1) dibuat seolah- olah PMJ berada pada posisi teraniaya, sedangkan di paragraf 4 yang merupakan penyampaian fakta versi FPI dibuat datar. Di paragraf 3, ditulis “rombongan MRS melaju secara zigzag....... Kemudian terjadi peristiwa tembak menembak antara anggota FPI ...dengan polisi”. Di paragraf 4 tidak ada keterangan dari FPI yang membantah atau membenarkan cerita versi polisi yang diceritakan kembali oleh Komnas HAM.
6. Di paragraf 5 di halaman 1, Komnas HAM menyampaikan bahwa aktivitas Komnas HAM ini didasarkan pada Pasal 89 ayat 3 Undang-undang No. 39 Tahun 1999. Komnas HAM memberikan istilah bahwa kegiatannya merupakan “pemantauan dan penyelidikan” (baris ke 4 paragraf 5). Istilah ini sangat berbeda dengan judul yang digunakan oleh pasal 89 ayat 3. Judul dari ayat ini adalah “pemantauan” bukan pemantauan dan penyelidikan. Sehingga seharusnya Komnas HAM menyatakan bahwa aktivitas yang dilakukannya adalah “pemantauan”. Demikian nama yang diberikan kepada tim Komnas HAM ini, seharusnya bukan Tim Penyelidik namun hanyalah Tim Pemantau.
7. Terdapat 8 (delapan) butir tugas dan kewenangan yang dapat dilakukan oleh Komnas HAM menurut ketentuan pasal 89 ayat 3 yaitu tugas dan kewenangan sebagai berikut;
a. pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut;
b. penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terhadap pelanggaran hak asasi manusia;
c. pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai dan didengar keterangannya;
d. pemanggilan saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan;
e. peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu;
f. pemanggilan terhadap pihak terkait untuk membe- rikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan;
g. pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan; dan
h. pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.
8. Semua 8 tugas dan kewenangan tersebut dalam pasal 89 ayat 3 di atas adalah merupakan kegiatan “pemantau- an”. Sekali lagi, apa yang dilakukan oleh Komnas HAM adalah kegiatan pemantauan bukan penyelidikan. Dari membaca laporan Komnas HAM dapat diketahui bahwa dari 8 tugas dan kewenangan tersebut, Komnas HAM hanya melaksanakan “c”, “ d”, “e” dan “f” . Itu pun untuk kegiatan “f” apa yang dilakukan Komnas HAM tidak memenuhi syarat untuk dapat dikatakan telah melakukan pemanggilan pihak terkait, karena syarat untuk bisa melaksanakan tugas dan wewenang ini diperlukan adanya persetujuan dari Ketua Pengadilan. TP3 tidak menemukan adanya persetujuan dari Pengadilan dalam laporannya. Alhasil Komnas HAM hanya melakukan butir “c”, “d” dan “e”.
9. Karena kegiatan Komnas HAM pada hakikatnya hanya- lah pemantauan, maka judul laporan seharusnya bu- kan “Laporan Penyelidikan” namun “Laporan Peman- tauan”.
10. Karena UU No. 39 Tahun 1999 tidak memberikan defi- nisi tentang arti pemantauan, maka TP3 merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Menurut KBBI arti dari pemantauan adalah pengamatan. Dalam kon- teks HAM berarti melakukan pengamatan tentang ter- jadinya HAM. Karena merupakan pengamatan, maka hasil atau produk dari kegiatan pengamatan tidak mun- gkin menghasilkan adanya kesimpulan telah terjadinya pelanggaran HAM apalagi pelanggaran HAM berat. Kegiatan pengamatan hanya maksimal akan mengha- silkan perubahan pengetahuan atau pemahaman atas pelanggaran HAM. Sehingga kegiatan pemanggilan dan permintaan keterangan dari pihak terkait, seperti FPI, Polisi, masyarakat dan Jasa Marga sebagaimana di- laporkan di halaman 3 dan 4 hanyalah untuk maksud pengamatan, bukan dalam rangka penyelidikan untuk menemukan adanya atau tidak adanya pelanggaran HAM atau pelanggaran HAM berat dalam peristiwa pembunuhan terhadap enam pengawal HRS.
11. Laporan dari Komnas HAM hanyalah sebuah laporan atas kegiatan Komnas HAM yang bertujuan untuk memberikan pembenaran atas pernyataan dan keterangan dari pihak PMJ. Hal ini dapat kita ketahui dari irama pelaporan Komnas HAM yang menerima begitu saja cerita yang disampaikan oleh PMJ. Misalnya, tentang barang bukti senpi dan senjata tajam yang menurut ceritanya PMJ ditemukan di mobilnya pengawal HRS, benarkah cerita ini? Bagaimana kita bisa memastikan bahwa barang bukti tersebut bukan hasil rekayasa pembunuh yang sengaja ditempatkan di mobil korban untuk membenarkan tindakan pembunuh.
12. Laporan dari Komnas HAM merupakan hasil “paraphrasing” dari narasumber yang tidak spesifik. Keterangan dari polisi yang dilaporkan tidak spesifik menyebutkan nama polisinya, namun hanya menyebutkan unit kerja atau satuan kerja seperti Polda Metro Jaya atau Bareskrim-Mabes Polri. Ihwal siapa dari mereka yang memberikan keterangan tidak disebutkan dalam laporannya. Walaupun ada penyebut nama-nama polisi, namun nama yang disebutkan ini tidak pernah dilaporkan telah memberikan keterangan. Misalnya, laporan di halaman 14 yang melaporkan bahwa ada petugas bernama Faizal mengeluarkan tembakan peringatan.
Laporan seperti ini tidak berasal dari kata-katanya Faizal namun merupakan keterangan, yang menurut Komnas HAM, berasal dari POLRI tanpa perincian siapa dari POLRI yang memberikan keterangan ini. Hal ini dapat dimengerti karena laporan ini memang bukan laporan penyelidikan, tapi hanyalah laporan hasil pemantauan.
BERBAGAI CATATAN KHUSUS (ANOTASI) ATAS LAPORAN KOMNAS HAM
1. Keterangan yang menurut Komnas HAM berasal dari POLRI, di halaman 8 (huruf “g”) melaporkan sebagai berikut.
“ Sejak awal di Megamendung dan Sentul ada tim dari institusi lain yang menempel, termasuk di tol KM 50. Setelah kejadian, tim yang lain juga banyak berdatangan . Anggota tidak sempat berkomunikasi namun hanya mendengar tim lain tersebut berkomunikasi dengan menggunakan HT. “
2. Membaca laporan ini menimbulkan pertanyaan, siapa yang dimaksud oleh narasumbernya Komnas HAM ini dengan “Institusi lain”. Mengapa tidak dijelaskan nama institusi tersebut. Jika benar narasumbernya adalah polisi, tentu mereka akan mengenali nama institusi tersebut. Sebab dari mana narasumber mengetahui bahwa tim itu adalah dari institusi lain jika tidak kasat mata. Jelaslah bahwa narasumber ini sengaja ingin melindungi identitas “institusi” tersebut. Perlindungan oleh narasumber ini makin nyata ketika kalimat berikutnya mengatakan bahwa narasumber “tidak sempat berkomunikasi”, seolah ingin berkilah karena tidak sempat berkomunikasi maka tidak bisa mengenali.
Logikanya, bila bisa memastikan bahwa ada tim dari institusi lain, maka dengan mudah bisa diidentifikasi nama institusi tersebut. Semestinya, Komnas HAM juga bersikap adil, profesional, dan kredibel dengan memeriksa isi percakapan handphone semua petugas polisi dan orang institusi lain yang terkait dalam penguntitan pengawal HRS sehingga bisa diketahui isi komunikasinya.
3. Keterangan yang menurut Komnas HAM berasal dari POLRI, di halaman 8 (huruf “j”) melaporkan sebagai berikut;
“Salah satu mobil pelaku menabrak mobil petugas di dekat pintu keluar GT Karawang Timur”
4. Dari alur ceritanya narasumber, penguntit (yang oleh narasumber disebut petugas) sedang menguntit mobil laskar yang keluar di GT Karawang Timur. Bagaimana penjelasannya tiba-tiba mobil pengawal HRS yang keluar tersebut bisa menabrak mobilnya penguntit? Tidak jelas pula bagaimana posisi penabrakan tersebut. Apakah mobilnya pengawal HRS menabrak dari depan, dari belakang ataukah dari samping. Bagaimana ceritanya sehingga mobilnya si penguntit tidak sempat menghindar dari tabrakan tersebut, bukankah dalam cerita tersebut target penguntitan selalu dalam pandangan mata penguntitan?
5. Di halaman 8 akhir, narasumber menyebutkan bahwa di TKP 3 (tiga) terdapat saksi-saksi yaitu 9 orang POLRI dan 12 orang masyarakat yang terdiri dari penjaga warung,penjaga toilet dan sebagainya. Namun, tidak dijelaskan oleh narasumber para saksi ini menyaksikan kejadian apa saja di KM 50 (TKP 3). Seharusnya, Komnas HAM menyelidikinya dengan memperdalam pertanyaan sehingga narasumber mengungkapkan informasi yang dilihat dan didengarnya di TKP, KM 50 itu.
6. Di halaman 9 laporan Komnas HAM, di bawah judul “Penggunaan Mobil”, melaporkan berdasarkan pada rekonstruksi peristiwa. Menurut rekonstruksi yang dilaporkan oleh Komnas HAM ini, pada huruf “h” pada pokoknya dilaporkan bahwa;
“Toyota Avanza warna silver Nopol K 9143 EL milik petugas (TP3: penguntit) di seberang hotel Novotel dihadang dan dirusak oleh 4 (empat) orang laskar FPI, menggunakan senjata tajam samurai dan pedang dan 2 (dua) orang Laskar FPI melakukan penembakan kepada penguntit. Kemudian terjadi kejar-kejaran dan saling tembak”
7. Terhadap pelaporan sebagaimana tersebut pada 6 di atas, menimbulkan pertanyaan yang jawabannya tidak tersedia dalam laporannya Komnas HAM yaitu; jika benar terjadi penembakan oleh dua orang pengawal HRS, akibat apa yang ditimbulkannya? Apakah tembakan ada yang mengenai sasaran penguntitnya? Pada laporannya Komnas HAM di halaman 8 huruf “k” dikatakan penembakan hanya mengenai mobil. Kalau pun betul situasinya seperti itu belum menggambarkan keadaan yang mengharuskan penguntit melakukan tembakan balasan yang mematikan.
8. Pada cerita 6 di atas terdapat urutan cerita yang hilang. Bagaimana mungkin setelah 2 (dua) pengawal HRS melakukan penembakan langsung diikuti dengan penjelasan terjadi kejar-kejaran dan saling menembak. Kelihatan cerita seperti ini mengada-ada karena minimnya penjelasan yang masuk akal. Apakah setelah menembak, ceritanya, para pengawal HRS tersebut masuk lagi ke mobilnya terus kabur kemudian dikejar oleh penguntit? Jika demikian ceritanya berarti bukan kejar-kejaran, namun mobilnya para pengawal HRS yang dikejar oleh penguntit.
9. Demikian juga cerita soal terjadinya tembak menem- bak antara penumpang di mobil penguntit dengan para pengawal HRS. Pertama, tidak ada bukti sama se- kali telah terjadi tembak menembak, karena kesaksian hanya berasal dari pihak yang menembak mati (yaitu pihak penguntit), sedangkan pihak yang ditembak se- mua mati sehingga tidak dapat bersaksi.
Kedua, cerita- nya terlalu dramatis (sulit dipercaya). Jika betul terjadi tembak menembak, mengapa hanya pihak pengawal HRS yang meninggal? Sedangkan pada pihak pengun- tit tidak ada yang meninggal karena tembakan, bahkan sama sekali tidak ada bukti luka-luka.
Jika argumennya pihak pengawal HRS itu tidak mahir menembak dan pihak penguntit mahir menghindar dari tembakan, maka justru tidak dapat dibenarkan bila penguntit ha- rus melakukan tembakan yang mematikan, jika betul penguntit adalah polisi. Demikian juga bila alasannya pihak penguntit mahir menembak, juga tidak dibenar- kan jika harus menembak sampai mati, jika penguntit adalah aparat negara yang terlatih untuk menembak dengan tujuan melumpuhkan, tidak mematikan.
10. Selanjutnya pada halaman 9, butir “h”, yang melaporkan bahwa di area KM 50 (TKP-3) ditemukan berbagai barang bukti milik para pengawal HRS, antara lain 2 senjata api rakitan, senjata tajam dan sebagainya, juga hanya berdasarkan pengakuan dari pihak yang membuat laporan, tidak didukung oleh adanya kesaksian maupun berita acara penemuan barang bukti, serta dokumentasi CCTV saat barang bukti itu diletakkan di depan warung di KM 50. Apa saja barang buktinya? Samakah barang bukti saat diletakkan di depan warung di KM 50 dengan barang bukti yang diperlihatkan ketika konferensi pers oleh Kapolda Metro Jaya dan Pangdam Jaya?
11. Masih pada halaman 9, butir “h”, tentang cerita terjadinya pembunuhan 4 orang pengawal HRS yang sudah berada dalam tahanan penguntit, kemudian mereka terpaksa dibunuh oleh para penguntit karena di dalam mobil berusaha merebut senjatanya para penguntit. Sama dengan di atas, kejadian ini tidak dapat dibuktikan karena tidak ada saksi yang melihat selain cerita sepihak dari yang melakukan pembunuhan, sehingga kebenarannya tidak dapat diterima akal sehat. Bukti-bukti luka pada mayat tidak menunjukkan terjadinya penembakan dengan skenario seperti yang ada dalam laporan.
12. TP3 menjumpai saksi pengemudi mobil towing yang mengikuti mobil penguntit di TK4 (tol Japek KM 51+200), yang menurut narasumber, mereka para penguntit sedang membawa 4 orang laskar yang masih hidup untuk dibawa ke Mako PMJ. Saksi ini mengatakan kepada TP3 bahwa selama mengikuti mobilnya penguntit tersebut dari belakang, sama sekali tidak pernah menyaksikan mobil berjalan “tidak stabil” atau tampak “kegaduhan” di dalamnya apalagi mendengar adanya suara tembakan dari mobil tersebut sehingga merusak kaca atau body mobil.
13. Masih pada halaman 9, tentang Mobil Land Cruiser yang dikemudikan oleh AKP Widy Irawan dengan penumpang bernama Rusbana yang berada di KM 50. Tidak diidentifikasi oleh narasumber nomor polisinya. Sehingga tidak ada kejelasan tentang apa hubungannya penumpang dalam mobil Land Cruiser dengan para penguntit.
14. Ada ketidakjujuran narasumber ketika melaporkan fakta ini, yaitu dengan kata-kata bahwa Land Cruiser “menuju KM 50”. Atas dasar kata “menuju” berarti pengetahuannya diperoleh atas dasar percakapan bukan atas dasar penglihatan. Lebih lanjut berarti sebetulnya pengetahuannya narasumber perihal Mobil Land Cruiser lebih dari yang dilaporkan, namun secara tidak jujur pengetahuannya tersebut disembunyikan dan Komnas HAM tampaknya tidak menjalankan fungsi penyelidikannya dengan bertanya lebih lanjut untuk memperdalamnya.
15. Masih tentang mobil Land Cruiser, TP3 sempat bertemu dengan salah satu saksi yang berada di TKP 3 (Km 50) yang mengatakan bahwa melihat orang keluar dari mobil Land Cruiser tersebut kemudian orang tersebut tampak sedang memberikan instruksi kepada para penguntit, kemudian bersama dengan para penguntit yang telah melakukan pembunuhan melakukan semacam selebrasi (tos bersama), yang didahului dengan merekatkan badan dengan membentuk lingkaran seperti saat tim volley ball yang sedang bertanding.
16. Di halaman 11 butir “L”, dilaporkan bahwa:
“Berdasarkan hasil olah TKP Labfor/balistik ditemukan 1 (satu) tembakan masuk pada kaca depan mobil Avanza Nopol K 9143 EL ... .....dst, kemudian hasil pemeriksaan Labfor bahwa proyektil peluru yang ditemukan .... tersebut identik dengan senjata api ..... yang ditemukan di dalam mobil Chevrolet ...... dst”
17. Laporan seperti ini sungguh menyesatkan dan kelihatannya memang sengaja untuk mengelabui pembaca atau pihak yang diberi laporan. Mungkin saja betul ada uji labfor/balistik atas kaca mobil Nopol K 9143 EL dan mungkin saja bekas dan jejak tembakan pada kaca identik dengan senjata api rakitan yang diujinya. Namun pertanyaannya adalah “siapakah yang melakukan tembakan tersebut” dan “milik siapa senjata rakitan” tersebut. Dengan kata lain, tidak ada bukti labfor/balistik yang membuktikan siapa pelaku penembakan maupun siapa pemilik senjata rakitan yang diuji. Sejauh ini dugaan bahwa tembakan pada kaca mobil Nopol K 9143 EL dilakukan sendiri oleh para pembunuh, kemudian senjata rakitan ditanamkan (planted) juga oleh para pembunuh di mobil Chevrolet, tidak terdapat bukti yang sebaliknya.
18. Di halaman 11 butir “m”, dilaporkan bahwa:
“Chevrolet Spin: Ditemukan 1 (satu) jaket abak peluru bukti dari bawah jok sopir mobil, 2 (dua) pucuk senjata api rakitan jenis Revolver dan senjata tajam 1 samurai ...dst”
19. Barang bukti yang tersebut pada 18 di atas adalah pernyataan sepihak dari penguntit atau pembunuh. Tidak ada bukti sidik jari pada barang-barang bukti tersebut sehingga tidak dapat dipastikan bahwa barang- barang tersebut milik atau pernah berada dalam kekuasaannya pengawal HRS yang dibunuh.
20. Di halaman 12 butir “o”, dilaporkan bahwa:
“Berdasarkan hasil Labfor pemeriksaan Tool Mark, ditemukan pola kerusakan akibat tekanan/goresan senjata tajam. ...dst”
21. Laporan pada butir di atas, meskipun kelihatannya ha- nya penyampaian fakta, namun sebenarnya bersifat insinuatif atau karangan. Ada maksud untuk memberi kesan telah membuktikan bahwa benar para pengawal HRS telah melakukan penyerangan dengan pedang. Padahal fakta tersebut hanya membuktikan pada mo- bil terdapat goresan senjata tajam, namun tetap tidak menjawab pertanyaan siapakah yang melakukan peng- goresan pada mobil tersebut. Sebagaimana argumen di atas, bisa jadi dilakukan oleh pembunuh sendiri untuk mengalihkan tuduhan kepada pengawal HRS.
22. Di halaman 12 butir “p”, dilaporkan terjadinya analisa uji balistik terhadap peluru yang ditemukan di mobil penguntit. Dalam hal ini, TP3, tidak akan membantah hasil uji balistik yang menyatakan bahwa anak peluru yang diuji identik dengan anak peluru hasil uji balistik senjata api gagang putih. Uji balistik tersebut tentu tidak bohong. Adapun yang bohong adalah bahwa anak peluru dan senjata api bergagang putih adalah milik atau pernah berada dalam kekuasaannya pengawal HRS. Tentang hal ini tidak pernah ada pengujian apa pun.
23. Berdasarkan argumen dan analisis TP3 pada butir 17, 19, 21 dan 22 maka sebetulnya laporan Komnas HAM di halaman 14 dan 15 di bawah judul “Penggunaan Senjata Api” menjadi tidak valid. Misalnya, pada halaman 15 butir “c”, Komnas HAM melaporkan; “ Bahwa berdasarkan hasil pengujian balistik antara barang bukti yang diserahkan Komnas HAM kepada pihak Puslabfor Bareskrim Polri dst “ Sepanjang barang bukti yang diserahkan oleh Komnas HAM adalah barang bukti yang sama dengan yang telah TP3 analisis di atas, maka argumen TP3 berlaku secara mutatis mutandis. Dengan kata lain, TP3 ingin menyatakan bahwa tidak ada bukti apa pun yang menyatakan bahwa barang bukti tersebut adalah milik atau pernah berada dalam kekuasaannya para pengawal HRS. Jika tidak dapat dibuktikan bahwa senjata api adalah milik atau pernah berada dalam kekuasaannya pengawal HRS, maka tidak dapat juga dibuktikan ada kejadian tembak menembak.
24. Tentang laporan Komnas HAM di halaman 15 huruf “ d”, tanggapan TP3 adalah sama dengan apa yang telah disampaikan pada IV. 2.11. dan IV. 2.12 dengan tambahan; penguntit yang bernama Elwira dan Fikri seharusnya ditetapkan sebagai tersangka. Sekalipun betul telah terjadi upaya perebutan senjata dan perlawanan (quod non), maka berdasarkan cerita ini, tembakan yang mematikan yang dilakukan oleh Elwira dan Fikri melebihi ancaman yang dihadapi. Sekali lagi, jika cerita dianggap benar (yang kita semua ketahui tidak), maka untuk Elwira, mengapa harus melakukan tembakan hingga 4 kali, bukankah dengan satu kali sudah bisa melumpuhkan. Apalagi penguntit yang bernama Fikri. Diceritakan di sini Fikri berhasil menguasai senjatanya kembali, berarti Fikri sudah tidak lagi berada dalam keadaan terancam jiwanya, sehingga cukup bila ditodongkan saja senjatanya ke arah korban, tidak perlu harus ditembak, apalagi hingga 3 kali. Kelihatan bahwa semua cerita ini disesuaikan dengan fakta luka- luka tembak yang terdapat di tubuh korban.
25. Jika betul yang melakukan pembunuhan adalah polisi (sesuai pengakuan dari pimpinan PMJ, meskipun TP3 tidak sependapat) tidak seharusnya korban dibunuh.
Karena. polisi sudah terlatih untuk melumpuhkan bukan untuk mematikan, betapa pun yang sedang dihadapinya adalah penjahat dengan rekam jejak sebagai pembunuh berdarah dingin, sekali pun. Demikianlah yang diajarkan kepada polisi tentang prinsip penggunaan kekuatan dan senjata api sebagaimana diatur dalam Perkap No. 1 Tahun 2009, yang juga dikutip secara lengkap oleh Komnas HAM di halaman 95 dan Perkapolri No. 8 Tahun 2009 yang dikutip di halaman 97. Berdasarkan prinsip ini, maka dapat disimpulkan bahwa polisi hanya akan membunuh jika polisi berada dalam posisi akan terbunuh (in killed or to be killed situation).
Polisi hanya akan melakukan pembunuhan secara proporsional (seimbang antara tindakan dan ancaman ) dan hanya dalam rangka bela-diri (self defence) untuk menghindar dari pembunuhan atau luka berat pada dirinya. Dalam cerita di atas terjadinya pembunuhan bukan karena pembunuh melakukan bela-diri, juga tidak ada keseimbangan antara bobot ancaman dan penembakan yang dilakukan, sehingga TP3 berpendapat bahwa pelaku pembunuhan bukan polisi, namun sebuah institusi bersenjata atau yang diberikan izin untuk mempergunakan senjata api dengan perilaku pembunuhan secara pre-emptive (bertindak lebih dahulu tanpa menunggu reaksi korban/lawan).
26. Di halaman 46 paragraf 3, dilaporkan tentang saksi yang berada di KM 50
“Para pedagang dan pengunjung dilarang mengambil gambar dan merekam insiden tersebut. Telepon genggam warga kemudian diperiksa dan dihapus setiap gambar dan rekaman video.”
27. Kejadian tersebut di atas (26.) adalah merupakan bukti lain bahwa yang melakukan pembunuhan bukan polisi. Sebab jika benar polisi yang melakukan pembunuhan dan pembunuhan yang dilakukannya adalah karena membela diri, maka polisi tidak akan melarang pengambilan gambar dan tidak akan memerintahkan penghapusan gambar dan video dari para pedagang di TKP KM 50.
Karena, justru gambar dan video seperti itu diperlukan oleh polisi untuk memperkuat pembuktian bahwa polisi membunuh dalam rangka “self defence”. Dengan demikian adanya larangan dan perintah penghapusan tersebut hanya dapat diartikan dalam rangka untuk menghilang jejak. Fakta upaya penghilangan jejak pelaku pembunuhan ini makin nyata, ketika seluruh bangunan warung dan lainnya di lokasi TKP, KM 50 kini dilenyapkan.
28. Di halaman 48 paragraf 5, dilaporkan tentang adanya perintah dari Kompol RM untuk membawa korban pembunuhan ke RS Polri Kramat Jati. Hal ini juga membuktikan bahwa pembunuhan bukan dilakukan oleh polisi.
Jika dilakukan oleh polisi, maka yang dilakukannya bukan melakukan perubahan atas tempat kejadian perkara (TKP) namun yang dilakukannya adalah melaksanakan tindakan untuk mengamankan TKP untuk dilakukan pengelolaan TKP sesuai dengan SOP Olah TKP yang ada pada masing-masing POLDA. Pengamanan TKP biasanya dilakukan dengan cara diberikan garis polisi (Police Line).
Adanya perintah untuk membawa jenazah korban pembunuhan keluar dari TKP berarti yang dilakukannya bukan mengamankan TKP untuk kepentingan penyelidikan berikutnya, namun yang dilakukannya justru merusak TKP. Semua ini berarti adalah suatu upaya untuk menghilangkan jejak pembunuhan supaya yang sebenarnya terjadi tidak dapat lagi diungkap kebenarannya, karena TKP tidak lagi meninggalkan jejak. Jika tidak ada jejak yang ditinggalkan, maka mustahil dapat menemukan barang bukti di TKP sesuai dengan aslinya.
29. Di halaman 32 Komnas HAM melaporkan tentang permintaan barang bukti. Membaca laporan di bagian ini, TP3 melihat adanya ketidaksetaraan sikap pada Komnas HAM sehingga menimbulkan pertanyaan; mengapa yang dijadikan barang bukti hanya handphone- nya korban yakni pengawal HRS? Mengapa dari Polri, orang “institusi lain”, dan petugas Jasa Marga, juga tidak diminta Komnas HAM untuk menyerahkan handphone- nya lalu diperiksa isi komunikasinya?
30. Di halaman 36, 37 dan 38, Komnas HAM menyampaikan laporan tentang keterangan ahli, yaitu seorang dokter ahli forensik, ahli balistik dari PT Pindad dan ahli psikologi forensik. Selanjutnya TP3 memberi komentar sebagai berikut;
30a
Ahli forensik ini hanya menyampaikan hal-hal yang sudah jelas bagi semua (just stating the obvious), misalnya luka yang terdapat pada 6 jenazah adalah karena luka tembak, terdapat luka jahitan akibat tindakan autopsi. Jika hanya penyampaian seperti ini tidak perlu ahli untuk mengatakan itu.
Soal terjadinya kekerasan dan penyiksaan ahli menyatakan dengan kata-kata “tidak ditemukan”. Hal ini tidak berarti tidak terjadi kekerasan atau penyiksaan, kekerasan dan penyiksaan terjadi hanya saja ahli ini tidak menemukannya. Lain halnya jika jenazah dibiarkan berada di TKP dan saat itu segera dilakukan pemeriksaan (bukan malah dievakuasi dari TKP) maka ahli akan menemukan hal yang berbeda.
Justru ahli ini tidak memberikan keterangan yang dibutuhkan oleh keluarga korban atau masyarakat umum dan terkesan menyampaikan pendapat sesuai dengan keinginan pemberi permintaan/ perintah.
Adapun yang kami maksud dengan keterangan yang dibutuhkan dari seorang ahli adalah kejadian yang dikonstruksikan oleh pembunuh bahwa di mobil Xenia B 1519 UTI sempat terjadi usaha perampasan senjata api hingga mengharuskan terjadi penembakan pada laskar FPI hingga mati. Mungkinkah perkelahian di dalam mobil akan menghasilkan luka tembak sebagai mana hasil autopsi yang telah diberikan oleh dokter forensik RS Polri? Sepanjang laporan Komnas HAM tidak ada yang memberi jawaban atas pertanyaan seperti ini.
Di atas adalah foto yang kami (TP3) peroleh dari saksi yang ikut menyaksikan jenazah di RS Polri. Tidak perlu ahli forensik untuk mengatakan bahwa pada jenazah tersebut terdapat bekas siksaan sebelum meninggal.
30b
Laporan tentang keterangan ahli balistik dari Pindad disampaikan satu halaman penuh oleh Komnas HAM di halaman 37. Padahal sebetulnya esensinya hanya satu saja yaitu menentukan bahwa proyektil yang dikatakan oleh Komnas HAM diketemukannya itu adalah berasal dari senjata yang mana, senjata yang rakitan atau senjata pabrikan.
TP3 tidak akan pernah meragukan hasil uji balistik ini, yang TP3 pertanyakan adalah siapakah pemilik senjata rakitan itu sebenarnya? Bagaimana proses ditemukannya barang bukti tersebut? Jika Komnas HAM bersedia menggunakan kewenangan penyelidikan “pro yustisia” untuk menguji kepemilikan senjata rakitan ini, sebetulnya dengan mudah bisa diketemukan dengan merunut ke belakang. Dimulai, misalnya dari Kapolda Fadil Imran sebagai yang terakhir menerima senpi rakitan tersebut. Dari Fadil Imran ditanyakan siapa yang menyerahkan senpi rakitannya tersebut kepadanya. Katakanlah Fadil menyebut yang menyerahkan kepadanya adalah “si A”. Pada si “si A” kemudian ditanya hal yang sama, maka akan berakhir pada sumbernya.
30c
Laporan tentang keterangan ahli psikologi forensik disampaikan dalam 2/3 halaman oleh Komnas HAM di halaman 38. Ahli menyampaikan kesimpulannya bahwa pengawal HRS terkesan ekspresi “heroism atu glorifikasi”. Laporan ini memperlihatkan dengan jelas keberpihakannya Komnas HAM pada pembunuh karena meminta ahli memeriksa rekaman atas orang yang telah meninggal. Rekaman yang diperiksa itu pun tidak dijelaskan apakah ahli memeriksa seluruh rekaman atau hanya potongan atau penggalan dari rekaman.
Sepengetahuan kami (TP3), pekerjaan psikolog forensik adalah menganalisis kondisi psikologi terdakwa/napi dan membantu menyembuhkan kondisi psikologinya. Bukan menilai sifat orang yang telah meninggal yang jelas sudah tidak bisa lagi disembuhkan.
TP3 mempertanyakan, mengapa bukan justru pembunuhnya yang dianalisis? Mengapa Komnas HAM tidak menjadikan para pembunuh yang jelas masih hidup untuk diperiksa oleh ahli forensik, untuk dinilai apakah betul mereka membunuh karena membela diri dari karena nyawanya terancam? Apakah betul telah terjadi keadaan yang seimbang antara bobot ancaman dengan pembunuhan yang dilakukan? Apakah mereka jujur?
31. Di halaman 39 dilaporkan oleh Komnas HAM tentang pengintaian yang terjadi pada tanggal 4 Desember 2020 di Markaz Syariah Mega Mendung dengan menggunakan drone yang kemudian para pengintai ditangkap oleh laskar FPI. Secara lebih lengkap penangkapan pengintai di Megamendung versi FPI dilaporkan di halaman 20 dan 21. TP3 bertemu dengan para saksi yang menyaksikan penangkapan oleh laskar FPI di Markaz Syariah Mega Mendung. Selanjutnya TP3 memberi komentar sebagai berikut;
31a
Jika kita bandingkan laporan versi FPI atau pengawal HRS yang selamat (halaman 20-21) dengan laporan versi Komnas HAM (halaman 39) terdapat perbedaan prinsip. Pada versi Komnas HAM disebutkan tiga orang yang ditangkap yang masing-masing berinisial AH, II dan DW, terdapat kartu anggota salah satu “institusi negara”. Padahal pada versi FPI dengan jelas menyebutkan bahwa kartu anggota tersebut menyebutkan Kartu Tanda Anggota BIN atas nama AA.
31b
Pada BAB II Buku ini dengan jelas menyebutkan dengan disertai foto atas barang bukti (BB) yang diperoleh pada 3 orang pengintai. Meskipun terdapat berbagai tanda pengenal, namun nama- nama para pengintai tersebut identik dengan nama yang ada pada Kartu Tanda Anggota BIN, Kartu Tanda Anggota TNI, Kartu SIM A, KTP, dan Sim C yang ditemukan.
31c
Laporan Komnas HAM di halaman 39 mengatakan bahwa Kartu Tanda Anggota (BIN) yang ditemukan hanya ada satu dari 3 pengintai. Kita lihat kembali di Bab II dan Lampiran Buku ini, barang bukti berupa Kartu Tanda Anggota (KTA) BIN yang ditemukan ada 3 (tiga). Semua KTA BIN terdapat nama jelas yakni Drs. Bambang Sunarwibowo,M Hum, Komjen Polisi, sebagai pejabat penerbit KTA tersebut. Dari 3 (tiga) KTA BIN tersebut diketahui bahwa masing-masing pengintai mempunyai pangkat/golongan serta unit keanggotaan sebagai berikut;
- Penata Muda, III/a, Agen Pertama Binda DKI Jakarta
- Serma, Anggota Binda DKI
- Penata Muda III/a, Anggota Binda Jateng
31d
Dari ketiga pengintai yang ditangkap juga diperoleh bukti tertulis berupa laporan secara periodik, rutin, terstruktur kepada Deputi II BIN. Atas dasar laporan- laporan tertulis ini diketahui bahwa nama operasi intelijen ini adalah DELIMA. Salah satu dari laporan tersebut berbunyi sebagai berikut;
“ Melakukan penggalangan terhadap Ormas Islam, Tomas, Toga, dan elemen lainnya dalam rangka meredusir dukungan terhadap Mohammad Rizieq Shihab dan pok pendukungnya.”
Dari perangkat mereka juga diketahui adanya grup Kujang, salah seorang anggota grup yang tercatat bernama Pak Andre Dosen Analis mengajukan saran.
“ If possible, a pattern of sabotage of access to logistics that is not permanent road can be considered ”
“This suggestion needs careful consideration by brother Hadi “
31e
Sehubungan dengan penangkapan 3 orang peng- intai tersebut, Deputi VII Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto membantah ada ang- gota BIN yang ditangkap FPI, dan mengatakannya sebagai hoaks, serta menambahkan bahwa yang di- tangkap FPI tersebut adalah BIN Gadungan dan ba- hwa KTA (Kartu Tanda Anggota) BIN tersebut palsu. (Kompas.com.21 Desember 2020, 8:12 WIB)
https://nasional.kompas.com/ image/2020/12/21/08120311/bin-bantah- anggotanya-ditangkap-fpi?page=1
Ada dua hal yang perlu ditanggapi oleh TP3 sehubungan dengan bantahan dari Deputi VII BIN. Pertama; jika betul tiga orang yang ditangkap oleh FPI tersebut adalah gadungan seharusnya BIN mengadukannya ke polisi untuk diproses pidana. Kedua; jika KTA BIN yang diperoleh FPI dari ketiga pengintai adalah palsu, silakan BIN jelaskan KTA BIN yang asli yang bagaimana, kapan dibuatnya, dan siapa yang mengeluarkannya?
31f
Di halaman 39 Komnas HAM sendiri sudah mengakui bahwa ketiga pengintai tersebut adalah institusi negara. Pengakuan ini memang seharusnya, karena Komnas HAM tidak dapat mengelak dari kenyataan bahwa selain KTA BIN, terdapat pula bukti lain seperti Kartu Tanda Prajurit TNI, KTP dan SIM.
Artinya fakta bahwa mereka bertiga yang ditangkap adalah petugas negara tidak dapat disangkal oleh Komnas HAM sebagaimana terbukti dari pernyataannya di halaman 68 pada butir 3. Pada poin ini Komnas HAM menggunakan istilah “kesatuan lain” dengan mengatakan “3 orang melakukan pembuntutan diduga merupakan anggota dari kesatuan lain” .
Istilah yang berbeda namun maksudnya sama adalah “pihak lain” di luar kepolisian (halaman 68 butir e).
Dengan demikian, sudah menjadi semakin jelas terdapat aparat negara dalam pembuntutan atas rombongan HRS sejak dari Sentul, jalan Toll Cikampek hingga terbunuhnya enam pengawal HRS. Tertangkapnya 3 anggota BIN tersebut merupakan bagian dari rencana besar atau operasi intelijen berskala besar untuk menghabisi HRS, yang dalam kasus ini pembunuhan atas enam orang pengawal HRS sesungguhnya hanyalah sasaran antara. Semua ini menggambarkan adanya koordinasi yang terstruktur, garis komando yang jelas, dan perencanaan yang baik, yang dijalankan dengan mengikuti suatu sistematika tertentu.
32. Di halaman 47 paragraf 4, berdasarkan cerita ini dapat kita ketahui bahwa FAS (22) dan AO (33) meninggal dibunuh oleh penguntit ketika mobil Chevrolet Spin sedang melaju, FAS ketika itu duduk di sisi kiri (bagian tengah mobil) dan AO duduk di depan sisi kiri. Hasil autopsi menyatakan bahwa, antara lain, baik FAS dan AO terdapat luka tembak masuk (LTM) pada bagian dada sisi kiri. Menurut saksi yang melihat jenazah di RS Polri sebagaimana disampaikan pada TP3 dan sesuai dengan yang disiarkan oleh Najwa Shihab dalam acara Mata Najwa bulan Desember tahun lalu, ilustrasinya adalah sebagai berikut:
AO (33)
FAS (22)
Tiga titik merah di dada kiri, Luka Tembak Masuk. Bengkak dan lebam bagian pipi kiri, kulit bagian punggung melepuh, lecet di bagian kepala sekitar 5cm, kulit bagian pantat melepuh.
Dua titik merah di dada kiri, Luka Tembak Masuk. Lebam di bagian kening. Jahitan di bagian leher. Luka Tembak di paha kanan. Luka tembak di tangan kiri
Menurut para saksi yang melihat jenazah, sebagai- mana disampaikan kepada TP3, luka tembak tersebut tegak lurus dan dari jarak dekat. Ada pun yang menjadi pertanyaan adalah apakah penembakan hingga mati terhadap AO dan FAS ketika mereka sedang melaju di mobil Chevrolet Spin bisa menghasilkan luka tembak masuk sebagaimana hasil autopsi atau ilustrasi di atas? Sepanjang laporan Komnas HAM, TP 3 tidak melihat ada pembuktian forensik seperti itu.
33. Di halaman 48 Komnas HAM melaporkan cerita pembunuhan terhadap LH (22), MR (20) AS (26) dan SKP (21) oleh Ipda EZ dan Briptu FR. Pada halaman 49 terdapat tabel (2) yang memberi ilustrasi posisi duduk mereka di dalam mobil Xenia B 1519 UTI. Sebagaimana dinarasikan kembali oleh Komnas HAM, EZ membunuh LH dan AS, kemudian FR membunuh SKP dan MR. Pembunuhan ini dilakukan, katanya, karena MR mencekik FR dan LH berusaha merebut senjatanya FR. Sekali lagi, semua kejadian yang diceritakan di sini bersumber hanya dari pembunuh, jadi sebenarnya tidak ada saksi.
34. Untuk menguji kebenaran cerita sepihak tersebut, TP3 merekonstruksikan narasi Komnas HAM sebagai berikut:
Lokasi kejadian menurut narasumber Komnas HAM di KM 51 +200
Gambar 4.1 Sketsa “rekayasa” prosesi pembunuhan empat pengawal HRS dengan cara penembakan oleh aparat negara.
35. Berdasarkan narasi yang disampaikan oleh Komnas HAM maka urutan penembakan adalah sebagai berikut;
1) Ipda EZ menembak LH hingga 4 x (empat kali)
2) Setelah selesai menembak LH kemudian Ipda EZ menembak AS hingga 2 (dua) kali
3) Setelah EZ selesai menembak LH dan AS, (atau bersamaan dengan itu), FR menembak SKP 3x (tiga kali)
4) Setelah selesai menembak SKP (3x), terakhir FR menembak MR hingga 2x (dua kali)
36. Banyak yang tidak masuk akal dengan cerita Komnas HAM pada halaman 43, sehingga pantas jika TP3 berpendapat bahwa kejadian ini fiktif. Apa mungkin ketika EZ melepaskan tembakan yang pertama terhadap LH, laskar yang lain yaitu SKP,AS maupun MR diam saja, pasrah, menunggu giliran ditembak? Refleks manusiawi mendengar bunyi tembakan akan angkat tangan, tanda menyerah, apalagi diketahui dalam cerita ini mereka tidak bersenjata. Bukankah pada tembakan yang pertama sudah bisa melumpuhkan LH? Jika betul EZ adalah seorang polisi, maka tentu setelah penembakan pertama, EZ cukup menodongkan senjatanya saja untuk menghentikan yang katanya ada upaya perebutan senjata dan pencekikan serta penjambakan rambut. Mengapa LH harus ditembak hingga 4 kali.
Setelah tembakan pertama oleh EZ pada LH dan tembakan pertama oleh FR pada SKP, tentu (jika memang betul terjadi upaya perampasan senjata atau pencekikan) semua itu sudah akan berhenti dan situasi akan berada dalam kendali pihak yang menguasai senjata api, sehingga tembakan-tembakan berikutnya merupakan tembakan yang berlebihan.
Jika betul kejadiannya seperti itu, maka bisa dipastikan yang melakukan ini semua adalah bukan polisi namun suatu personil-personil dari satuan angkatan bersenjata yang terlatih untuk membunuh musuh di medan perang.
37. Jika cerita dari narasumber Komnas HAM dianggap betul, selama EZ melakukan tembakan kedua, ketiga dan keempat, apakah AS tetap di tempat duduknya tidak bereaksi sebelum dirinya ditembak dua kali oleh EZ? Pertanyaan yang sama berlaku untuk FR. Selama proses menembak SKP hingga 3 kali, apakah MR sama sekali juga tidak bereaksi sebelum akhirnya dirinya ditembak hingga 2 x? Apakah demikian protab polisi menghadapi warga sipil, yang tidak bersenjata, mereka juga masih tergolong sangat muda (umur 20, 22, dan 26 tahun), yang tidak ada catatan kejahatan pada mereka dan juga sedang tidak melakukan kejahatan.
38. Sekarang marilah kita lihat secara khusus hasil autopsi berupa luka tembak masuk (LTM) pada dada sisi kiri 4 (empat) laskar yaitu LH, AS, SKP dan MR;
- pada LH terdapat 4 (empat) LTM
- pada AS terdapat 2 (dua) LTM
- pada SKP terdapat 3 (tiga) LTM
- dan pada MR terdapat 2 (dua) LTM
LH 22
AS 26
SKP (22)
MR (20)
39. Dengan melihat skenario kejadian pada butir 34, maka kita bisa memastikan bahwa cerita kejadian pencekik- an dan upaya perebutan senjata dibuat belakangan se- telah melihat hasil autopsi berupa LTM pada jasad las- kar. Cerita dibuat sedemikian agar sesuai (mencocoki) dengan titik-titik LTM yang telah mereka ketahui ada pada jasad laskar. Kesimpulannya perihal ini adalah bahwa semua cerita tersebut maupun pembunuhan terhadap pengawal HRS ini adalah operasi penghi- langan jejak oleh pembunuh dan tampaknya operasi penghilangan jejak ini dilakukan dengan cara bekerja sama dengan lebih dari satu instansi negara sehingga tampak suatu pola terstruktur mengikuti sistematika tertentu.
40. Jika Komnas HAM ingin mempercayai cerita dari narasumbernya, maka seharusnya menghadirkan ahli yang dapat membuktikan bahwa kejadian di KM 51 +200 dengan ilustrasi sebagaimana kami sampaikan pada butir 34 dan 35 di atas, dapat menghasilkan luka- luka sebagaimana yang kami ilustrasikan pada butir 38. Tanpa bukti ini, maka harus dianggap bahwa cerita tersebut adalah fiktif dan merupakan cerita untuk menutupi dari kejadian sesungguhnya dan Komnas HAM terlibat juga dalam upaya penghilangan jejak ini.
41. Memang di halaman 97 dan seterusnya Komnas HAM mengakui bahwa kejadian di KM 50 ini merupakan unlawful killing namun hal ini tampak hanyalah merupakan “consololation” (langkah menghibur) bagi korban pembunuhan. Lebih dari itu dapat dikatakan sebagai langkah menghindar dari kewajibannya untuk melakukan penyelidikan atas dasar Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sehingga merupakan langkah untuk melindungi dari pelaku dan perancang pelanggar HAM berat.
42. Pada halaman 51 Komnas HAM melaporkan adanya barang bukti yang diserahkan oleh pihak PMJ kepada Komnas HAM . Antara lain yang diserahkan sebagai barang bukti ada 4 (empat) pucuk senjata api yang katanya digunakan oleh anggota Resmob Ditreskrimum PMJ, jenisnya HS 9, Sig Sauser dan CZ. Dalam keterangan sebelumnya pihak PMJ mengatakan (halaman 7) bahwa yang ditugaskan pada misi penguntitan ini ada dua mobil. Mobil pertama berisi (1) Faisal, (2) Yusni, (3) Elwira, (4) Fikri dan mobil kedua berisi (5) Adi dan (6) Toni.
Jadi sedikitnya berdasarkan keterangan PMJ ada 6 anggota Resmob Ditreskrimum yang bertugas. Di halaman 14, tentang penggunaan senjata api diterangkan bahwa setiap anggota dibekali dengan senpi dan 10 (sepuluh) peluru tajam. Berarti sedikitnya harus ada 6 (enam) senpi. Namun mengapa yang diserahkan sebagai barang bukti hanya 4 (empat) senpi? Tidak ada penjelasan mengapa 2 (dua) senpi yang lain tidak diserahkan sebagai barang bukti.
43. Demikian juga tentang barang bukti yang lain, dilaporkan diserahkan “1 katapel dan kelereng sebanyak 9 (sembilan) butir”, padahal dalam laporan polisi yang dibuat oleh Briptu Fikri Ramadhan menyatakan, melaporkan ada 10 kelereng yang ditemukan. Berikut ini adalah laporan polisi tersebut;
Mengenai jumlah selongsong peluru juga berbeda dengan jumlah yang terdapat pada laporan polisi. Semua ini membuktikan bahwa pihak PMJ yang mengaku melakukan pembunuhan sangat kesulitan untuk menegakkan fakta. Sehingga yang terkesan adalah pihak PMJ ini adalah pihak yang memang ditugaskan untuk melindungi atau menutupi kejadian yang sebenarnya.
44. Pada halaman 51 Komnas HAM melaporkan tentang uji DNA terhadap barang bukti. Pada pokoknya diceritakan bahwa pada barang bukti pedang dan pada trigger senjata api jenis revolver terdapat darah yang sama dengan darah yang ditemukan di mobil Chevrolet Spin. TP3 berpendapat bahwa upaya pembuktian model seperti ini adalah model pembuktian terarah dan tertutup. Terarah karena hanya mengarah pada hasil yang dikehendaki oleh yang menyerahkan barang bukti. Tertutup karena semua pihak yang terlibat dalam pengujian tidak bersedia membuka pikirannya (unopen minded) untuk adanya kemungkinan lain selain yang diarahkan itu.
Gambar 4.2 Gambar sketsa “rekayasa” proses pengujian alat bukti pistol dan pedang yang “diasumsikan” milik pengawal HRS.
Dalam kasus ini, pihak yang menyerahkan barang bukti meminta pada “penguji” untuk menguji barang bukti, apakah “darah” yang terdapat pada barang bukti pada “A” adalah identik dengan “darah” yang terdapat pada barang bukti pada “B”.
Hasil yang dikehendaki oleh yang menyerahkan barang bukti adalah kesimpulan bahwa barang bukti A adalah milik Mr.X1 dan Mr. X2.
Kesimpulan seperti itu lemah karena absennya fakta- fakta penting yang belum terbukti. Yaitu fakta bahwa barang bukti “A” adalah milik Mr. X1 dan Mr. X2 dan fakta bahwa Mr. X1 dan Mr.X2 pernah mengucurkan darahnya pada barang bukti “B”. Sebab sekali lagi, cerita tentang adanya fakta bahwa barang bukti “A” ditemukan pada barang bukti “B” dan Mr. X1 dan Mr . X2 mengucurkan darah ketika berada di dalam “barang bukti B”, adalah cerita sepihak yang berasal dari para pembunuh sendiri.
Dalam pengujian DNA ini tentu saja si “penguji” akan mengatakan bahwa darah pada barang bukti “A” akan identik dengan “darah” pada barang bukti “B”, jika para pembunuh sengaja menempatkan darahnya Mr. X1 dan Mr. X2 pada barang bukti “A” dan pada barang bukti “B” tanpa harus diketahui oleh “penguji DNA”. Dengan kata lain metode pembuktian ini menyesatkan dan lebih merupakan metode untuk memfitnah Mr. X1 dan/atau Mr. X2.
45. Jika betul para pembunuh yang mengaku dari PMJ adalah yang melakukan pembunuhan terhadap para pengawal HRS karena “self defence”, dan jika betul mereka adalah polisi, maka tentu ketika menemukan barang-barang bukti berupa senjata tajam (sajam) dan senjata api (senpi), yang mereka lakukan tidak membawanya keluar dari TKP.
Namun, yang akan mereka lakukan adalah mengamankan barang-barang bukti tersebut untuk tetap berada di TKP. Terutama jika diperlukan pernyataan bahwa barang-barang bukti tersebut milik korban. Hal ini untuk menghindari fitnah dan tuduhan rekayasa dan dalam rangka untuk membuktikan terjadinya “self defence”. Jadi, seharusnya tindakan yang dilakukan oleh mereka terhadap barang bukti, yang menurut mereka, ditemukan di TKP, adalah melakukan prosidur “sidik jari” .
46. Jika betul para pengawal HRS tersebut pernah mengusai barang bukti sajam maupun senpi tentu akan meninggalkan sidik jari. Sebab, dalam kasus ini hanya dengan metode sidik jari saja dapat dipastikan benar tidaknya barang bukti tersebut milik atau pernah berada dalam kekuasaannya para pengawal HRS yang dibunuh. Absennya prosedur “sidik jari” ini makin menguatkan petunjuk bahwa pembunuhnya bukan polisi. Kenyataan bahwa PMJ dan kepolisian pada umumnya sibuk melakukan upaya untuk mengaku sebagai pelaku pembunuhan dalam rangka “self defence” makin memperkuat kesan bahwa mereka bekerja dalam tekanan. Yaitu tekanan dari perancang pembunuhan yang sebenarnya . Jika ada pihak yang mampu menekan kepolisian RI, maka pihak ini sudah tentu pihak yang mempunyai kekuatan bersenjata dan kekuasaan politik negara.
Dengan kata lain, apa yang dilakukan oleh kepolisian sejak kejadian hingga hari ini, dengan menjadikan beberapa polisi menjadi tersangka “unlawful killing” tidak lain hanya merupakan bagian dari “operation Cover-Up” yang dilakukan secara sistematis. Sebab kenyataannya tidak ada dari para tersangka polisi yang ditetapkan tersebut ditahan sehingga kuat kesan bahwa polisi tidak sungguh-sungguh dalam menetap tersangka mengingat tersangka pelanggaran prokes kesehatan saja dicari-carikan pasal untuk ditahan dan akhirnya ditahan.
BERBAGAI PENILAIAN TENTANG LAPORAN KOMNAS HAM
1. TP3 menjumpai fakta tentang tidak tuntasnya Komnas HAM dalam melaksanakan mandat Pasal 89 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM secara kualitatif dan atau masih dalam kategori Pemantauan sebagaimana terbukti dari isi Rekomendasi yang disampaikan oleh Komnas HAM sebagai berikut:
a. Peristiwa tewasnya empat orang laskar FPI merupakan kategori dari pelanggaran HAM. Oleh karenanya, Komnas HAM merekomendasikan kasus ini harus dilanjutkan ke penegakan hukum dengan mekanisme pengadilan Pidana guna mendapatkan kebenaran materiil lebih lengkap dan menegakkan keadilan.
b. Mendalami dan melakukan penegakan hukum terhadap orang-orang yang terdapat di dalam dua mobil Avanza hitam B 1739 PWQ dan Avanza silver B 1278 KJD.
c. Mengusut lebih lanjut kepemilikan senjata api yang diduga digunakan oleh laskar FPI.
d. Meminta proses penegakan hukum, akuntabel, objektif, dan transparan sesuai dengan standar Hak Asasi Manusia.
2. Dalam rekomendasi itu (di bagian akhir) Komnas HAM menyatakan bahwa laporan penyelidikan—yang disusun oleh Tim Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM dan disiarkan di Jakarta, 8 Januari 2021—itu akan disampaikan kepada Presiden dan Menkopolhukam. Dalam hal ini, Komnas HAM RI berharap—sekali lagi “berharap”—agar pengungkapan peristiwa kematian 6 (enam) Laskar FPI dapat dilakukan secara transparan, obyektif, profesional, dan kredibel.
3. Komnas HAM belum melaksanakan mandatnya sesuai Pasal 89 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang terbukti dari pernyataan butir keempat REKOMENDASI Komnas HAM yang menyebutkan: Meminta Proses Penegakan Hukum, Akuntabel, Objektif, dan Transparan sesuai dengan Standar Hak Asasi Manusia.
Atau relevan dengan fakta butir kedua REKOMENDASI Komnas HAM yang berbunyi: Mendalami dan Melakukan Penegakan Hukum Terhadap Orang-orang yang Terdapat Dalam Dua Mobil Avanza Hitam N 1739 PWQ dan Avanza silver B 1278 KJD. Selain itu, juga relevan dengan butir kedua POKOK PERISTIWA yang dinyatakan Komnas HAM bahwa “Terdapat pengintaian dan pembuntutan di luar petugas kepolisian. (Penggunaan narasi “Meminta”, “Mendalami”, dan “Melakukan Penegakan Hukum” merupakan bukti bahwa Komnas HAM belum melakukan “penyelidikan kualitatif” sebagaimana amanat Pasal 89 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, sehingga “menyerahkan” fungsi dan tugasnya kepada pihak lain di luar Komnas HAM).
4. Tidak tuntasnya pemeriksaan dan penyelidikan Komnas HAM sebagai bagian dari fungsi Pemantauan sebagaimana dimaksud Pasal 89 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 disebabkan dua hal. Pertama, untuk pemanggilan pihak terkait untuk memberikan keterangan tertulis dan meminta dokumen sesuai aslinya seharusnya dengan persetujuan Ketua Pengadilan (vide Pasal 89 ayat (3) butir f dan g). Kedua, keliru Komnas HAM dalam proses penyelidikan dan pemeriksaan mengambil dasar hukum UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM semestinya mendasarkan pada UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dengan demikian penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM bukan merupakan penyelidikan yang bersifat “Pro-Justisia” karena memang sekedar “Pemantauan”.
5. Pendapat Komnas HAM (halaman 103) bahwa kasus tewasnya 4 (empat) orang Laskar FPI merupakan kate- gori pelanggaran HAM dan merekomendasikan meka- nisme pengadilan Pidana, merupakan langkah kompro- mistis Komnas HAM. Di satu pihak ingin memperoleh citra bahwa Komnas HAM telah melaksanakan tugas- nya namun di pihak lain sebenarnya langkah untuk menghindar dari kewajibannya melakukan penyelidi- kan berdasar UU No. 26 Tahun 2000 tentang HAM.
KOMNAS HAM MENGABAIKAN ATAU KURANG MEN- DALAMI BARANG BUKTI DARI FPI
1. Bahwa tidak tuntasnya Komnas HAM melaksanakan mandat Pasal 89 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan atau tidak melakukan penyelidikan dan atau bahkan Komnas HAM belum mengungkapkan peristiwa kematian 6 (enam) Laskar FPI secara transparan, proses keadilan yang profesional, dan kredibel, terbukti dari tidak dilakukannya pemeriksaan dan penyelidikan secara seksama atau pendalaman secara benar dan baik yang melibatkan para ahli yang kompeten terhadap semua barang bukti yang sudah disampaikan oleh pihak FPI dan keluarga korban yang antara lain berupa; (1) Voice note sejumlah 105 percakapan, (2) R e k a m a n pembicaraan, (3) Foto mobil yang dicurigai, (4) J e j a k digital untuk lini masa digital, (5) Foto kondisi jenazah yang diterima keluarga sebanyak 32 lembar, (6) F o t o - foto terkait peristiwa penangkapan agen BIN tanggal 4 Desember 2020. (7) Pandangan hukum atas peristiwa
2. Jika Komnas HAM mendalami bukti-bukti baik dokumen maupun keterangan dari FPI maka akan ditemukan sistematiknya peristiwa pembunuhan dan penyiksaan enam pengawal HRS. Hal ini menjadi alasan bahwa pembunuhan tersebut adalah pelanggaran HAM berat yang harus diproses melalui Pengadilan HAM.
3. Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menyatakan: “Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa a. pembunuhan.....f. penyiksaan..
4. Bahwa dari bukti foto jenazah dan keterangan pihak yang turut memandikan jenazah, maka fakta yang terjadi adalah bahwa keenam pengawal HRS diduga kuat mengalami penyiksaan sebelum ditembak mati. Tentu membutuhkan tempat tertentu untuk melakukan penyiksaan yang kecil kemungkinan dilakukan di mobil Avanza B. 1519 UTI atau mobil lainnya. Sayangnya, Komnas HAM tidak mengungkap tempat tersebut, bahkan mengesampingkan terjadinya penyiksaan. Mabes Polri sendiri dalam rilisnya telah menyatakan bahwa calon tersangka anggota Polri Metro Jaya (PMJ) selain akan dikenakan ketentuan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, juga Pasal 351 ayat (3) yaitu penganiayaan yang menyebabkan kematian.
5. Bahwa pembunuhan ini dilakukan secara sistematik tergambar dalam uraian Bab II buku ini dengan penegasan:
Pertama, pembunuhan dan penyiksaan adalah bagian dari serangan sistematik yang terjadi sejak pembuntutan dan penguntitan terhadap HRS tanggal 4 Desember 29020 di Mega Mendung. Diawali dengan terdeteksi pengawasan menggunakan drone oleh agen Intelijen yang terbongkar oleh laskar FPI. Pembuntutan masif berlanjut hingga operasi pengejaran pada tanggal 6 Desember 2020 yang berujung pada penyiksaan dan pembunuhan.
Kedua, pembunuhan ini bagian dari operasi pembunuhan politik yang bukan semata kerja aparat Kepolisian. Dimulai dari penurunan spanduk dan baliho oleh sekitar 500 personil pasukan TNI atas perintah Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman tanggal 20 November 2020. Dilanjutkan dengan teror konvoi kendaraan tempur Koopsus ke dekat Markas FPI Jln Petamburan oleh pasukan elite gabungan Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
Ketiga, Pembunuhan dan penyiksaan ini menjadi bagian dari serangan sistematik sehubungan dengan kepulangan HRS ke tanah air, bahkan jauh sebelum kepulangan yakni gangguan selama di Saudi Arabia. Kemudian mencari kesalahan untuk dicocok-cocokkan dengan ketentuan hukum yang berlaku atas acara pernikahan di Petamburan dan pengajian maulid Nabi di Mega Mendung. Proses peradilan HRS dan pimpinan FPI lainnya kini adalah bukti dari operasi pemerintah untuk menekan dan melumpuhkan lawan politik.
KOMNAS HAM TIDAK OPTIMAL MENGGALI DATA
1. Komnas HAM baru melakukan Pemantauan belum melakukan penyelidikan “pro justisia” dan atau bahkan Komnas HAM belum optimal menggali data peristiwa kematian 6 (enam) laskar dengan fakta sebagai berikut:
2. Komnas HAM terbukti lebih banyak meminta dan atau menerima barang bukti resmi dari Kepolisian antara lain berupa:
a. Sejumlah powerpoint (PPT) yang menjelaskan peristiwa (Inafis, Labfor, Kedokteran, Siber) disertai dengan foto,
b. Voice note yang diperoleh dari HP (handphone) korban sejumlah 172 rekaman dan 191 transkripnya.
3. Dalam hal ini, Komnas HAM tidak mencari data kebenaran dengan meminta rekaman Voice note HP (Handphone) atau bukti percakapan atau bukti texting dari para pembuntut yang menurut PMJ adalah anggota Kepolisian. Sebab komunikasi para penguntit ini (kalau betul mereka anggota Kepolisian) baik dengan sesama pembuntut maupun dengan atasan pasti terdapat jejak di perangkat komunikasi mereka. Justru merupakan kepentingan mereka untuk bisa diperlihatkan kepada publik maupun Komnas HAM sebagai bentuk transparansi dan sebagai bentuk pertanggungan jawab atas alasan bahwa mereka membunuh karena “self defence”.
Tidak adil atau diskriminatif jika Komnas HAM hanya membuka voice note anggota laskar, sementara para penguntit/pembuntut yang katanya Polisi tidak. Yang terkesan di sini sikap melindungi pihak penguntit untuk diketahui identitasnya yang sebenarnya atau karena ditekan oleh instansi negara yang berada dibalik pihak penguntit untuk hanya fokus pada laskar dan memalingkan muka dari penyelidikan ke arah penguntit.
4. Demikian juga dengan jejak rekam digital lini masa dan atau CCTV dari semua aparat yang katanya kepolisian dan atau warga sipil di lingkungan instansi kepolisian yang terlibat dan atau diduga mengetahui peristiwa pembunuhan enam Laskar FPI. Misal, Komnas HAM tidak menyelidiki barang bukti CCTV salah satu warung di TKP KM 50 yang disita dan atau diganti oleh petugas kepolisian.
5. Demikian halnya, Komnas HAM hanya meminta dan atau menerima barang bukti dan atau sekadar memantau dari pihak Jasa Marga berupa:
a. video rekaman situasi jalan tol dan pintu gerbang keluar masuk yang terkait peristiwa berjumlah 9.942,
b. Screen capture dari smart CCTV Speed-Counting/Speed- cam sejumlah 137.548 foto; tetapi Komnas HAM tidak meminta dan menyelidiki secara profesional dan kredibel semua rekaman Voice note HP (Handphone) dari semua karyawan Jasa Marga yang terlibat dan atau diduga mengetahui peristiwa pembunuhan enam Laskar FPI.
6. Data penting yang diabaikan oleh Komnas Ham adalah tidak menggali keberadaan mobil Land Cruiser yang tiba di KM 50. Mereka adalah komandan lapangan yang terlihat memberikan perintah dan komando, bahkan memimpin selebrasi keberhasilan. Benarkah Komnas HAM hanya mengetahui sebatas penumpang di mobil Land Cruiser tersebut adalah AKP WI dan Ipda R? adakah petinggi Polri atau instansi lain berada di Land Cruiser tersebut? Mengapa nopol mobil tersebut tidak terekam? Demikian juga keberadaan mobil Avanza hitam B 1739 PWQ dan Avanza B 1278 KJD yang tidak diakui sebagai mobil pembuntut dari Kepolisian.
Kedua mobil ini membuntuti sejak perumahan Sentul hingga KM 50 tempat Kejadian Perkara. Bahkan dugaan kuat personil di kedua mobil ini yang menembak dua anggota Laskar. Karenanya Komnas HAM merekomendasikan agar “melakukan penegakkan hukum terhadap orang-orang yang terdapat dalam dua mobil Avanza hitam B 1739 PWQ dan Avanza silver B 1278 KJD”. Seharusnya Komnas HAM berupaya meminta keterangan kepada saksi-saksi atau langsung kepada penumpang kedua mobil yang terlibat kejahatan tersebut. Melalui Kepolisian mudah untuk mendapatkan data kepemilikan mobil di atas.
7. Komnas HAM hanya tertarik pada potongan informasi yang dapat digunakan untuk menyudutkan para pengawal HRS, tanpa bersedia memahami keseluruhan konteksnya. Misalnya, di halaman 33 dari laporan Komnas HAM, terdapat potongan rekaman yang berbunyi, “anak-anak lagi nyerang balik”. Oleh Komnas HAM, potongan ini diterjemahkan seolah-olah sebagai perilaku kekerasan. Kalau pun betul demikian, Komnas HAM tidak memedulikan kata “balik” dalam kalimat tersebut, yang artinya apa yang dilakukan para pengawal HRS hanyalah bereaksi atas terjadinya serangan. Kalimat tersebut lebih mempunyai arti bahwa serangan kepada para pengawal HRS terjadi lebih dahulu, baru kemudian menyerang balik. Namun laporan Komnas HAM menempatkan kalimat tersebut sebagai bukti adanya aksi kekerasan dari para pengawal HRS.
Jika Komnas HAM bersedia mendengarkan dan mempelajari secara seksama rekaman penuh dari kalimat tersebut, maka seharusnya juga dipahami situasi keseluruhan. TP3 mendengarkan rekaman penuh dan menurut TP3 justru rekaman tersebut menggambarkan situasi yang cenderung para pengawal HRS sedang berada dalam todongan senjata api penguntit (at gun point) kemudian ditembak (dieksekusi). Karena HRS ikut mendengarkan voice notes tersebut, maka untuk menenangkan HRS begitulah jawabannya pendamping HRS. Apa yang merupakan jawaban berbunyi “lagi nyerang balik” juga tidak pernah terbukti bahwa hal itu betul-betul terjadi.
KOMNAS HAM TIDAK MENGGALI INFORMASI KUALITATIF
Komnas HAM belum menggali informasi yang mendalam dan kualitatif terbukti TP3 menjumpai berbagai kejanggalan dalam “Laporan Penyelidikan Peristiwa Kematian 6 (Enam) Orang Laskar FPI Di Karawang 7 Desember 2020”. Ada pun kejanggalan yang menimbulkan berbagai pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pertama, benarkah para pengawal HRS yang diikuti itu mengetahui bahwa pembuntut atau penguntit itu adalah petugas baik kepolisian atau instansi lainnya? Faktanya keenam anggota laskar maupun pengawal HRS lainnya sama sekali tidak mengetahui bahwa penguntit dan pembuntut itu adalah petugas atau aparat negara. Karenanya, dalam Laporan Komnas HAM ini semestinya melepas dahulu predikat “petugas” sebab diketahui bahwa mereka adalah petugas setelah diakui oleh Kapolda Metro Jaya, Fadil Imran pada konperensi pers tanggal 7 Desember 2020;
2. Kedua, dalam Kesimpulan Laporan Komnas HAM tegas dinyatakan bahwa “Terdapat pengintaian dan pembun- tutan di luar petugas kepolisian” semestinya diketahui oleh Komnas HAM siapa pengintai dan pembuntut di luar petugas kepolisian itu apakah preman penyusup, aparat intelijen, Koopsus atau instansi lain? Hal ini penting bagi pengusutan tindak lanjut sekaligus pem- buktian bahwa pembunuhan enam pengawal HRS ini dilakukan secara sistematik. Bukankah Komnas HAM telah menemukan bahwa pengintaian dan pembun- tutan dilakukan berdasarkan “Surat Perintah”?
3. Ketiga, pengintaian dan pembuntutan HRS yang didasarkan pada “Surat Perintah” tersebut, semestinya mendapatkan penelaahan dan kajian mendalam Komnas HAM tentang keabsahan hukumnya, sebab status HRS saat itu bukan tersangka apalagi buron atau masuk DPO. Akan tetapi, baru sebatas “Saksi” dalam kasus kerumunan yang dikualifikasikan pelanggaran UU Kekarantinaan Kesehatan. Itu pun HRS telah terkena hukuman denda dan membayarnya uang sebesar Rp 50 juta.
4. Keempat, kesimpulan terjadinya tembak-menembak yang menyebabkan meninggalnya dua pengawal HRS yakni Andi Oktavian dan Faiz Ahmad Syukur hanya didasarkan pada kesaksian pihak yang membunuh. Tiadanya bukti lain serta menyaksikan bukti penglihatan atas jenazah memberikan keyakinan bagi TP3 bahwa keduanya itu ditembak mati dari jarak dekat dan tidak dalam keadaan tembak menembak atau sedang melakukan perlawanan. Ihwal kepemilikan senjata juga hanya berdasarkan bukti sepihak dari yang melakukan pembunuhan, tidak didasarkan atas pemeriksaan sidik jari.
Diperkuat kesaksiannya FPI maupun keluarga, bahwa anggota laskar dalam melakukan pengawalan HRS tidak dibekali dengan senjata api atau senjata rakitan serta senjata tajam lainnya. Sebab, hal itu merupakan larangan keras dalam organisasi FPI.
Selain itu, ada bukti lain yakni keluarga korban menantang aparat kepolisian untuk melakukan sumpah mubahalah, ternyata pihak aparat Polda Metro Jaya tidak berani menghadapinya.
5. Kelima, kondisi jenazah Andi Oktavian dengan 1 LTM pada mata kiri, 1 LTK pada pelipis kiri, 2 LTM pada dada sisi kiri, dan 2 LTK pada punggung sisi kiri, ditambah dengan kulit bagian punggung melepuh, lecet di bagian kepala, patah tulang pelipis kiri, serta kulit bagian pantat melepuh bukanlah gambaran akibat dari tembak menembak, melainkan bekas penyiksaan dan penembakan berulang-ulang.
Demikian juga dengan kondisi Faiz Ahmad Syukur yang menunjukkan 2 LTM pada dada sebelah kiri, 2 buah LTK pada punggung sisi kiri, 1 LTM pada lengan bawah kiri sisi dalam, anak peluru yang bersarang di lengan bawah kiri, 1 LTM pada paha kanan sisi luar, 1 LTK pada paha kanan sisi depan, serta lebam di bagian kening. Hal itu membuktikan tidak mungkin keadaan tersebut adalah akibat dari tembak menembak, tapi akibat dari siksaan dengan benda tumpul dan tembakan tembakan berulang-ulang yang mematikan.
6. Keenam, Komnas HAM yang telah mengesampingkan kemungkinan terjadi penyiksaan dan penembakan sepihak pada kedua pengawal HRS tersebut adalah kesalahan besar. Dalam hal ini, ada peran instansi di luar Kepolisian yang berada di mobil Avanza hitam B 1739 PWQ dan Avanza silver B 1278 KJD. Komnas HAM meminta untuk melakukan “penegakkan hukum terhadap orang-orang yang terdapat dalam dua mobil Avanza hitam B 1739 PWQ dan Avanza silver B 1278 KJD”. Selayaknya para penumpang dari kedua mobil tersebut ditetapkan sebagai tersangka penyiksaan dan pembunuhan.
7. Ketujuh, terhadap keempat pengawal HRS lainnya yang meninggal, yang menurut Polisi ditembak di mobil Avanza B 1519 UTI, semestinya Komnas HAM tidak menerima begitu 7. Ketujuh, terhadap keempat pengawal HRS lainnya yang meninggal, yang menurut Polisi ditembak di mobil Avanza B 1519 UTI, semestinya Komnas HAM tidak menerima begitu saja keterangan sepihak dari kepolisian. Meski dikategorikan unlawful killing sekaligus sebagai pelanggaran HAM, namun melihat kondisi jenazah keempat pengawal HRS tersebut yang antara lain lebih dari dua tembakan (bahkan ada yang empat tembakan) pada dada sisi kiri, tembakan pada punggung sisi kiri, melepuh kulit belakang, kemaluan bengkak dan melepuh, lebam mata kiri, tangan melepuh, pipi dan kening bengkak menghitam, maka menunjukkan adanya penyiksaan atau penganiayaan sebelum ditembak berulang-ulang hingga mati.
8. Kedelapan, enam pengawal HRS itu ditembak dari jarak dekat, di samping menepis terjadinya tembak menembak juga tiadanya bukti lain selain kesaksian dari pihak yang membunuh tentang terjadinya peristiwa penembakan dalam mobil yang sedang berjalan. Akurasi tembakan yang mematikan, tepat di dada, sulit diterima jika dilakukan dalam keadaan mobil bergerak dengan kecepatan tinggi. Komnas HAM menjelaskan “Keterangan ahli forensik kepada Komnas HAM menerangkan bahwa seluruh korban memiliki pola luka tembak yang sama, yaitu di dada kiri dan berbentuk circular/bulat bukan elips. Ahli menduga bahwa penembakan dilakukan dalam jarak kurang dari 1 (satu) meter”. Kemudian ditegaskan bahwa “kematian keenam orang anggota Laksus FPI merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak untuk hidup yang dijamin dalam UUD 1945 dan Pasal 9 UU No. 39 tahun 1999”.
9. Kesembilan, kejanggalan terjadi berkaitan dengan kondisi mobil Xenia Silver Nopol B 1519 UTI. Mobil ini dikatakan oleh pembunuh adalah mobil yang dipakai untuk mengangkut empat pengawal HRS yang masih hidup. Kemudian keempat pengawal HRS itu, yakni Ah-mad Sofyan, Lutfil Hakim, Suci Kadafi, dan Muhammad Reza ditembak karena melakukan perlawanan, Mobil B 1519 UTI tidak tercatat sebagai mobil yang membuntuti dan terlibat saling serempet di Karawang Timur hingga Gerbang Tol Karawang Barat. Namun, anehnya kondisi mobil ini ‘berantakan” seperti dua lubang tembak pintu sisi kanan, satu lubang tembak dekat lampu rem, lampu rem yang pecah, body belakang di atas tulisan Xenia ada satu lubang tembak, bodi mobil belakang ada 2 lubang tembak di atas list chrome, kaca retak di belakang, kap mobil ada baretan menyerupai bekas tubrukan. Pada-hal yang terlibat dalam kejar mengejar dan saling serempet serta “tembak menembak” itu hanya tiga mobil yaitu Avanza silver K 9143 EL, Avanza hitam B 1739 PWQ dan Avanza silver B 1278 KJD. Hal ini diduga akibat skenario awal bahwa semua peristiwa adalah “tembak menembak” sebagaimana saat press conference Kapolda Metro Jaya yang didampingi Pangdam Jaya tanggal 7 Desember 2020. Tersangka pun adalah keenam jenazah pengawal HRS tersebut.
10. Kesepuluh, pertanyaan penting adalah menurut Komnas HAM siapa pelaku pembunuhan katagori pelanggaran HAM berat ini? Setelah gagal pihak Kepolisian menetapkan keenam pengawal HRS sebagai tersangka, maka terpaksa tersangka pelaku kejahatan "unlawful killing” adalah aparat Kepolisian itu sendiri.
Simpang siur Komnas HAM dalam mengindikasi. Di satu sisi, penembak empat pengawal HRS adalah aparat yang berada di mobil B. 1519 UTI dan itu adalah Ipda Yusmin (pengemudi), Ipda Elwira (duduk di depan sebelah kiri, samping sopir) dan Briptu Fikri Ramdhani (di tengah, sebelah kiri). Di sisi lain, ada keterangan "senjata Faisal sempat digunakan Yusmin untuk melakukan penembakan kepada Andi tiga kali dan Luthfi sebanyak dua kali” ditambahkan oleh Komnas HAM “Berdasarkan keterangan tersebut, petugas Kepolisian yang melakukan penembakan adalah Faisal, Yusmin, Fikri, dan Elwira”.
11. Kesebelas, sesuai dengan Konperensi Pers Komnas HAM terdapat kalimat “Bahwa empat anggota Laksus tersebut kemudian ditembak mati di dalam mobil petugas saat dalam perjalanan dari KM 50 ke atas (menuju Polda Metro Jaya), semua ini didasarkan kesaksian sepihak dari yang melakukan pembunuhan semata bahwa terlebih dahulu teltah terjadi upaya melawan, yang katanya petugas, yang mengancam keselamatan diri sehingga diambil Tindakan tegas dan terukur”. Atas hal ini telah dibuat laporan kepada Kepolisian oleh anggota Kepolisian Polda Metro Jaya, yakni Briptu Fikri Ramdhani dengan Saksi Bripka Adi Ismanto dan Bripka Faisal. Apakah betul ketiga orang inilah yang dianggap mengetahui peristiwa penembakan anggota laskar FPI hanya diperintahkan untuk membuat laporan?
KOMNAS HAM SEMESTINYA MENGGUNAKAN UU NO. 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM
1. Dasar hukum penyelidikan “Pro-Justisia” Komnas HAM semestinya bukan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM melainkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM karena sejak awal sudah dapat ditangkap bahwa peristiwa pembunuhan enam anggota laskar FPI tidak berdiri sendiri, menjadi bagian dari pelaksanaan "Surat Perintah” untuk melakukan pengintaian dan pembuntutan HRS. Ada peristiwa pendahuluan dan pasca pembunuhan yang membuktikan adanya unsur “sistematik” sebagai elemen penting terjadinya pelanggaran HAM berat. Aneh Komnas HAM jika tidak menjadikan dasar hukum kuat untuk melakukan penyelidikan “Pro Justisia”.
Bahkan sebenarnya kekeliruan Komnas HAM menggunakan acuan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang maksimal hanya melakukan “Pemantauan” itu adalah dapat dianggap sebagai kesengajaan untuk menghindar dari kewajiban untuk melakukan penyelidikan ke arah pelanggaran HAM berat.
2. Dengan menggunakan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM maka Komnas HAM sebagai penyelidik berwenang melakukan penyelidikan. Pemeriksaan dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan HAM. Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan dapat melibatkan unsur masyarakat. Inilah obyektivitas yang sangat dibutuhkan dalam menyelidiki peristiwa pembunuhan dan penyiksaan enam pengawal HRS.
3. Pasal 18 ayat (2) menyatakan: “Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komnas HAM dan unsur masyarakat”.
4. Dengan menggunakan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM maka kewenangan Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan menjadi sangat besar sebagaimana diatur dalam Pasal 19 dan Pasal 20 Undang-Undang ini. Bahkan dalam Pasal 25 Komnas HAM dapat sewaktu-waktu meminta keterangan kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran HAM berat..***