Lengkap: Buku Putih Pelanggaran HAM Berat Pembunuhan 6 Pengawal HRS (Part-4)
Kamis, 8 Juli 2021
Faktakini.info
BUKU PUTIH PELANGGARAN HAM BERAT
BAB III
PROFIL KORBAN ENAM PENGAWAL HRS YANG DIBUNUH APARAT NEGARA
Dari hasil kunjungan TP3 ke rumah-rumah keluarga korban pembunuhan, yang merupakan kegiatan TP3 dalam menelusuri fakta dan profil keluarga serta latar belakang korban sebagai upaya public awareness bahwa kepemilikan senjata api sebagaimana dituduhkan kepada korban pembunuhan adalah informasi yang bersifat menyesatkan.
Berikut ini profil keluarga dan korban:
Gambar 3.1 Foto-foto keenam pengawal HRS, korban pembunuhan aparat negara.
LUTFI HAKIM, PELATIH BOLA, DIBUNUH APARAT NEGARA
Salah seorang korban yang dibunuh aparat negara adalah Lutfi Hakim. Sama dengan kelima korban lainnya, tidak ada lahan parkir di lingkungan rumah Lutfi Hakim. Satu-satunya tempat parkir yang ada adalah di halaman masjid “Assolihul Hamidiyah”, Jakarta Barat. Rumah milik orangtua Lutfi Hakim tampak sederhana, namun cukup baik dibandingkan rumah korban pembunuhan yang lima orang lainnya. Ada ruang tamu yang luasnya sembilan meter persegi. Tidak ada perabot dan gambar di dinding ruang tamu.
Daenuri (49) sang ayah adalah seorang tukang. Hasilnya, Daenuri dapat “oprak aprik” rumahnya sendiri. Namun, statusnya hanya sebagai buruh harian lepas di proyek bangunan. Daenuri, menerima Rp 130 ribu per-hari bila ada yang mengajaknya bekerja di proyek tertentu. Daenuri, satu dari jutaan buruh lepas di Indonesia.
Pertanyaan yang mengusik, apakah dalam keadaan pandemik Covid 19, pengangguran, dan tiada penghasilan rutin, Daenuri mampu memberikan uang ke Lutfi Hakim untuk membeli pistol? Bagaimana dengan Khadavi yang untuk membeli gorengan saja, kongsi dengan kawannya?
Begitu pula Muhammad Sofiyan, pemilik ijazah paket C SMP--yang ibunya adalah janda--, penjual gorengan, bisa punya pistol? Bagaimana dengan Faiz yang cita-citanya mau membiayai sekolah kedua adiknya, berpikir untuk membeli pistol? Apakah Andi Oktavian, pekerja serabutan yang lebih banyak berperilaku sebagai pekerja sosial sementara ibunya seorang janda, penjaga anak tetangga, mampu membeli pistol? Apalagi Reza, hansip yang tinggal di “kandang burung” dengan ibu seorang janda, penjual nasi, mampu memiliki pistol?
Di sinilah pentingnya Petisi Rakyat yang diterbitkan Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Enam pengawal HRS di KM50 harus dijadikan rujukan Presiden dalam pengambilan kebijakan selanjutnya.
Lutfi Hakim adalah tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA). Umurnya 25 tahun. Calon istri pun belum ada. Maklum, untuk menghidupi diri sendiri pun, masih belum mampu. Adiknya, Abdul Wahab (17) masih duduk di SMA. Ibunya, Neneng Hayati (47) hanya seorang ibu rumah tangga. Lutfi Hakim biasa menjadi pengemudi ojek online.
Menurut ayahnya, dalam sepekan, paling dua atau tiga kali dapat pelanggan. Hasilnya, tidak seberapa. Apalagi, musim virus Covid 19, hasil ojek online digunakan untuk servis motornya dan keperluan sehari-hari. Pasti jauh dari cukup. Namun, Lutfi Hakim cukup kreatif. Dia mencari tambahan penghasilan yang halal dan thayyiban (baik).
Dia kreatif dengan cara melatih remaja di lingkungannya untuk main bola. Dia melatih remaja yang berusia 10-15 tahun, dua kali sepekan. Honornya Rp 50 ribu per-latihan. Penghasilan Lutfi Hakim Rp 100 ribu per-pekan atau Rp 400 ribu sebulan. Profesinya ini menjadikan Lutfi Hakim pernah ikut dalam pertandingan bola tingkat kelurahan, kecamatan, bahkan sampai DKI Jakarta Liga lokal.
Pertanyaan serius, apakah pemuda yang aktif di masyarakat serta mendukung program pemerintah di bidang olahraga, dapat menjadi seorang teroris? Apakah dengan penghasilan Rp 400 ribu sebulan, Lutfi dapat membeli pistol seperti yang dituduhkan polisi?
Lutfi Hakim, menurut Daenuri, rajin shalat. Dia juga sopan serta ramah terhadap kawan-kawan dan tetangganya. Daenuri membanggakan perilaku Lutfi Hakim sebagai hasil gemblengannya selama 25 tahun. Daenuri paham, menurut Nabi Muhammad SAW, senyum dan ramah terhadap orang lain adalah ibadah. Berlaku baik dan ramah terhadap tetangga juga merupakan sunnah Nabi Muhammad SAW. Maklum, Daenuri pernah mondok di pesantren selama enam tahun. Daenuri, selain tamatan pesantren, aktif di kepengurusan RT. Wajar jika Daenuri memahami hakikat Pancasila dan UUD 45. Daenuri menyadari, sila pertama Pancasila, ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ menunjukkan, Indonesia adalah negara tauhid. Bukan negara kapitalis, apalagi komunis. Daenuri mendidik anak-anaknya rajin shalat dan berperilaku baik karena pasal 29 ayat (2) UUD 45 menyebutkan negara menjamin warga negara untuk memeluk agama dan melaksanakan syariat agamanya.
Daenuri masih ingat WA terakhirnya Lutfi Hakim. Anaknya itu menulis saat berada di markas DPP FPI Jln. Petamburan, yang meminta dirinya selaku orangtua untuk bersikap ridha dan ikhlas. Itulah pesan terakhir Lutfi Hakim sebelum dibunuh aparat negara, 7 Desember 2020, diihari di tol Jakarta-Cikampek, KM50.
ANDI OCTIAWAN, KETUA REMAJA MASJID, DIBUNUH APARAT NEGARA
TP3 tiba di rumah Andi Octiawan yang beralamat di Kawasan Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat, 26 Januari 2021. Masjid Al Hikmah di gang itu, sederhana, tetapi tertata rapi. Shalat maghrib berjamaah, baru usai. TP3 shalat berjamaah sesuai SOP Rasulullah SAW: Bahu dengan bahu serta mata
kaki yang di belakang imam, saling bersentuhan. Usai shalat, TP3 memasuki gang yang lebih sempit, cukup dua orang melaluinya. Semua rumah korban pembunuhan yang didatangi oleh TP3, berada di gang sempit. Penghuninya miskin, ada janda, yatim, dan berpendidikan rendah, tetapi saleh. Apakah mereka pilihan Allah SWT yang menjadi martir bagi perubahan sosial?
Rumah keluarga Andi itu sederhana, sama dengan empat rumah lain yang kami kunjungi. Berlantai tikar, tanpa perabot dan tidak ada gambar yang bergantungan di dinding. Ruang tamunya sekitar 3,8 x 3 meter. Luas rumah sekitar 12 x 3,8 meter. Hanya sekitar semenit, seorang perempuan separuh baya, keluar menemui kami. Aminah, janda, berpenampilan biasa, seperti ibu-ibu kampung umumnya. Aminah (52) yang ditinggal meninggal suami, Zaenudin, punya tiga orang anak. Andi (33), Ahmad Junaidi (26), dan Maryana Diana Sapitri (16). Andi dan Ahmad hanya tamatan SMP. Anak bungsunya, masih duduk di SMA, kelas satu.
Aminah menjaga anak tetangga yang masih ada hubungan keluarga. Imbalan yang diperoleh, Rp 700 ribu sebulan. Ahmad Junaidi, lumayan, memeroleh Rp 2,5 juta sebulan sebagai karyawan toko baja ringan, Andi sendiri kerja serabutan. Aminah duduk sambil meletakkan sesisir besar pisang Ambon, kue, dan air mineral. Bila diperhatikan wajah Aminah, tampak masih ada goresan kesedihan. Aminah dengan suara terbata-bata mengisahkan:
Diceritakannya, saat Idul Fitri “Andi meminta saya duduk di kursi. Diambilnya baskom berisi air. Hati-hati, kaki saya dimasukkan ke dalam baskom. Lembut, tangannya membasuh kedua kakiku, bergantian kanan dan kiri. Selesai, dikeringkan. Kemudian... (Aminah tertahan suaranya), diciumnya kedua kakiku.”
Andi atau nama lengkapnya Andi Oktiawan, berusia 33 tahun. Beliau yang paling tua dari enam pengawal HRS yang dibunuh polisi. Andi kerja serabutan. Lebih tepat sebagai pekerja sosial. Andi turun tangan jika ada tetangga punya masalah. Andi akan mengantar tetangga yang sakit, ke rumah sakit. Pihak rumah sakit terkadang menyulitkan pesakit untuk memperoleh kamar. Apalagi bagi mereka yang hanya mengandalkan BPJS. Andi langsung turun tangan sehingga tetangganya bisa memeroleh kamar.
Andi, pemuda yang sopan, peramah, mudah bergaul, dan suka menolong siapa saja. Wajar jika Andi terpilih sebagai Ketua Remaja Masjid Al Hikmah, di lingkungannya. Andi, selama tiga tahun memimpin Remaja Masjid, sebelum meninggal, aktif menggerakkan kawan-kawannya di masjid. Program dan kegiatan yang dilakukannya antara lain; Peringatan hari-hari besar Islam; Pawai Obor setiap tahun baru Islam; serta kerja bakti membersihkan masjid dan lingkungan sekitar.
Terkait profil Andi ini, TP3 bertanya apakah pemuda seperti Andi yang Ketua Remaja Masjid, suka menolong tetangga, dan sangat menghormati ibunya itu, menjadi teroris, pengedar narkoba atau menembak polisi? Jika Ketua Remaja Masjid menjadi teroris, Polri juga teroris. Sebab, Wakil Ketua Dewan Masjid Indonesia adalah mantan Wakapolri, Syafrudin. Wakil Ketua Dewan Pakar, Budi Gunawan yang juga mantan Wakapolri, sekarang Kepala BIN. Jika institusi Polri bukan teroris, apakah mantan Wakapolri yang teroris. Kalau mantan Wakapolri bukan teroris sementara ada Ketua Remaja Masjid yang jadi teroris, maknanya, beliau tidak becus mengurus masjid. Simpulannya, polisi jangan ikut-ikutan tiru ABRI pada masa orde baru yang berdwi fungsi. Cukup satu fungsi saja, mengurus internal polisi agar bisa menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, seperti polisi di luar negeri. Maknanya, polisi perlu mengganti senjata api dengan pentungan seperti polisi Inggris ketika bertugas di lapangan.
KHADAVI, KORBAN PEMBUNUHAN OLEH APARAT NEGARA DI KM 50
Saat TP3 tiba di gang sempit di depan rumah orangtua Khadavi, tampaklah tikar dan karpet. Banyak anak muda duduk sambil berdzikir. Malam itu, 15 Januari 2021, hari ke 40, enam pengawal HRS meninggal dunia dibunuh oleh aparat negara. Rumah itu sederhana. Panjangnya mungkin 8 meter. Lebarnya sekitar enam meter. Ruang tamu berukuran kurang lebih dua setengah kali tiga meter. Ruang keluarga sekitar tiga kali tiga setengah meter. Tidak nampak perabot rumah yang mewah.
Di atas meja kecil, terpampang foto Khadavi. Wajahnya cerah, ganteng, bercahaya. Masih muda, 21 tahun. Nama lengkapnya, Muhammad Suci Khadavi Poetra. Anak pertama dari dua orang bersaudara. September 2021, Khadavi akan wisuda. Beliau kuliah di Fakultas Perkapalan, salah satu universitas di Jakarta.
Menurut ayahnya, Herman Mulyana, Khadavi pernah mau pindah ke jurusan hukum. Mantan Satpam di salah satu supermarket di Jakarta ini berperawakan sedang, ramping tubuhnya. Memerhatikan postur dan penampilannya, musykil Herman bisa mendidik anaknya menjadi seorang teroris. Khadavi saat kuliah sempat pindah jurusan—memilih jurusan Hukum-- karena alasannya ingin menegakkan keadilan dan melindungi ulama. Wajar jika Khadavi bercita-cita, menegakkan keadilan. TP3 khawatir selama pemerintahan Jokowi, ratusan, ribuan, bahkan jutaan akan menjadi Khadavi baru. Bahkan, tujuh jutaan peserta 212 yang memadati Monas beberapa waktu lalu akan menjadi “Khadavi-Khadavi” baru. Apalagi dengan menyaksikan penahanan HRS, ulama, dan aktivis KAMI secara semena-mena.
Herman mengekspresikan wajah sedihnya sewaktu mengatakan, “September ini Khadavi akan diwisuda.” Kedua anaknya Herman ini, terkenal saleh. Apalagi Khadavi biasa menasihati orang tuanya agar jangan gila dunia. Ingatlah kehidupan akhirat. Khadavi rajin mengikuti majelis ta’lim di mana-mana di Jakarta. Belakangan, Khadavi rajin mengikuti kegiatan FPI. Apalagi memperhatikan tindakan-tindakan yang dilakukan aparat pemerintah khususnya lima tahun terakhir ini, membuat Khadavi semakin tertarik dengan kegiatan dan dakwah FPI. Pengurus dan anggota FPI sering turun tangan ketika terjadi bencana alam, baik tsunami, gempa bumi atau banjir. Mereka menolong korban tanpa pamrih, mulai dari tsunami Aceh, Banten, NTB, Sulawesi Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, Jakarta dan sekitarnya serta bencana lainnya di hampir seluruh Indonesia. Herman dan istrinya tidak sangka, pertemuan pagi itu, 6 Desember 2020 adalah pertemuan terakhir dengan anak sulungnya, Muhammad Suci Khadavi Poetra.
Herman sedih tapi bersemangat ketika mengemukakan kondisi fisik jasad anaknya. Menurutnya, ada dua lobang peluru dekat jantung, berwarna hitam. Maknanya, Khadavi ditembak dari jarak dekat. Matanya juga terdapat bekas penganiayaan. Ada jahitan di dada yang menunjukkan rumah sakit melakukan autopsi tanpa izin keluarga. Bagian belakang kepalanya, sampai di liang lahat pun masih keluar darah.
Wajar jika Herman menolak tuduhan polisi yang mengatakan anaknya membawa senjata. “Beli gorengan saja, dia kongsi dengan kawan-kawannya. Dari mana duit untuk beli senjata,” tambahnya. “Senjatanya” adalah baju koko dan kopiah putih. Itulah sebabnya, Herman menolak memenuhi panggilan Polda Metro Jaya. Menurutnya, dua kali surat panggilan Polda Metro Jaya dibawa oleh Babinsa dan Ketua RT. Herman minta agar pak RT mengembalikan surat panggilan polisi tersebut. Herman kemudian minta keadilan ditegakkan dengan seadil-adilnya terhadap para pelaku pembunuhan. Keadilan yang bagaimana?
Sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini ditegaskan lagi di UUD 45, pasal 29 ayat (1): Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ayat (2) mengatakan, “negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Ketentuan Pancasila dan UUD 45 terebut mengisyaratkan bahwa, hukuman bagi pembunuh (tanpa hak) harus sesuai dengan ketentuan Tuhan Yang Esa. Maknanya, penegak hukum harus merujuk Al-Qur’an, Injil, dan KUHP di mana pembunuh harus dijatuhi hukuman mati. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS. Al-Baqarah: 178)
“Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri” (Injil, Kejadian 9:6).
“Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana rnati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.” (KUHP pasal 340).
Jika aparat negara yang membunuh Khadavi, ikhlas menjalani hukuman mati yang didahului dengan tobat nasuha, in syaa Allah, mereka akan memeroleh keringanan dalam pengadilan akhirat nanti. Bahkan, bisa masuk surga jika dia muslim. Para Penyidik, JPU, dan Hakim yang menyidik, menuntut, dan memutuskan hukuman mati juga akan memeroleh keringanan atau kebebasan hukuman di akhirat kelak.
FAIZ, MAHASISWA YANG INGIN MATI SYAHID
“Ya Allah, di tempat yang Nabi- Mu biasa shalat ini, aku memohon kepada-Mu agar diriku dan anak- anakku mati sebagai seorang syahid dan syahidah. Aamiin Yaa Robbal ‘Alamiin.” Itulah antara lain doa pak Syuhada di Raudah, Masjid Nabawi, Madinah, tahun 2018.
Saat konferensi pers yang diadakan TP3, Syuhada, ayah almarhum Faiz, mewakili keluarga enam korban pembunuhan polisi, menyampaikan sambutan. Syuhada sangat bersemangat. Syuhada mempersilakan aparat negara bertanya ke kampusnya Faiz atau kawan-kawan di tempat tinggal, apakah Faiz berkelakuan buruk. Apakah dia pengguna narkoba, teroris, pencopet atau tukang berantam? Saat Syuhada mengakhiri sambutannya, Amien Rais bertepuk tangan. Hadirin di salah satu ruangan Hotel Atlet Senayan, 18 Januari 2021 itu pun bertepuk tangan. Mereka mengikuti Amien Rais yang duduk di sebelah TP3. Amien Rais adalah salah seorang Penasihat TP3.
Rumah orang tua Faiz, tak jauh beda dengan kondisi keluarga almarhum Khadafi dan Ahmad Sofyan. Rumah berada di gang sempit. Mobil diparkir di tempat yang agak jauh. TP3 berjalan sejauh dua ratus meter, memasuki gang yang tidak bisa dilalui mobil. Rumahnya seluas 4 x 15 meter, lebih panjang dari milik orang tua Khadavi dan Ahmad Sofiyan. Namun, ruang tamu Faiz, lebih kecil dari yang dipunyai Khadafi. Diperkirakan, 2,5 x 4 meter. Tidak nampak satu pun perabot. Rumah itu milik neneknya Faiz. Namanya Sofia, kini berusia 86 tahun. Ada empat kamar kecil, dihuni tujuh orang. Di samping rumah, tempat pengajian sedang direnovasi. Ukurannya sekitar 4 x 15 meter. Istri Syuhada, Rosidah ternyata seorang mubalighah, aktif mengordinasi pengajian kaum ibu, hampir setiap hari. Wajar kalau Faiz sangat islami sekaligus Pancasilais dalam kehidupan sehari- hari.
Faiz tidak pernah tinggalkan shalat karena ia rukun Islam kedua. Shalat pula yang pertama dihisab di akhirat. Faiz, karena muslim maka dia seorang warga negara yang baik. Sila pertama Pancasila dan pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 45 memerintahkan dia untuk menjadi seorang muslim yang saleh. Sebab, Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama menunjukkan bahwa, Indonesia, negara agama. Indonesia bukan negara sekuler, kapitalis, atau komunis. Hal ini ditegaskan kembali dalam UUD 45 pasal 29 ayat 1: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Masa Esa.”
Ayahnya Faiz, Syuhada, posturnya ramping dan jangkung. Beliau sehari-hari menjual batu akik. Syuhada, ketika ‘booming’, berhasil menjual salah satu batu akiknya dengan harga delapan jutaan rupiah (2013). Namun
adat bisnis, batu akiknya pernah dibeli dengan harga hanya seratus ribu rupiah. Pandemi virus Cina saat ini, jangankan beli batu akik, guna makan sehari-hari saja, rakyat “kelimpungan.”Dampaknya, Syuhada sukar menawarkan barang dagangannya. Syuhada juga tidak bisa berimprosisasi dengan memproduk alat membuka dan menutup lift yang ada di bandara atau beberapa hotel besar. Apalagi memproduk masker, penutup wajah plastik, dan pencuci tangan.
Faiz, nama lengkapnya, Faiz Ahmad Syukur, 22 tahun. Beliau anak sulung dari pasangan Syuhada dan Rosidah. Faiz memiliki dua adik: Bojas Bakumusal (20), tamatan SMA dan Firdaus Jibar Inmasa (17) masih duduk di bangku SMA. Faiz sudah semester 5 di salah satu universitas.
Faiz mengambil jurusan Ilmu Komputer dan Teknik Informatika (IT), bidang yang fenomenal sejagat, belakangan ini. Faiz, generasi milineal yang mandiri. Bahkan, ayahnya biasa ‘jengkel’ karena apa pun masalah yang dihadapi, Faiz mengatasi sendiri. Faiz, sehari-hari jual beli logam mulia (satu gram), produk Antam. Penghasilannya digunakan untuk membiayai kuliah dan membantu adik-adiknya. Faiz juga biasa membantu ibunya dari hasil usahanya. Faiz, pada waktu senggang, melatih anak-anak belajar memanah, tanpa dibayar. Faiz mengamalkan salah satu hadis Nabi Muhammad SAW yang menganjurkan orangtua agar mengajar anak lelaki mereka berkuda, memanah, dan berenang. Namun, ke adik bungsu, Faiz mengatakan, ingin memperoleh ridha Allah SWT dengan pekerjaan yang mapan. Ke ibunya, Faiz mengatakan, ingin menyekolahkan kedua adiknya. Syuhada mengatakan, Faiz ingin menjadi ‘digital graphic designer.’ Kawan-kawannya mengatakan, Faiz sering minta didoakan agar mati syahid.
Saat hari Sabtu, 5 Desember, Faiz meminta ibunya menyediakan seragam laskarnya untuk berangkat ke Petamburan. “Doain ya ma,” itulah kata-kata terakhir yang didengar ibunya. Faktanya, Faiz benar-benar memeroleh pahala syahid. Hal itu terjadi dalam peristiwa pembunuhan enam warga sipil oleh aparat negara di KM 50, tol Jakarta- Cikampek, 7 Desember 2020, dini hari. Peristiwa ini menunjukkan, salah satu doa ayahnya di Raudah, masjid Nabawi, lebih dua tahun lalu, terkabul.
Syuhada, sewaktu menyaksikan jenazah anaknya di- mandikan, nampak ada empat luka bekas tembakan. Dua peluru di area jantung. Leher sampai pusar, ada jahitan, bekas operasi. Padahal, semua keluarga korban, termasuk Syuhada tidak mengizinkan dilakukan autopsi. Polisi dan petugas rumah sakit tidak menjelaskan, apakah dibelahnya jenazah dari leher sampai pusar adalah autopsi atau proyek bisnis. Maklum, masyarakat sering melihat video yang menunjukkan pengambilan organ penting dari jenazah untuk diperjual-belikan.
AHMAD SOFYAN (AMBON) SYUHADA FPI, ANAK JANDA YANG DIBUNUH APARAT NEGARA
TP3 menuju jalan Utan Panjang III, Kemayoran, Jakarta Pusat. Tiba di gang I, mobil diparkir sekitar 100 meter dari rumah, tempat hajatan berlangsung. Suara tahlilan seratusan orang yang memadati gang itu membuat TP3 tidak leluasa bercakap-cakap. Ini acara tahlilan di rumah orang tua Ahmad Sofiyan.
Beliau, korban pembunuhan aparat negara di tol Jakarta- Cikarang KM 50, 7 Desember 2020. Rumah orang tua Ahmad Sofiyan alias Ambon, ukurannya tidak jauh beda dengan yang dipunyai keluarga Khadafi. Perbedaannya, rumah orang tua Ahmad, dua tingkat, warisan kakek.
Ibunya Ahmad Sofiyan seorang janda. Ahmad Sofiyan alias Ambon berumur 26 tahun. Belum menikah. Beliau hanya tamatan SD kemudian mengambil paket C, SMP. Musykil, apakah dengan pendidikan paket C, Ahmad Sofiyan dapat merakit senjata seperti dituduhkan polisi? Katakanlah, Ahmad Sofiyan dapat merakit senjata. Pertanyaannya, apakah peluru yang digunakan berupa biji tangkil, jagung atau peluru asli? Jika peluru asli, siapa yang memproduknya? Katakanlah peluru itu diproduk pabrik resmi, Pindad. Namun, apakah karyawan pabrik ini yang menjual peluru ke laskar FPI? Mungkin juga, Ahmad Sofiyan membeli peluru di pasar gelap. Jika ada pasar gelap di Jakarta dan sekitarnya, siapa yang bertanggung jawab? FPI, HTI, MUI, BIN atau polisi. “Tepuk air didulang, terpercik muka sendiri.”
Ibunya Ahmad, namanya Herlina, menjumpai TP3 di gang yang belum dipadati pelayat. Tubuhnya Herlina ramping. Tingginya sekitar 155 cm. Beliau mengenakan jilbab yang rapi dan benar. Jilbab Herlina mengekspresi kualitas keislamannya. Hal tersebut tergambar ketika beliau mengatakan bahwa, tawaran uang duka dari Babinsa setempat, ditolak. Masyaa Allah! Seorang janda sederhana, sehari-hari hanya menjual goreng-gorengan. Hasilnya Rp 200 ribu per-hari. Itulah penghasilan yang digunakan untuk membiayai dirinya dan dua anaknya; Ahmad Sofiyan dan Ridwan. Saat TP3 bertanya tentang apakah Herlina siap bermubahalah dengan aparat negara yang membunuh anaknya, Herlina menjawab bahwa dirinya siap bermubahalah dengan harapan pelaku pembunuh anaknya dilaknat oleh Allah SWT.
Saat mendengar jawaban itu, TP3 terbayang kisah Nusaibah binti Ka’ab. Beliau salah seorang shahabiyah dari golongan Anshar. Dikisahkan, suatu hari, Nusaibah mendengar hiruk pikuk para sahabat menuju medan perang Uhud. Suami Nusaibah ikut berperang hingga syahid, juga , anaknya. Bahkan Nusaibah ikut berperang dan mampu membunuh puluhan orang kafir. Suatu waktu, seorang musuh mengendap dari belakang dan melukainya. Usai perang Uhud, Nusaibah tercatat sebagai perisai Nabi Muhammad SAW dengan tidak kurang 12 luka di tubuhnya.
Apakah Herlina, Monalisa, dan 4 ibu lain yang anak- anaknya dibunuh aparat negara akan tampil sebagai “Nusaibah-Nusaibah” baru? Apakah ibu dari 11 orang yang meninggal dalam peristiwa 21 dan 22 Mei 2019 di depan kantor Bawaslu akan mengikuti jejak Nusaibah? Apakah ibu-ibu dari 800-an anggota KPPS yang meninggal secara tidak wajar dalam Pilpres 2019, akan menuntut hak mereka seperti yang dilakukan Nusaibah? Setidaknya mengikuti jejak Herlina yang menolak dana santunan pemerintah kecuali para pembunuh dijatuhi hukuman mati juga.
REZA SYUHADA FPI RUTIN BERIKAN GAJINYA UNTUK IBUNYA, BERSEDEKAH DAN MENCICIL SERAGAM FPI
Muhammad Reza, pemuda Pasar Baru, Kecamatan Sawwah Besar, Jakarta Pusat ini hanyalah seorang pemuda pecinta ulama dan habaib yang ingin membahagiakan kedua orang tuanya.Reza, pemuda yang lahir pada tanggal 7 Juni 2000 itu pun bekerja sebagai satpam di salah satu perusahaan, demi untuk membantu ibunya yang seorang buruh cuci.
Reza menempati tempat tinggal yang sangat sederhana, tangga itu menuju ruang tempat tinggalnya yang berukuran 1,5 x 3 meter. Di sana tempat tidur Reza bersama ibu dan kakaknya, di bawahnya dipakai untuk kamar mandi dan dapur. Di sela kesibukannya mencari nafkah, Reza juga menjadi anggota FPI supaya bisa dekat dengan Dzurriyah Rasulullah SAW Imam Besar HRS, serta membela agama, bangsa dan negara. Namun siapa sangka, hari Senin (7/12/2020) dini hari Reza harus tewas ditembak aparat negara di tol Jakarta-Cikampek KM 50 saat sedang bertugas mengawal dan menjaga perjalanan HRS menuju Karawang.
Reza telah dimakamkan di area Markaz Syariah FPI Mega Mendung Bogor bersama para syuhada lainnya. Makamnya kini setiap hari selalu diziarahi oleh umat Islam serta didoakan oleh jutaan umat Islam. Fakta mengharukan pun kemudian terkuak, Reza yang hidup bersama ibunya yang hanya seorang buruh cuci ini, ternyata anak shalih dan sangat berbakti kepada ibunya. Reza yang bekerja sebagai satpam hanya bergaji Rp 200 ribu per-bulan, ternyata selama ini penghasilannya senantiasa ia catat dan kemudian terungkap untuk apa saja uang tersebut ia gunakan.
Gambar 3.2 Sejumlah perwakilan pengurus majelis taklim mendatangi kediaman Reza menyampaikan sumbangan.
Sebagian besar gajinya Reza sisihkan untuk ibunya, sisanya untuk bersedekah Rp 10 ribu setiap harinya dan Rp 20 ribu untuk mencicil membeli seragam FPI.
Berbeda dengan banyak ormas lain yang menerima dana Bansos dari pemerintah dan sumber lain sehingga anggotanya diberi seragam dan digaji, di FPI tidak begitu. FPI adalah ormas Islam yang tidak pernah menerima Rp 1 rupiah pun dana Bansos dan dana apa pun bentuknya dari pemerintah. Tidak ada anggota FPI yang digaji. Bahkan untuk membeli seragam kelaskaran pun harus membeli sendiri. Namun karena kemandirian dan independensi itulah yang membuat FPI sangat dicintai umat Islam. FPI bukan kacung pemerintah dan kelompok apa pun, sehingga berani berkata tidak pada apa pun yang bathil.