Lengkap: Buku Putih Pelanggaran HAM Berat Pembunuhan 6 Pengawal HRS (Part-6)

 


Kamis, 8 Juli 2021

Faktakini.info

BUKU PUTIH PELANGGARAN HAM BERAT

PEMBUNUHAN ENAM PENGAWAL HRS

BAB V

ANALISIS

DAN PENDAPAT HUKUM

PENGANTAR

1. Komnas HAM melansir informasi yang menurutnya merupakan penyelidikan, yang bersumber dari keterangan resmi Polda Metro Jaya (PMJ) dalam konferensi pers yang menjelaskan bahwa telah terjadi insiden antara polisi dan Laskar FPI pada 6-7 Desember 2020 yang menewaskan 6 (enam) anggota Laskar FPI di sekitar KM 50 jalan tol Jakarta-Cikampek. Hasilnya, Komnas HAM menyebutkan telah terjadi pelanggaran HAM dan unlawful killing terhadap tewasnya empat anggota laskar FPI di tangan polisi. Sedangkan untuk tewasnya dua anggota laskar FPI lainnya tidak disebutkan secara khusus sebagai unlawful killing oleh Komnas HAM.

2. Tidak disebutnya pembunuhan terhadap dua anggota laskar tersebut sebagai unlawful killing adalah juga menimbulkan pertanyaan. Berarti pembunuhan tersebut telah dijustifikasi sebagai ‘lawful killing.’. alias pembunuhan yang beralasan. Hal ini menimbulkan persoalan terkait dengan due process of law dan fair criminal justice system. Karena dua korban yang sudah tewas tak dapat lagi memberikan kesaksian dan klarifikasi. Maka, yang hadir adalah kesaksian sepihak ala sang pembunuh yang kemudian diamini oleh Komnas HAM.

3. Sebenarnya, tanpa adanya laporan dari Komnas HAM pun, publik dapat menduga telah terjadi pelanggaran HAM dalam kasus tersebut. Karena, dalam insiden tersebut, keenam korban yang ditembak mati bukanlah berstatus sebagai tersangka, terdakwa, terpidana, atau pun sebagai target operasi dari kepolisian. Mereka sedang menjalankan tugas pengawalan terhadap Habib Rizieq Shihab (HRS). Bisa jadi gaya pengawalan yang mereka lakukan adalah bersifat khusus, namun, tindakan polisi (demikian keterangan Polda Metro Jaya) untuk menembak mati juga adalah suatu tindakan yang melanggar HAM dan melanggar hukum. Dapat disebut unlawful killing (pembunuhan yang tidak legal) dan extra judicial killing (pembunuhan secara melawan hukum). Apalagi, keterangan yang diberikan kepolisian adalah keterangan sepihak, dan bersumber hanya dari pihak yang melakukan pembunuhan. Keenam korban tak dapat dimintai konfirmasi karena mereka sudah tewas. Maka, pernyataan polisi bahwa tindakan tersebut adalah “tegas dan terukur” harus dibuktikan dan dipertanggungjawabkan.

UNLAWFUL KILLING DAN EXTRA-JUDICIAL KILLING

1. Istilah unlawful killing bermakna pembunuhan terhadap manusia dengan cara yang melawan hukum (the killing of a human being in a manner contrary to the law, as murder, manslaughter, etc.-lexico.com). Adapun istilah extrajudicial killing (atau istilah lain extrajudicial execution/extralegal killing) adalah pembunuhan yang dilakukan oleh aparat pemerintah yang bukan merupakan bentuk sanksi hukum, bukan bagian dari proses peradilan yang sah (the killing of a person by governmental authorities without the sanction of any judicial proceeding or legal process-VERA Files).

1. Sementara itu, pengertian lain dari extra-judicial killing adalah:1

1 Shrawat, Abhilasha, Extra-Judicial Killing and the Role of International Criminal Court (March 21, 2017). Available at SSRN: https://ssrn.com/ abstract=2938358 or http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.2938358

The literal meaning of Extra-judicial killing or the extrajudicial executions is the killing of persons by governmental authorities without the sanction any judicial proceedings or legal process. It is considered as one of the most unethical crimes against the humanity. Extra-judicial killing, just by reading the said sentence one thought bear in everyone mind that the killing which is outside the scope of the judicial mandates i.e. which is not sanctioned by the law, but the mass murder committed at the wake of curbing the crime by the growing powerful armed forces or any instituted Authority wherein they always get the hidden backing of the government lately have become the virulent virus where it seems that the there is no remedy to curb the said disease.

(Arti sebenarnya dari pembunuhan ekstra-yudisial atau eksekusi di luar hukum adalah pembunuhan orang oleh otoritas pemerintah tanpa sanksi proses peradilan atau proses hukum. Ini dianggap sebagai salah satu kejahatan paling tidak etis terhadap kemanusiaan. Pembunuhan ekstra-yudisial, hanya dengan membaca kalimat tersebut satu pemikiran perlu diingat setiap orang bahwa pembunuhan yang berada di luar ruang lingkup mandat peradilan yaitu yang tidak disetujui oleh undang-undang, tetapi pembunuhan massal yang dilakukan setelah penertiban kejahatan. oleh semakin kuatnya angkatan bersenjata atau Institusi Otoritas dimana mereka selalu mendapatkan dukungan tersembunyi dari pemerintah akhir-akhir ini telah menjadi virus yang ganas dimana tampaknya tidak ada obat untuk mengekang penyakit tersebut).

3. Abhilasha Shrawat selanjutnya mengatakan bahwa merupakan aturan umum bahwa pembunuhan oleh orang yang berwenang yaitu eksekutif hanya dapat dibenarkan dalam kasus perang, asalkan dilakukan dalam kerangka hak asasi manusia (baca: hukum humaniter), selain itu disebut pembunuhan. Kita semua tahu dan itu adalah doktrin dasar, bahwa bahkan penjahat-pun adalah manusia juga dan mereka juga memiliki hak asasi manusia yang melekat, yang tidak hanya disediakan oleh konstitusi semua Negara tetapi juga pilar Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mapan yang layak untuk semua manusia diperlakukan sebagai selaras dengan hak asasi manusia dan martabat kemanusiaan. Maka hak untuk hidup dan bebas dari penyiksaan (dan pembunuhan) adalah hak dasar yang harus diakui oleh semua Negara dan juga telah di rekognisi oleh PBB.

4. Satu kesamaan dari terminologi unlawful killing dan extra-judicial killing adalah pembunuhan yang terjadi adalah sama-sama melawan hukum, alias tidak mendapatkan mandat dan justifikasi dari hukum (dan juga bukan merupakan keputusan pengadian). Namun pada extra-judicial killing ada penekanan bahwa pelaku (atau terduga pelaku)-nya adalah aparat negara.

5. Sedangkan, pelanggaran HAM menurut definisi dari UU HAM No. 39 Tahun 1999 adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang- undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

6. Berdasarkan pengertian tersebut, paling tidak hak yang telah dilanggar oleh pihak kepolisian atau yang mengaku dari kepolisian adalah hak untuk hidup dan hak untuk bebas dari penyiksaan yang kejam dan penghilangan nyawa. Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menyebutkan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun.

7. Sementara itu Pasal 33 UU No. 39 Tahun 1999 menyebutkan bahwa: (1) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya. (2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.

8. Senada dengan UU No. 39 Tahun 1999, apabila kita merujuk pada Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) yang telah diratifikasi oleh UU No. 12 Tahun 2005, paling tidak ada beberapa hak yang dilanggar dalam insiden tersebut, antara lain: hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan, dan hak atas keamanan pribadi.

9. Pasal 6 dari ICCPR menyebutkan bahwa: Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No. one shall be arbitrarily deprived of his life.

(Setiap orang yang memiliki hak yang melekat untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorang-pun dapat diambil nyawanya dengan sewenang- wenang).

10. Kemudian Pasal 7 ICCPR menyebutkan bahwa: No. one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. In particular, no one shall be subjected without his free consent to medical or scientific experimentation (Tidak ada seorang pun dapat menjadi subyek penganiayaan, perlakuan dan penghukuman yang keji dan merendahkan kemanusiaan).

11. Pasal 9 dari ICCPR menyebutkan bahwa Everyone has the right to liberty and security of person. No. one shall be subjected to arbitrary arrest or detention. No. one shall be deprived of his liberty except on such grounds and in accordance with such procedure as are established by law (Setiap orang memiliki hak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak ada seorang pun dapat ditangkap dan ditahan dengan sewenang-wenang. Tidak ada seorang pun yang dapat dikurangi kemerdekaannya kecuali atas dasar yang sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku).

12. Maka, senada dengan temuan Komnas HAM, sudah pada tempatnya apabila unlawful killing yang dilakukan oknum aparat negara ini bisa dilanjutkan dengan proses hukum yang adil, imparsial, dan bebas dari intervensi kekuasaan terhadap para tersangka pelakunya. Keadilan harus ditegakkan, sehingga kita harus menolak untuk diarahkan dugaan kita bahwa yang melakukan pembunuhan terhadap enam orang pengawal HRS adalah polisi. Penyelidikan harus terbuka untuk kemungkinan adanya instansi lain yang juga terlibat sebagaimana telah diakui oleh Komnas HAM dalam laporannya. Cita dan citra negara hukum yang menempatkan rule of law (bukan rule of thumb) sebagai panglima harus dibuktikan. Para korban dan keluarganya juga mesti mendapatkan hak-haknya sebagai korban sesuai dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban (Tahun 2006 jo Tahun 2014) yang sudah berlaku di Indonesia.

PELANGGARAN HAM BERAT

1. Berbeda dengan rekomendasi Komnas HAM, temuan dan hasil analisis TP3 menyatakan bahwa unlawful killing yang terjadi pada 7 Desember 2020 pada enam pengawal HRS tersebut adalah tidak sekadar “Pelanggaran HAM” namun merupakan “Pelanggaran HAM berat” seperti yang dimaksud oleh UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pelanggaran HAM berat yang berpotensi terjadi pada kasus tersebut adalah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crime Against Humanity).

2. Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 menyebutkan bahwa

kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan; d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-

   

c

200

asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. penyiksaan;

.... dan seterusnya.

3. Penjelasan dari ‘secara langsung terhadap penduduk sipil’ (attack directed against any civilian population) ini dapat ditemukan pada pasal 7 dari Rome Statute 1998 (yang menjadi rujukan dari UU No. 26 Tahun 2000): Attack directed against any civilian population” means a course of conduct involving the multiple commission of acts referred to in paragraph 1 against any civilian population, pursuant to or in furtherance of a State or organizational policy to commit such attack;

4. Unsur-unsur umum kejahatan terhadap kemanusiaan adalah: 2

a. Salah satu perbuatan Setiap tindakan yang disebut dalam pasal 9 merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Tidak ada syarat yang mengatur jika lebih dari satu tindak pidana dilakukan misalnya pembunuhan dan perkosaan atau kombinasi dari tindak pidana itu (Keputusan kasus Akayesu, Case No. ICTR (International Criminal Tribunal for Rwanda) 96-4- T, Trial Chamber, September 2, 1998, para.676-678 menyebutkan bahwa pelaku didakwa karena melakukan pemerkosaan saja).

b. Yang dilakukan sebagai bagian dari serangan Tindakan harus dilakukan sebagai bagian dari serangan yang unsur- unsur adalah sebagai berikut:

• Serangan adalah tindakan baik secara sistematis atau meluas yang dilakukan secara berganda yang dihasilkan atau merupakan bagian dari kebijakan Penguasa atau Organisasi. Tindakan berganda berarti bukan tindakan tunggal atau terisolasi.

• Serangan baik secara meluas atau sistematis tidaklah semata-mata serangan militer seperti yang diatur dalam Hukum Humaniter Internasional (Pasal 49 para.1 Protokol Tambahan I Tahun 1977 dari Konvensi Jenewa 1949).

• Syarat terpenuhi jika penduduk sipil adalah objek utama dari serangan.

5. Meluas atau sistematis yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil- Syarat meluas atau sistematis adalah syarat yang fundamental untuk membedakan kejahatan ini dengan kejahatan umum lain yang bukan merupakan kejahatan internasional. Kata meluas menunjuk pada (jumlah korban, masif (berulang-ulang), tindakan dengan skala yang besar dilaksanakan secara kolektif dan berakibat yang serius (Case No. ICTR-96-4- T, September 2, 1998, para 580).

6. Istilah sistematis mencerminkan suatu pola atau

metode tertentu yang diorganisir secara menyeluruh

dan menggunakan pola yang tetap. Kata-kata meluas

atau sistematis tidak mensyaratkan bahwa setiap

kejahatan yang dilakukan harus selalu meluas atau i sistematis. Dengan kata lain jika terjadi pembunuhan, perkosaan dan penyiksaan, maka setiap kejahatan itu tidak perlu harus meluas atau sistematis, kesatuan tindakan-tindakan di atas sudah memenuhi unsur meluas atau sistematis. Unsur meluas (widespread) atau sistematis (systematic) tidak harus dibuktikan keduanya, kejahatan yang dilakukan dapat saja merupakan bagian dari serangan yang meluas semata atau sistematis saja, dan tidak harus dibuktikan keduanya.

7. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM maupun Statuta Roma 1998 tidak memberikan definisi mengenai arti meluas atau sistematis. Oleh karena itu, pengertian sistematis atau meluas tersebut perlu menggunakan yurisprudensi, antara lain dalam ICTY dan ICTR dan doktrin.

8. Berdasarkan yurisprudensi internasional sebagaimana tampak dalam putusan ICTR, dalam perkara Akayesu, yang mengartikan kata “meluas” sebagai “tindakan masif, berulang-ulang, dan berskala besar, yang dilakukan secara kolektif dengan dampak serius dan diarahkan terhadap sejumlah besar korban (multiplicity of victim)”. Sedangkan sistematis diartikan sebagai: diorganisasikan secara mendalam dan mengikuti pola tertentu yang terus menerus berdasarkan kebijakan yang melibatkan sumber daya publik atau privat yang substansial, meskipun kebijakan tersebut bukan merupakan kebijakan Negara secara formal. Rencana tidak harus dinyatakan secara tegas atau terang- terangan Indikator untuk menentukan terpenuhinya unsur “sistematis” dapat dilihat dari perencanaan operasional dengan membedakan:

• Mencapai tujuan legal dengan cara-cara legal

• Mencapai tujuan legal tapi dengan menggunakan cara-cara ilegal

• Mencapai tujuan ilegal

• Unsur-unsur setiap perbuatan yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

MEMENUHI KRITERIA SISTEMATIS

1. Pembunuhan enam pengawal HRS adalah suatu kejahatan terhadap kemanusiaan. Disebut sebagai suatu kejahatan terhadap kemanusiaan karena telah terpenuhi pengertian pada pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM: Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.

2. Unsur sistematis dan terstruktur dari peristiwa pembunuhan enam pengawal HRS ini dapat dibuktikan dari adanya suatu rangkaian Tindakan yang terstruktur dan terorganisir yang terjadi sebelum dan setelah peristiwa pembunuhan tersebut; antara lain (sebagaimana telah dijelaskan pada Bab II).

3. Operasi yang sistematis dapat dilihat dari berbagai bentuk operasi politik yang ditujukan kepada HRS, adalah berupa upaya kriminalisasi yang terus menerus, character assassination, dan penghancuran kredibilitas HRS melalui gaya operasi “memisahkan ikan dari air”, yaitu menjauhkan HRS dari umat Islam.

4. Secara kronologis, untuk dapat menggambarkan bahwa pembunuhan terhadap enam pengawal HRS tersebut adalah merupakan sebuah rangkaian OPERASI SISTEMATIS yang berkelanjutan, maka secara kasat mata operasi tersebut dapat kita bagi-bagi dalam tiga (3) periode, yaitu:

a. Periode Januari - April 2017;

b. Periode ketika HRS “menetap” sementara di Saudi Arabia, disebut periode “pengasingan politik, antara April 2017-November 2020;

c. Periode HRS tiba di Tanah Air, yaitu November 2020 hingga saat ini.

5. Sejak bulan November 2020 hingga saat buku ini ditulis, paling tidak telah terjadi rangkaian tindakan sebagai berikut:

Kriminalisasi HRS dengan menjadikan acara Maulud Nabi dan pernikahan putrinya sebagai kejahatan dengan ancaman pidana yang berat;

• Pembunuhan para pengawal HRS;

• Pembubaran FPI dan kriminalisasi para pengurusnya;

• Pemblokiran rekening FPI dan para mantan pengurusnya;

• Upaya pencabutan hak-hak politik HRS;

• Upaya pencabutan hak-hak keperdataan HRS di antaranya; mencabut hak sebagai bapak dan wali nasab, mencabut hak untuk menjadi pengurus organisasi atau yayasan, mencabut hak untuk menjalankan mata Pencarian tertentu;

• Perampasan barang dalam hal ini aset milik tertentu milik HRS;

• Operasi surveillance saat kepulangan HRS;

• Penuruan baliho FPI;

• Operasi media untuk cipta kondisi.

UNSUR UNLAWFUL KILLING DAN/ ATAU EXTRA JUDICIAL KILLING

1. Pembunuhan yang terjadi terhadap enam pengawal HRS adalah sudah jelas merupakan suatu Unlawful Killing dan/ atau Extra Judicial Killing; karena tidak ada mandat dan justifikasi apa pun dari para pembunuh (oknum aparat negara) untuk melakukan pembunuhan terhadap enam orang pengawal tersebut. Juga, keenam orang tersebut tidak berstatus sebagai DPO (Daftar Pencarian Orang), tersangka, terdakwa, buronan atau pun telah melakukan kejahatan apa pun.

2. Pasal yang dapat dikenakan terhadap para pembunuh adalah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 9 jo Pasal 37 UU No. 26 Tahun 2000 dan subsider adalah Pasal 340, 338 dan 351 dari KUHP.

3. Pasal 37 UU No. 26 Tahun 2000 berbunyi:

Pasal 37 Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, b, d, e, atau j dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.

Pasal 340 KUHP berbunyi:

Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

Pasal 338 KUHP berbunyi:

Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 351 KUHP berbunyi:

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah,

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

(4)Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.

(5)Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

UNSUR COMMAND RESPONSIBILITY (TANGGUNG JAWAB KOMANDO)

1. Pembunuhan enam pengawal HRS adalah suatu pelanggaran berat HAM dalam bentuk kejahatan kepada kemanusiaan karena di samping terdapat unsur serangan sistematis terhadap penduduk sipil, juga karena terdapat rantai komando dan tanggung jawab komando dari organisasi tertentu baik secara aktif (commission) ataupun pembiaran/pasif (omission).

2. Hal ini melanggar Pasal 42 Ayat (2) dari UU No. 26 Tahun 2000 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 42 (2)

(2) Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni:

a. Atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan

b. Atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang tidak diatur kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

(3) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diancam dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40.

KOMNAS HAM HANYA MELAKUKAN PEMANTAUAN BUKAN PENYELIDIKAN

1. Atas pembunuhan terhadap enam pengawal HRS, Komnas HAM menindak lanjutinya dengan melakukan serangkaian kegiatan yang oleh Komnas Ham diistilahkan dengan “pemantauan dan penyelidikan”. Dasar hukum yang dipilih oleh Komnas HAM atas kegiatannya tersebut adalah Pasal 89 ayat 3 Undang- undang No. 39 Tahun 1999. Namun ternyata istilah yang digunakan Komnas HAM tidak sesuai dengan nomenklatur yang diberikan oleh Pasal 89 ayat 3 Undang- undang No. 39 Tahun 1999. Istilah atau nomenklatur atas tugas dan wewenang Komnas HAM sebagaimana disebutkan oleh Pasal 89 ayat 3 UU No. 39 Tahun 1999 adalah “pemantauan” bukan penyelidikan.

2. Menurut ketentuan Pasal 89 ayat 3 UU No. 39 Tahun 1999, tugas dan kewenangan Komnas HAM dalam melakukan “pemantauan “ adalah sebagai berikut:

a. pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut;

b. penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terhadap pelanggaran hak asasi manusia;

c. pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai dan didengar keterangannya;

d. pemanggilan saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan;

e. peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu;

f. pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan;

g. pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan; dan

h. pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.

3. Memang dalam tugas dan wewenang yang ditentukan dalam pasal 89 ayat 3 di atas terdapat norma yang berbunyi “penyelidikan dan pemeriksaan “. Norma ini dirumuskan dengan kalimat “penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terhadap pelanggaran hak asasi manusia”. Sehingga sepertinya Komnas HAM mempunyai alasan untuk memperbolehkan dirinya menamakan kegiatannya dengan “pemantauan dan penyelidikan” karena terdapat kata “penyelidikan” pada pasal tersebut. Namun sebetulnya makna “penyelidikan” dalam pasal ini hanyalah dalam konteks melaksanakan pemantauan atas dugaan terjadinya pelanggaran HAM sebagaimana dengan jelas dinyatakan di akhir kalimat pada butir “b” pasal tersebut. Karena fungsi pemantauan hanyalah pada masalah pelanggaran HAM, itu pun hanya sebatas “dugaan”, maka tidak mungkin pemantauan yang dilakukan Komnas HAM, akan bisa menghasilkan kesimpulan terjadinya pelanggaran HAM berat.

Sehingga sejak awal memang Komnas HAM tidak berkehendak untuk menggunakan kewenangannya melakukan penyelidikan ke arah pelanggaran HAM berat.

4. Karena Komnas HAM menggunakan dasar Pasal 89 ayat 3 UU No. 39 Tahun 1999, maka Komnas HAM tidak mempunyai wewenang untuk melakukan penyelidikan sehingga segala aktivitasnya terbatas dan hanya dapat dianggap sebagai “pemantau” bukan “penyelidik”. Karena hanya sebagai pemantau, maka tidak bisa dibenarkan menamakan tim Komnas HAM sebagai tim penyelidik karena seharusnya cukup dinamakan sebagai tim pemantau.

5. Karena hanya sebagai Tim Pemantau, maka tim tersebut yang diketuai oleh M. Choirul Anam, sebenarnya tidak mempunyai wewenang untuk menyimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM, apalagi menyatakan bahwa telah terjadi “unlawful killing” yang merupakan ranah hukum pidana, dimana Komnas HAM sama sekali tidak mempunyai kompetensi absolut untuk menyatakannya.

6. Rekomendasi Komnas HAM yang mengharuskan untuk melanjutkan penegakan hukum dengan mekanisme pengadilan Pidana juga dinilai (oleh TP3) sebagai rekomendasi yang berlebihan. Karena dengan

a rekomendasi tersebut berarti Komnas HAM yang berpendapat bahwa kejadian pembunuhan terhadap para pengawal HRS adalah merupakan tindak pidana. Padahal untuk berpendapat seperti itu harus ada proses penyelidikan oleh penyelidik, dimana Komnas HAM adalah bukan penyelidik atas pelanggaran hukum pidana, sehingga TP3 menilai rekomendasi tersebut berada di luar kompetensinya.

7. Rekomendasi Komnas HAM yang mengharuskan penegakan hukum dengan mekanisme pengadilan Pidana juga dinilai (oleh TP3) sebagai upaya untuk mereduksi kejahatan yang bersifat pelanggaran HAM berat menjadi hanya pidana umum biasa. Lebih lanjut juga berarti mengandung maksud untuk mengalihkan atau menjauhkan dari kewajiban Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan atas dasar UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

8. Jika Komnas HAM menggunakan wewenangnya untuk melakukan penyelidikan atas dasar UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM maka hasil penyelidikannya hanya ada dua kemungkinan, yaitu “ada” atau “tidak ada” pelanggaran HAM berat. Tidak boleh ada kemungkinan lain yang bersifat setengah- setengah berupa pelanggaran HAM saja.

9. Kesimpulan Komnas HAM yang menyatakan terdapat indikasi adanya unlawful killing atas terbunuhnya

Pengawal HRS sebenarnya justru merupakan petunjuk jelas agar Komnas HAM menggunakan wewenang penyelidikan atas dasar UU No. 26 Tahun 2000. Karena tidak mungkin Komnas HAM dapat berkesimpulan seperti itu, jika hanya menggunakan wewenangnya sebagai pemantau atas dasar UU No. 39 Tahun 1999.

TIDAK DIBENARKAN TNI TERLIBAT DALAM PENEGAKAN HUKUM

TEMPO.CO, Jakarta - Pangdam Jaya Mayor Jenderal Dudung Abdurachman turut hadir dalam konferensi pers terkait penembakan 6 anggota Front Pembela Islam (FPI) oleh penyidik Kepolisian Daerah Metro Jaya. Dudung menyatakan dukungan kepada polisi yang telah mengambil tindakan tegas tersebut.

 1.

Gambar 5.1 Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurachman hadir dalam konferensi pers Polda Metro Jaya terkait penembakan enam pengawal HRS.

Berita Liputan6.com, tanggal 8 Desember 2020 pada jam 22.23, tertulis nama (wartawan) Yopi Makdori, menyampaikan berita dengan judul “Muhammadiyah Sayangkan Keterlibatan Pangdam Jaya di Konpers Penembakan FPI”. Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM, Busyro Muqoddas menyoroti keterlibatan Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman dalam konferensi pers (konpers) pengungkapan kasus yang menewaskan enam orang laskar. Diberitakan bahwa Busyro menyampaikan ;

“Menyayangkan keterlibatan Pangdam Jaya dalam proses penjelasan peristiwa kematian enam anggota FPI oleh pihak kepolisian,” Menurut Busyro, sebagai- mana dilaporkan oleh wartawan Yopi Makdiri, “hal itu menguatkan dugaan keterlibatan TNI dalam penanganan penyidikan tindak pidana. Sedangkan itu bukan tugas TNI”.

Sebagaimana diketahui, Mayjen TNI Dudung Abdurachman (Pangdam Jaya) turut hadir saat Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran menggelar jumpa pers terkait kematian enam pengawal HRS.

2. Atas pernyataan Muhammadiyah di atas, Panglima Daerah Militer Jakarta (Pangdam Jaya) melalui Kepala Penerangannya Letnan Kolonel Arh Herwin B.S, mem- berikan tanggapan , sebagaimana diberitakan oleh detik.com pada hari Selasa, 08 Desember 2020 20:09 WIB. Secara lengkap tanggapan Pangdam Jaya melalui Kepala Penerangannya (Kapendam Jaya) adalah sebagai berikut;

Kapendam Jaya mengatakan bahwa pernyataan pers dalam poin 8, yang disampaikan oleh Bapak Dr. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum tentang dugaan TNI turut diperankan dalam penanganan penyidikan tindak kejahatan adalah tidak benar, TNI dalam hal ini Kodam Jaya memang tidak pernah diturut sertakan atau dilibatkan dalam proses penyidikan tindak kejahatan sipil yang terjadi di masyarakat, karena sesuai Pasal 1 angka 1 KUHAP, Penyidik adalah Pejabat Polisi RI dan Pejabat PNS tertentu sesuai UU.

Selanjutnya kehadiran Pangdam Jaya di Polda Metro Jaya, adalah sesuai dengan Tupok TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan memiliki tugas yang harus diemban, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI pasal 7 ayat (1), tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.

Dan Sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) huruf “b” angka “10”, tugas pokok TNI adalah Operasi Militer Selain Perang, yakni membantu Kepolisian Negara RI dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam Undang-undang, jelasnya.

Jadi kapasitas Pangdam Jaya saat hadir dalam konferensi pers yang disampaikan oleh Kapolda Metro Jaya tentang peristiwa baku tembak personel Polisi dengan Laskar FPI di Jalan Tol Kerawang KM 50 yang mengakibatkan 6 anggota Laskar FPI meninggal dunia, yaitu untuk melihat dan memberikan dukungan penuh kepada Polda Metro Jaya dalam penegakan hukum terhadap adanya aksi melawan hukum yang dilakukan oleh oknum FPI yang mana dalam aksinya membawa senjata tajam dan senjata api ilegal saat melakukan pengawalan dan pengamanan MRS.

Dalam hal ini kehadiran Pangdam Jaya untuk tetap membantu Polda Metro Jaya, guna mengantisipasi terjadinya eskalasi gangguan keamanan dan ketertiban di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya, pungkas Kapendam Jaya.

3. Bantahan Pangdam Jaya di atas justru makin mene- guhkan keterlibatan TNI sebagaimana dapat dibaca pada kalimat terakhir yang mengatakan kehadiran “Pangdam Jaya” adalah untuk “tetap membantu Polda Metro Jaya” mengantisipasi terjadinya eskalasi gangguan keamanan dan ketertiban. Pangdam Jaya hanya hadir dalam konferensi pers di halaman Markas Polda Metro Jaya, yang saat itu jelas sedang tidak ada gangguan keamanan dan ketertiban yang harus diantisipasi oleh TNI.

4. Pasal 7 ayat (2) huruf “b” angka “10”, Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004, sebagaimana dikutip oleh Kapendam Jaya hanya berisi norma yakni membantu Kepolisian Negara RI dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat. Hal ini tidak berarti harus hadir dalam konferensi pers yang diselenggarakan oleh Kepolisian jika konferensi pers tersebut adalah dalam rangka penegakan hukum.

5. Pernyataan Kapendam Jaya diatas juga menegaskan keterlibatannya TNI (Pangdam Jaya) ketika menyata- kan bahwa kapasitas Pangdam Jaya adalah membe- rikan; “dukungan penuh kepada Polda Metro Jaya da- lam penegakan hukum terhadap adanya aksi melawan hukum yang dilakukan oleh oknum FPI yang mana dalam aksinya membawa senjata tajam dan senjata api ilegal saat melakukan pengawalan dan pengamanan MRS”

Pertanyaan dan pendapat hukum TP3 perihal pernyataan Kapendam Jaya tersebut adalah sebagai berikut:

a) Apakah berarti Pangdam Jaya selalu harus hadir pada setiap konferensi pers yang diselenggarakan oleh Polda Metro Jaya. Kalau tidak selalu, atau kalau konferensi pers tersebut adalah pertama kalinya TNI hadir dalam penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian maka TNI harus menjelaskan mengapa untuk kasus pembunuhan ini harus hadir?

(Jawaban atas pertanyaan ini tidak tersedia dalam pernyataannya Kapendam Jaya di atas).

b) Dalam pernyataan Kapendam Jaya sudah langsung menghakimi dengan menyatakan pendapatnya bahwa telah terjadi “aksi melawan hukum yang dilakukan oleh oknum FPI yang mana dalam aksinya membawa senjata tajam dan senjata api ilegal” . Artinya di sini pihak TNI tidak imparsial karena sudah menunjukkan keberpihakannya dengan mengatakan bahwa yang melawan hukum adalah oknum FPI bukan polisi atau pembunuhnya.

OPERASI PENURUNAN BALIHO HABIB RIZIEQ SHIHAB OLEH TNI

1. Sebelum peristiwa pembunuhan terhadap Pengawal HRS sempat terjadi aksi penurunan baliho-baliho bergambar HRS di Jakarta sebagai bentuk pesan dakwah atau kampanye tertentu oleh para pendukungnya. Republika Online pada tanggal 21 November 2020, jam 03.13 menurunkan berita ;

Petugas gabungan, TNI, Polri, dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) menertibkan sejumlah baliho dan spanduk tak berizin di Ibu Kota. Salah satu baliho yang ditertibkan berada di Petamburan, yakni baliho penyambutan Imam Besar Front Pembela Islam Muhammad Rizieq Shihab.

 Gambar 5.2 Sejumlah aparat TNI AD mencopot baliho penyambutan HRS di kawasan Petamburan, Tanah Abang, Jakarta.

Video konvoi dan penurunan baliho Rizieq Shihab oleh TNI sempat viral di media sosial. Dandim 05/01 JP BS Kolonel Inf Luqman Arief mengakui pihaknya menurunkan sekitar 500 personel dalam penertiban ini. “Ini bagian dari kegiatan tiga pilar sebagai patroli pengamanan dan kami juga melakukan pelepasan baliho-baliho yang terpasang tidak sesuai aturan,” kata Luqman Arief, Jumat (20/11).

Beberapa kendaraan taktis yang diturunkan dalam peng- amanan di wilayah Jakarta Pusat itu adalah empat panser anoa serta puluhan motor yang dikendarai petugas TNI dan Brimob Polri. Pembersihan baliho tak berizin itu didukung Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurachman.

Bahkan, Dudung mengakui pihaknya memang memerin- tahkan penurunan baliho Rizieq Shihab di wilayah DKI Jakarta. Perintah diberikan setelah sebelumnya sudah ada upaya penertiban baliho oleh Satpol PP tapi baliho-baliho itu kembali dibentangkan.

 Gambar 5.3 Kendaraan taktis TNI untuk patroli pengamanan dan pencabutan baliho-baliho, Jumat (20/11/2020).

2. Tempo.Co, wartawan Egi Adyatama , pada Minggu, 22 November 2020 16:24 WIB menurunkan berita dengan judul “ Penurunan Baliho Rizieq Shihab oleh TNI, Sikap Negara Dinilai Berperan Besar” . Berita selengkapnya adalah sebagai berikut:

TEMPO.CO, Jakarta - Keterlibatan TNI dalam penurunan baliho dukungan untuk Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab, dinilai tak mungkin murni inisiatif dari institusi pertahanan negara tersebut. Kebijakan dan keputusan politik negara, disebut menjadi faktor yang menjadi dasar tindakan itu.

Co-founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mengatakan bahwa satu-satunya pintu masuk TNI dalam penurunan baliho, adalah melalui Operasi Militer Selain Perang (OMSP) khususnya pada Pasal 7 ayat (2) angka 9 dan 10 UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.

“Tapi lihat ketentuan berikutnya di ayat (3), di situ jelas disebutkan bahwa OMSP dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Penekanan soal politik negara ini juga berulang kali disebutkan sebelumnya,” kata Khairul saat dihubungi Tempo, Ahad, 22 November 2020.

Meski begitu, Khairul masih mempertanyakan sejauh mana urusan FPI dan Rizieq Shihab ini sudah memiliki kebijakan dan keputusan politik negara. Sejauh ini, pernyataan keberadaan baliho yang berpotensi memecah bangsa, baru datang dari Panglima Daerah Militer Jayakarta alias Pangdam Jaya, Mayor Jenderal Dudung Abdurachman.

Bahkan Dudung mengancam akan membubarkan FPI jika memang mengganggu persatuan dan kesatuan. Klaim FPI yang merasa mewakili umat Islam, kata Dudung, bukan jadi alasan mereka bisa berbuat sewenang-wenang.

Khairul mengatakan pernyataan Pangdam Jaya tersebut mengesankan nuansa TNI masa lalu, yang arogan, menakut-nakuti, dan menunjukkan lembaga-lembaga lain lemah. Ia pun mengatakan selalu ada pintu masuk bagi TNI untuk ikut terlibat dalam urusan penyelenggaraan negara. Namun yang harus jadi landasan dalam keterlibatan tersebut adalah politik negara.

“Sepanjang ada kebijakan dan keputusan politik negara yang mendasarinya, ya itu aman bagi TNI,” kata Khairul.

Namun, jika belum ada kebijakan dan keputusan politik negara, Khairul mengatakan dapat disimpulkan bahwa TNI dalam hal ini telah melampaui mandatnya.

“Dukungan lisan Polri maupun Pemprov DKI sekalipun, tentu tak bisa digunakan sebagai klaim bahwa TNI telah bertindak sesuai mandat,” kata dia.

3. Operasi penurunan baliho tersebut, apalagi dilakukan oleh aparat TNI, jelas merupakan bagian dari rencana yang sistematis dalam rangka untuk menghabisi HRS. Sebab tidak mungkin mengerahkan TNI hanya untuk menurunkan baliho bergambar HRS. Buktinya hanya baliho bergambar HRS saja yang diturunkan dengan cara pengerahan pasukan bersenjata, siap tempur, dan bahkan siap membunuh. Dengan demikian, operasi penurunan baliho HRS jelas bukan dalam rangka penegakan hukum namun dalam rangka mengikuti komando berdasarkan rencana yang sistematis untuk menghabisi HRS.

Sebab, jika dalam rangka penegakan hukum atau dalam rangka penertiban karena tidak memiliki izin atau karena tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku perihal itu, tentu bukan TNI yang menindak namun Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Sebab, segala bentuk spanduk atau umbul-umbul termasuk baliho, yang dipasang di Daerah Khusus Ibukota Jakarta mempunyai aturan tersendiri. Yaitu aturan yang tertuang dalam Perda Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pajak Reklame. Sedangkan untuk penertiban spanduk atau baliho ditegakkan dengan Perda Nomor 9 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Sehingga TP 3 berpendapat karena masalahnya hanyalah soal pelanggaran atas Perda, maka yang boleh menindak adalah Satpol PP. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 221 Tahun 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Nomor 8 Tahun 2007 dimana ditentukan bahwa Satpol PP merupakan penanggung jawab utama pembinaan, pengendalian, dan pengawasan penyelenggaraan ketertiban umum, termasuk pencopotan spanduk dan baliho yang dipasang menyalahi aturan.

4. Memang betul dalam menjalankan tugasnya Satpol PP dapat bekerja sama dengan instansi pemerintah, yang dalam pasal 5 ayat 2 dari Pergub di atas termasuk dapat dibantu oleh Polda Metro Jaya, Kodam Jaya, Komando Garnisun Ibu kota, Kejaksaan dan Pengadilan. Namun kerjasama ini harus diartikan atas hanya permintaan Satpol PP bukan atas inisiatif dan kehendak dari instansi tersebut, sebagaimana dinyatakan oleh Pangdam Jaya. Sebab Pasal 5 ayat 1 dari Pergub tersebut berbunyi;

Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimak- sud dalam Pasal 4 ayat (1), Sat Pol PP sebagai penanggung jawab utama pembinaan, pengendalian dan pengawasan penyelenggaraan ketertiban umum dapat berkoordinasi atau bekerja sama dengan instansi pemerintah.

Ini artinya kewenangan menertibkan baliho tetap ada pada Satpol PP, bukan TNI maupun Polda Metro Jaya. Sekalipun bekerja sama dengan Polda Metro Jaya maupun dengan TNI penanggung jawab utama tetap ada pada Satpol PP. Faktanya yang terjadi bukan kerja sama namun pengambilalihan wewenang Satpol PP.

KETERLIBATAN KOMANDO OPERASI KHUSUS TENTARA NASIONAL INDONESIA (KOOPSUS TNI)

1. Narasumber TP3 mengatakan telah menyaksikan kendaraan taktis milik pasukan elite Komando Operasi Pasukan Khusus (Koopsus) TNI di dekat markas FPI, Jalan Petamburan, Jakarta Pusat. Narasumber ini mengatakan bahwa yang melakukan penurunan baliho adalah Koopsus. Karena dia melihat bahwa pada mobil patroli terdapat tulisan “Komando Operasi Khusus”.

 Gambar 5.4 Kendaraan bertuliskan Koopsus TNI melintasi Kawasan Petamburan, dekat markas DPP FPI.

2. Komando Operasi Khusus Tentara Nasional Indonesia (Koopsus TNI) adalah satuan khusus di TNI yang dibentuk dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 42 Tahun 2019 , ditanda tangani Presiden Joko Widodo pada tanggal 3 Juli 2019. Menurut Perpres ini Koopsus TNI bertugas menyelenggarakan operasi khusus dan kegiatan untuk mendukung pelaksanaan operasi khusus yang membutuhkan kecepatan dan keberhasilan tinggi guna menyelamatkan kepentingan nasional di dalam maupun di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mendukung tugas pok TNI. Koopsus TNI dipimpin oleh Komandan Koopsus TNI bertanggung jawab kepada Panglima TNI. Koopsus TNI diresmikan oleh Panglima TNI Marsekal Hadi Thahjanto pada tanggal 30 Juli 2019.

3. Koopsus TNI merupakan salah satu unit komando

p

pasukan elite TNI yang merupakan bagian dari Badan

Pelaksana Pusat (Balakpus) yang secara struktural komando langsung di bawah Panglima TNI, sehingga Pasukan khusus dari tiga matra yaitu matra darat, matra laut dan matra udara stand by di Mabes TNI dan sewaktu-waktu bisa digunakan oleh Panglima TNI atas perintah Presiden RI. Sedangkan tugas dari Koopsus TNI adalah mengatasi aksi terorisme, baik dalam maupun luar negeri yang mengancam ideologi kedaulatan, keutuhan dan keselamatan segenap bangsa Indonesia. Komandan Koopsus saat ini Mayor Jenderal Richard Horja Taruli Tampubolon, S.H., M.M3.

4. Dari Tempo.Co 4, TP3 memperoleh informasi sebagai berikut tentang Koopsus TNI:

a)“Pemerintah memandang perlu membentuk Komando Operasi Khusus Tentara Nasional Indonesia (Koopsus TNI) dari matra darat, laut, dan udara yang bercirikan kemampuan khusus dengan tingkat kecepatan gerak dan keberhasilan tinggi,”

b) Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sis- riadi mengatakan tujuan pembentukan Koopsus ini guna meningkatkan efektivitas TNI dalam me- respons operasi khusus. Sebelumnya proses pelak- sanaan operasi khusus ini, Mabes TNI perlu terlebih dahulu meminta pasukan kepada masing-masing

3 WikipediaIndonesia

4 Mengenal Koopsus TNI, Pasukan Khusus Gabungan 3 Matra, Reporter Fajar

Pebrianto, Selasa 30 Juli 2019, jam 06:

matra. Padahal, angkatan tidak selalu siap untuk tugas ini. Dengan Koopsus, “(Akan) meningkatkan efektivitas pengendalian khusus gabungan, bukan per angkatan,”

c) Koopsusmerupakanbagiandaribadanpelaksanapu- sat, yang setara dengan unit seperti Pasukan Pemukul Reaksi Cepat maupun Komando Garnisum Tetap.

d) Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sisriadi mengatakan Koopsus TNI dibentuk setelah beberapa kali melakukan operasi khusus gabungan kesatuan khusus tiga matra TNI, seperti operasi di Somalia. “Dari hasil evaluasi, maka kami perlu semacam komando pengendali dalam operasi khusus,”

e) Markas komando Koopsus bersifat permanen. Pasukannya dirotasi dari masing-masing pasukan elite tiap matra, Kopasus, Koopsus, dan Kopaskhas. TNI masih menggodok lama masa tugas di Koopsus. “Pasukan yang akan diambil adalah mereka yang tengah dalam fase penggunaan.”

f) Tiga siklus pembinaan dilakukan oleh masing-ma- sing satuan adalah penyiapan, penggunaan, dan konsolidasi. Pasukan dalam Koopsus pada fase peng- gunaan ini yang akan disertakan dalam Koopsus. “Kalau ada operasi baru dikerahkan, tapi kalau nggak ada operasi, siap-siap saja, kerjanya latihan tempur ", ujar Sisriadi. 

5. Mantan Panglima Kodam Jayakarta Tahun 1996 Sutiyoso, juga berpendapat bahwa pengerahan Koopsus TNI untuk menurunkan baliho-baliho HRS /FPI adalah tindakan yang berlebihan. Menurut Sutiyoso5, pemerintah turut mengerahkan pasukan serta kendaraan taktis Komando Operasi Khusus atau Koopsus ke Markas FPI, Petamburan, Jakarta Pusat.

6 Dengan memperhatikan alasan pembentukan, kom- posisi satuan, kompetensi dan fungsi Koopsus TNI, TP3 memandang bahwa mobilisasi Koopsus TNI pada peristiwa penurunan baliho HRS/FPI membuktikan adanya rencana terstruktur dan sistimatis yang meli- batkan berbagai aparat pemerintah untuk melakukan penumpasan pada HRS dan/atau FPI. Adanya bukti ke- terlibatan Koopsus TNI ini, yang memang merupakan pasukan perang dengan legitimasi untuk menghilang- kan nyawa, maka berarti Pemerintah memandang HRS dan atau anggota FPI sebagai musuh dalam peperangan yang boleh dihabisi.

HUKUM PEMBUKTIAN PADA PERISTIWA PEMBUNUHAN 6 (ENAM) PENGAWAL HRS

1. Dari narasumber TP3 memperoleh fotokopi bukti lapo- ran pidana. Pada bukti laporan ini tertulis pelapor ber-

5 TNI Turun Tangan Tertibkan Baliho FPI, Sutiyoso: Jangan Berlebihan,

Kabar24.bisnis.com, Nyoman Ary Wahyudi, 23 November 2020/19:5


nama Fikri Ramadhan, Pangkat /NRP Briptu / 94030, dari Kesatuan Unit 5 Subdit 3 Reskrimun PMJ, tanggal laporan 07 Desember 2020. Pelapor juga menyebutkan adanya dua saksi bernama Bripka Adi Ismanto dan Bripka Faisal Khasbi Aleya. Yang tidak lazim adalah pel- apor melaporkan bahwa pelaku tindak pidana adalah semua pengawal HRS yang sudah meninggal dengan menggunakan nomenklatur “Terlapor”, yaitu Faiz Ah- mad Syukur, Andi Oktiawan, M.Reza , Muhammad Suci Khadavi Poetra, Luthfil Hakim dan Akhmad Sofian.

   Identitas Pelapor dan saksi

   Terlapor (sudah meninggal)

         

2. Pada uraian singkat laporannya Fikri Ramadhan di atas, Fikri menggunakan istilah “petugas”, namun tidak jelas siapakah yang dimaksud “petugas”. Apakah “pelapor dan saksi” termasuk dalam pengertian “petugas” ? atau, adakah yang lain atau pihak lain di luar PMJ (Polda Metro Jaya). Yang jelas melalui uraian singkat tersebut pelapor melaporkan bahwa pelaku kejahatan adalah Terlapor. Sementara itu kita ketahui bahwa semua nama-nama Terlapor telah meninggal dunia . 

Dengan kata lain, menurut Pelapor korban kejahatan adalah , yang pelapor istilahkan dengan “petugas” (quod non) sedangkan pelaku kejahatan adalah “Terlapor yang semuanya sudah meninggal dunia” , yang telah dibunuh oleh “Petugas” (quod non) . Dengan demikian pendapat hukum TP3 perihal ini adalah , tidak perlu dibuat laporan telah terjadi tindak pidana, karena Terlapor sudah meninggal semuanya, karena tidak mungkin lagi bisa dijadikan tersangka. Yang justru perlu dilakukan oleh yang mengaku “petugas” adalah laporan pelaksanaan tugas atau berita acara pelaksanaan tugas.

3. Jika para penguntit atau yang mengaku petugas telah melakukan pembunuhan terhadap enam pengawal HRS dengan alasan karena terpaksa atau terdesak atau karena bela diri, maka para pembunuh ini berkewajiban untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya itu kepada publik. Jadi beban pembuktian (burden of proof) atau yang mempunyai kewajiban untuk membuktikan bahwa pembunuhan yang dilakukannya adalah karena membela diri ada pada pihak pembunuh. Menyebarluaskan kesan bahwa pembunuhlah yang menjadi korban adalah absurd. Sebab yang sudah meninggal tidak mungkin bisa diberikan beban untuk membuktikan.

 Gambar 5.5 Gambar sketsa tentang logika hukum “dagelan” berkaitan dengan pelaku dan korban pembunuhan.

PEMBUKTIAN PENGGUNAAN DAN KEPEMILIKAN SENJATA API

1. Para pembunuh atas enam pengawal HRS menuduh bahwa yang lebih dahulu menyerang dan melakukan penembakan adalah korban. Para pembunuh tersebut juga menuduh bahwa para pengawal HRS memiliki senjata api dan senjata tajam, serta di antara mereka sempat berupaya merebut senjata api yang ada pada kekuasaannya salah satu di antara pembunuh.

2. Pada dasarnya menurut KUHAP (Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana) di Indonesia, maka beban pembuktian ada pada pihak yang menuduh. Hal ini tersirat dalam Pasal 66 KUHAP (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981) bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Atas dasar pasal ini maka beban pembuktian terletak pada Jaksa Penuntut Umum. Karena Jaksa Penuntut Umum adalah pihak yang diberikan kewajiban untuk menuduh atau membuat surat dakwaan, maka beban pembuktian berdasarkan KUHAP ada pada pihak yang menuduh. Karena para pembunuh dan Polda Metro Jaya adalah pihak yang menyebar luaskan tuduhan bahwa para pengawal HRS memiliki dan menggunakan senjata api, dan seterusnya, maka adalah kewajiban mereka untuk membuktikan tuduhannya itu.

3. Selain asas tersebut dalam KUHAP, juga terdapat asas lain yang dalam bahasa latin disebut In genere quicungue aliquid dicit, sive actor sive reus, necesse est ut probat, yang berarti siapa pun yang membuat tuduhan, harus membuktikannya. Demikian juga menurut hukum Islam, bagi yang menuduh wajib membawa bukti (Hadits Rasulullah SAW):

   

ََََُِّ ُ􏰃 ََََََََُْْْ ...اكينة ﻟﺒ المد ِﻋﻲ، وا􏰂 ِمﻴﻦ ﻟﺒ من أنكر

...bukti itu harus ditegakkan oleh orang yang menuntut dan sumpah itu wajib diberikan oleh orang yang mengingkari (tuduhan). (HR. Al-Baihaqi)

4. Untuk membuktikan tuduhannya bahwa para pengawal HRS telah melakukan serangan dan telah menggunakan senjata api, maka para pembunuh dan atau Polda Metro Jaya harus membuktikan dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 184 KUHAP. TP3 berpendapat bahwa para pembunuh dan atau Polda Metro Jaya tidak akan bisa membuktikan, meskipun hanya bukti awal yang minimalis sekali pun.

5. Untuk bukti saksi yang mereka miliki hanyalah saksi sesama pembunuh, sehingga sama sekali tidak memiliki kredibilitas. Mengenai barang bukti, juga tidak kredibel karena tidak diperoleh secara sah, tidak ada proses penyitaan, dan tidak ada identifikasi sidik jari. Sehingga keterangan ahli tidak mungkin bisa memberikan kepastian bahwa para pengawal HRS pernah menguasai dan mempergunakan senjata api. Bukti dari keterangan terdakwa juga tidak mungkin diperoleh karena semua pengawal HRS sudah tewas sehingga tidak bisa dijadikan terdakwa. Alhasil, tuduhan bahwa enam pengawal HRS menggunakan senjata api, melakukan serangan, berupaya merebut senjata api hanyalah pernyataan sepihak dari penuduh (para pembunuh dan atau Polda Metro Jaya). 

Dengan demikian, tidak mungkin mereka (para pembunuh dan/ atau Polda Metro Jaya) bisa membuktikan bahwa enam almarhum pengawal HRS telah melakukan serangan dengan menggunakan senjata api maupun senjata tajam, maupun mereka pernah mencoba merebut senjatanya pembunuh. Apalagi terdapat fakta bahwa petugas memerintahkan agar para saksi menghapus rekaman di handphone dan tindakan lain yang tidak melakukan pengamanan atas TKP namun malah melakukan perubahan atas TKP dengan mengangkut jenazah korban pembunuhan segera setelah korban tewas serta menghilangkan kios-kios di TKP KM 50.

6. Jika untuk memperoleh bukti awal saja para pembunuh dan/atau Polda Metro Jaya tidak mungkin bisa memperolehnya, maka makin tidak mungkin mereka bisa memperoleh bukti lanjutan. Sebagaimana telah sama-sama kita ketahui, untuk bisa menuduh atau membuktikan secara sah dan meyakinkan bahwa enam almarhum pengawal HRS telah melakukan serangan dengan menggunakan senjata api, senjata tajam, maupun tuduhan bahwa salah satu dari almarhum pernah mencoba merebut senjatanya pembunuh, maka keenam almarhum tersebut harus disidangkan di sidang pengadilan pidana, dimana hal itu tidak mungkin bisa dilaksanakan. TP3 berpendapat, bahwa karena penuduh (pembunuh dan atau Polda Metro jaya) tidak mungkin dapat membuktikan kesalahan korban maka para pembunuhlah yang harus disidangkan dengan tuduhan pembunuhan secara tidak sah (unlawful killing), yang dilakukannya karena mengikuti perintah dan sistem yang diberlakukan kepadanya.

TANGGUNG JAWAB HUKUM BAGI PETUGAS

1. Jika yang melakukan pembunuhan terhadap enam pengawalHRSadalahpetugasdanpetugasyangdimaksud adalah polisi dan atau instansi pemerintah yang lain, dan pembelaannya atas pembunuhan yang dilakukan adalah karena membela diri atau karena melaksanakan tugas, maka para petugas dimaksud mempunyai tanggung jawab hukum untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang alasannya itu. TP 3 berpendapat, satu-satunya forum untuk mempertanggungjawabkan secara hukum pembunuhan tersebut adalah Pengadilan HAM atas dasar Undang-undang No. 26 Tahun 2000.

2. TP3 berpendapat bahwa hal-hal yang harus dipertanggung jawabkan secara hukum oleh yang mengaku sebagai petugas (atau para pembunuh) adalah hal-hal sebagai berikut

A. Jika para Petugas adalah anggota POLRI, harus bisa membuktikan bahwa pembunuhan yang dilakukan adalah sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009.

Dengan demikian para petugas ini harus membuktikan:

a. Apakah pembunuhan yang dilakukan telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, apakah pembunuhan memang perlu dilakukan (asas Necessitas), apakah pembunuhan memenuhi asas proporsionalitas (dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dengan pembunuhan yang dilakukan), apakah betul pembunuhan dilakukan untuk menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat, apakah betul sebelumnya telah mengutamakan pencegahan (asas Preventif), dan apakah pembunuhan yang dilakukan masuk akal (petugas betul-betul dalam posisi hendak dibunuh maka harus membunuh).

b. Apakah betul terjadi penyerangan dan atau perlawanan, apakah betul tindakan yang lebih lunak sudah tidak efektif lagi (misalnya cukup menodongkan atau diborgol), apakah betul telah berada pada situasi jika tidak dibunuh maka Petugas yang akan terbunuh (kill or to be killed situation)

c. Terkait dengan penggunaan Senjata Api oleh Polisi, maka polisi wajib membuat penjelasan secara terperinci tentang penggunaan senjata api (Pasal 49 ayat 2 Perkap No. 8/2009), apakah hal ini telah dibuat dan diuji kebenarannya?

d. Mengapa sejak keberangkatan untuk tugas penguntitan dibekali dengan peluru tajam? Apakah sejak awal telah mengantisipasi akan terjadi pembunuhan? Siapa yang terlibat dalam penugasan penguntitan dan bagaimana surat tugas yang diberikan, siapa yang memberikan surat tugas tersebut?

B. Jika para Petugas adalah anggota TNI, harus bisa dibuktikan bahwa pembunuhan yang dilakukannya adalah karena menjalankan fungsinya sebagai TNI sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 UU No. 34 Tahun 2004.

Dengan demikian para petugas ini harus membuktikan:

a) Jika tugas yang dilakukannya adalah dalam rang- ka operasi militer, maka harus dibuktikan bahwa tugas yang dijalankan adalah dalam rangka pe- rang melawan rombongan HRS dan khususnya perang melawan 6 (enam) Pengawalnya yang di- bunuh karena merupakan ancaman militer dan ancaman bersenjata terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa. Juga harus dibuktikan bahwa pembunuhan yang dilakukan merupakan tindakan untuk memulihkan kea- manan negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan yang diakibatkan oleh kehadiran rom- bongan HRS

b) Jika tugas yang dilakukannya adalah dalam rangka operasi militer selain perang (OMSP) maka harus dibuktikan bahwa pembunuhan terpaksa dilakukan karena rombongan HRS dan khususnya enam Pengawalnya yang dibunuh memenuhi kriteria dari salah satu atau beberapa tersebut dari 14 butir keadaan yang ditentukan dalam pasal 7 ayat 2 huruf “b” UU No. 34 Tahun 2004.

PENYELESAIAN YANG BERKEADILAN MELALUI PENGADILAN HAM

1. Pengadilan HAM menurut Undang-Undang No. 26 Ta- hun 2000 dalam kasus terbunuhnya enam pengawal HRS berarti melakukan keseluruhan proses penyele- saian perkara pembunuhan tersebut sebagai pelang- garan HAM berat. Pengadilan HAM ini merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradil- an Umum. Proses penyelesaiannya terdiri dari proses sebagai berikut:

a. Penyelidikan

b. Penyidikan

c. Penuntutan

d. Pemeriksaan Sidang Pengadilan dan

e. Pelaksanaan Putusan Pengadilan

2. Berdasarkan ketentuan Pasal 10 dari UU No. 26 Tahun 2000, maka Hukum Acara yang berlaku pada peradi- lan tersebut adalah UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP), ke- cuali terdapat ketentuan lain dalam UU No. 26 Tahun 2000 tersebut yang mengatur secara berbeda maka pengecualian itulah yang berlaku. Contoh ketentuan yang berbeda adalah mengenai orang yang dapat di- periksa dan diadili. Pada umumnya KUHAP hanya diberlakukan pada tindak pidana yang tersangkanya adalah warga sipil namun dalam UU No. 26 Tahun 2000 terdapat pengaturan yang berbeda. Sebagaima- na ditentukan pada pasal 1.4 , kata setiap orang yang dimaksud oleh Undang-undang ini adalah orang per- seorangan, kelompok orang, baik sipil, militer, mau- pun polisi yang bertanggung jawab secara individual.

3. Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat 1 UU No. 26 Tahun 2000, penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat (HAM berat) dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Penyelidikan dalam konteks ini adalah tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran HAM yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan. TP3 berpendapat bahwa penyelidikan ini belum pernah dilaksanakan oleh Komnas HAM karena Komnas HAM belum pernah memberitahukan dimulainya penyelidikan pelanggaran HAM berat kepada Jaksa Agung , yang menurut UU No. 26 Tahun 2000 ditentukan sebagai Penyidik.

4. Ketika TP3 bertemu dengan Presiden RI, Joko Widodo, di Istana Merdeka pada tanggal 9 Maret 2021, yang dalam pertemuan tersebut presiden didampingi oleh Menkopulhukam dan Mensesneg Pratikno, presiden mempersilahkan TP3 untuk memberi masukan kepada Pemerintah sehubungan penanganan kasus dibunuhnya enam penduduk sipil oleh aparat pemerintah. Presiden menjamin bahwa selama ini Pemerintah bersikap transparan. Atas jaminan sikap Pemerintah yang menurut Presiden “transparan” itulah, maka TP3 merujuk pada Pasal 18 ayat 2 UU No. 26 Tahun 2000 agar arti “transparan” mempunyai makna praktis.

5. Pasal 18 ayat 2 UU No. 26 Tahun 2000 menentukan bahwa Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan dapat membentuk tim Ad Hoc yang terdiri dari unsur Komnas HAM dan unsur masyarakat. Jika Komnas HAM memang serius ingin menangani kasus pembunuhan di KM 50 ini secara adil dan transparan sesuai anjuran Presiden, maka tentu bersedia membentuk tim Ad Hoc dengan melibatkan TP3. Tidak harus TP3, siapa saja yang kita semua bisa menilai secara obyektif sebagai lembaga yang independen HAM yang terakreditasi seperti Amnesti Internasional.

6. TP3 berpendapat bahwa, hanya jika Komnas HAM bersedia membentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan sesuai dengan tersebut pada butir 5 di atas maka kata “transparan” dapat dimaknai sebagai sikap yang terbuka dan tidak terkandung maksud untuk menutupi atau melindungi pelanggar HAM berat. TP3 berpendapat hanya dengan metode keterlibatan masyarakat sajalah maka penyelesaian yang transparan dan adil dapat tercapai.

7. Bahwa kewajiban Komnas HAM adalah menyampaikan kesimpulan hasil penyelidikan kepada Penyidik (Jaksa Agung) apabila terdapat bukti permulaan yang cukup. Bahwa bukti permulaan yang cukup ini diperlukan untuk menduga adanya tindak pidana bahwa seseorang atau sekelompok orang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan, patut diduga sebagai pelaku pelanggaran HAM yang berat. TP3 berpendapat bahwa hanya dengan menggunakan fasilitas yang tersedia pada Pasal 18 ayat 2 UU No. 26 Tahun 2000, yaitu membentuk tim Ad Hoc yang melibatkan masyarakat, maka tujuan untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup dapat dicapai.

8. Bahwa berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000, yang berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan adalah Jaksa Agung. Tindakan penyidikan adalah tindakan Jaksa Agung untuk mencari dan mengumpulkan bukti-bukti agar bisa membuat terang pelanggaran HAM berat yang terjadi dan guna menemukan siapa saja dalam kasus dibunuhnya enam pengawal HRS di KM 50 yang dapat dijadikan “tersangka”. Sedangkan tindakan penuntutan adalah tindakan Jaksa Agung sebagai penuntut umum untuk melimpahkan perkara pelanggaran HAM berat ke Pengadilan HAM yang berwenang.

9. Bahwa menurut UU No. 26 Tahun 2000 Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik Ad Hoc (pasal 21 ayat 3) dan penuntut umum Ad Hoc (pasal 23 ayat 3) yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat. Untuk menunjukkan adanya transparansi, maka Jaksa Agung dapat melibatkan TP3 atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang terakreditasi di bidang HAM seperti Amnesti Internasional , menjadi penyidik Ad Hoc maupun penuntut umum Ad Hoc.

10. Bahwa jika dapat terbentuk tim Ad Hoc yang melibatkan TP3 atau LSM lain dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, maka jika tanpa intervensi, TP3 berkeyakinan bahwa Pengadilan Ham akan terlaksana untuk menyidangkan para terdakwa dalam kasus dibunuhnya enam pengawal HRS di KM 50.

11. Bahwa menurut Pasal 27 ayat 2 UU No. 26 Tahun 2000, pemeriksaan perkara pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan HAM yang berjumlah lima orang, terdiri atas dua orang hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan tiga orang hakim Ad Hoc. Pada pasal 28 ditentukan Hakim Ad Hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Ketua Mahkamah Agung. Untuk menunjukkan adanya transparansi, maka Ketua Mahkamah Agung dapat mengusulkan TP3 atau LSM lain yang terakreditasi dibidang HAM seperti Amnesti Internasional, kepada Presiden untuk menjadi Hakim Ad Hoc selanjutnya Presiden dapat menyetujui usulannya Ketua Mahkamah Agung.

DAFTAR LAMPIRAN-CATATAN

D ALAM Daftar Lampiran-Catatan ini, terdapat sejumlah informasi pendukung materi Buku Putih sehingga diharapkan masyarakat luas dapat memperoleh informasi secara komprehensif dan bisa memahami bahwa peristiwa terbunuhnya enam pengawal HRS oleh aparat negara merupakan pelanggaran HAM berat. Lampiran-Catatan tersebut berupa surat formal yang dikirim oleh TP 3 atau pihak terkait lainnya, pernyataan sikap atau press release, foto dan atau gambar karikatur, artikel pengamat, karya jurnalistik narasi audio-visual, berita liputan peristiwa, dan sejenisnya.


 CATATAN I

PETISI RAKYAT OLEH TP3

Jakarta, 1 Februari 2021

Kepada Yth.:

Presiden Republik Indonesia

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

Petisi Rakyat* untuk *Penuntasan Peristiwa Pembunuhan Pengawal HRS oleh Aparat Negara

Proses penyelidikan peristiwa pembunuhan atas enam warga sipil (Pengawal HRS) yang terjadi pada 6-7 Desember 2020 masih jauh dari harapan dan justru cenderung berlawanan dengan kondisi objektif dan fakta-fakta di lapangan. Baik Polri maupun Komnas HAM telah memberikan laporan penyelidikan yang dapat dianggap menggiring opini menyesatkan dan menutupi kejadian yang sebenarnya.

Mencermati sikap Pemerintah dan sikap Komnas HAM RI, kami yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa pembunuhan terhadap enam pengawal HRS merupakan pembunuhan secara langsung terhadap penduduk sipil oleh aparat negara yang didahului dengan penyiksaan dan dilakukan secara sistematik. Oleh karena itu kejahatan ini memenuhi kriteria sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime Against Humanity), sehingga merupakan Pelanggaran HAM berat sebagaimana dimaksud oleh Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM).

Kejahatan sistematik ini terjadi didasarkan pada prakondisi operasi kontra propaganda oleh Pemerintah melalui penggalangan opini, politik adu domba dan belah bambu di antara umat Islam dan rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh aparat hukum dan keamanan. Aparat negara diduga telah melakukan Pelanggaran HAM berat melalui kebijakan keji, bengis dan di luar batas kemanusiaan, yang berujung pada hilangnya nyawa enam laskar FPI pada 7 Desember 2020.

Berdasarkan kesaksian dari Pengurus FPI, pengawal HRS itu tidak memiliki senjata, tidak pernah melakukan penyerangan, sehingga dengan demikian tidak mungkin terjadi baku tembak. Karena itu banyak pihak, termasuk Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) enam pengawal HRS meyakini yang terjadi adalah pembunuhan dan pembantaian yang direncanakan sebelumnya. TP3 menilai, apa pun alasannya, tindakan aparat negara sudah melampaui batas dan di luar kewenangan, yakni menggunakan cara-cara kekerasan di luar prosedur hukum dan keadilan, sehingga wajar disebut sebagai extrajudicial killing.

Tindakan brutal aparat pemerintah ini merupakan bentuk penghinaan terhadap proses hukum dan pengingkaran atas asas praduga tidak bersalah dalam penegakan hukum dan keadilan. Sehingga dapat dianggap sebagai perbuatan yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 dan peraturan yang berlaku. Karena itu TP3 mengutuk dan mengecam keras para pelaku pembunuhan enam pengawal HRS tersebut, termasuk atasan dan pihak-pihak terkait. Dengan status sebagai Pelanggaran HAM berat, maka pembunuhan enam pengawal HRS merupakan pelanggaran terhadap Statuta Roma Tahun 1998 dan Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No.5 Tahun 1998. Karena itu proses hukumnya harus dilakukan melalui Pengadilan HAM sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No.26 Tahun 2000.

Sampai saat ini, Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia belum memberikan pertanggungjawaban publik atas peristiwa pembunuhan enam pengawal HRS. Bahkan pemerintah tidak merasa perlu untuk menyampaikan permintaan maaf atau belasungkawa kepada keluarga korban. Hal ini merupakan pengingkaran terhadap hak-hak korban dan keluarganya yang semestinya dijamin oleh negara seperti terkandung dalam UU No.13 Tahun 2006 jo UU No.31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

TUNTUTAN

Sehubungan dengan terjadinya pelanggaran HAM berat oleh aparat negara, maka TP3 bersama segenap komponen bangsa di seluruh Indonesia yang peduli terhadap penegakan hukum dan keadilan, serta pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, dengan ini mengajukan tuntutan sebagai berikut:

1. Menuntut agar nama-nama para pelaku pembunuhan enam pengawal HRS yang dilaporkan Komnas HAM kepada Presiden Republik Indonesia segera diumumkan.

2. Menuntut Presiden Republik Indonesia sebagai kepala pemerintahan untuk ikut bertanggungjawab atas tindakan sewenang-wenang aparat negara dalam peristiwa pembunuhan tersebut;

3. Mendesak Presiden Republik Indonesia untuk memerintahkan Kapolri memberhentikan Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran sebagai anggota Polri, sehingga proses hukum kasus pembunuhan enam pengawal HRS dapat dilakukan secara obyektif, terbuka, dan berkeadilan.

4. Mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) guna menyelidiki kasus pembunuhan atau pembantaian enam pengawal HRS yang diduga kuat bukan sekadar pembunuhan biasa, tetapi terkait dengan persoalan politik kekuasaan;

5. Mendukung Tim Advokasi yang telah melakukan pelaporan kepada International Criminal Court di Den Haag dan Committee Against Torture di Geneva, serta mendesak kedua lembaga Internasional tersebut untuk segera melakukan langkah penyelidikan termasuk pemanggilan pihak-pihak yang bertanggungjawab atas pembantaian enam pengawal HRS sebagai tindak lanjut dari pelaporan Tim Advokasi tersebut.

6. Menuntut negara bertanggungjawab kepada para korban dan keluarganya, sesuai Pasal 7 UU No.31 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dalam bentuk:

a. Memberikan keadilan kepada para korban dengan menghukum para pelaku pelanggaran;

b. Meminta maaf kepada para korban dan keluarganya dan mengakui adanya pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 7 Desember 2020 yang menewaskan enam korban;

c. Memberikan layanan medis dan psikososial dengan cuma-cuma dan serta merta untuk korban lain peristiwa 7 Desember 2020 yang masih hidup;

d. memberikan kompensasi kepada para korban dan keluarganya me- lalui fasilitasi dari Lembaga Perlindungan Saksi & Korban (LPSK);

e. Merehabilitasi nama baik para korban yang sudah tewas dari labelling dan stigma yang dituduhkan kepada mereka secara sewenang-wenang.

7. Menuntut para pelaku pembunuhan 7 Desember 2020 untuk memberikan restitusi (ganti rugi oleh pelaku) kepada para korban dan keluarganya sesuai Pasal 7A UU No.31 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Kami mengajak berbagai lapisan masyarakat, segenap anak bangsa di seluruh tanah air, untuk mendukung dan bergabung dalam gerakan Petisi Rakyat ini, demi tegaknya hukum dan keadilan di bumi NKRI.

   

Daftar Pendukung Petisi Rakyat

1. Prof. DR. M. Amien Rais

2. KH DR. Abdullah Hehamahua

3. Dr. Busyro Muqoddas

4. KH. DR. Muhyiddin Djunaedi

5. Dr. Marwan Batubara

6. Prof. DR. Firdaus Syam

7. DR. Abdul Chair Ramadhan

8. Habib Muhsin Al-Attas, Lc.

9. Hj. Neno Warisman

10. EdyMulyadi

11. Rizal Fadillah, SH

12. HM Mursalim R

13. Dr. Indra Matian

14. Wirawan Adnan, SH.,MH

15. Abdul Malik SE, MM

16. KH DR. Buchori Muslim

17. DR. Syamsul Balda

18. DR. Taufik Hidayat

19. DR. HM Gamari Sutrisno, MPS

20. Ir. Candra Kurnia

21. Adi Prayitno, SH

22. Agung Mozin SH, MSi

23. KH Ansyufri Sambo

24. DR. Nurdiati Akma

*(Nomor 1 s.d 24 merupakan Anggota TP3 dan Inisiator Petisi Rakyat)*

25. KH. Abdul Rasyid Abdullah Syafi’I, Perguruan As-Syafi’iyah

26. Prof. DR. Daniel M. Rosyid

27. Natalius Pigai, Mantan Anggota

Komnas HAM

28. DR. M.S Kaban, Mantan Menteri

Kehutanan

29. Rocky Gerung

30. Dra. Hj. Marfuah Musthofa, M.Pd,

Ketua PP Wanita Islam

31. Letjen TNI Purn Syarwan Hamid

32. Letjen TNI Purn Yayat Sudrajat

33. Mayjen TNI Purn Deddy S

Budiman

34. Mayjen TNI Purn Soenarko.

35. Prof. DR. H. Sanusi Uwes, M.Pd

36. DR. Ir. H. Memet Hakim

37. Mayjen TNI Purn Robby Win

Kadir

38. Prof. Dr. Muhammad Chirzin,

M.Ag.

39. H. Memet Hamdan, S.H, M.Sc.

40. Radhar Tri Baskoro, S.E, MSi

41. Kolonel TNI Purn Sugeng Waras

42. Noor Alam, S.H. CN, MBA, MSc

43. DR. Hj Maria Zuraida M.Si

44. DR. Ir. H Arifien Habibie MS

45. Memet A. Hakim, S.H.

46. DR. TB. Massa Djafar, Akademisi

47. Ahmad Murjoko, S.Sos. M.Si., KB

PII

48. DR. Muslim Muin, Dosen ITB

49. DR. Nurhayati Ali Assegaf, Partai

Demokrat

50. DR. Muslim Mufti, M.Si, Ketua

Dewan Tafkir PP PERSIS

51. Mayjen TNI Purn Budi Sujana

52. Brigjen TNI Purn Mahu Amin

53. Brigjen TNI Purn Dr Nasuka

54. Brigjen TNI Purn Poernomo

55. Adhie M Massardi

56. Zamzam Aqbil. R. SH., MH

(Bantuan Hukum PERSIS)