Lengkap: Buku Putih Pelanggaran HAM Berat Pembunuhan 6 Pengawal HRS (Part-7 End)
Kamis, 8 Juli 2021
Faktakini.info
BUKU PUTIH PELANGGARAN HAM BERAT
PEMBUNUHAN ENAM PENGAWAL HRS
DAFTAR LAMPIRAN-CATATAN
D ALAM Daftar Lampiran-Catatan ini, terdapat sejumlah informasi pendukung materi Buku Putih sehingga diharapkan masyarakat luas dapat memperoleh informasi secara komprehensif dan bisa memahami bahwa peristiwa terbunuhnya enam pengawal HRS oleh aparat negara merupakan pelanggaran HAM berat. Lampiran-Catatan tersebut berupa surat formal yang dikirim oleh TP 3 atau pihak terkait lainnya, pernyataan sikap atau press release, foto dan atau gambar karikatur, artikel pengamat, karya jurnalistik narasi audio-visual, berita liputan peristiwa, dan sejenisnya.
CATATAN I
PETISI RAKYAT OLEH TP3
Jakarta, 1 Februari 2021
Kepada Yth.:
Presiden Republik Indonesia
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Petisi Rakyat* untuk *Penuntasan Peristiwa Pembunuhan Pengawal HRS oleh Aparat Negara
Proses penyelidikan peristiwa pembunuhan atas enam warga sipil (Pengawal HRS) yang terjadi pada 6-7 Desember 2020 masih jauh dari harapan dan justru cenderung berlawanan dengan kondisi objektif dan fakta-fakta di lapangan. Baik Polri maupun Komnas HAM telah memberikan laporan penyelidikan yang dapat dianggap menggiring opini menyesatkan dan menutupi kejadian yang sebenarnya.
Mencermati sikap Pemerintah dan sikap Komnas HAM RI, kami yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa pembunuhan terhadap enam pengawal HRS merupakan pembunuhan secara langsung terhadap penduduk sipil oleh aparat negara yang didahului dengan penyiksaan dan dilakukan secara sistematik. Oleh karena itu kejahatan ini memenuhi kriteria sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime Against Humanity), sehingga merupakan Pelanggaran HAM berat sebagaimana dimaksud oleh Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM).
Kejahatan sistematik ini terjadi didasarkan pada prakondisi operasi kontra propaganda oleh Pemerintah melalui penggalangan opini, politik adu domba dan belah bambu di antara umat Islam dan rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh aparat hukum dan keamanan. Aparat negara diduga telah melakukan Pelanggaran HAM berat melalui kebijakan keji, bengis dan di luar batas kemanusiaan, yang berujung pada hilangnya nyawa enam laskar FPI pada 7 Desember 2020.
Berdasarkan kesaksian dari Pengurus FPI, pengawal HRS itu tidak memiliki senjata, tidak pernah melakukan penyerangan, sehingga dengan demikian tidak mungkin terjadi baku tembak. Karena itu banyak pihak, termasuk Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) enam pengawal HRS meyakini yang terjadi adalah pembunuhan dan pembantaian yang direncanakan sebelumnya. TP3 menilai, apa pun alasannya, tindakan aparat negara sudah melampaui batas dan di luar kewenangan, yakni menggunakan cara-cara kekerasan di luar prosedur hukum dan keadilan, sehingga wajar disebut sebagai extrajudicial killing.
Tindakan brutal aparat pemerintah ini merupakan bentuk penghinaan terhadap proses hukum dan pengingkaran atas asas praduga tidak bersalah dalam penegakan hukum dan keadilan. Sehingga dapat dianggap sebagai perbuatan yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 dan peraturan yang berlaku. Karena itu TP3 mengutuk dan mengecam keras para pelaku pembunuhan enam pengawal HRS tersebut, termasuk atasan dan pihak-pihak terkait. Dengan status sebagai Pelanggaran HAM berat, maka pembunuhan enam pengawal HRS merupakan pelanggaran terhadap Statuta Roma Tahun 1998 dan Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No.5 Tahun 1998. Karena itu proses hukumnya harus dilakukan melalui Pengadilan HAM sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No.26 Tahun 2000.
Sampai saat ini, Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia belum memberikan pertanggungjawaban publik atas peristiwa pembunuhan enam pengawal HRS. Bahkan pemerintah tidak merasa perlu untuk menyampaikan permintaan maaf atau belasungkawa kepada keluarga korban. Hal ini merupakan pengingkaran terhadap hak-hak korban dan keluarganya yang semestinya dijamin oleh negara seperti terkandung dalam UU No.13 Tahun 2006 jo UU No.31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
TUNTUTAN
Sehubungan dengan terjadinya pelanggaran HAM berat oleh aparat negara, maka TP3 bersama segenap komponen bangsa di seluruh Indonesia yang peduli terhadap penegakan hukum dan keadilan, serta pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, dengan ini mengajukan tuntutan sebagai berikut:
1. Menuntut agar nama-nama para pelaku pembunuhan enam pengawal HRS yang dilaporkan Komnas HAM kepada Presiden Republik Indonesia segera diumumkan.
2. Menuntut Presiden Republik Indonesia sebagai kepala pemerintahan untuk ikut bertanggungjawab atas tindakan sewenang-wenang aparat negara dalam peristiwa pembunuhan tersebut;
3. Mendesak Presiden Republik Indonesia untuk memerintahkan Kapolri memberhentikan Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran sebagai anggota Polri, sehingga proses hukum kasus pembunuhan enam pengawal HRS dapat dilakukan secara obyektif, terbuka, dan berkeadilan.
4. Mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) guna menyelidiki kasus pembunuhan atau pembantaian enam pengawal HRS yang diduga kuat bukan sekadar pembunuhan biasa, tetapi terkait dengan persoalan politik kekuasaan;
5. Mendukung Tim Advokasi yang telah melakukan pelaporan kepada International Criminal Court di Den Haag dan Committee Against Torture di Geneva, serta mendesak kedua lembaga Internasional tersebut untuk segera melakukan langkah penyelidikan termasuk pemanggilan pihak-pihak yang bertanggungjawab atas pembantaian enam pengawal HRS sebagai tindak lanjut dari pelaporan Tim Advokasi tersebut.
6. Menuntut negara bertanggungjawab kepada para korban dan keluarganya, sesuai Pasal 7 UU No.31 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dalam bentuk:
a. Memberikan keadilan kepada para korban dengan menghukum para pelaku pelanggaran;
b. Meminta maaf kepada para korban dan keluarganya dan mengakui adanya pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 7 Desember 2020 yang menewaskan enam korban;
c. Memberikan layanan medis dan psikososial dengan cuma-cuma dan serta merta untuk korban lain peristiwa 7 Desember 2020 yang masih hidup;
d. memberikan kompensasi kepada para korban dan keluarganya me- lalui fasilitasi dari Lembaga Perlindungan Saksi & Korban (LPSK);
e. Merehabilitasi nama baik para korban yang sudah tewas dari labelling dan stigma yang dituduhkan kepada mereka secara sewenang-wenang.
7. Menuntut para pelaku pembunuhan 7 Desember 2020 untuk memberikan restitusi (ganti rugi oleh pelaku) kepada para korban dan keluarganya sesuai Pasal 7A UU No.31 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Kami mengajak berbagai lapisan masyarakat, segenap anak bangsa di seluruh tanah air, untuk mendukung dan bergabung dalam gerakan Petisi Rakyat ini, demi tegaknya hukum dan keadilan di bumi NKRI.
Daftar Pendukung Petisi Rakyat
1. Prof. DR. M. Amien Rais
2. KH DR. Abdullah Hehamahua
3. Dr. Busyro Muqoddas
4. KH. DR. Muhyiddin Djunaedi
5. Dr. Marwan Batubara
6. Prof. DR. Firdaus Syam
7. DR. Abdul Chair Ramadhan
8. Habib Muhsin Al-Attas, Lc.
9. Hj. Neno Warisman
10. EdyMulyadi
11. Rizal Fadillah, SH
12. HM Mursalim R
13. Dr. Indra Matian
14. Wirawan Adnan, SH.,MH
15. Abdul Malik SE, MM
16. KH DR. Buchori Muslim
17. DR. Syamsul Balda
18. DR. Taufik Hidayat
19. DR. HM Gamari Sutrisno, MPS
20. Ir. Candra Kurnia
21. Adi Prayitno, SH
22. Agung Mozin SH, MSi
23. KH Ansyufri Sambo
24. DR. Nurdiati Akma
*(Nomor 1 s.d 24 merupakan Anggota TP3 dan Inisiator Petisi Rakyat)*
25. KH. Abdul Rasyid Abdullah Syafi’I, Perguruan As-Syafi’iyah
26. Prof. DR. Daniel M. Rosyid
27. Natalius Pigai, Mantan Anggota
Komnas HAM
28. DR. M.S Kaban, Mantan Menteri
Kehutanan
29. Rocky Gerung
30. Dra. Hj. Marfuah Musthofa, M.Pd,
Ketua PP Wanita Islam
31. Letjen TNI Purn Syarwan Hamid
32. Letjen TNI Purn Yayat Sudrajat
33. Mayjen TNI Purn Deddy S
Budiman
34. Mayjen TNI Purn Soenarko.
35. Prof. DR. H. Sanusi Uwes, M.Pd
36. DR. Ir. H. Memet Hakim
37. Mayjen TNI Purn Robby Win
Kadir
38. Prof. Dr. Muhammad Chirzin,
M.Ag.
39. H. Memet Hamdan, S.H, M.Sc.
40. Radhar Tri Baskoro, S.E, MSi
41. Kolonel TNI Purn Sugeng Waras
42. Noor Alam, S.H. CN, MBA, MSc
43. DR. Hj Maria Zuraida M.Si
44. DR. Ir. H Arifien Habibie MS
45. Memet A. Hakim, S.H.
46. DR. TB. Massa Djafar, Akademisi
47. Ahmad Murjoko, S.Sos. M.Si., KB
PII
48. DR. Muslim Muin, Dosen ITB
49. DR. Nurhayati Ali Assegaf, Partai
Demokrat
50. DR. Muslim Mufti, M.Si, Ketua
Dewan Tafkir PP PERSIS
51. Mayjen TNI Purn Budi Sujana
52. Brigjen TNI Purn Mahu Amin
53. Brigjen TNI Purn Dr Nasuka
54. Brigjen TNI Purn Poernomo
55. Adhie M Massardi
56. Zamzam Aqbil. R. SH., MH
(Bantuan Hukum PERSIS)
57. DR. Ma’mun Murod Al-Barbasy, M.Si
58. Dindin S. Maolani, S.H.
59. DR. Masri Sitanggang
60. Djoko Edhi Abdurrahman,
Mantan Anggota DPR RI
61. H. Heru Purwanto SH
62. Ir Sebastian Jaafar MH
63. Joko Sumpeno SH
64. Mustaris SH
65. Ir. Kelana Budi Mulia MEng.
66. Deni Apriandi SE SH MH
67. Ir H. Suroto MM
68. Djudju Purwantoro SH, MH
69. M. Gde Siriana Yusuf
70. Ir. Syafril Sofyan
71. Nur Aini Bunyamin, GBN
72. Taufik Bahaudin, UI Watch
73. Narliswandi (Iwan Piliang)
74. Ir. H. Irwansyah, UI Watch
75. Agus Muhammad Maksum, DDII
Jatim.
76. Ust Yunus Maksum, Gamis Jatim
77. KH. Toha Yusuf Zakaria, PP Al
Islah
78. Prof. DR Aminudin Kasdi,
UNESA
79. Ir. Prihandoyo Kuswanto, Ketua
Rumah Pancasila
80. Ust Mintardjo Wardana, Jatim
81. Gus Adi Purwadi, AMTB Jatim
82. KH Ahmad Dimyati, TPQ Miftahul
Huda, Tulungagung
83. Ir. Asjhar Imron, MSc, MSE, PED,
Surabaya
84. KH Muhammad Ma’mun, Tulung Agung
85. KH Gus Robert, Mojosari Mojokerto
86. Agus Lengky ST SH MM, Advokat.
87. Muslim Arbi
88. KH Hamim Badruzzan, Tulung
agung
89. KH Robet Wahidi Wiyono
90. M Nur Huda, Tulungagung
91. Ahmad Syifa, Tulungagung
92. Munif Miftachur Rohman,
Tulungagung
93. Efendi Arif, Tulungagung
94. Minhajun Niam, Tulungagung
95. Suparlin, Tulungagung
96. Edi Al Ghoibi, Tulungagung
97. Agus Sriyanto, Tulungagung
98. Moh Ali Shodiq, Tulungagung.
99. Khoirul Anam, Tulungagung.
100. Agus Supriadi, Tulungagung.
101. Moch Faisol, Tulungagung.
102. Warsito, Tulungagung.
103. Robet Saifunawas, Tulungagung
104. Muhammad Fauzi Nur Fuad,
Tulungagung
105. Purwito, Tulungagung.
106. Achmad Lutfi Nur Huda,
Tulungagung
107. DR. Habib Zaenal Abidin Bil Faqih,
Malang
108. KH Abdul Rachman, PP
Hidayatullah, Surabaya
109. Imam Budi Utomo ST, MM, Ketum JPRMI, Jawa Timur
110. Hamzah Baya, Jamaah Anshorus Syariah, Jatim
111. Ustadz Dwi Agus, Gerakan Anti Komunis, Jatim
112. Indra Rouf, Gamis Jatim
113. Drs. Ibrahim Rais, PII & PUI,
Kediri
114. Drs. Rahmat Mahmudi, M.Si,
Ketua Umum PUI & MKLB,
Kediri
115. Drs. A. Musta’in Syafi’I, Ketua
GBN & Sekjen PUI, Kediri
116. Ibnu Hasyim, KAMI Jatim
117.Agus Santoso, Forum Da’i
Ekonomi Syariah, Jatim
118. Habib Idrus Al-Jufry, Presidium
PUI, Kediri
119.M. Karim Amrullah, SH,
Presidium PUI, Kediri
120. Drs. H. Achmad Djunaidi. M.M.Pd.
MM, Masyumi Reborn Jatim 121.Ir Misbahul Huda MBA, Founder Rumah Kepemimpinan
Indonesia
122. Ir HM Yacob Chudory, Ketua
Dewas DPP Pribumi Bersatu
123. Darmayanto, Mantan Anggota
DPR
124. Hasan Busyairi, Aktivis Dakwah,
Banyuwangi
125. Alfiyatussholichah Ssi, MPS, PP.
Garda Bumi Putra Nasional
126. KH.Jurjis Muzammil, Ponpes Al Is’af Klabaan, Penasehat Anshor
Sumenep
127. KH. Drs. Choirul Anam, Surabaya
128. Ustadz Samsudin SE, MM,
Hidayatullah Surabaya
129. Azhari Dipo Kusumo, Front Anti
Komunis Pantura, Jatim
130. Ir Tontowi Ismail MSc, JMMI, ITS
131. Ramli Kamidin, Iluni UI
SELAIN “Petisi Rakyat”, ada pula
gerakan penggalangan dana untuk para syuhada, enam pengawal HRS yang dibunuh aparat negara. Berikut ini berita tentang pengumpulan dana dari masyarakat luas.
Kepedulian sosial dari masyarakat untuk masyarakat ternyata masih menyala di Tanah Air. Hal tersebut terwujud dalam aksi penggalangan dana yang dilakukan oleh Irvan Gani. Warganet yang juga seorang pengusaha ini mampu mengumpulkan donasi hingga Rp 1,7 miliar yang diperuntukkan bagi keluarga almarhum enam laskar Front Pembela Islam (FPI) yang meninggal dunia dalam insiden
KM 50 Tol Jakarta-Cikampek beberapa waktu lalu.
Sontak, penggalangan dana yang dilakukan melalui media sosial ini mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari aktivis manusia merdeka yang juga mantan Sekretaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Said Didu.
Bahkan dalam akun Twitternya, Said Didu mengibaratkan sosok Irvan sebagai seorang Menteri Sosial RI, yang mana posisi Mensos sebelumnya, Juliari Batubara dikritik publik karena tersandung kasus dugaan korupsi bantuan sosial Covid-19. “Selamat bekerja Pak Mensos netizen,” tulis Said Didu, Jumat (11/12).
Hingga saat ini, dana yang telah terkumpul sudah mencapai Rp 1,7 miliar. Dana tersebut bahkan diprediksi akan terus bertambah meski penggalangan dana telah ditutup. Irvan Gani pun telah menyalurkan Rp 1,2 miliar sumbangan kepada enam keluarga almarhum laskar FPI yang diserahkan secara langsung dengan masing-masing keluarga mendapat Rp 200 juta.
“Terkumpul 1,7 M. Insya Allah terjaga amanah. Masih ada 500 juta lagi, karena baru update siang tadi,” kata Irvan Ghani. Diakuinya, pencairan dana tersebut tidak bisa dilakukan sekaligus karena terganjal regulasi perbankan dalam pencairan jumlah besar. “Mengambil yang di bank dalam jumlah besar harus dengan perjanjian,” tandasnya. EDITOR: DIKI TRIANTO
(https://politik.rmol.id/read/2020/12/12/465469/Irvan-Gani- Kumpulkan-1,7-M-Untuk-Korban-KM-50-Japek)
CATATAN II
MENGGUGAT REKAYASA PENANGANAN PEMBUNUHAN ENAM PENGAWAL HRS
BANYAK tulisan “catatan” berbentuk artikel, foto, dan atau karikatur dan sejenisnya yang mengangkat tema tentang ketidakadilan proses penegakkan hukum berkaitan dengan peristiwa terbunuhnya enam pengawal HRS oleh aparat negara. Di antaranya adalah karya jurnalistik yang dikenal dengan nama “Bang Edy Channel” dari grup FNN. Secara kontinu, “Bang Edy Channel” mengungkap kasus pelanggaran HAM berat ini dari berbagai perspektif, dan mengundang masyarakat luas untuk bergabung “menikmati” karya jurnalistiknya berbentuk narasi tertulis dan audio visual Youtube itu melalui https://t.me/bangedychannel. Selain itu, juga ada artikel yang ditulis oleh HM Rizal Fadilah, SH (pengamat politik kebangsaan)., Dr. Marwan Batubara (juru bicara TP3), dan Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, SH., MH (Direktur HRS Centre).
Bang Edy Channel
ALLAH SINGKAP: MEREKA BERSEKONGKOL UNTUK PIDANAKAN HRS!
Serapi apa pun mereka menutup bangkai, bau busuknya pasti akan menyeruak juga. Allah singkap persekongkolan penguasa memidanakan kerumunan di Mega Mendung, Bogor, Jabar. Ketua Satpol Kabupaten Bogor, Agus Ridhallah, di persidangan mengaku rapat Pemprov Jabar dan kepolisian Polda Jabar bersepakat memidanakan HRS. Padahal, kasus serupa belum pernah dipidanakan. (*)
#MerekaBersekongkol / #PidanakanHRS / #AgusRidhallah / #BangEdyChannel// https://youtu.be/oF6HggRu1sA
Jangan lupa dukung terus #BangEdyChannel dengan subscirbe, like, komen, dan share yaaa... GABUNG TELEGRAM CHANNEL: https://t.me/ bangedychannel
KM 50: POLISI SAJA RAGU
HINGGA KINI Kepolisian masih utak-atik untuk mengumumkan nama tersangka pembunuhan enam anggota Laskar FPI. Konon satu orang sudah meninggal dalam kecelakaan. Itu pun tak jelas peristiwanya. Dunia tentu menertawakan kinerja yang sebenarnya sangat mudah akan tetapi menjadi sulit seperti ini. Masalah sulitnya adalah karena mempertimbangkan skenario dan menyembunyikan kebenaran. Bukan menguak kebenaran atau keadilan. Lemparan awal yang ternyata tidak sesuai dengan fakta dan logika, akibatnya bisa berubah ubah. Komnas HAM yang sarat kritik juga menghadapi kemandegan tindak lanjut. Meski telah di-back-up Presiden dan Menkopolhukam.
Pertanyaan paling mendasar adalah benarkah pembunuh enam anggota Laskar FPI itu adalah aparat Kepolisian atau instansi lain selain Kepolisian? Yang dibicarakan bukan dua korban “tembak menembak” dan empat yang ditembak, sebab keenam anggota Laskar FPI mengalami luka tembak mematikan jarak dekat seluruhnya. Memilah milah keduanya adalah keliru. Komnas HAM hanya menerima keterangan sepihak dan diduga kuat ikut menyembunyikan kebenaran. Jika Polisi sudah yakin bahwa pembunuh itu Elwira, Yusmin dan Fikri Ramdhani, maka segera umumkan dan selesai. Tangkap dan tahan. Tinggal penyidikan atas status tersangka mereka. Masalahnya adalah Pelapor awal yang mentersangkakan “korban” pembunuhan adalah justru paket lain Faisal, Fikri, dan Adi Ismanto. Pilihan ini juga menarik. Polri ragu.
Beredar viral adanya tim penguntit dan pemburu HRS dan rombongan yang ternyata bukan semata elemen Kepolisian. Ada banyak personal BIN. Di antaranya BIN Daerah. Penguntitan puluhan personal tentu didasarkan atas Surat Tugas dari atasan. Ini artinya ada kegiatan sistematik yang menjadi unsur dari pelanggaran HAM berat. Aneh Komnas HAM tidak berani mendapatkan keterangan atau informasi dari personil yang bukan institusi Kepolisian seperti ini.
Fokus hanya Polri saja. Hubungan antar instansi sebagai bagian operasi sistematik ini tergambarkan melalui cepatnya Konperensi Pers Kapolda Metro Jaya Fadil Imran bersama-sama dengan Pangdam Jaya Dudung Abdurrahman. Jika konteks pembunuhan adalah penegakkan hukum, maka cukuplah Konperensi Pers dilakukan oleh Kapolda Metro Jaya.
Kini pertanggungjawaban hukum tidak cukup selesai pada pelaku di lapangan. Akan tetapi kebijakan komando harus dibongkar. Komnas HAM menutup voice note antar petugas dengan para komandan. Fadil Imran tidak bisa berleha-leha, begitu juga dengan Dudung Andurahman. Kabareskrim belum tentu tak terlibat. Jadi kisah pelanggaran HAM berat Km 50 harus dibuka habis. Jika hanya pelaku lapangan yang terkena target, maka persoalan masih akan terus menggantung. Ujung pertanggungjawaban pelanggaran HAM berat pembunuhan dan penyiksaan enam anggota Laskar FPI adalah Presiden Jokowi. Ini bukan semata kasus hukum, ini adalah kejahatan kemanusiaan berbentuk pembunuhan politik. Harus dipertanggungjawaban secara politik. Km 50 tak boleh diabaikan. Km 50 adalah crimes against humanity. (HM Rizal Fadillah, Bandung, 25 April 2021)
MERAGUKAN DAN MEMPERCAYAI KOMNAS HAM
Tuntutan obyektivitas penyelidikan kebenaran peristiwa “Km 50” adalah melalui Tim Pencari Fakta Independen. Semua pihak dapat menerima hasil penyelidikannya berdasarkan “independensi” kerjanya. Akan tetapi tuntutan atau usulan pembentukan ini ditolak oleh Pemerintah. Akhirnya apa boleh buat dua lembaga yang melakukan penyelidikan yaitu Mabes Polri sendiri dan Komnas HAM.
Penolakan Pemerintah atas pembentukan tim independen ini membuat wajar jika publik memiliki penilaian awal meragukan akan kerja baik Mabes Polri maupun Komnas HAM. Mengingat Polri menjadi pihak yang terlibat, maka Mabes Polri sulit untuk mendapat tempat utama dalam kepercayaan. Komnas HAM terpaksa harus dipercaya untuk melakukan penyelidikan di bawah pantauan “terbatas” publik.
Setelah kurang lebih tiga minggu bekerja tanpa sinyal hasil, maka anggota DPR Fadli Zon mempertanyakan melalui ungkapan di berbagai media. Dan pada hari Senin 28 Desember 2020 Komnas HAM melakukan konperensi pers tentang langkah dan hasil kerjanya. Harapan ada temuan penting yang perlu diketahui masyarakat belum kesampaian. Komnas HAM menyatakan belum selesai menunaikan tugasnya.
Ditunjukkan proyektil dan selongsong peluru yang ditemukan, lalu pecahan mobil yang juga didapat. Menurut pengamatan beberapa kalangan penunjukan bukti ini sebagai kecerdikan Komnas HAM untuk mengamankan bukti melalui keterlibatan publik dalam menjaganya.
Meskipun demikian jika konperensi pers ini hanya sekedar memperlihatkan temuan tersebut sebenarnya terlalu teknis dan sederhana atas alat bukti yang masih interpretatif. Masyarakat berharap lebih dari itu dan informasinya yang ditunggu bersifat fundamental serta mudah untuk didapat cepat dari kerja Komnas HAM.
Dua hal terpenting yang semestinya terungkap yaitu pertama Komnas HAM menyatakan bahwa timnya telah mengetahui siapa penembak keenam anggota laskar FPI tersebut apakah benar Polisi atau pihak di luar kepolisian. Lebih hebat jika identitas pelaku penembakan diumumkan.
Kedua, berdasarkan kondisi jenazah maka Komnas HAM menyampaikan bahwa di samping penembakan juga ada atau tidak penyiksaan. Komnas HAM mampu menjelaskan arti lebam-lebam atau luka melepuh atau kulit mengelupas yang ada pada tubuh korban.
Pengumuman awal seperti inilah yang dibutuhkan dan perlu diamankan publik dalam pengawasan “terbatas” yang dapat dilakukan masyarakat terhadap kerja Komnas HAM.
Mengingat belum ada hal penting yang dapat ditangkap publik tentang kerja Komnas HAM maka posisinya saat ini Komnas HAM masih dalam bacaan antara diragukan atau dapat dipercaya. Wajar diragukan karena saat mempublikasikan bersama Polisi tentang temuan “revolver”
yang menjadi bukti penembakan begitu yakin dengan detail penjelasan Kepolisian. Begitu juga dengan bantahan keras telah menemukan rumah tempat diduga terjadinya penembakan atau penyiksaan.
Apa pun itu, publik masih akan menunggu finalnya hasil kerja Komnas HAM. Adanya suara yang mendorong keterlibatan lembaga internasional dalam penyelidikan kasus ini adalah bukti bahwa kerja Komnas HAM diragukan obyektivitasnya.
Dengan duka dan keprihatinan mendalam atas peristiwa yang menyakitkan ini akhirnya kita berdiam “wait and see” dalam ketertutupan dan gelapnya malam. Lokasi Km 50 pun telah dihancurkan, terbebas dari penghuni orang-orang yang biasa ramai melayani mereka yang berhenti untuk beristirahat. Suasana lingkungan kini kusam dan muram.
Tetap berdoa semoga Komnas HAM dapat menjawab keraguan dengan hasil yang terang benderang. Berdoa agar anggota Komnas HAM terbebas dari status terperiksa di hari akhir dan mendapat hukuman dari Allah SWT yang Maha Melihat dan Mendengar.
Alangkah ruginya jika menjadi unsur tak terlibat dalam perbuatan tetapi ikut terhukum karena menyembunyikan kebenaran. Sebaliknya pahala besar akan diberikan Allah SWT bagi mereka yang berlaku jujur dan memberi manfaat besar bagi kehidupan orang banyak. (HM Rizal Fadillah, Bandung, 29 Desember 2020)
BUBARKAN KOMNAS HAM
Bekerja sia-sia bahkan tidak profesional adalah pilihan diksi yang mungkin pas diberikan bagi Komnas HAM yang diberi amanah untuk menyelidiki kasus pembantaian 6 anggota Laskar FPI 7 Desember 2020. Harapan publik begitu besar atas kerja keras, transparan, obyektif, dan independen. Namun harapan itu sirna melalui realita kerja Komnas HAM.
Menurut UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi HAM. Pasal 89 ayat (3) butir c dalam hal pemantauan maka Komnas HAM melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang patut diduga terdapat pelanggaran HAM.
Ada kesalahan mendasar Komnas HAM dalam penyelidikan kasus penembakan 6 anggota laskar FPI, yaitu:
Pertama, dari peristiwa yang secara dini dipantau publik diduga penembakan bahkan pembantaian yang terjadi adalah “extra ordinary” dengan tuntutan keras akan pembentukan TPF independen, maka sesuai UU No. 26 Tahun 2000, seharusnya Komnas HAM membentuk tim ad hoc yang terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat (vide Pasal 89 ayat 2).
Kedua, bahwa hasil penyelidikan dengan kesimpulan terjadinya pelanggaran HAM Komnas HAM seharusnya mengumumkan kepada publik siapa yang diduga pelanggar HAM tersebut. Mengetahui penembak atau pembantai adalah hal termudah dan layak didapat oleh Komnas HAM dalam kasus ini.
Ketiga, Komnas HAM tidak mampu menjelaskan indikasi penyiksaan (torture) bahkan terkesan menghindar, hal ini merupakan pelanggaran atas tanggung jawab moral kemanusiaan yang mendasar. Foto kondisi jenazah yang beredar ternyata tidak terklarifikasi baik dalam penyelidikan.
Keempat, Komnas HAM keliru hanya melaporkan hasil kerja kepada Presiden, sebab pada pelaporan reguler saja dilakukan kepada DPR dan Presiden dengan tembusan Mahkamah Agung (Pasal 97 UU HAM), apalagi pelaporan khusus. Komnas HAM itu bekerja bukan atas perintah dan bertanggungjawab kepada Presiden.
Mengingat kegagalan kerja Komnas HAM dalam kasus penyelidikannya, apalagi mengganggu asas dasar kemandiriannya, maka layak jika Komnas HAM dengan anggota yang kini menjabat patut untuk mendapat sanksi. Pemberhentian adalah konsekuensi. Pimpinan dan tim penyelidik kasus penembakan atau pembantaian bertanggungjawab atas kegagalan.
Pemberhentian dari keanggotaan Komnas HAM ini sesuai dengan ketentuan Pasal 85 UU HAM yang membuka pintu pemberhentian atas dasar “mencemarkan martabat dan reputasi dan atau mengurangi kemandirian dan kredibilitas dalam Komnas HAM”.
Kesalahan sebagaimana dimaksud Pasal 85 bila dilakukan secara kolektif dan sistematis maka Komnas HAM yang semestinya menjadi pelindung dan pembela HAM justru menjadi bagian dari pengaburan dan pelanggaran HAM itu sendiri. Jika hasil kerja Komnas HAM memang dinilai sudah tidak efektif, mandul, dan tidak berwibawa dalam langkah hukum lanjutannya, maka sebaiknya Komnas HAM dibubarkan saja. (HM Rizal Fadillah, Bandung, 22 Januari 2021)
MUNGKINKAH KOMNAS HAM TURUT DILAPORKAN KE PENGADILAN KRIMINAL INTERNASIONAL?
Kekecewaan banyak pihak atas hasil kerja Komnas HAM memang wajar. Terlalu banyak pertanyaan yang menggantung jawabannya dari hasil penyelidikan yang telah dirilis. Soal tembak menembak, kepemilikan senjata api, alas hukum pengintaian dan pembuntutan, penyiksaan, komandan dalam Landcruiser, hingga kendaraan pembuntut berisi petugas misterius. Pembunuhan yang dikategorikan pelanggaran HAM pun tak terjelaskan tempat kejadiannya dan siapa pelaku penembakannya.
Adalah wartawan dan reporter senior FNN Eddy Mulyadi yang membeberkan banyak kejanggalan rilis Komnas HAM. Berlembar analisis kajian disiarkan kepada para pemirsa. Tajam, akurat, namun santai khas jurnalis yang dikenal berani ini. Tentu menohok kepada personal Tim penyelidik Komnas HAM yang dipimpin Choirul, menyayangkan hasil kerja Tim yang minim meski menyadari kemungkinan adanya tekanan yang menyebabkan Komnas HAM menjadi kelu dan ragu-ragu.
Bahwa adanya rekomendasi tindak lanjut proses peradilan tentu disambut baik walaupun disesalkan kesimpulannya tidak sampai pada terjadinya pelanggaran HAM berat. Kondisi jenazah yang menyedihkan membawa keyakinan bahwa yang terjadi adalah pelanggaran HAM berat. Telah nyata perbuatan petugas yang di luar batas kemanusiaan.
Di samping masih terdengar tuntutan perlunya penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) Independen, juga opsi untuk melibatkan lembaga HAM internasional mengemuka. Perlu mengagendakan pelaporan ke lembaga peradilan kriminal internasional (Internasional Criminal Court). Butuh obyektivitas tinggi untuk mengusut dan menyelidiki kasus yang sangat mungkin dapat berujung pada skandal tingkat tinggi lembaga Kepolisian maupun Pemerintahan. Motif politik dari pembunuhan atau pembantaian.
Dengan temuan atau kesimpulan “seribu kejanggalan” ini maka andai kasus “Pelanggaran HAM Km 50” dapat dibawa ke tingkat peradilan internasional maka Komnas HAM yang bekerja kelu dan ragu- ragu itu dapat dijadikan pihak terlapor pula. Komnas HAM termasuk pihak yang telah turut mengaburkan peristiwa pelanggaran HAM berat. Nyawa manusia terkesan dapat dinegosiasi, karenanya Komnas HAM pantas menjadi pihak yang ikut juga melakukan “pelanggaran HAM”.
Internasional Criminal Court (ICC) di Den Haag diharapkan dapat menindaklanjuti laporan dari kasus yang diajukan ini. Syarat terpenting adalah “unwillingness” yaitu tidak ada kemauan peradilan di Indonesia untuk mengadili kejahatan kemanusiaan. Status “non state parties” tidak menjadi halangan atas tafsir luas pasal 27 dan 28 Statuta Roma.
Kejahatan yang termasuk kategori “internasional crime” berdasarkan prinsip universal yang berlaku dalam hukum internasional masuk dalam yuridiksi ICC tanpa melihat nasionalitas pelaku dan tempat perbuatan. Pasal 28 Statuta menegaskan bahwa “atasan baik militer
atau sipil harus bertanggung jawab secara pidana terhadap kejahatan yurisdiksi ICC yang dilakukan anak buahnya”.
Aturan seperti ini sangat dirasakan penting untuk mampu menghukum “the most responsible person” yang karena kekuasaan dalam negara menjadi sulit dijangkau oleh lembaga peradilan domestik. Peradilan kriminal internasional mampu menyeret Kepala Negara, Anggota Parlemen, Kapolda, atau pejabat lainnya yang dikualifikasikan terlibat dalam pelanggaran HAM (Vide Pasal 27 Statuta).
Andai sejumlah organisasi pembela HAM, tokoh dan aktivis, serta keluarga korban dari pelanggaran HAM mengadu kepada Internasional Criminal Court (ICC) sebagai peradilan internasional independen, mungkin misteri dari peristiwa “pelanggaran HAM Km 50” akan terkuak. Dan yang terpenting adalah bahwa para pelaku atau perekayasa kejahatan HAM tersebut dapat dihukum. Kejahatan kemanusiaan tidak boleh dibiarkan atau terulang. Komnas HAM yang ikut bermain-main dalam kasus sensitif ini patut pula bertanggungjawab atas kelu dan ragu-ragunya itu.
(HM Rizal Fadillah, Bandung, 12 Januari 2021)
CATATAN III
Kontras dan MUI Desak Komnas HAM Jelaskan Kronologi Peristiwa yang Paling Akurat
Sebagaimana dilansir oleh sejumlah pers cetak dan elektronik— antara lain Faktakini.net, Jakarta, dan Republik.Co.id, edisi Sabtu, 26 Desember 2020--Fatia Maulidiyanti,Koordinator (Kontras) mengatakan, penembakan mati enam Laskar FPI oleh kepolisian sebagai pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM). Penembakan itu sebagai bentuk penghinaan terhadap proses hukum dan pengingkaran terhadap asas praduga tak bersalah dalam pencarian keadilan. “Kontras melihat ini (pembunuhan laskar FPI) terang merupakan pelanggaran HAM, pelemahan terhadap hukum, dan mencelakai yang namanya praduga tidak bersalah,” kata Fatia, dalam diskusi daring bertema ‘6 Nyawa dan Kemanusian Kita’, pada Jumat (25/12) malam. Fatia mengatakan, ada beberapa aspek yang meyakinkan Kontras menilai insiden tol di TKP Km 50 tersebut sebagai pelanggaran HAM. Polri merupakan institusi resmi negara dalam penegakan hukum. Namun, ia mengatakan pembelaan diri kepolisian bahwa penembakan dilakukan sebagai upaya pembelaan diri merupakan keterangan sepihak, dan tak dapat dibuktikan. Ia pun menilai pembelaan diri itu sebagai upaya yang dipaksakan agar dipercayai publik.
Selain itu, ia mengatakan, tindakan yang tidak dapat dibuktikan menjadi sebuah penghinaan bagi proses hukum. “Hukum itu seperti tidak berguna untuk melakukan pembuktian atas dugaan tindak pidana (penyerangan). Jadi, sebenarnya sudah tidak bisa adil. Karena, sudah tidak bisa dibuktikan, karena orang-orangnya (yang dituduh kepolisian menyerang) sudah dibunuh, dan meninggal,” kata Fatia. Fatia mengatakan, Kontras juga mempertanyakan dalih pembelaan diri dari kepolisian tersebut. Dalam melakukan penegakan hukum, Fatia mengatakan, kepolisian seharusnya hanya menembak untuk melumpuhkan lawan. Fatia mengacu pada Perakpolri 1/2009 yang berisikan aturan-aturan tentang pelumpuhan dengan senjata api. “Yang namanya pelumpuhan, ya jelas untuk melumpuhkan. Bukan untuk mematikan. Berarti di bagian tubuh yang memang tidak mematikan,” kata Fatia.
Akan tetapi, dia mengatakan, dari dokumentasi jenazah pascakejadian, luka-luka tembak di sekujur tubuh enam laskar FPI tersebut, jelas memperlihatkan bagian-bagian vital sebagai target tembakan. Kebanyakan di dada kiri yang menyasar jantung dan tak ada satu pun luka bekas peluru tajam yang mendarat pada bagian- bagian yang dimaksud untuk melumpuhkan. Fatia menambahkan, pelanggaran HAM kepolisian terhadap enam laskar FPI ini sebetulnya bukan kasus penembakan dengan sewenang-wenang yang pertama kali. Fatia mengatakan, catatan Kontras, dalam tiga bulan terakhir terdapat 29 kasus penggunaan senjata api berpeluru tajam yang dilakukan oleh kepolisian dengan cara serampangan. Namun dari catatan-catatan kasus tersebut, tak ada satu pun perkaranya yang berujung pada pemberian sanksi pemidanaan untuk dampak jera.
Karena itu, Fatia mengatakan, Kontras mendesak agar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dapat menjalankan perannya sebagai investigator atas pembantaian yang terjadi di tol Km 50 tersebut. Komnas HAM juga harus menjelaskan kepada publik, atas kronologi peristiwa yang paling akurat. Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH Miftachul Akhyar bersama Sekjennya, Amirsyah Tambunan, mengemukakan harapan yang senada. “Mendorong semua pihak agar mengedepankan proses hukum secara konsisten dan konsekuen, serta meminta aparat penegak hukum membuka secara transparan dan sebenar-benarnya informasi mengenai peristiwa tersebut,” ungkap KH Miftachul Akhyar di Jakarta, Rabu (9/12 2020).
CATATAN IV
KEJAR AKTOR INTELEKTUAL PELANGGARAN HAM BERAT “KM 50”
Komnas HAM menuai kecaman karena tak mampu menuntaskan tugas penyelidikan dengan baik. Terlalu banyak pertanyaan yang menyertainya seperti benarkah tembak menembak, dimana dua orang tewas ditembak, siapa penembak dua dan empat anggota laskar, bagaimana menjelaskan bekas luka dugaan siksaan, siapa saja penumpang dua mobil pembuntut misterius yang bukan polisi, mobil “sang komendan” Landcruiser itu milik siapa, dan masih banyak lagi pertanyaan lain.
Nyaris pekerjaan sia-sia Komnas HAM karena gagal menemukan fakta-fakta penting. Normatif, tak ambil risiko, dan ujungnya pro-Polisi. Bahkan semakin ke sini justru terkesan Komnas HAM sekedar menjadi juru bicara Kepolisian. Lebih menyebalkan setelah secara kontroversial melapor ke Presiden. Presiden bukan atasan Komnas HAM dan Komnas bukan bekerja atas dasar perintah Presiden.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah tanggal 18 Januari 2021 menyatakan bahwa pekerjaan Komnas HAM tidak tuntas dan diminta untuk mendalami kembali hingga ditemukan aktor intelektual dari kejahatan “unlawful killing” tersebut. Kualifikasinya bukan semata pelanggaran HAM tetapi pelanggaran HAM berat. Presiden hendaknya mendukung pendalaman atau investigasi guna menyeret aktor intelektual hingga proses peradilan.
Diduga kuat peristiwa pelanggaran HAM berat “Km 50” bukan insiden kebetulan karena berawal dari pengintaian dan pembuntutan intens HRS dan FPI. Suatu cara kerja tidak lazim bahkan berindikasi melanggar hukum.
Keberadaan mobil Landcruiser yang datang “mengomandani” pembunuhan atau pembantaian patut untuk ditelusuri. Begitu juga dengan keberadaan surat perintah atau surat tugas.
Bisa saja aktor intelektual perbuatan aparat brutal ini adalah Kapolda Metro Jaya, bisa pula Kapolri. Bukan mustahil juga Presiden Republik Indonesia. Karenanya perlu kejelasan. Meski pihak Kepolisian telah membantah keterlibatan atasan, akan tetapi indikasi yang ada menuntut untuk pengusutan lebih lanjut. PP Muhammadiyah mendesak agar dapat ditemukan aktor intelektual dari kejahatan ini.
Ditemukan dan lebih lanjut diproses hukum aktor intelektual pelanggaran HAM berat “Km 50” ini sangat penting untuk sekurangnya tiga hal. Pertama, agar tidak terbiasa mengorbankan bawahan untuk melepas tanggung jawab atasan dan kepentingan politik yang lebih luas. Kedua, menjadi terobosan atas banyaknya kasus pelanggaran HAM yang menggantung dan terus menjadi tagihan perilaku rezim. Ketiga, dapat menghindari keterlibatan lembaga penyelidikan dan peradilan HAM internasional.
Dari pantauan publik dan juga laporan “sederhana” Komnas HAM, maka peristiwa pelanggaran HAM berat “Km 50” diduga kuat menjadi peristiwa berdesain matang dan panjang yang melibatkan satu atau lebih aktor intelektual. Karenanya desakan PP Muhammadiyah bukan saja rasional dan obyektif, tetapi juga merupakan jalan strategis bangsa untuk menghargai dan memuliakan Hak Asasi Manusia.
(HM Rizal Fadillah, Bandung, 20 Januari 2021)
CATATAN V
MONUMEN HAM KM 50
Pembunuhan, bahkan banyak menyebut pembantaian, 6 anggota laskar FPI oleh aparat kepolisian masih diselidiki Komnas HAM. Masyarakat khususnya umat Islam sangat berharap kerja Komnas HAM dapat maksimal. Kondisi jenazah yang kini beredar luas sangat mengenaskan. Komentar terhadap keadaan ini “biadab”, “bengis” dan lainnya. Tentu melihat pada kesan bekas penembakan dan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat yang katanya bermoral “Pancasila”.
Lokasi Km 50 jalan tol Jakarta-Cikampek adalah Tempat Kejadian Perkara. Meskipun 4 syuhada dibawa ke tempat lain di saat kemudiannya, namun KM 50 ini menjadi tempat terpenting sebagai saksi bisu kejadian. Saksi hidup juga ada di area ini. Banyak pedagang berjualan di rest area Km 50.
Kini Jasa Marga berencana menutup area ini dan para pedagang yang berjualan di tempat tersebut merasa keberatan dan memprotesnya. Alasan penutupan adalah renovasi. Meski agak aneh, lokasi penting yang menjadi bukti suatu peristiwa tragedi yang menjadi perhatian bangsa, bahkan bangsa-bangsa, begitu saja akan ditutup dan dibongkar sementara penyelidikan kasus pun belum selesai.
Jika hasil penyelidikan ternyata terbukti telah terjadi pelanggaran HAM berat di tempat ini, maka semestinya semua pihak mengingat peristiwa tersebut. Menjadi pelajaran baik bagi masyarakat, aparat, maupun pemerintah. Kejadian keji yang tidak boleh terulang di masa depan. Oleh karena itu sepatutnya harus ada monumen pengingat.
“Monumen HAM Km 50” layak untuk dipertimbangkan pembuatannya, apalagi rest area ini akan ditutup dan dibongkar. Aparat jika benar bersalah tak usah risi dengan keberadaan monumen. Begitu juga jika pihak lain yang bersalah. Justru bangsa ini yang harus merasa malu atas terjadinya pelanggaran HAM yang memilukan. Simbol untuk membuktikan bahwa kita adalah bangsa yang menjunjung nilai-nilai ideologi Pancasila.
Bila di Lubang Buaya terdapat monumen “Pancasila Sakti”, maka di Km 50 ini layak untuk menjadi monumen “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” dengan “Rantai Emas” sebagai simbol ikatan kemanusiaan atau persaudaraan manusiawi.
Meskipun demikian, sebagai bangsa yang menghormati hukum maka realisasi dari gagasan ini sangat digantungkan pada hasil akhir penyelidikan Komnas HAM atau lembaga pencari fakta independen yang mungkin dibentuk esok.
Yang jelas, di waktu kapan dan di bawah kepemimpinan siapa pun, bangsa dan rakyat Indonesia harus menjadi garda terdepan dalam menegakkan Hak Asasi Manusia. Tidak toleran terhadap segala bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh siapa pun atau rezim mana pun. “Monumen HAM Km 50” patut untuk dibangun. Sejarah tidak boleh dilupakan. (HM Rizal Fadillah, Bandung, 23 Desember 2020)
CATATAN VI
“BAYANG-BAYANG” FAKTA KASUS SIYONO DI TKP KM 50?
Kasus tewasnya enam Laskar FPI sungguh menyita perhatian masyarakat luas, baik di dalam negeri maupun mancanegara. Soalnya, peristiwa tersebut berkaitan erat dengan eksistensi organisasi kemasyarakatan bernama Front Pembela Islam (FPI) dan tokoh pendirinya, HRS. Karenanya, saat Polri—Kapolda Metro Jaya— melakukan konferensi pers, masyarakat pun menyimaknya sekaligus ada yang mengkritisinya. Berubahnya pernyataan penjelasan yang dilakukan Kapolda Metro Jaya terkait senjata yang disebut-sebut dimiliki Laskar FPI, jelas mengundang sejumlah pertanyaan dan pernyataan tokoh masyarakat. Demikian halnya saat terbetik kabar Komnas HAM akan menurunkan tim penyelidiknya dalam kasus tersebut, sejumlah anggota masyarakat dan pengamat menyambutnya baik. Pasalnya, di beberapa kejadian yang korbannya sipil dan meninggal dunia, Komnas HAM meraih simpati masyarakat lantaran menyelidiki dengan baik dan berhasil “membongkar” kebohongan yang diduga dilakukan Mabes Polri.
Misalnya, dalam kasus meninggal dunianya Siyono di dalam mobil saat ditangkap dan diperiksa aparat Densus 88. Saat itu, Kapolri, Jenderal Bodrodin menyatakan Siyono meninggal dunia karena menyerang petugas untuk merebut senjata api saat di dalam mobil. Akhirnya, petugas melakukan tindakan tegas dan terukur untuk melumpuhkannya. Siyono dinyatakan meninggal setelah dibawa ke rumah sakit Bhayangkara Polda DIY. Padahal saat dijemput dari rumahnya, Siyono sehat dan tubuhnya tidak ada luka-luka. Setelah istrinya mengadukan kecurigaan penyebab kematiannya kepada Komnas HAM dan dilakukan autopsi ulang jenazah oleh tim dokter gabungan dari RS Muhammadiyah dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, maka terbukti Siyono meninggal karena siksaan dan bukan melawan atau menyerang petugas kepolisian yang menangkapnya. “Tidak ada luka tangkis wujud perlawanan dari Siyono di sekujur tubuh,” jelas Komisioner Komnas HAM, Siane Indriyani dalam keterangan pers di kantor Komnas HAM, Senin, 11 April 2016.
Alhasil, tutur Siane, pernyataan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia yang sebelumnya beberapa kali menyebut bahwa Siyono melakukan perlawanan bahkan menyerang polisi yang mengawalnya adalah sebuah kebohongan. “Pernyataan bahwa Siyono telah melakukan perlawanan, saya katakan itu tak benar,” tegasnya. Siane menambahkan, hasil autopsi juga menyimpulkan Siyono dipukul dalam posisi seperti merebahkan diri di suatu tempat. Seluruh tubuhnya mengalami kerusakan, dengan kerusakan paling parah di bagian dada. “Jadi, kesimpulan sementara adalah Siyono pasrah saat dipukul oleh petugas Densus 88. Guru ngaji warga Klaten itu akhirnya meninggal dunia,” ujarnya. Pernyataan Siane didukung ketua tim autopsi, dr. Gatot Suharto. Bahkan menurut dia, akibat pemukulan itu, beberapa bagian dada Siyono patah hingga menusuk jantung. Ia mencatat lima tulang iga sebelah kiri yang menghadap keluar dan satu tulang iga kanan yang patah menjorok ke dalam. Kerusakan parah pada bagian dada inilah yang kemudian disebut sebagai penyebab kematian Siyono. “Bagian dada patah semua. Pundak dan sekujur bagian tubuh juga ada patah dan lebam,” jelas Gatot.
Bagaimanakah respons Mabes Polri terhadap kesimpulan Komnas HAM saat itu? Nyatanya, Polri bersikukuh menyatakan tak ada yang salah dengan penangkapan Siyono. Saat itu, Kapolri Badrodin Haiti mengatakan Siyono merupakan salah satu panglima dalam jaringan Jamaah Islamiyah yang menyimpan informasi tentang senjata-senjata milik jaringan tersebut. “Siyono ditangkap setelah pengembangan dari penangkapan anggota jaringan sebelumnya oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror,” kata Badrodin dalam rapat bersama Komisi III DPR di Jakarta, Rabu (20/4/2016). Badrodin mengakui ada prosedur tetap (protap) operasional yang dilanggar Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror dalam penanganan terduga teroris Siyono yang tewas setelah ditangkap. “Anggota yang menangani dan komandannya saat ini sedang diperiksa dan menjalani sidang disiplin karena ada kelalaian,” kata Badrodin. Dikemukakannya, prosedur standar operasional yang dilanggar anggota dalam penanganan Siyono adalah soal pengawalan. Siyono hanya dikawal oleh satu orang yang seharusnya lebih dan dia dalam keadaan tidak diborgol.
“Saat itu, Siyono tidak diborgol agar bersikap kooperatif saat dibawa untuk mengembangkan informasi. Namun, saat di mobil dalam perjalanan di perbatasan antara Klaten dan Prambanan, Siyono menyerang anggota,” ujarnya. Badrodin mengakui perkelahian dan pergumulan di dalam kendaraan tidak terhindarkan. Selain memukul, Siyono terus berusaha menendang dan merebut senjata milik anggota yang mengawal. Tendangan Siyono bahkan mengenai kepala pengemudi sehingga kendaraan berjalan oleng dan sempat menabrak pembatas jalan. Anggota yang mengawal akhirnya berhasil melumpuhkan Siyono yang terduduk lemas. “Siyono dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara Polda DIY yang kemudian dinyatakan sudah meninggal dunia. Dari hasil pemeriksaan luar, ditemukan memar di kepala sisi kanan belakang, pendarahan di bawah selaput otak dan tulang rusuk patah akibat benda tumpul,” katanya. Kasus Siyono ini, sempat menjadi obrolan sejumlah wartawan saat meliput konferensi pers yang digelar Komnas HAM terkait hasil kerjanya dalam kasus tewasnya enam Laskar FPI. Sesama wartawan mencoba mengingat-ingat gelaran konferensi pers yang diadakan oleh Komnas HAM. Dalam hal ini, ada kemiripan kejadian antara Siyono dengan para korban Laskar FPI, seperti meninggalnya di dalam mobil setelah—menurut Kapolda Metro Jaya,.....---melakukan penyerangan ke petugas Polri yang mengawalnya, sehingga diambil tindakan tegas dan terukur berupa pelumpuhan terhadap Siyono.
Adapun yang membedakannya saat ini, dalam kasus Siyono ternyata tim Komnas HAM menjelaskan hasil kerjanya yang menyangkal penjelasan Kapolri (saat itu). Siyono, menurut hasil penyelidikan autopsi jenazah, meninggal dunia bukan karena melawan petugas Densus 88 di dalam mobil. Sedangkan dalam kasus tewasnya Laskar FPI, Komnas HAM menjelaskan terjadinya pelanggaran HAM (bukan pelanggaran HAM berat) yang dilakukan oleh polisi saat membawa empat Laskar FPI di dalam mobil. Dan, Komnas HAM menyatakan kasus tersebut bisa diproses dalam mekanisme pengadilan pidana lantaran bukan pelanggaran HAM berat.
CATATAN VII
SAMBUTAN HRS MENJELANG SALAT JENAZAH ENAM PENGAWAL HRS
Bogor, 9 Desember 2020
AssalamualaikumWarahmatullahiWabarakatuh.Dalamkesempatan ini saya ingin menyampaikan beberapa poin penting untuk segenap keluarga para syuhada, segenap pengurus Dewan Pimpinan Pusat FPIslam, segenap laskar dan simpatisan FPIslam Bahkan untuk seluruh warga dan bangsa Indonesia. Pertama, Keterangan pers secara resmi yang sudah dikeluarkan DPP FPI tentang kronologis penembakan yang terjadi isinya adalah benar. Sekali lagi saya sampaikan, kronologis yang sudah dibuat dan disebar DPP FPIslam saya memberikan kesaksian sebagai salah satu saksi korban selama kejadian bahwa isi keterangan pers itu benar. Kedua, yang ingin saya sampaikan di sini bahwa pada saat kejadian, tidak ada satu pun di antara kami, baik saya dan keluarga, maupun seluruh laskar pengawal yang mengira kalau yang melakukan pengejaran, memepet, mengganggu adalah dari kepolisian. Sama sekali kami tidak menduga, kami tidak pernah mengira, apalagi kami mengerti.
Yang kami tahu mereka adalah orang-orang jahat yang ingin mencelakakan kami. Dan jumlah mereka bukan 1 2 3 mobil, banyak sekali mobil saling silih berganti, berupaya untuk maju ke depan untuk bisa sampai ke mobil Habib Hanif, yang persis ada di belakang saya. Bahkan untuk bisa mencapai mobil saya yang ada di depan. Tapi dengan gagah luar biasa para syuhada kita, laskar-laskar pengawal yang paling belakang ini ada 2 mobil. Luar biasa, mereka tegas, mereka bela, mereka berani, mereka dengan begitu luar biasa mengendalikan situasi dan kondisi sehingga para penjahat tadi tidak satu pun yang berhasil untuk mencapai kami. Allahu Akbar. Bagaimana sigapnya mereka, cerdasnya mereka, pintarnya mereka, beraninya mereka tanpa senjata. Itu kedua yang mau saya sampaikan.
Dan poin ketiga, bahwa tuduhan para pengawal dipersenjatai adalah fitnah besar, bohong besar. Tidak ada satu pun pengawal kami yang dipersenjatai. Karena kami tidak pernah mengira sekali lagi kalau kami akan diperlakukan seperti itu. Para pengawal ini adalah standar pengawal biasa. Pengawal standar keluarga biasa. Saya ada 4 mobil, semua isinya keluarga, anak, mantu, saudara, cucu-cucu kami semua ikut. Ada 3 masih bayi, masih minum air susu ibu. Dan masih ada 4 di bawah 4 tahun bahkan di bawah 3 tahun. Jadi benar kami sekeluarga semua. Sudah. Nah jadi yang ingin saya sampaikan di sini adalah para laskar ini mengawal, tugas mereka mengawal bukan untuk mengganggu siapa pun. Jadi sudah benar melaksanakan tugas ketika begitu banyak mobil menyalip, kemudian ingin membahayakan kami, mereka menjalankan tugas dengan tertib. Mereka enggak mencelakai dengan sangat cantik, yaitu bagaimana mereka mengusir satu per satu mobil- mobil tersebut sehingga tidak berhasil masuk ke dalam rombongan.
Keempat yang mau saya sampaikan di sini, dengan takbir Allah, tanpa mereka-mereka inilah syuhada mungkin kami sudah digiring ke medan pembantaian yang mereka rencanakan. Allah sudah menakdirkan sesuai dengan kehendak Allah. Demi Allah, saya dan keluarga siap setiap saat untuk menghadapi mati syahid. Tidak akan mundur selangkah pun juga, tidak akan pernah takut untuk menghadapi segala ancaman dan teror. Begitu saya sampaikan sekali lagi, keenam laskar yang mati syahid ini, mereka laskar yang luar biasa. Mereka laskar yang setia, bahkan Anda bisa dengarkan dalam rekaman-rekaman yang tersebar, yang viral di mana-mana, bagaimana mereka tertawa, saudara, senang begitu melihat saya dan keluarga semua sudah terbebas dari kejaran. Begitu mereka melihat saya dan keluarga sudah berhasil meluncur keluar dari kejaran. Mereka senang. Padahal sebentar lagi mereka akan dibantai. Mereka digiring ke medan pembantaian dan sampai saat itu kami tidak pernah tahu kalau mereka melakukan pembantaian adalah pihak kepolisian.
Kami tidak pernah tahu, kami tidak pernah suudzon. Kami enggak pernah menuduh. Bahkan kalau siaran pers DPP FPIslam masih cantumkan orang tidak dikenal. Karena kami tidak berani menuduh siapa pun tanpa bukti. Kami tidak berani menuduh siapa pun tanpa saksi. Itu ajaran Islam, enggak boleh kita menuduh siapa pun tanpa bukti dan saksi yang kuat. Tapi subhanallah tatkala dari pagi sampai siang kami kerahkan laskar-laskar Karawang, dipimpin oleh pimpinannya, masuk ke setiap rumah sakit wilayah Karawang, masuk setiap kantor polisi di Karawang, menyapu bersih itu jalan tol. Setiap orang kita tanya semua dalam rangka untuk mencari para syuhada ini, di mana mereka. Tapi subhanallah akhirnya Allah buka mulut mereka, saudara. Allah buka mulut mereka saudara. Allah buka mulut mereka saudara. Enggak bisa mereka sembunyikan. Enggak bisa mereka sembunyikan saudara. Allah maha kuat, Allah maha besar, Allah maha kuasa.
Kapolda Metro Jaya menyebut para menyerang para penyergap, para penguntit saudara, kami semua mengira itu penjahat, saudara, yang mau mencelakai kami ternyata diakui sebagai bagian daripada penyelidikan, bagian daripada penyidik dan Polda Metro Jaya. Bukan kami yang menuduh, mereka yang mengakui. Kalau mereka nutup mulut, tidak pernah mengaku, sampai kapan pun kami tidak akan pernah tahu. Subhallah. Hanya hitungan jam saudara Allah buka mulut mereka. Padahal kalau mereka menutup seumur hidup pun kami enggak akan pernah tahu. Tapi Allah maha tahu, Allah maha berkehendak. Allah buka mulut mereka saudara, Allah buka pengakuan mereka saudara, sehingga sekarang menjadi terang benderang siapa para pelaku penjahat itu saudara.
Ini poin-poin penting yang ingin saya sampaikan. Dan semalam sudah kita sudah membentuk tim untuk memeriksa secara utuh bagaimana kondisi daripada 6 jenazah syuhada kita. Saya sudah mendapatkan laporan secara lengkap, nanti pada saat yang tepat akan kita agendakan siaran pers secara nasional dan kita sampaikan kepada semua, seluruh bangsa dan rakyat Indonesia, kami akan menuntut jalur
PEMBUNUHAN ENAM PENGAWAL HRS
276
hukum secara prosedur. Kami akan kejar siapa pun yang terlibat dalam pembantaian ini. Kami enggak akan biarkan mereka tidur tenang. Allahu Akbar. Begitu saya minta seluruh rakyat dan bangsa Indonesia, tahan diri, sabar. Kita hadapi dengan elegan, kita tempuh prosedur hukum yang ada. Lalu kalau prosedur hukum yang ditempuh dengan membaik, insyaallah semua akan terbongkar, siapa yang melakukan pembantaian di medan lapangan sampai siapa yang di balik otak saudara semua akan kita ungkap. Tapi kalau Anda emosi, kalau Anda berjuang sendiri-sendiri, maka ini akan terkubur tidak akan pernah terungkap. Maka itu saya minta sekali lagi, sabar, sabar. Ada saatnya. Ada saatnya akan kita melakukan perlawanan. Ada saatnya, ada saatnya kita harus melakukan jihad fi sabilillah. Allahu Akbar.
Jangan lupa, syuhada kita yang enam ini saudara mereka sudah melakukan tugas jihadnya menjaga ulama dan mereka sudah mendapat hadiahnya dari allah sebagai syahid. Insyaallah syuhada mereka diterima oleh Allah SWT. dan saudara, memang kami minta bantuan dari keluarga masing-masing untuk bisa dimakamkan di Pondok Pesantren Markaz Syariah ini. Saya ini nah akan kami dari salah satu para syuhada kita atas permintaan keluarga mereka ibunya yang begitu cinta pada sang anak ya dibawa ke rumahnya dan dikubur di rumahnya. Jadi sekali lg mudah-mudahan semua syuhada diterima di sisi Allah. Saya tidak ingin berpanjang lebar lagi tapi sekali lagi bahwa DPP FPIslam bersama dengan seluruh ormas-ormas Islam yang ada bagaimana kalau kita menyampaikan pernyataan sikap bersama di mana kita kompak semua satu kata bahwa harus dibentuk tim pencari fakta independen yang melibatkan semua elemen, yang melibatkan komnas HAM, Amnesti Internasional, bahkan kami minta juga Komnas HAM anak untuk ikut berbuat. karena di dalam kejadian itu ada 3 bayi dan masih ada lagi 4 balita dan 1 lagi balita dan salah seorang anak kami. Jadi tidak kurang dari 12 wanita, 3 bayi, dan 6 balita yang masih berada di bawah 5 tahun.
Komnas HAM anak enggak boleh diam, karena pada saat kejadian itu ada bayi-bayi yang ketakutan karena mobil itu meluncur tidak wajar, tidak semestinya. Dan dalam mobil-mobil tersebut, bayi-bayi itu menangis, ibu-ibu itu menangis. Mereka terintimidasi, mereka tidak takut dengan satu teror yang luar biasa. Maka itu sekali lagi Komnas HAM Perempuan, Komnas HAM anak mereka semua harus ikut terlibat. Tidak boleh ketidakadilan, tidak boleh kejadian semacam ini dibiarkan terjadi di dalam NKRI. Hari ini, kejadian sadis brutal seperti ini bisa menimpa saya dan keluarga, bisa menimpa 6enam syuhada, maka kalau dibiarkan besok akan bisa menimpa siapa saja keluarga di Indonesia. Maka itu saya ajak semua elemen bangsa ini dari mulai Presiden, DPR-nya, dan seluruh institusi terlibat, secara bersama-sama untuk mengungkap fakta yang sebenarnya apa yang terjadi di balik semua ini. Itu saja. Sekali lagi malam itu saya dan keluarga keluar lewat dari jam sepuluh malam, kenapa kami lewat jam sepuluh malam? Karena pikir kalau keluar jam 7 atau maghrib banyak crowded di jalan. Kalau lewat dari jam 10 supaya jalan agak senggang. Kami harap sekitar jam 12 atau lewat kami sudah sampai di tujuan. Tujuan kami suatu tempat peristirahatan yang cocok buat kesehatan. Kami sedang membutuhkan sedikit waktu lagi untuk memberikan tenaga kami kesehatan kami. Dan selain itu juga enggak pernah nyangka kalau perjalanan kita malam itu sebetulnya sudah direncanakan oleh pihak lain untuk digiring ke medan pembantaian.
Kami tidak pernah menyangka dan kami tidak pernah menduga. Tujuan kami hanya kesehatan sehingga jam 12 atau jam setengah 1 kami sudah sampai, istirahat dan sungguh kami punya pengajian keluarga, baca quran, hadits zikir hanya khusus buat keluarga kecil kami aja. Anak mantu cucu dan untuk baby sitter yang menemani kami untuk juga beberapa anggota keluarga kami. Jadi kami enggak permah menyangka apa yang sebetulnya sederhana indah saudara ternyata sedang digiring ke medan pembantaian. Dan subhanallah akhirnya kami semua selamat berkat takdir Allah berkat perjuangan keenam syuhada. Tanpa
perjuangan ke-6 syuhada ini mungkin kami saat ini tidak bertemu Anda lagi di sini. Maka itu saya sampaikan sekali lagi kepada keluarga para syuhada Anda semua harus sabar ke Allah ridho atas keputusan Allah dan jangan khawatir keluarga Anda yang kembali pada Allah ini mati syahid Allah akan masukkan mereka ke dalam surganya dan berikan kelak syafaat untuk menolong seluruh anggota keluarganya untuk masuk ke surga. Itu saja yang ingin saya sampaikan kita tidak ingin menunda lagi, silakan saf pertama keluarga.*
CATATAN VIII
FAKTA TEMUAN
DAN REKOMENDASI KOMNAS HAM
Bahwa didapatkan fakta juga telah terjadi upaya pengintaian dan pembuntutan terhadap MRS (atau HRS) yang dilakukan oleh petugas yang dinyatakan bukan dari kepolisian oleh polisi sejak dari kawasan Markaz Syariah Megamendung hingga ke kawasan Sentul Bogor Jawa Barat pada tanggal 4 Desember 2020.
Mendalami dan melakukan penegakan hukum terhadap orang-orang yang terdapat dalam dua mobil Avanza hitam B.1739 PWQ dan Avanza silver B 1278 KJD
1. Saat diperiksa oleh Komnas HAM, aparat kepolisian dari Polda Metro Jaya mengakui adanya kendaraan “tim lain” yaitu Avanza silver bernopol B 1278 KJD dan Avanza hitam nopol B 1739 PWQ, yang turut melakukan penguntitan dan atau pembuntutan terhadap rombongan HRS pada Ahad-Senin (6-7/12 2020).
2. Fakta-fakta temuan yang menunjukkan adanya “Operasi Delima”dan atau fakta terkait lainnya telah disampaikan oleh pihak FPI dan atau keluarga korban pembunuhan enam Laskar FPI kepada Tim Penyelidik Komnas HAM (pada saat pemeriksaan oleh Komnas HAM tanggal 7 dan Desember 2020 dan 6 Januari 2021, berupa (a) Voice note sejumlah 105 percakapan, (b) Rekaman pembicaraan, (c) Foto mobil yang dicurigai, (d) Jejak digital untuk lini masa digital, (e) Foto-foto terkait peristiwa tanggal 4 Desember 2020 di Megamendung.
3. Badan Intelijen Negara (BIN) acapkali membantah suatu kasus yang melibatkan anggotanya sebagaimana terungkap fakta peristiwa meninggalnya anggota BIN bernama seorang gadis belia bernama Gayatri Wailissa (17) yang dikenal jenius lantaran menguasai 14 bahasa asing. Gayatri meninggal pada Kamis (23/10 2014 pukul.19.15 WIB konon karena sakit di RS ABdi Waluyo Menteng Jakarta Pusat.
4. Adalah fakta benar bahwa orangtuanya menjelaskan kepada publik bahwa anaknya direkrut dan dididik oleh BIN, sehingga karenanya saat prosesi pemakaman jenazahnya ditampilkan foto besar almarhum yang mengenakan “busana kebanggaannya” sebagai anggota BIN. Jejak publisitas Media Tribunnews.com Jakarta , Minggu 26 Okt 2014, 16.30 WIB, mengungkapkan fakta bahwa Nurul Idwati, ibunda almarhumah Gayatri Wailissa (17) mengatakan selama di Jakarta, anaknya menjadi anggota BIN. Hal itu senada dengan pernyataannya saat diwawancara khusus oleh kru Metro TV, Sabtu (25/10 2014).
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gayatri Wailissa gadis ajaib yang menguasai belasan bahasa asing yang meninggal, di Jakarta Kamis (23/10/2014) disebut sebagai anggota BIN. Kabar mengenai keanggotaan BIN remaja 17 tahun dengan kemampuan di atas normal itu menyebar usai wawancara stasiun televisi di hari pemakaman Gayatri, Sabtu (25/10/2014) di Ambon.
“Gayatri cerita, pernah di latih BIN. Pada tanggal 19 September, pulang ke Ambon. Dia menceritakan seperti itu, latihan seperti kungfu, bela diri, menembak,” kata ibunda Gayatri saat diwawancara.
Gayatri diketahui juga sebagai anak angkat Pangdam Brawijaya Eko Wiratmoko.
5. Terkadang penjelasan pejabat BIN mengandung makna yang secara implisit maupun eksplisit menunjukkan “fakta yang benar” tentang keanggotaan dan atau keterlibatan BIN dalam suatu kasus, sebagaimana fakta penjelasan BIN terkait kasus Gayatri tersebut. Fakta jejak rekam publisitas penjelasan pejabat resmi BIN dalam kasus ini, terungkap dari ekspose berita yang dilansir media Tribunnews.com Senin, 27 Okt 2014 jam 01.38 WIB sebagai berikut:
Kepala BIN Marciano Norman membantah Duta Asean itu anggota BIN. “Tapi yang bersangkutan (Gayatri) tidak pernah mendaftarkan diri sebagai anggota BIN,” ujar Marciano usai mengikuti sidang kabinet yang dipimpin Presiden Jokowi di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, Senin (27/10 2014).
Namun Marciano memuji kecerdasan Gayatri yang di atas rata-rata, terutama mampu menguasai 13 bahasa internasional itu. Menurutnya, kecerdasan Gayatri memang cocok mengisi kriteria seorang anggota BIN.
Kecerdasan Gayatri memang cocok mengisi kriteria seorang anggota BIN. “Kecerdasannya di atas rata-rata itu bagus. Kami dukung,” kata Marciano.
Marciano juga tidak lupa mengucapkan turut berduka cita atas meninggalnya Gayatri. Ia juga mengucapkan rasa bangga karena bangsa Indonesia memiliki warga negara yang kecerdasannya di atas rata-rata. “Kita kehilangan atas berpulangnya yang bersangkutan,” ujar Marciano
6. Berdasarkan jejak rekam publisitas petinggi (Purn) TNI yang menyoroti kasus Gayatri menyatakan bahwa Gayatri adalah anggota BIN. Fakta tersebut terungkap dari berita berjudul “Gadis Ajaib Meninggal Mendadak ; TB Hasanuddin: BIN Gegabah dan Tidak Etis Rekrut Gayatri”, edisi Minggu 26 Oktober 2014, 09. 09 WIB, yang mem-publish sebagai berikut:
Anggota DPR RI, Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin mengkritik keras atas perekrutan Gayatri Waillissa gadis berusia 17 tahun yang menguasai 13 bahasa asing sebagai anggota BIN, namun meninggal dalam usia muda. “Sangat mengejutkan kalau BIN merekrut pelajar. Itu adalah tindakan gegabah dan rawan. Apalagi kalau benar dia sudah dilatih misalnya tindakan yang dianggap rahasia sampai dengan tindakan menggunakan senjata api,” tegas TB Hasanuddin yang juga ahli intelijen kepada Tribunnews di Jakarta, Sabtu (25/10 2014).
Menurut Hasanuddin, usia 17 tahun itu kejiwaannya masih labil dan tidak layak menjadi anggota BIN. Itu kan seorang pelajar, kalau kemudian sesudah dilatih justru dimanfaatkan oleh klompok tertentu untuk kepentingan tertentu. Apalagi setelah Gayatri meninggal, kemudian pihak keluarga yakni ibunya menyampaikan bahwa putrinya adalah anggota BIN. Bagi TB Hasanuddin itu adalah bukti pada saat rekrutmen, lingkungan tidak menjadi bahan pertimbangan. “Berarti BIN gegabah,” katanya.
TB Hasanuddin mengatakan, sah saja BIN merekrut orang yang memiliki keahlian menguasai banyak bahasa. Namun yang direkrut tersebut sifatnya harus jangka panjang dan orang yang sudah stabil kejiwaannya. Jadi, tidak mentang-mentang ada orang yang jago bahasa asing, lalu direkrut begitu saja meski usianya masih belia. Baginya, merekrut anggota BIN itu bebas dan tidak ada aturan, namun harus menunjukkan unsur kehati-hatian agar hal yang ia merugikan negara atau BIN tidak terjadi.
7. Adalah benar fakta bahwa sipil dapat menjadi anggota BIN, sebagaimana fakta jejak rekam digital. Media CNN Indonesia, Senin (22/6 2015, 18.41) yang mengungkapkan penjelasan (saat itu) Kepala BIN, Marciano Norman bahwa mayoritas anggota BIN itu berlatarbelakang sipil. “Anggota BIN itu gabungan, ada sipil, polisi, dan juga militer. Komposisinya 80 persen sipil, 20 persen TNI dan Polri,” katanya di gedung DPR RI, Senin (22/6 2015).
8. BIN menginstruksikan dan atau mensyaratkan anggotanya untuk— selain memiliki nama asli juga nama ganti atau aliasnya—sehingga tidak adanya nama Gayatri merupakan sesuatu yang wajar. Fakta jejak rekam publisitas menyatakan, seorang pengamat intelijen, Ridlwan Habib (sebagaimana dilansir Tribunnews.com/Sabtu 25/okt 2014 22.23) mengungkapkan bahwa BIN memang mencari bakat- bakat cerdas dari siswa berprestasi di SMA seluruh Indonesia. Anak tersebut dididik di Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) Sentul Bogor, setiap angkatan sekitar 40 s.d 0 anak. Dalam perekrutan ini, BIN membuat ketentuan, bahwa anak-anak yang lolos seleksi untuk mengikuti pendidikan di STIN itu harus mengubah nama. Nama awalnya Agus, misalnya, diubah bisa menjadi Hendra. Nama baru itu untuk nama dia untuk selamanya saat menjadi anggota BIN. Ridlwan menyebutkan, siswa STIN BIN tersebut harus sepengetahuan orangtuanya bahwa anaknya akan dididik menjadi anggota BIN. Jadi yang tahu itu anak BIN ya hanya orangtuanya. Bisa juga ayah atau ibunya. “Kakak atau adiknya tidak ada yang tahu. Bahkan setelah nikah, suami atau istri tidak tahu,” ujar Ridlwan.
CATATAN IX
PEMBERITAAN MEDIA TENTANG PERISTIWA 4 DESEMBER 2020 DI MEGAMENDUNG
Adalah fakta benar bahwa selain media @opposite, juga media Tempo (12/12 2020) dan media lainnya yakni fajar.co.id (2020/12/07) ; video.tempo.co (19/12 2020) ; kabar24bisnis.com ; merdeka.com ; liputan6. com ; antaranews.com ; news.detik.com ; akurat.co ; www.suara,com ; www. tribunnews.com mengungkapkan fakta peristiwa tanggal 4 Desember 2020 di Megamendung tersebut sebagaimana fakta informasi yang dilansirnya berikut ini:
CATATAN X
PEMBUNUHAN ENAM PENGAWAL HRS MERUPAKAN PELANGGARAN HAM BERAT (PELANGGARAN TERHADAP KETENTUAN PERATURAN)
A. UUD1945
1. Bahwa merujuk pada Pembukaan (Preambule) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) alinea keempat disebutkan secara tegas tujuan dari negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Aline 4 UUD 1945 menyebutkan:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia..”
2. Bahwa untuk mewujudkan perlindungan terhadap segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, maka Konstitusi UUD 1945 telah memberikan jaminan perlindungan terhadap Warga Negara Indonesia bersamaan dengan Hak-hak Asasi yang melekat padanya, di antaranya adalah hak setiap warga negara Indonesia atas:
a. “Setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal 28A);
b. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 28B ayat 2)
c. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 28D);
d. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi (Pasal 28G ayat 1);
e. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakukan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain” (Pasal 28G Ayat 2);
f. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan(Pasal 28H Ayat 2);
g. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapkan hukum, dan hak untuk tidak di tuntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (Pasal 28 I ayat 1)
h. Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu (Pasal 28 I ayat 2)”.
B. PELANGGARAN UNDANG-UNDANG
1. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (1) dan (2) Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, disebutkan:
a. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakukan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya;
b. Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa;
2. Bahwa masih dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, pasal 104 ayat (1) disebutkan:
Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum.
Dalam penjelasan pasal 104 disebutkan:
Yang dimaksud dengan “pelanggaran hak asasi manusia yang berat” adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang- wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination)
3. Bahwa Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat manusia (Convention Againts Torture and Other Cruel, inhuman or Degrading Treatment or Punishment), Konvensi ini mengatur pelanggaran penyiksaan baik fisik maupun mental, dan perlakuan atau merendahkan martabat manusia.
Pasal 1
(1) Untuk tujuan Konvensi ini, istilah “Penyiksaan” berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada diskriminasi, apabila rasa sakit dan penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat pemerintah. Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh sanksi hukum yang berlaku.
(2) Pasal ini tidak mengurangi berlakunya perangkat internasional atau peraturan perundang-undangan nasional yang benar-benar atau mungkin mengandung ketentuan-ketentuan dengan penerapan yang lebih luas.
Pasal 2
(1) Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum atau langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah tindakan penyiksaan di dalam wilayah kekuasaannya.
(2) Tidak ada pengecualian apa pun, baik dalam keadaan perang atau ancaman perang, atau ketidakstabilan politik dalam negeri atau keadaan darurat lainnya, dapat digunakan sebagai pembenaran penyiksaan
(3) Perintah dari atasan atau penguasa tidak boleh digunakan sebagai pembenaran penyiksaan.
Pasal 3
(1) Tidak ada satu Negara Pihak pun yang boleh mengusir, mengembalikan (refouler) atau mengekstradisikan seseorang ke Negara lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk menduga bahwa orang itu berada dalam bahaya karena dapat menjadi sasaran penyiksaan.
(2) Untuk menentukan apakah terdapat alasan-alasan semacam itu, pihak yang berwenang harus mempertimbangkan semua hal yang berkaitan termasuk, apabila mungkin, adanya pola tetap pelanggaran yang besar, mencolok, atau massal terhadap hak asasi manusia di Negara tersebut.
Pasal 4
(1) Setiap Negara Pihak harus menjamin bahwa tindakan penyiksaan adalah pelanggaran menurut ketentuan hukum pidananya. Hal yang sama berlaku bagi percobaan untuk melakukan penyiksaan, dan bagi suatu tindakan percobaan untuk melakukan penyiksaan dan bagi suatu tindakan oleh siapa saja yang terlibat atau turut serta dalam penyiksaan.
(2) Setiap Negara Pihak harus mengatur agar pelanggaran- pelanggaran dihukum dengan hukuman yang setimpal dengan mempertimbangkan sifat kejahatannya.
Pasal 5
(1) Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah seperlunya untuk menetapkan kewenangan hukumnya atas pelanggaran yang disebut pada pasal 4 dalam hal-hal berikut:
a. Apabila pelanggaran dilakukan di dalam suatu wilayah hukumnya atau di atas kapal laut atau pesawat terbang yang terdaftar di Negara itu;
b. Apabila yang dituduh melanggar adalah warga dari Negara tersebut;
c. Apabila korban dianggap sebagai warga dari Negara tersebut, dan Negara itu memandangnya tepat.
(2) Setiap Negara Pihak harus mengambil tindakan seperlunya untuk menetapkan yurisdiksinya atas pelanggaran, dalam kasus yang dituduh sebagai pelaku pelanggaran berada di wilayah kekuasaannya dan Negara itu tidak mengekstradisikannya sesuai dengan pasal 8 ke Negara lain sebagaimana disebut dalam ayat 1 pasal ini.
(3) Konvensi ini tidak mengesampingkan kewenangan hukum pidana apa pun yang diberlakukan sesuai dengan hukum nasional.
Pasal 6
(1) Setelah merasa yakin, melalui pemeriksaan informasi yang tersedia untuk itu bahwa keadaan menghendakinya, semua Negara Pihak yang di wilayahnya terdapat orang yang dituduh telah melakukan pelanggaran yang disebut dalam pasal 4, akan menahan orang itu atau mengambil tindakan hukum lain untuk menjamin kehadirannya. Penahanan dan tindakan hukum itu harus disesuaikan dengan hukum Negara tersebut, tetapi dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang diperlukan agar prosedur pidana atau ekstradisi mungkin dilaksanakan.
(2) Negara tersebut harus segera membuat penyelidikan awal berdasarkan fakta yang ada
(3) Seseorang yang ditahan berdasarkan ayat 1 dari pasal ini harus dibantu untuk segera berhubungan dengan perwakilan Negara yang tepat dan terdekat di mana ia menjadi warga negara, atau jika ia tidak memiliki kewarganegaraan, dengan perwakilan Negara tempat ia biasanya menetap.
(4) Apabila suatu Negara, sesuai dengan pasal ini, telah menahan seseorang, Negara tersebut harus segera memberitahu Negara yang disebut dalam pasal 5 ayat 1 tentang kenyataan bahwa orang tersebut berada dalam tahanan beserta alasan penahanannya. Negara yang melakukan penyelidikan awal sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 pasal ini akan segera melaporkan temuannya kepada Negara tersebut dan menunjukkan apakah pihaknya akan melaksanakan kewenangan hukum.
4. Bahwa berdasarkan Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Convenant on Civil and Political Rights), disebutkan:
Pasal 6
(1) Setiap manusia berhak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.
Pasal 7
(1) Tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Pada khususnya, tidak seorang pun dapat dijadikan objek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas.
Pasal 9
(1) Setiap orang berhak atas bebas dan keamanan pribadi. Tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, sesuai prosedur yang ditetapkan oleh hukum
(2) Setiap orang yang ditangkap wajib diberitahu pada saat penangkapan dan harus sesegera mungkin diberi tahu mengenai tuduhan yang dikenakan terhadapnya
(3) Setiap orang yang ditahan atau ditahan berdasarkan tuduhan pidana. Wajib segera dihadapkan ke depan pengadilan atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. bukan merupakan suatu ketentuan umum, bahwa orang-orang menunggu diadili harus ditahan, tetapi pembebasan dapat diberikan atas dasar jaminan untuk hadir pada waktu sidang, pada setiap tahap pengadilan dan pada pelaksanaan putusan, apabila diputuskan demikian;
(4) Siapa pun yang dirampas kebebasannya dengan cara penangkapan atau penahanan, berhak disidangkan di depan pengadilan, yang bertujuan agar pengadilan tanpa menunda-nunda dapat menentukan kebebasan penangkapannya, dan memerintahkan pembebasannya apabila penahanan tidak sah menurut hukum;
(5) Setiap orang yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan yang tidak sah, berhak untuk mendapat ganti kerugian yang harus dilaksanakan.
Pasal 14
(1) Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan. Dalam menentukan tuduhan pidana terhadapnya, atau dalam menentukan segala hak dan kewajibannya dalam suatu gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka untuk umum, oleh suatu badan peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum. Media dan masyarakat dapat dilarang untuk mengikuti seluruh atau sebagian sidang karena alasan moral, ketertiban umum atau keamanan nasional dalam suatu masyarakat yang demokratis atau apabila benar-benar diperlukan menurut pendapat pengadilan dalam keadaan khusus, dimana publikasi justru akan merugikan kepentingan keadilan sendiri, namun setiap keputusan yang diambil dalam perkara pidana maupun perdata harus diucapkan dalam sidang yang terbuka, kecuali bilamana kepentingan anak-anak menentukan sebaliknya, atau apabila persidangan tersebut berkenaan dengan perselisihan perkawinan atau perwalian anak-anak.
(2) Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut hukum
(3) Dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan padanya, setiap orang berhak atas jaminan-jaminan minimal berikut ini, dalam persamaan yang penuh:
a. Untuk diberitahukan secepatnya dan secara rinci dalam bahasa yang dapat dimengerti, tentang sifat dan alasan tuduhan yang dikenakan terhadapnya;
b. Untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaan dan berhubungan dengan pengacara yang dipilihnya sendiri;
c. Untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya;
d. Untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela diri secara langsung atau melalui pembela yang dipilihnya sendiri, untuk diberitahukan tentang hak ini bila ia tidak mempunyai pembela dan untuk mendapatkan bantuan hukum demi kepentingan keadilan, dan tanpa membayar jika ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayarnya;
e. Untuk memeriksa atau meminta diperiksa saksi-saksi yang memberatkannya dan meminta dihadirkan dan diperiksa saksi-saksi yang meringankannya, dengan saksi-saksi yang memberatkannya;
f. Untuk mendapatkan bantuan cuma-cuma dari penerjemah apabila ia tidak mengerti atau tidak dapat berbicara dalam bahasa yang digunakan di pengadilan;
g. Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, atau dipaksa mengaku bersalah
(4) Dalam kasus orang di bawah umur, prosedur yang dipakai harus mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk meningkatkan rehabilitas bagi mereka.
(5) Setiap orang yang dijatuhi hukuman berhak atas peninjauan kembali terhadap keputusannya atau hukumannya oleh pengadilan yang lebih tinggi, sesuai dengan hukum;
(6) Apabila seseorang telah dijatuhi hukuman dengan keputusan hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan apabila kemudian ternyata diputuskan sebaliknya atau diampun berdasarkan suatu fakta baru, atau fakta yang baru saja ditemukan menunjukkan secara meyakinkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam penegakan keadilan. Maka orang yang telah menderita hukuman sebagai akibat dari keputusan tersebut harus diberi ganti rugi menurut hukum. Kecuali jika dibuktikan bahwa tidak terungkapnya fakta yang tidak diketahui itu. Sepenuhnya atau untuk sebagian disebabkan karena dirinya sendiri.
(7) Tidak seorang pun dapat diadili atau dihukum kembali untuk tindak pidana yang pernah dilakukan, untuk mana ia telah dihukum atau dibebaskan, sesuai dengan hukum dan hukum acara pidana di masing-masing negara.
Pasal 15
(1) Tidak seorang pun dapat dinyatakan bersalah atas suatu tindak pidana karena melakukan atau tidak melakukan tindakan yang bukan merupakan tindak pidana pada saat dilakukannya, baik berdasarkan hukum nasional maupun internasional. Tidak pula diperbolehkan untuk menjatuhkan hukuman yang lebih berat daripada hukuman yang berlaku pada saat tindak pidana tersebut dilakukan. Apabila setelah dilakukannya suatu tindak pidana muncul ketentuan yang lebih ringan hukumannya, maka pelaku harus mendapatkan keuntungan dari ketentuan tersebut.
(2) Tidak ada satu hal pun dalam Pasal ini yang dapat merugikan persidangan dan penghukuman terhadap seseorang atas tindakan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan, yang pada saat hal itu terjadi masih merupakan suatu kejahatan menurut asas-asas hukum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
Pasal 26
(1) Semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apa pun.
(2) Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi apa pun, dan menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap diskriminasi atas dasar apa pun seperti ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain.
5. Bahwa berdasarkan Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Terhadap semua orang dari Tindakan Penghilangan paksa, menyebutkan:
Pasal 1
(1) Tidak ada setiap orang pun boleh dihilangkan secara paksa.
(2) Tidak ada pengecualian apa pun, apakah dalam keadaan perang
atau ancaman perang, situasi politik dalam negeri yang tidakndikenakan penyiksaan atau perlakukan atau hukuman lain, situasi politik dalam negeri yang tidak stabil atau situasi darurat lain, yang dapat diterima sebagai alasan pembenar terhadap tindakan penghilangan secara paksa.
Pasal 2
Menurut Konvensi ini, penghilangan secara paksa adalah penangkapan, penahanan, penculikan atau tindakan lain yang merampas kebebasan yang dilakukan oleh aparat Negara atau oleh orang-orang maupun kelompok yang melakukannya dengan mendapat kewenangan, dukungan serta persetujuan dari Negara, yang diikuti dengan penyangkalan pengetahuan terhadap adanya tindakan perampasan kebebasan atau upaya menyembunyikan nasib serta keberadaan orang yang hilang sehingga menyebabkan orang-orang hilang tersebut berada di luar perlindungan hukum.
Pasal 3
Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah yang perlu untuk menyelidiki tindakan-tindakan yang dimaksud dalam Pasal 2, yang dilakukan oleh orang-orang atau sekelompok orang yang bertindak tanpa kewenangan, dukungan atau persetujuan dari Negara serta membawa mereka yang bertanggungjawab ke pengadilan.
Pasal 4
Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah penting untuk menjamin bahwa penghilangan paksa merupakan kejahatan dalam hukum pidananya.
Pasal 5
Praktek penghilangan secara paksa yang dilakukan secara meluas atau sistematis adalah kejahatan terhadap kemanusiaan seperti dimaksud dalam hukum internasional yang berlaku dan harus memperoleh konsekuensi seperti yang berlaku di bawah hukum internasional.
6. Bahwa berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak- hak sipil dan politik menyebutkan “Tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakukan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Pada khususnya, tidak seorang pun dapat dijadikan objek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas.”
7. Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan sebagai berikut:
Pasal 16 Ayat (1)
Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
Pasal 66 Ayat (1)
Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
8. Bahwa negara-negara Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) pada tanggal 10 Desember 1948 telah memproklamasikan Pernyataan Umum tentang Hak Asasi Manusia yang dikenal dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) 10 Desember 1948, dimana deklarasi tersebut merupakan bentuk pengakuan umum bangsa-bangsa di dunia perihal penghormatan dan perlindungan HAM atas diri setiap manusia, khususnya hak mengenai:
(1) Hak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu, yang lengkap nya berbunyi: “Everyone has the right to life, liberty and security of person” (Pasal 3/Article 3);
(2) Hak untuk tidak diganggu urusan pribadinya, keluarganya, rumah tangganya atau hubungan surat menyuratnya dengan sewenang-wenang; juga tidak diperkenankan melakukan pelanggaran atas kehormatan dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan atau pelanggaran seperti ini, yang lengkapnya berbunyi: “No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation.
Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks” (Pasal 12 / Article 12);
C. PELANGGARAN PROSEDUR PENGGUNAAN SENJATA BAGI POLISI
Prinsip-prinsip penggunaan kekerasan dan senjata api oleh pihak kepolisian, pada dasarnya masuk dalam prinsip-prinsip dasar PBB tentang penggunaan kekerasan dan sejata api oleh petugas penegak hukum, yang diadopsi dari Kongres PBB ke-8 tentang perlindungan kejahatan dan perlakuan terhadap pelanggar hukum di Havana, Kuba.
Peraturan yang mengatur mengenai penggunaan senjata api oleh polisi antara lain diatur dalam Perkapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 8/2009”), serta di dalam Perkapolri No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian (“Perkapolri 1/2009”).
Berdasarkan Pasal 47 Perkapolri 8/2009 disebutkan bahwa:
(1) Penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar
diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia.
(2) Senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan untuk:
a. Dalam hal menghadapi keadaan luar biasa;
b. Membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat;
c. membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat;
d. mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang;
e. menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa; dan;
f. menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah- langkah yang lebih lunak tidak cukup.
Pada prinsipnya, penggunaan senjata api merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka (Pasal 8 ayat (2) Perkapolri 1/2009).
D. PELANGGARAN PERATURAN KAPOLRI
Bahwa terjadi penyimpangan hukum dan prosedur di antaranya Perkap Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam tindakan Kepolisian, Perkap Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengendalian Masa, Perkap Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara bertindak dalam Penanggulangan Huru-Hara dan Perkap Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia;
1. Bahwa berdasarkan Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan:
Pasal 10:
Setiap Anggota Polri Wajib:
a. Menghormati harkat dan martabat manusia berdasarkan prinsip dasar hak asasi manusia;
b. Menjunjung tinggi prinsip kesetaraan bagi setiap warga negara di hadapan hukum
c. Memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan cepat, tepat, mudah, nyaman, transparan dan akuntabel berdasarkan ketentuan perundang-undangan;
d. Menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran, keadilan dan menjaga kehormatan dalam berhubungan dengan masyarakat.
Pasal 14:
Setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas penegakan hukum sebagai penyelidik, penyidik pembantu, dan penyidik dilarang:
a. Mengabaikan kepentingan pelapor, terlapor, atau pihak lain yang terkait dalam perkara yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan;
b. Menempatkan tersangka di tempat bukan rumah tahanan negara/ Polri dan tidak memberitahukan kepada keluarga atau kuasa hukum tersangka;
c. Merekayasa dan manipulasi perkara yang menjadi tanggung jawabnya dalam rangka penegakan hukum
d. Merekayasa isi keterangan dalam berita acara pemeriksaan;
e. Melakukan pemeriksaan terhadap seseorang dengan cara memaksa
untuk mendapatkan pengakuan;
f. Melakukan penyidikan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan karena adanya campur tangan pihak lain;
g. Menghambat kepentingan pelapor, terlapor dan pihak terkait lainnya yang sedang berperkara untuk memperoleh haknya dan/ atau melaksanakan kewajibannya;
h. Merekayasa status barang bukti sebagai barang temuan atau barang tak bertuan.
2. Bahwa berdasarkan Pasal 3 huruf a, c dan e Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam tindakan Kepolisian, menyatakan:
Prinsip-prinsip penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian meliputi:
a. Legalitas, yang berarti bahwa semua tindakan kepolisian harus sesuai dengan hukum yang berlaku;
b. Proporsionalitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan harus
dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respons anggota Polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian/korban/penderita yang berlebihan
c. Preventif, yang berarti bahwa tindakan kepolisian mengutamakan pencegahan.
3. Bahwa berdasarkan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyatakan:
Pasal 5 Ayat (1)
Instrumen Perlindungan HAM yang perlu diperhatikan oleh setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas berdasarkan Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, meliputi:....
Huruf v
Hak untuk tidak disiksa
Huruf b
Hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia.
Pasal 5 ayat (2)
Bagian dari HAM yang tidak dapat dikurangi oleh siapa pun dan dalam keadaan apa pun (non-derogable rights) adalah
Huruf b
Hak untuk tidak disiksa
Pasal 11 ayat (1)
Setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan:.....
Huruf b:
Penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan;
Huruf d
Penghukuman dan/atau perlakuan yang tidak manusiawi yang merendahkan martabat manusia
Huruf g
Penghukuman dan tindakan fisik yang tidak berdasarkan hukum (corporal punishment)
Huruf j
Menggunakan kekerasan dan/atau senjata api yang berlebihan
Pasal 13 ayat (1) huruf a
Dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan, setiap petugas Polri dilarang melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun seksual untuk mendapatkan informasi, keterangan atau pengakuan.
Pasal 23 huruf (a) dan (e)
Tindakan penahanan harus senantiasa memperhatikan prinsip- prinsip dan standar Internasional HAM dalam penahanan sebagai berikut:
a. Semua orang kebebasannya dicabut harus tetap diperlakukan secara manusiawi dan penuh hormat karena martabatnya yang melekat sebagai manusia;
b. Tahanan tidak boleh disiksa, diperlakukan dengan keji dan tidak manusiawi, mendapat perlakuan dan hukuman yang merendahkan martabat, atau diberi ancaman-ancaman lainnya.
Pasal 24 huruf (a)
Dalam melaksanakan tindakan penahanan petugas dilarang menyalahgunakan kewenangan investigasi untuk melakukan tindakan siksaan badan terhadap seseorang.
E. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, maka kami berkesimpulan bahwa diduga kuat telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat dengan terjadinya penghilangan paksa (enforced disappearance) dan penyiksaan (torture) serta pembunuhan atau eksekusi di luar putusan pengadilan (extra judicial killing), yang ke semuanya adalah bentuk dari kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh state actor yaitu Kepolisian Republik Indonesia.
F. TUNTUTAN
Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, Tim Advokasi menyampaikan Laporan INDIKASI Kejahatan HAM yang DIDUGA dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia.
Bahwa tindakan Kepolisian sebagaimana disebutkan di atas terhadap Korban Unfair Trial dan Tragedi 7 Desember 2020 telah melanggar hak asasi Warga Negara Indonesia, menciderai kedaulatan negara Indonesia, dan mengganggu keamanan, kenyamanan dan keselamatan Rakyat Indonesia.
Bahwa INDIKASI TELAH TERJADI PELANGGARAN HAM BERAT tersebut perlu DITINDAKLANJUTI dengan
1. KOMNAS HAM AGAR SEGERA MEMBENTUK TIM PENYELIDIKAN SESUAI DENGAN PASAL 89 Ayat (3) UU NO. 39 TAHUN 1999 DAN PASAL 18 UU N0 26 TAHUN 2000;
2. LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SEGERA MEMBERIKAN PERLINDUNGAN KEPADA PARA SAKSI DAN KORBAN KEKERASAN APARAT KEPOLISIAN PADA PERISTIWA 7 DESEMBER 2020, TERMASUK MEMBERIKAN PERLINDUNGAN KEPADA KELUARGA KORBAN YANG SEDANG MENCARI KEADILAN NAMUN DIHALANG HALANGI SECARA SISTEMATIS;
3. PIMPINAN DPR AGAR SEGERA MEREKOMENDASIKAN PEMBENTUKAN TIM PENYELIDIKAN DAN MEMANGGIL KAPOLRI DAN KAPOLDA METRO JAYA SEBAGAI PIHAK YANG BERTANGGUNGJAWAB;
4. KOMISI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK AGAR SEGERA MEMBERIKAN PERLINDUNGAN KEPADA ANAK-ANAK KORBAN/ SAKSI TRAGEDI 7 DSEMBER 2020 DARI SEGALA INTIMINDASI.
CATATAN XI
TIM ADVOKASI MELANGKAH KE HUKUM INTERNASIONAL
SELAIN melakukan berbagai langkah hukum di dalam negeri, Tim Advokasi juga melangkah ke “Hukum Internasional” dengan melakukan komunikasi dan koordinasi ke berbagai pihak terkait di sejumlah negara. Pasalnya, kasus dugaan tindakan pelanggaran HAM berat—yang diduga—dilakukan Polda Metro Jaya ini, layak “ditangani” lembaga penegakan hukum HAM internasional. Tim Advokasi telah melakukan pelaporan kepada International Criminal Court di Den Haag dan Committee Against Torture di Geneva
Berikut ini Press release dari DPP FPI dan laporan Tim Advokasi yang disampaikan dalam edisi bahasa Inggris:
FPI OFFICIAL PRESS RELEASE
The Highway Massacre
There were several voice notes that were circulating in the social media. The authorities had used partial of these voice notes and twist the facts to their advantage to slander the 6 FPI guards (The Laskars) who were alledgedly massacred by the police force. The 6 unarmed Laskars were among the convoy of cars traveling in Jakarta -Cikampek highway carrying the Honourable Imam Habib Rizieq Shihab (IB-HRS), women, 3 babies and toddlers. There were at least three unmarked cars making an attempt to intrude into the motorcade of IB-HRS to which the car with 6 unarmed laskars tried to prevent.
If the voice notes were to be carefully examines we can easily understand that it contains partial recording of series of communication between the Laskar in motorcade who were in distress due to being attacked by several unmarked cars from different direction, making hostile maneuvers to the vehicle of the 6 unarmed laskars. Common sense would indicate that the voices in the recording were telephone communication suggesting on how to avoid and defend themselves from the aggression and the intrusion. At that time it was unknown to the Laskars nor the entourage the identity of the aggressor, as they were not dressed in uniform.
We would like to emphasize on the fact that ever since the authorities have been spying on IB-HRS home in Sentul , none have ever identified themselves as the police or law enforcement. Up to the point when they ambushed the six unarmed Laskars, there’s never been any claimed from the police that any warrant (letter authorizing an arrest) was ever displayed nor have they ever declared their identity . We never suspect the intruder were the police , as far as our concern they could be highway-robbers. Only later in the day that we discovered their true identity when Jakarta Police Department (POLDA Metro) announced their involvement in the incident in the form of press conference which was obviously depraved.
In our mission to clarify the incident we wish to present the following sequence of events in chronology ;
Sunday, 6 DECEMBER 2020 AT 22: 45 WIB:
Late Sunday evening after 10 p.m IB-HRS and his family depart in motorcade from his home in Nature Mutiara Sentul Bogor Housing. The motorcade was then entered the Jagorawi highway heading North towards Jakarta then made exit at the Cikunir Outer Ring road to merge with the Cikampek Highway , heading East with destination Rest and Health Recovery area in Karawang.
IB-HRS Entourage consists of 8 Cars: 4 Cars – IB-HRS and his family
4 Cars – team of FPI unarmed Laskars acting as personal guards for IB- HRS .
The family group consists of:
1. Male: IB-HRS and Son-in-law , an Ustad (cleric) and his family and 3 drivers.
2. Women and Children: 12 Women, 3 Infants and 6 Toddlers.
3. FPI Laskar (soldier): 24 people in 4 cars, each car occupied by 6 Laskar including the driver
Since their departure from the Nature Mutiara Sentul housing complex, the motorcade were being followed by a Black Avanza car with Licence Plate B 1739 PWQ & Silver Avanza Licence Plate B ...... KJD, as well as several other cars which remain to be unknown .
FPI Laskar team and IB-HRS family witnessed that all of the surveillance cars had been spotted suspiciously on stand by for the last 2 days within the vicinity of Nature Mutiara Sentul Housing and inside the vehicles they saw unidentified people wearing masks.
In the highway in their journey to Krawang , there were efforts from several cars to intercede into the IB-HRS motorcade. However their attempt to do so was always prevented by FPI-Laskar’s cars .
The duty of the FPI Laskar team is to protect the IB-HRS family and guest , therefore they only react toward aggression and intrusion of any uninvited vehicle intruding and /or approaching the vehicle of IB HRS and his family.
We wish to emphasize the facts that through out the journey to Krawang there were many attempt of hostile maneuvers by the surveillance cars to the motorcade. The reaction from the FPI-laskar was only to prevent and to avoid them to break into the line of our convoy. The Laskars observed that those aggressors never identified themselves as the police or officers of the law. Their behaviour in the highway does not represent the behavior of police but was more like a thug. They were highly dangerous and threaten the safety and the lives of the entourage which beside IB-HRS, there were also women, infants and toddlers.
One specific thug like incident , among others, was when the motorcade made their way to Cikunir toll road. The car driven by Habib Hanif was approached side way by a black unverified SUV (maybe Fortuner or Pajero) with a license plate B 1771 KJL, the driver of the car opened the window and emerge himself from the car showing off his tattooed arm addressed to Habib Hanif’s car, while holding up his middle finger.
MONDAY , DECEMBER 7th 2020 at 00: 10 WIB:
After making exit at East Karawang, we spotted 3 surveillance cars; namely Black Avanza B 1739 PWQ, Silver Avanza B ---- KJD & White Avanza K ---- EL . These are the cars that were always trying to break their way into the convoy of IB-HRS entourage. The situation inside the vehicles of IB-HRS and family were tense, in full alert and were praying for safety.
Fortunately 2 of the FPI Laskar cars were able to push away the 3 surveillance Cars from tailgating the cars of IB-HRS family and guest. The position of these 2 laskar cars were at the end of the motorcade. One of the two laskar’s car was a green metallic Chevrolet with license plate B 2152 TBN occupied by 6 FPI Laskars from DKI Jakarta who later all of them died after being ambushed and slaughtered by the Police.
The bright side of the incident, if any, was that the 2 laskar’s cars which positioned were at the end of the motorcade were able to allow IB-HRS family and group to break away from the terror coming from the 3 surveillance cars. Those 3 cars were identified as;
1. Black Avanza B 1739 PWQ
2. Silver Avanza Silver B KJD (the numeric was unable to be identified)
3. White Avanza K EL (the numeric was unable to be identified).
After motorcade exited the East Karawang Toll Gate, one of the Laskar’s car, the Avanza, was being forced by one of the intruder’s car to pull over , luckily the Lasker in the Avanza managed to escape and drove towards the West Karawang Toll Gate, then entered the Cikampek highway and decided to take a rest at KM 57 Resting Area.
In the meantime the other Laskar’s Car (Chevrolet B 2152 TBN) was separated from the other Laskar’s car, the Avanza. Based on their latest communication with the Avanza we learn that Chevrolet B 2152 TBN
was heading towards the West Karawang toll gate when they were being ambushed and captured by the 3 intruders and then they were brutally killed.
At the time, one of the Laskar who was in the Avanza car, the one who was resting at km.57, was still able to communicate with Sufyan alias Bang Ambon, the Laskar who was in a Chevrolet B 2152 TBN. From the cell phone the Laskar in the Avanza was informed by Sufyan alias Bang Ambon that he was surrounded but he insist for the Laskar in the Avanza to keep going when the Laskar in the Avanza heard his friend Bang Ambon shouted “shoot here shoot”, indicating that Bang Ambon was at gun point which was followed by human sound in low voice suffering from excruciating pain which can only be described that Bang Ambon was executed.
Other Laskar in the group was also able to make contact with Faiz (the other Laskar in Chevrolet B 2152 TBN) . This laskar also heard similar sound of someone who was in deep pain as if he had been shot but before he could confirm the phone was disconnected.
We lost contact with the 6 Laskar who were in the Chevrolet and until Monday afternoon of 7th of January their where about was unknown. .
These are the 6 Laskars who were the victims of the highway massacre:
VICTIM NAME, PLACE / DATE OF BIRTH, AGE/WOUND 1. ANDI OKTIAWAN /Jakarta, 29 October 1987/ 33 Years
- Bruises and swolen in left cheek
- Gunshot wounds in the left eye
- 3 gunshot wounds in the left chest
- Blistered in the skin around the spine
- 5 cm scuffed in the head
- Swolen skin in the buttocks
BUKU PUTIH PELANGGARAN HAM BERAT
317
2. AHMAD SOFIYAN (Bang AMBON)/ Jakarta, 06 July 1994/ 26 Years
- 2 gunshot wounds in the left chest
- Swolen and bruises in the Penis.
3. FAIZ AHMAD SYUKUR (FAIZ)/ 15 September 1998/ 22 Years
- Swolen in the forehead
- 2 gunshot wounds in the left chest (one above the nipple and one below the nipple)
- Stiches in the neck
- gunshot wounds in right leg
- gunshot wounds in left hand
4. MUHAMMAD REZA (REZA)/ Jakarta, 07 June 2000/ 20 Years
- Bruises and swolen in the left cheek and forehead, blackened
- Swolen in the left arm
- Swolen and bruises in the Penis
- Still bleeding in the rear wound
5. LUTFI HAKIM /27 September 1996/ 25 Years
- All the skin in the rear body swolen
- 4 gunshot wounds in the left chest . A hole in the chest, blackened
- Swolen and bruises in the Penis
6. MUHAMMAD SUCI (KHADAVI)/ Born in 1999/ 21 years
- Swolen in the left eye
- 4 gunshot wounds in the left chest (one above the nipple and one below the nipple)
When the Laskar in the Avanza car was taking a rest at KM 57, they also noticed that they were being gaze at, there were drones being deployed. After 1 hour resting at KM 57, they left and headed for the FPI office in Karawang taking the West Karawang toll gate access.
When entering the West Karawang toll road, the Laskar in the Avanza retrace the location of their friend in the Chevrolet B 2152 TBN and they went to location to what was estimated to be the scene of the crime but to their disappointment they did not find the 6 Laskar who were left behind to which later discovered they were all killed by the police.
Again on the way to the FPI Office in Karawang the Laskar in the Avanza was being followed but managed to escape as they took the narrow roads in the village and finally they arrived at FPI office in Karawang safely.
Later in the day the chief of police of POLDA Metro Jaya held a press conference and announced that the 6 FPI Laskars were shot dead in self defence.
What was conveyed by the chief of police was completely opposite with what really happens. It was a complete lies and totally fictional. We hereby deny all statement and claims from the chief of police with regard to the killing of the 6 laskars. We demand responsibility for the death of the 6 unarmed laskar. We hereby swear and confirmed the following;
1. It is NOT TRUE that the 6 Laskars were the party who attacked the Police, on contrary it was the Police who initiate the aggression , attacked and then killed the unarmed laskars in cold blood.
2. It is NOT TRUE that the 6 Laskars was in possession of any firearms, weapon of any kind nor did they commit any shooting.
3. All weapons publicly displayed by the POLDA Chief of Police in the press conference are fabricated exhibits , fake, with cruel intention to deceive the public and to cover up the massacre.
4. The aggressor , the Polic,e was not wearing uniform and they do not reflects the conduct of officers of the law and they never identified themselves as the Police when they unlawfully executed the 6 Laskars.
5. There are 19 gunshot wounds found in the body of 6 laskars , how can this justify a self defence by the Police?
6. The burden of prove is with the police. If they claimed that they act in self defence they have the obligation to prove to the public that the shooters who killed the 6 laskars were in imminent danger, the police have to prove that they were in a kill or to be killed situation.
7. There was No. shread of evidence that any of the 6 laskars fired a gun , own any weapons of whatsoever. There is No. trace of projectiles anywhere to suggest gun was fired by the 6 laskars.
8. The torturing and killing of 6 laskars was obviously extra judicial killing and it is gross violations of human rights, it shall be construed as a crime against humanity. We have reasons to belive that it was systimatically premeditated and the State is involved, at the least they are guilty by omission.
9. The main issue is just a minor violation of health protocols by IB- HRS. The pursuit, the energy and the law enforcement practiced by POLDA Metro and by the State was highly excessive. It also demonstrate discrimination in the enforcement of law to IB-HRS , this is true because at the same time the State the Police ignore similar violation by others throughout the Country.
10. It is sadly ironic when obviously there was extra judicial killing of 6 Laskars was committed on December 7 2020, instead of pursuing for the killer of those Laskar , POLDA Metro prioritize their enforcement on declaring IB-HRS as the suspect of health protocols violation and the State remain silence and seem to support this policy.
Central Leadership Council - Islamic Defenders Front KH. Ahmad Shabri Lubis, S.Pd.I
Chairman
SUBJECT: Report/Complaint on Crime against Humanity to 6 Indonesian Citizen who were tortured, abducted and shot to death by the Indonesian Police Force on December 7th 2020 in the outskirt of Jakarta Highway.
A. INTRODUCTION
1. We, the undersigned, are attorneys united as Advocacy Team for the Victims of the Highway Massacre on 7th December 2020 (TIM ADVOKASI KORBAN PEMBANTAIAN 7 DESEMBER 2020).
2. Our mission is to advocate the prosecution of the Indonesian Police Force for the systematic attacked, tortured, enforced disappearance and extrajudicial killing against 6 (six ) Indonesian Citizen at the Jakarta-Cikampek Highway on 7 December 2020.
3. Our Office: Daarul Aitam Foundation Office Complex, Jl. K.H. Mas Mansyur No. 47 Level 2, No. 8, Central Jakarta, Cell Phone. 085310869063.
B. THE VICTIM
Below are the 6 (six ) Indonesian Citizen who are the victims of the Highway Massacred on 7th December 2020, priorly abducted and tortured before they were shot to death at close range by the Indonesian Police:
1. ANDI OKTIAWAN /Jakarta, 29 October 1987/ 33 years old
- Bruises and swolen in left
cheek
- Gunshot wounds in the left
eye
- 3 gunshot wounds in the left
chest
- Blistered in the skin around
the spine
- 5 cm scuffed in the head
- Swolen skin in the buttocks
2. AHMAD SOFIYAN (Bang AMBON)/ Jakarta, 06 July 1994/ 26 Years Old
- 2 gunshot wounds in the left
chest
- Swolen and bruises in the
Penis.
3. FAIZ AHMAD SYUKUR (FAIZ)/ 15 September 1998/ 22 Years Old
- Swolen in the forehead
- 2 gunshot wounds in the left
chest (one above the nipple
and one below the nipple)
- Stiches in the neck
- Gunshot wounds in right leg
321
PEMBUNUHAN ENAM PENGAWAL HRS
4. MUHAMMAD REZA (REZA)/ Jakarta,
7 June 2000/ 20 Years
- Swolen in the forehead
- 2 gunshot wounds in the left
chest (one above the nipple
and one below the nipple)
- Stiches in the neck
- Gunshot wounds in right leg
5. LUTFI HAKIM /27 September 1996/ 25 Years Old
- All the skin in the rear body
swolen
- 4 gunshot wounds in the left
chest . A hole in the chest,
blackened
- Swolen and bruises in the
Penis
6. MUHAMMADSUCI (KHADAFI)/ Born in 1999/ 21 years old
- Swolen in the left eye
- 4 gunshot wounds in the left
chest (one above the nipple and one below the nipple)
322
C. THE BACKGROUND STORY
1. Muhammad Rizieq Shihab (HRS), prominent cleric with millions of followers and worshipers, had just returned to his home in Jakarta after about 3 (three) years of living in exile in Mecca, Saudi Arabia. Upon his return he invited close relatives and friends for small gathering to celebrate the birth of Prophet Muhammad and at the same time held wedding reception for his daughter Syarifah Najwa Shihab who married to Habib Muhammad Irvan Alaydrus on November 14, 2020. However beyond expection the attendees had far exceeded the guest list.
2. After the gathering and the reception was concluded, the DKI Jakarta Provincial Government ruled that it was a violation to health protocol regulation as issued by the Province of DKI Jakarta. HRS was then punished to pay fine amounting to IDR 50,000,000 (fifty million rupiah) to which he had fully paid in full without contest.
3. In the meantime , regardless that the Provincial Government of Jakarta had punished HRS for the gathering and for the reception , the Regional Police of Jakarta named POLDA Metro, still pursue for more punishment and conducted an investigation to prosecute HRS. HRS was then summoned to appear at Police Station of POLDA Metro On 1st Of December 2020. At that time HRS was summoned as a witness to which HRS via his lawyer, requested for postponement to December 7th, 2020. The request was granted.
4. Within the first week of December 2020 HRS stayed in his home at Sentul, Bogor (60 kilo meter South of Jakarta) . During his stay , FPI Guards (the Laskars) noticed that there has been surveillance on HRS in his home at Nature Mutiara Housing in Bogor. There were 3 vehicles have been on lookout and parked suspiciously within the vicinity of HRS home and inside the vehicles the Laskars spotted unidentified people wearing masks. Only later that we believe these people were the Police from POLDA Metro.
5. Sunday, December 6, 2020 at approximately 10.45 pm, HRS and his family depart in a motorcade from his home at Nature Mutiara Housing, Sentul Bogor destination a Resort Area in Karawang, 60 KM East of Jakarta.
HRS motorcade consists of 8 Cars: 4 Cars – HRS and his family
4 Cars – team of FPI unarmed Laskars acting as personal guards for HRS .
The family group consists of:
(1.) Male: HRS and Son-in-law , an Ustad (religious teacher) and his family and 3 drivers.
(2.) Women and Children: 12 Women, 3 Infants and 6 Toddlers.
(3) FPI Laskars: 24 people in 4 cars, each car occupied by 6 Laskar including the driver
6. The HRS motorcade was then entered into the Jagorawi highway heading North towards Jakarta , made exit at the Cikunir Outer Ring road to merge with the Cikampek Highway , heading East toward their destination in Kerawang.
7. Since their departure from HRS home in Sentul, Bogor, the motorcade were being followed by a Black Avanza car with Licence Plate B 1739 PWQ & Silver Avanza Licence Plate B ...... KJD, as well as several other cars which remain to be unknown (Unmarked Cars).
8. In the highway, in their journey to Krawang , there were attempts from the Unmarked Cars to intercede into the HRS motorcade. However their attempt to do so was always prevented by FPI-Laskar’s cars. The duty of the FPI Laskar team is to protect the HRS family and his guest , therefore they only react toward aggression and intrusion of any uninvited vehicle intruding and /or approaching the vehicle of HRS and his family.
9. Through out the journey to Kerawang there were many attempts of hostile maneuvers by the Unmarked Cars to the motorcade. The reaction from the FPI-Laskar was only to prevent and to avoid any of those cars to break into the line of the convoy. The Laskars observed that those aggressors never identified themselves as the police or officers of the law. Their behaviour in the highway does not represent the behavior of police officers but was more like a thug. They were highly dangerous and threaten the safety and the lives of the entourage which beside HRS, there were also women, infants and toddlers.
One specific thug like incident , among others, was when the motorcade made their way to Cikunir toll road. The car driven by Habib Hanif was approached side way by a black unverified SUV (maybe Fortuner or Pajero) with a license plate B 1771 KJL, the driver of the car opened the window and emerge himself from the car showing off his tattooed arm addressed to Habib Hanif’s car, while holding up his middle finger.
10. Monday , December 7, 2020 at approximately 0.10 am (ten minutes passed midnight) , after the Motorcade making exit at East Karawang, the Laskars spotted 3 Unmarked cars; namely Black Avanza B 1739 PWQ, Silver Avanza B ---- KJD & White Avanza K ---- EL . These are the cars that were always trying to break their way into the convoy of HRS entourage. The situation inside the vehicles of HRS and family were terrified, in full alert and were praying for safety.
11. Fortunately 2 of the FPI Laskar cars were able to pushed away the 3 Unmarked Cars from approaching the cars of HRS family and guest. The position of these 2 Laskar cars were at the end of the motorcade. One of the two laskar’s car was a green metallic Chevrolet with license plate B 2152 TBN occupied by 6 FPI Laskars from DKI Jakarta who later all of them died after being ambushed and slaughtered by the Police. This mean that the 2 laskar’s cars which were at the end of the motorcade were able to allow HRS
family and group to break away from the terror coming from the 3 Unmarked cars.
12. Two of Laskar Cars had succeeded to halt the Unmarked Cars from inflicting harms to HRS motorcade. As the 2 laskar cars was making their exit at the East Karawang Toll Gate, one of the Laskar’s car, the Avanza, was being forced by one of the Unmarked car to pull over, luckily the Lasker in the Avanza managed to escape and drove towards the West Karawang Toll Gate, then entered the Cikampek highway and decided to take a rest at KM 57 Resting Area.
13. In the meantime the other Laskar’s Car (Chevrolet B 2152 TBN) was separated from the other Laskar’s car, the Avanza. Based on their latest communication with the Avanza the Laskar in the Avanza learned that Chevrolet B 2152 TBN was left behind at the West Karawang toll gate and they were being ambushed and captured by the people in the Unmarked cars to which later we discovered they were tortured and brutally killed.
14. At the time, one of the Laskar who was in the Avanza car, the one who was resting at km.57, was still able to communicate with Sufyan alias Bang Ambon, the Laskar who was in a Chevrolet B 2152 TBN. Through the cell phone the Laskar in the Avanza was informed by Sufyan alias Bang Ambon that he was surrounded but he insist for the Laskar in the Avanza to keep on going , but then the Laskar in the Avanza heard his friend Bang Ambon shouted “shoot here shoot”, indicating that Bang Ambon was at gun point which was followed by human sound in low voice suffering from excruciating pain which can only be described that Bang Ambon was executed.
15. Other Laskar in the group was also able to make contact with Faiz (the other Laskar in Chevrolet B 2152 TBN) . This laskar also heard similar sound of someone who was in deep pain as if he had been shot but before he could confirm the phone was disconnected.
16. For a while the FPI laskars in the motorcade lost contact with the 6 Laskar who were in the Chevrolet. Until Monday afternoon of 7th of January their where about was unknown. Later in the day the chief of police of POLDA Metro Jaya held a press conference and announced that the 6 FPI Laskars were shot dead by the Police in self defence.
D. THE POLICE VERSION
What was conveyed by the chief of POLDA Metro police was completely opposite with what really happens. It was a complete lies and totally preposterous.
We hereby deny all statement and claims from the chief of police with regard to the killing of the 6 Laskars. We demand responsibility for the death of the 6 unarmed laskar. Upon our questioning with the Laskar who were in the motorcade, he swore and therefore confirmed the following;
1. It is NOT TRUE and totally slanderous that the 6 Laskars were the party who attacked the Police first on contrary it was the Police who initiate the aggression and attacked, captured , abducted and then brutally killed the unarmed laskars in cold blood.
2. The laskars was never armed so its slanderous to suggest that the 6 Laskars was in possession of firearms, weapon of any kind nor did they commit any shooting to that matter.
3. All weapons publicly displayed by the POLDA Metro Chief of Police in the press conference are fabricated exhibits , fake, with cruel intention to deceive the public and to cover up the massacred.
4. The Unmarked cars in the highway was controlled by people who was not wearing uniform, they never identified themselves as the Police or any other law enforcer.
5. There are 19 gunshot wounds (holes) found in the body of 6 laskars indicated that they were shot in close range we also found bruises and laceration in the skin which is proof of torture prior to being executed.
E. OURASSESSMENT
1. The commission by the Polda Metro Police is systematic attack directed against 6 Laskars who are civilian citizen, with knowledge of the attack to murder, torture, enforced dissappearance, inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering or serious injury to body or to mental or physical health.
2. The main issue is just a minor violation on health protocols by IHRS. The pursuit, the energy and the law enforcement practiced by POLDA Metro and by the State was highly excessive as if HRS has committed a serious crime. It also demonstrate discrimination in the enforcement of law to HRS , this is true because at the same time the State and the Police ignore similar violation by others throughout the Country .
3. It is sadly ironic when in the same time and same date the killing of 6 Laskars was committed on December 7 2020, instead of pursuing for the killer of those Laskar , POLDA Metro prioritize their enforcement on declaring HRS as the suspect of health protocols violation and issue an ultimatum to HRS to surrender.
4. To date, the State , Republic of Indonesia has yet to offer public recognition of its responsibility for the killing of the 6 Laskars and has failed to offer apology or condolences to their family for their death and for the manner in which they were killed.
5. The killing of the 6 Laskars is a violation of the provisions of the Vienna Convention and Rome Statute. The circumstances of the execution shall be considered as an act of torture under the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment.
6. Based on all of the above we conclude that the commission by the POLDA Metro Police constitute Crime Against Humanity.
F. OUR RECOMMENDATION
Our recommenadation is for this Institution to initiate a follow-up criminal investigation into the killing of the Six Laskars to build strong files on each of the alleged perpetrators and identify mechanisms for formal accountability, such as an ad hoc or hybrid tribunal. The organization should be able to establish an international follow-up criminal investigation without any trigger by a State.
Advocacy Team for the Victims of the Highway Massacre on 7th December 2020 (TIM ADVOKASI KORBAN PEMBANTAIAN 7 DESEMBER 2020)
1. Aziz Yanuar P, SH, MH, MM,
2. Wisnu Radakita ,SH, MH
3. M. Kamil Pasha, SH , MH
CATATAN XII
MENIMBANG KLAIM PEMBELAAN TERPAKSA DALAM PENEMBAKAN PENGAWAL HRS
(Sesuai dengan judul tulisan ini, klaim pembelaan terpaksa didasarkan pada keterangan pihak Polda Metro Jaya. Disisi lain alasan pembelaan terpaksa dipertanyakan oleh banyak pihak. Oleh karenanya perlu dilakukan analisis normatif yuridis guna menilai klaim dimaksud). Perbuatan pidana dimaksudkan sebagai perbuatan yang dilarang undang-undang pidana dan kepada pelakunya diancam sanksi pidana. Penjatuhan pidana sebagaimana yang diancamkan didasarkan adanya ‘kesalahan’ (mens rea) pelaku tindak pidana. Kesalahan sebagai unsur subjektif merupakan dasar pertanggungjawaban pidana.
Seseorang tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, jika pada dirinya tidak ada kesalahan. Tanda konkret adanya kesalahan menunjuk pada ‘kesengajaan’ (dolus) dan ‘kealpaan/kelalaian’ (culpa). Menurut Memorie van Toelichting, kesengajaan itu adalah ‘menghendaki’ dan ‘mengetahui’ (willens en wetens). Maksudnya, seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja itu, haruslah menghendaki (willens) apa yang ia perbuat dan harus mengetahui pula (wetens) apa yang ia perbuat tersebut beserta akibatnya.
Sementara KUHP menentukan keadaan-keadaan tertentu yang memungkinkan seorang pelaku tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan pidana. Dengan kata lain, perbuatan dalam situasi khusus yang memenuhi persyaratan tidak dapat dijatuhi pidana. Di sini, beberapa perbuatan yang bersifat ‘melawan hukum’ (wederrechtelijk) dikecualikan dari ketentuan hukum pidana, sebab adanya alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana di antaranya adalah ‘pembelaan terpaksa’ (noodweer) dan ‘pembelaan terpaksa yang melampaui batas’ (noodweerexces).
Dengan demikian, hakim memberikan putusan bebas. Terhadap
pelaku tidak dapat dipertanggungjawabkan, dikarenakan adanya
penghapus pidana tersebut. Pada pembelaan terpaksa dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas sangat terkait dengan klaim pihak Kepolisian (in casu Polda Metro Jaya) dalam penembakan para pengawal Imam Besar Habib Rizieq Syihab (IB HRS).
Pada prinsipnya pembelaan terpaksa harus memenuhi persyaratan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 49 Ayat (1) KUHP. Begitupun pembelaan pembelaan terpaksa yang melampaui batas harus merujuk pada ketentuan Pasal 49 Ayat (2) KUHP. Pasal 49 Ayat (1) KUHP menyebutkan: “Barang siapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari pada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum”.
Rumusan demikian menekankan adanya serangan langsung yang mengancam seketika. Maksudnya, antara adanya serangan dan saat pembelaan dilakukan dalam waktu yang tidak berlangsung lama. Dipersyaratkan, pembelaan yang dilakukan disebabkan tidak ada upaya lain untuk menghindari serangan tersebut. Oleh karena itu, sedapat mungkin dilakukan upaya menghindar. Ketika upaya menghindar tidak dapat dilakukan, maka barulah pembelaan terpaksa dapat dilakukan.
Tegasnya upaya menghindar merupakan suatu keharusan. Kemudian menyangkut sifat pembelaan itu sendiri, dipersyaratkan harus proporsional. Pembelaan itu harus seimbang dengan serangan yang dialami. Tidak dapat dibenarkan pembelaan melebihi (melampaui) dari serangan. Jika pembelaan terpaksa digolongkan sebagai alasan pembenar, maka pembelaan terpaksa yang melampaui batas—sesuai dengan sifatnya—merupakan alasan pemaaf. Pasal 49 Ayat (2) KUHP menyebutkan: “Melampui batas pertahanan yang sangat perlu, jika perbuatan itu dengan sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan terguncang dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum”. Pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas dipersyaratkan harus
adanya situasi yang sama pada pembelaan terpaksa sebagaimana dijelaskan di atas.
Kemudian, terhadap situasi yang demikian harus timbul keguncangan jiwa yang demikian hebat akibat adanya serangan. Dapat dikatakan, terjadinya pembelaan sebagai akibat langsung dari keguncangan jiwa yang hebat itu, sehingga ia tidak mampu menahan guncangan jiwanya. Artinya, ada hubungan kausalitas antara keguncangan jiwa dengan serangan seketika. Kembali pada kasus penembakan terhadap pengawal IB HRS sebagaimana disampaikan oleh pihak Kepolisian, telah terjadi tembak-menembak. Terlepas adanya perbedaan versi kronologis, namun mengacu kepada persyaratan pembelaan terpaksa sebagaimana disebutkan Pasal 49 Ayat (1) KUHP, yakni keharusan menghindar ternyata tidak terpenuhi. Sepatutnya, upaya menghindar dilakukan, terlebih lagi kemampuan untuk itu tersedia.
Tidak dapat dikatakan terpenuhi syarat pembelaan terpaksa, selama masih mampu menghindar. Kemudian, terhadap keempat orang pengawal IB HRS yang dimasukkan ke dalam mobil, pihak Kepolisian mengatakan adanya penyerangan dan upaya perebutan pistol dan oleh karenanya dilakukan tindakan tegas terukur berupa penembakan. Lagi lagi, ini pun tidak sesuai dengan persyaratan pembelaan terpaksa dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Persyaratan proporsionalitas tidak terpenuhi. Dikatakan demikian oleh karena tidak terdapat kondisi yang seimbang. Para pengawal IB HRS dalam keadaan tidak bersenjata. Hal ini menunjukkan kondisi yang tidak seimbang. Terlebih lagi, tidak dilakukan upaya pelumpuhan, namun yang terjadi justru tembakan yang mematikan. Menjadi jelas pembelaan yang dimaksudkan melampaui dari serangan.
Lebih lanjut, jika asumsikan adanya keguncangan jiwa yang demikian hebat akibat serangan dan upaya merebut pistol ternyata juga tidak memenuhi persyaratan. Bagaimana mungkin terjadi keguncangan jiwa yang hebat seketika itu, jika terhadap para pengawal IB HRS tidak dilakukan tindakan pengamanan sebelumnya dengan pemborgolan.
PEMBUNUHAN ENAM PENGAWAL HRS
P
g
o
o
l
l
r
g
r
i
g
334
Lebih dari itu, bagaimana mungkin dapat didalilkan adanya hubungan kausalitas antara keguncangan jiwa yang hebat dengan serangan seketika tersebut. Tindakan yang tidak seimbang sangat jauh dari keguncangan jiwa. Serangan seketika harus berhadapan dengan keguncangan jiwa yang tiba-tiba pula. Serangan tangan kosong dan upaya perampasan pistol yang didalilkan bukanlah serangan yang menimbulkan keguncangan jiwa yang demikian hebat.
Pada akhirnya, klaim Polda Metro Jaya bahwa penembakan berujung maut dilakukan karena pembelaan terpaksa masih sebatas asumsi. Pembuktian terpenuhi atau tidaknya pembelaan terpaksa maupun pembelaan terpaksa yang melampaui batas itu harus dibuktikan di depan sidang Pengadilan. Pada akhirnya, Pengadilan yang berhak memutuskannya berdasarkan ketentuan Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHP. Pengadilan dimaksud tentunya adalah Pengadilan HAM. Harapan rakyat, segerakanlah Pengadilan HAM guna tegaknya “kepastian hukum yang adil”. Untuk itu Komnas HAM tidak boleh kalah!
(Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, SH., MH / Direktur HRS Centre,, Jakarta, 28 Desember 2020).
BENARKAH FIKRI, ADI DAN FAISAL ADALAH POLISI PENEMBAK ENAM PENGAWAL HRS?
Pertanyaan ini muncul sehubungan dengan beredarnya media sosial Oppositeleaks yang menayangkan foto dan pelaporan Briptu Fikri Ramadhan kepada Mabes Polri tanggal 7 Desember 2020 yang disertai dua orang saksi yaitu Bripka Faisal Khasbi dan Bripka Adi Ismanto. Uniknya Terlapor adalah enam anggota Laskar yang meninggal. Banyak pernyataan mendesak agar Kepolisian segera mengumumkan nama- nama penembak dan personal lain yang terlibat dalam kasus yang menjadi perhatian nasional bahkan dunia.
Kualifikasi kejahatan teringan berdasarkan Laporan Komnas HAM adalah pelanggaran HAM dengan indikasi unlawful killing. Bungkamnya
P
i hin
ga kini tentang siapa anggotanya yang telah melakukan
BUKU PUTIH PELANGGARAN HAM BERAT
335
penembakan hingga tewas tersebut tentu dapat menimbulkan banyak spekulasi. Ini kondisi yang tidak sehat.
Dugaan bahwa Kepolisian sedang berpikir keras dan mencari skenario penyelamatan korps wajar menjadi opini publik.
Korban tewas diputar menjadi penjahat sementara pembunuh sebagai pahlawan. Munculnya tiga nama Fikri, Adi, dan Faisal didapat Oppositeleaks 6890 dari pelaporan 7 Desember 2020 pada hari yang sama dengan terjadinya peristiwa pembunuhan dini hari. Aksi sendiri dimulai jam 23.45 WIB tangga 6 Desember 2020. Briptu Fikri Ramadhan menerangkan tindakan aparat melakukan hal tersebut tak lain sebagai “tindakan tegas dan terukur kepada pelaku”. Publik menilai ini untuk mengganti diksi “menembak” (bacaan lain “membantai” dan “menyiksa”).
Tiga hal kemungkinan terhadap tiga nama di atas, yaitu:
Pertama, Briptu Fikri, Bripka Adi, dan Bripka Faisal itulah yang melakukan penembakan sehingga ketiganya yang paling siap untuk mempertanggungjawabkan hingga ke proses hukum peradilan sesuai peristiwa atau skenario peristiwa.
Kedua, bukan ketiganya, tetapi mereka menjadi “pemeran pengganti” sekedar formalitas untuk melaporkan. Ada pelaku lain baik anggota Polri atau instansi lain yang menjadi eksekutor sebenarnya.
Ketiga, anggota Polri dan instansi lain berkolaborasi untuk mengeksekusi. Artinya dapat lebih dari tiga orang personil di atas. Proses penguntitan dan pembuntutan dilakukan bukan oleh satu atau dua orang. Banyak orang dan pihak yang diduga terlibat. Siapa sebenarnya mereka itu tentu sangat mudah diketahui oleh lembaga Kepolisian yang telah mengakui bahwa penembak adalah aparat.
Hanya hingga kini terjadi keanehan bahwa hal yang mudah ini justru tidak diungkap. “Jangan grasa grusu” kata seorang pejabat Mabes Polri. Ini bukan soal grasa grusu akan tetapi fakta kejahatan yang mesti segera diusut. Justru betapa lambat kasus ini ditangani.
PEMBUNUHAN ENAM PENGAWAL HRS
336
Ayo Pak Kapolri segera umumkan siapa pelaku yang melakukan unlawful killing itu. Benarkah Fikri, Adi, dan Faisal? Jika iya tentu tinggal melakukan penyidikan, jika ternyata bukan, maka tidak boleh ada orang yang tidak bersalah harus dikorbankan.
Kasihan. Persoalan ini akan semakin jelimet dan bikin mumet perencana atau pembuat skenario jika bermotif untuk menutupi kebenaran.
(HM Rizal Fadillah, Bandung, 23 Februari 2021
BOLA JANJI PRESIDEN DAN KAPOLRI
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat fit and proper test di depan anggota DPR menjanjikan untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM pembunuhan enam anggota laskar FPI oleh anggota Polri dengan merealisasikan empat rekomendasi Komnas HAM. Sejak dilantik Listyo Sigit sebagai Kapolri hingga kini belum ada kebijakan konkret sebagai tindak lanjut.
Meski tingkat kepercayaan terhadap Komnas HAM rendah dengan hasil rekomendasinya, tetapi apa yang minimal dapat ditindaklanjuti adalah penegakan hukum. Membawa aparat pembunuh ke proses peradilan. Di samping janji Listyo Sigit Prabowo, juga Presiden berjanji pula untuk menjalankan rekomendasi Komnas HAM. Karenanya bola janji ada di tangan Presiden dan Kapolri.
Sebenarnya Kapolri sebelumnya Jenderal Idham Azis sudah membentuk tim khusus pengusutan untuk menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM. Artinya Kapolri Listyo tinggal melanjutkan dan menyempurnakan. Tetapi ternyata hingga kini masih tidak jelas pula agenda penyidikan perkara. Keseriusan Kapolri mulai dipertanyakan. Luar biasa bertele-telenya penanganan. Sudah hampir tiga bulan peristiwa terjadi, namun masih miskin langkah.
Belum mulai penunaian janji soal pembunuhan enam anggota Laskar FPI, kini sudah muncul lagi kasus baru yaitu meninggalnya
BUKU PUTIH PELANGGARAN HAM BERAT
337
Ustad Maheer At Thuwailibi di Bareskrim Mabes Polri yang juga menuai kecurigaan. Komnas HAM berniat menyelidiki. Akan semakin menumpuk persoalan penegakan hukum yang berkaitan dengan HAM yang tidak terselesaikan.
Jika janji Kapolri tidak bergerak di lapangan, maka wajar akhirnya publik akan bertanya sebagai Kabareskrim saat itu, Listyo bersama Kapolda Metro Fadil Imran apakah terlibat? Ketika tuntutan agar Fadil Imran dinon-aktifkan atau diberhentikan, bagaimana dengan tuntutan kepada Listyo Sigit?
Presiden sebagai figur yang sering berjanji tetapi tidak terbukti, kini oleh Mahasiswa UGM telah dinobatkan sebagai “Juara Lomba” inkonsistensi. Janji dan realisasi yang tidak bersesuaian. Nah jika kasus pembunuhan 6 anggota laskar FPI ini bola janji ada pada Presiden dan Kapolri, maka akankah juga Pak Kapolri menjadi juara atau sekurang- kurangnya runner-up lomba inkonsistensi pula?
Ayo Pak Kapolri segera bergerak, jangan ragu untuk mengumumkan dan menyeret anak buah ke meja hijau demi nama baik jajaran Kepolisian agar nantinya Kepolisian tidak mendapat predikat sebagai “Juara Lomba Pelanggaran HAM”.
(HM Rizal Fadillah, Bandung, 12 Februari 2021)
PEMBUNUHAN ENAM PENGAWAL HRS
338
CATATAN XIII
FAKTA KESAKSIAN DAN KETAKUTAN (POLRI) BERSUMPAH MUBAHALAH
Dalam suratnya tertanggal 24 Februari 2021, yang ditujukan kepada Kapolda Metro Jaya itu, TP3 mengajukan permohonan agar Kapolda Metro Jaya bersama jajarannya dapat menghadiri acara sumpah Mubahalah. Bagaimankah isi surat TP3? Inilah surat yang dimaksudkan tersebut:
Kami dari Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Enam Laskar FPI sangat prihatin dengan unfair trial dan tidak transparannya proses hukum atas kasus pembunuhan atas enam laskar FPI pada 6-7 Desember 2020, di KM 50 Tol Cikampek.
Dalam Konferensi Pers pada 8 Desember 2020 yang lalu Kabid Humas Pold Metro Jaya, Kombes Pol Yusri Yunus mengatakan, Polri telah menyita dua pucuk senjata dalam insiden baku tembak dengan laskar FPI. Kombes Yusri Yunus menyatakan Polda Metro Jaya memiliki bukti yang kuat bahwa dua pucuk senjata api tersebut adalah milik dua laskar FPI yang telah meninggal dunia.
Di sisi lain, berdasarkan keterangan kuasa hukum keluarga korban, TP3 meyakini laskar FPI tidak mungkin melakukan penyerangan karena pada prinsipnya mereka tidak memiliki senjata api. Sikap TP3 ini diperkuat pula dengan kesaksian dan sumpah orang-tua seluruh
BUKU PUTIH PELANGGARAN HAM BERAT
339
korban, bahwa anak-anak mereka memang tidak pernah memiliki senjata api.
Untuk meyakinkan kebenar-
an dan sikapnya, keluarga para
korban pun telah siap untuk
bersumpah melalui proses muba-
halah dengan aparat kepolisian
yang telah menuduh mereka memiliki senjata api.
Sehubungan dengan hal-hal di atas, demi kebenaran, hukum dan keadilan, kami dari TP3 sudah mempersiapkan dan akan memfasilitasi berlangsungnya acara sumpah/mubahalah tersebut. Karena itu, kami mengundang:
1. Kapolda Metro Jaya
2. Kabid Humas Polda Metro Jaya
3. Briptu Fikri Ramadhan
4. Bripka Faisal Khasbi
5. Bripka Adi Ismanto
Selaku anggota Polri yang menuduh pemilikan senjata api oleh laskar FPI yang dibunuh tersebut, untuk hadir pada acara mubahlah yang direncanakan pada:
Hari/tanggal : Selasa/2 Maret 2021
Waktu : Jam 14.00-15.00 WIB
Tempat : Masjid Al Furqon, Jl. Kramat Raya No.45, Jakarta Pusat.
Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kehadiran para anggota Polri terkait, kami ucapkan terima kasih.
Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3P) Enam Laskar FPI
KH. DR. Abdullah Hehamahua Koordinator
[8/7 00.29] .: PEMBUNUHAN ENAM PENGAWAL HRS
340
Polda Metro Jaya tidak menghadiri undangan dari TP3 pada Rabu (3/3 2021). Lalu, apakah kemudian acara sumpah Mubahalah itu gagal? Tidak, TP3 tetap menyelenggarakan sumpah Mubahalah di aula gedung Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Pusat di Jl. Kramat Raya, Jakarta Pusat. Adapun sumpah mubahalah yang telah dibacakan Bapak Syuhada, orang tua dari salah satu korban pembunuhan, mewakili seluruh keluarga korban, adalah sebagai berikut:
“Demi Allah, Tuhan langit dan bumi, kami bersumpah bahwa kami keluarga Reza, Fais, Ambon, Andi, Lutfil, dan Kadhafi, enam Laskar FPI yang terbunuh di Km 50 Tol Cilampek, adalah benar dan meyakini bahwa anak-anak kami dari Laskar FPI tersebut telah dianiaya dan dibunuh dengan zalim oleh oknum aparat negara. Kami meyakini bahwa polisi telah berdusta atas masalah pembunuhan tersebut. Karenanya, ya Allah timpakanlah laknat dan azab-Mu kepada siapa pun di antara kami yang berdusta dan timpakan juga laknat dan siksa-Mu, Ya Allah ke atas seluruh keluarganya. Jika pihak aparat negara yang benar menurut Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, maka kami beserta keluarga dan keturunan kami akan dilaknat Allah SWT di dunia sampai akhirat. Tetapi jika Enam Laskar FPI tersebut yang benar dan pihak aparat negara yang telah bertindak sadis dan zalim menurut Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, maka aparat negara beserta keluarga dan keturunan aparat negara akan dilaknat Allah SWT di dunia sampai akhirat.”
MARI BERDOA UNTUK: MUBAHALAH KELUARGA KORBAN PEMBUNUHAN ENAM PENGAWAL HRS
Penuntasan kasus pembunuhan enam pengawal HRS secara adil, transparan dan bisa dinilai publik, sebagaimana dijanjikan Presiden Jokowi saat beraudiensi dengan TP3, 9 Maret 2021, tampak suram. Polri telah melangkah sepihak memproses anggota Polri yang diklaim sebagai para “tersangka”. Padahal dasar hukum proses penyidikan Polri tersebut adalah laporan Komnas HAM yang menurut Pasal Pasal 89
BUKU PUTIH PELANGGARAN HAM BERAT
341
ayat (3) UU No.39/1999 tidak kredibel, tidak valid dan sarat rekayasa. Bagaimana bisa, Polri mendasarkan proses penyidikan hanya atas hasil pemantauan yang diakui Komnas HAM sebagai hasil penyelidikan?
Ternyata minggu ini Polri terus melangkah “maju”. Kasus pembunuhan 6 pengawal HRS oleh tiga oknum anggota Polda Metro Jaya yang menjadi “tersangka” (satu orang “dinyatakan meninggal akibat kecelakaan”), saat ini sudah memasuki tahap pemberkasan. Hal ini dikonfirmasi Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono di Jakarta (20/4/2021). Menurut Rusdi, penyidik masih memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan terhadap para tersangka. Kalau sudah P21 dari Jaksa, baru dinyatakan penyidikan telah lengkap.
Sebelumnya Rusdi di Mabes Polri mengatakan: “Pada Kamis kemarin, penyidik telah melaksanakan gelar perkara terhadap peristiwa KM 50 dan kesimpulan dari gelar perkara yang dilakukan, maka status dari terlapor tiga tersebut dinaikkan menjadi tersangka,” (6/4/2021). Hal yang mengherankan kita para penghuni Negeri +62 ini, kalau benar menjadi “tersangka” pembunuhan sadis, mengapa mereka tak kunjung ditahan aparat?
Pada 17 April 2021 Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan Komnas HAM telah mengingatkan Polri untuk benar- benar menjalankan 4 rekomendasi Komnas HAM yang tercantum dalam laporan yang diakui sebagai laporan penyelidikan. Taufan juga mengingatkan agar Polri tidak membiarkan ada kelompok-kelompok masyarakat sipil yang menggunakan instrumen kekerasan.
Move Taufan Damanik di atas tampaknya merupakan bagian dari upaya agar rakyat dapat memaklumi dan menerima begitu saja penyelesaian kasus pembunuhan enam laskar sesuai skenario, yang antara lain berawal pada 7 Desember 2021. Menurut Polri, pembunuhan terjadi akibat terjadi baku-tembak, pengawal HRS memiliki senjata api dan terlibat penyerangan terhadap jajaran Polri. Skenario ini coba diselaraskan oleh Komnas HAM dengan membuat laporan sumir sebagai “hasil penyelidikan” yang statusnya hanya “laporan pemantauan”.
PEMBUNUHAN ENAM PENGAWAL HRS
men
gunakan senjata. Hal ini merupakan ketentuan baku dan konsisten
g
g
g
342
Faktanya, pihak FPI, HRS dan keluarga korban telah membantah keterangan Polri tentang pemilikan senjata dan penyerangan aparat Polri oleh pengawal HRS. Itu pula sebabnya keluarga korban menantang dilakukannya Sumpah Mubahalah. Ternyata dengan status pemberkasan yang dilakukan Polri dan pernyataan Taufan Damanik di atas, tampaknya skenario bernuansa sarat rekayasa tetap berlanjut. Sumpah Mubahalah dianggap angin lalu.
Karena itu, dalam bulan Ramadhan1442H ini, bulan penuh berkah dimana kita banyak berdoa dan meminta pertolongan Allah, mari kita terus berdoa, siang dan malam, agar Allah mengabulkan doa-doa kita. Kita pun memohon agar Allah segera menetapkan takdirnya, menjatuhkan laknat kepada pihak yang mengingkari kebenaran, atas Sumpah Mubahalah yang telah dibacakan pada 3 Maret 2021 lalu oleh keluarga korban.
Seluruh keluarga korban pembunuhan enam pengawal HRS telah membacakan sumpah mubahalah secara sepihak untuk meyakinkan dan menyatakan kepada pemerintah dan rakyat bahwa para korban adalah pihak yang benar dalam peristiwa pembunuhan di KM 50 Tol Cikampek. Acara mubahalah difasilitasi dan didukung penuh oleh Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan Enam Pengawal HRS (TP3), bertempat di Masjid Al Furqon, Kramat, Jakarta.
Sebelumnya, pada 7 Desember 2020 Kapolda Metro Jaya Fadil Imran mengatakan enam pengawal HRS tewas dalam baku tembak, karena menyerang jajaran Polri yang sedang menjalankan tugas penyelidikan kasus Habib Rizieq Shihab (HRS). Pada 14 Desember 2020 Polri menyatakan dua pengawal HRS tewas dalam baku tembak di KM 50. Sedangkan empat pengawal lainnya ditembak karena berupaya merebut pistol petugas di dalam mobil (?!), sehingga polisi terpaksa melakukan tindakan tegas dan terukur (membunuh dengan sengaja!!).
Sebaliknya, Pimpinan FPI menyatakan pengawal HRS tidak memiliki senjata, dan karena itu dalam bertugas pasti tidak pernah
BUKU PUTIH PELANGGARAN HAM BERAT
343
dijalankan internal ormas FPI. Sikap dan pernyataan keluarga seluruh korban pembunuhan juga sama, bahwa anak-anak mereka tidak pernah memiliki senjata. Dengan demikian, para korban tidak pernah menyerang aparat (yang semula disangka preman, karena para aparat tak pernah menyatakan identitas!), dan karenanya tidak pula akan terjadi baku tembak, sebagaimana diklaim oleh Polri.
Karena yakin dengan keterangan Pimpinan FPI dan pernyataan keluarga korban, termasuk setelah mendatangi dan mewawancarai seluruh keluarga korban, maka TP3 meyakini yang terjadi adalah pembunuhan yang patut diduga telah direncanakan. TP3 menilai, apa pun alasannya, tindakan aparat negara sudah melampaui batas dan bertindak di luar kewenangan. TP3 meyakini aparat negara telah melakukan pembantaian di luar prosedur hukum yang dalam istilah HAM disebut extra judicial killing, bukan unlawful killing sebagaimana dinyatakan oleh Komnas HAM.
Pada ranah publik pendapat kedua belah pihak memang saling bertolak belakang. Namun TP3 lebih yakin pada keterangan FPI dan keluarga korban. Oleh sebab itu, TP3 berupaya untuk mencari kebenaran dalam kasus yang mengusik rasa kemanusiaan ini. Itu pula sebabnya TP3 memfasilitasi dilakukannya Sumpah Mubahalah seperti diurai dalam tulisan ini, dan juga menulis surat kepada Presiden Jokowi, sebagaimana dilakukan pada 9 maret 2021.
Atas nama keluarga enam korban pembantaian, TP3 lantas melayangkan tantangan mubahalah kepada pihak Kepolisian RI sesuai surat No.04/A/TP3/II/2021 tertanggal 25 Februari 2021. Dalam surat tersebut, TP3 juga menyebutkan nama-nama yang ditantang untuk bermubahalah, yakni Kapolda Metro Irjen Fadil Imran, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus, Briptu Fikri Ramadhan, Bripka Faisal Khasbi dan Bripka Adi Ismanto (ketiga nama terakhir terlibat dalam peristiwa Km 50 Tol Cikampek).
Kelima nama pejabat dan anggota Polri yang disebutkan dalam tantangan mubahalah ini sesuai informasi publik yang beredar di
PEMBUNUHAN ENAM PENGAWAL HRS
a
ah pemutus, yaitu sumpah yang oleh pihak yang satu
a
y
d
d
a
n
a sump
344
media berdasar penjelasan Polri sendiri. Ternyata hingga waktu mubahalah berlangsung, TP3 tidak pernah menerima jawaban Polri, sehingga dianggap tidak berkenan hadir. Karena itu acara mubahalah berlangsung sepihak.
Secara lengkap isi sumpah mubahalah yang telah dibacakan oleh Suhada (ayah dari Faiz Ahmad) mewakiil seluruh keluarga korban pembunuhan adalah sebagai berikut:
“Demi Allah, Tuhan langit dan bumi, kami bersumpah bahwa kami keluarga Reza, Fais, Ambon, Andi, Lutfil, dan Kadhafi, enam Laskar FPI yg terbunuh di Km 50 Tol Cilampek, adalah benar dan meyakini bahwa anak- anak kami dari laskar FPI tersebut telah dianiaya dan dibunuh dengan zalim oleh oknum aparat negara. Kami meyakini bahwa polisi telah berdusta atas masalah pembunuhan tersebut. Karenanya ya Allah timpakanlah laknat dan azab-Mu kepada siapa pun di antara kami yang berdusta dan timpakan juga laknat dan siksa-Mu, Ya Allah ke atas seluruh keluarganya.
Jika pihak aparat negara yang benar menurut Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, maka kami beserta keluarga dan keturunan kami akan dilaknat Allah SWT di dunia sampai akhirat. Tetapi jika Enam Laskar FPI tersebut yang benar dan pihak aparat negara yang telah bertindak sadis dan zalim menurut Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, maka aparat negara beserta keluarga dan keturunan aparat negara akan dilaknat Allah SWT di dunia sampai akhirat.”
Mubahalah berasal dari kata bahlah atau buhlah yang berarti kutukan atau laknat. Praktiknya, sumpah mubahalah dilakukan oleh dua pihak yang berperkara. Kedua pihak berdoa kepada agar Allah SWT menjatuhkan laknat kepada pihak yang mengingkari kebenaran (Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Lentera Hati). Mubahalah dalam syariat Islam bertujuan untuk membenarkan suatu yang memang hak, dan menundukkan kebatilan.
Dalam sistem hukum Indonesia memang tidak dikenal adanya sumpah mubahalah. Namun dalam hukum acara perdata dikenal
a
n
y
a
p
BUKU PUTIH PELANGGARAN HAM BERAT
345
(boleh penggugat atau tergugat) diperintahkan kepada pihak yang lain untuk menggantungkan pemutusan perkara atas pengucapan atau pengangkatan sumpah. Sumpah pemutus bersifat menentukan (decisoir) dan berfungsi sebagai alat bukti. Sumpah ini dilakukan jika sudah tidak ada saksi atau bukti lain selain pengakuan benar dari kedua belah pihak ketika diketahui oleh persidangan hanya salah satu yang benar (Pasal 1929 KUH Perdata).
Dalam penanganan perkara pembunuhan enam WNI di KM 50, aparat penegak hukum, Komnas HAM dan pemerintah menunjukkan sikap yang unwilling and unable (tidak bersedia dan tidak mampu) mengungkap alat-alat bukti dan saksi pembunuh secara sah dan transparan. Bagi TP3 dan banyak akademisi, kasus ini bukanlah kasus pelanggaran HAM biasa, tetapi merupakan pelanggaran HAM berat. Menurut UU No.26/2000, karena terjadi Pelanggaran HAM Berat, Polri tidak berhak melakukan penyelidikan. Sedangkan Komnas HAM pun bukan pula lembaga yang berwenang menyidik. Wewenang penyidikan ada di tangan Kejagung.
Setelah mengamati penanganan kasus ini sejak Desember 2020, TP3 tidak melihat upaya sungguh-sungguh dari lembaga terkait dan pemerintah menuntaskan kasus ini secara objektif, transparan, serta sesuai hukum dan keadilan. Polri ikut menyelidik, padahal Polri mengakui aparatnya terlibat dalam kasus. Komnas menggiring opini agar kasus ini dianggap sebagai pelanggaran HAM biasa. Komnas HAM mengatakan terjadi unlawful killing. TP3 menilai tampaknya kebenaran hanya berasal dari Polri dan Komnas HAM yang harus diterima rakyat.
Dalam kondisi keluarga korban yang tidak berdaya dan hampir tanpa harapan agar kasus putra-putranya dapat dituntaskan sesuai hukum yang berlaku, maka merupakan hal yang wajar jika mereka mengusung Sumpah Mubahalah. Kondisi dan harapan mereka sangat dirasakan oleh TP3, dan itu pula sebabnya TP3 mendukung dan memfasilitasi acara mubalah tersebut.
Mubahalah adalah salah satu ajaran yang diatur dalam Islam.
Mubahalah dilakukan untuk kepentingan agama yang fundamental, yakni menyatakan kebenaran. Menjalankan perintah agama yang diyakini merupakan hak para keluarga korban yang dijamin Pancasila dan UUD 1945. Berangkat dari keyakinan dan ketaatan pada perintah agama pulalah TP3 telah berulang kali menyatakan dukungan dan berjalan seiring dengan keluarga korban pembantaian KM 50 Tol Cikampek untuk menuntut ditegakkannya kebenaran, hukum dan keadilan.
Memasuki 2/3 Ramadhan ini, mari kita terus berdoa, semoga Allah menjatuhkan laknat kepada pihak yang mengingkari kebenaran dalam Sumpah Mubahalah. Semoga Allah meridhai seluruh upaya kita, serta mengabulkan doa orang-orang yang dizalimi, para pendukung Petisi Rakyat Kasus Pembantaian Enam Pengawal HRS dan anak-anak bangsa yang bersimpati dengan upaya advokasi TP3 ini. Selebihnya, hanya kepada Allah SWT kita bertawakal.
(Marwan Batubara, Badan Pekerja TP3/Jakarta, 21 April 2021)
CATATAN XIV
NOTA KEBERATAN: MENGETUK PINTU LANGIT MENOLAK KEZALIMAN MENEGAKKAN KEADILAN
Tim Advokasi Habib Rizieq Shihab telah mengajukan Eksepsi (Nota Keberatan) atas surat dakwaan Saudara Penuntut umum Reg. Perkara No. PDM- 011/JKT.TIM/Eku/02/2021. Dalam eksepsinya yang berjudul “MENGETUK PINTU LANGIT MENOLAK KEZALIMAN MENEGAKKAN KEADILAN”, Tim Advokasi menyampaikan agresivitas dan manuver Penuntut Umum dengan menambahkan beraneka ragam pasal selundupan yang tidak ada kaitannya dengan Prokes dan Test Swab adalah bukti perkara A Quo yakni lanjutan dari Operasi Intelijen Berskala Besar. Majelis Hakim yang mulia, Penuntut Umum Yang terhormat, Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Perlu diingat bahwa perkara ini bermula dari adanya kegiatan yang dianggap melanggar protokol kesehatan pencegahan Covid-19 pada penyelenggaraan pernikahan putri HABIB RIZIEQ SYIHAB dan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, namun Penuntut Umum dengan agresif dan nafsu mendakwa HABIB RIZIEQ SYIHAB dengan pasal- pasal yang tidak ada kaitannya dengan protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Sementara ketidakadilan penanganan pelanggaran protokol kesehatan kerap ditemukan di lapangan. Kejadian paling anyar adalah Kongres Luar Biasa Partai Demokrat di Medan Sumatera Utara. Aparat penegak hukum seperti tak sudi dan tak berdaya untuk membubarkan acara yang secara terang-terangan melanggar protokol kesehatan. Yang paling fenomenal adalah kerumunan massa yang dilakukan Presiden Jokowi saat kunjungan kerja ke Maumere, Nusa Tenggara Timur pada 23 Februari 2021 lalu. Loyalis Jokowi berkerumun tanpa saling jaga jarak, berjejer di pinggir jalan menyambut idolanya yang melintas dalam iring-iringan kendaraan. Jokowi yang saat itu hendak menuju lokasi peresmian Bendungan Napun Gete sempat keluar dari atap mobil dan melambaikan tangan ke kerumunan warga. Pemujanya histeris.
Semua kasus pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan rezim zalim, dungu, pandir dan pemujanya, tak pernah diproses. Ada saja alibi untuk menolaknya. Terlalu banyak kesewenang-wenangan rezim ini terhadap rakyat. Terhadap rezim zalim, dungu dan pandir selalu dicari cari pembenaran untuk meloloskan dari hukum, sementara terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB selalu dicari cari kesalahan untuk dihukum. Berbeda dengan yang dialami oleh HABIB RIZIEQ SYIHAB dan mantan pengurus FPI yang harus dikerangkeng di dalam tahanan, rekening dibekukan. Padahal HABIB RIZIEQ SYIHAB sudah membayar denda Rp50 juta.
Majelis Hakim yang mulia, Penuntut Umum Yang terhormat, Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati, Dan tidak cukup hanya sampai di situ, ketidakadilan terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB berlanjut dengan aneka ragam pasal selundupan yang aneh bin ajaib, yang telah ditambahkan oleh Penuntut Umum sejak menerima pelimpahan berkas perkara dari Penyidik di antaranya yaitu Pasal 82A ayat (1) jo. 59 ayat (3) huruf c dan d UU RI 16/2017 tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas menjadi Undang-Undang jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 10 huruf b KUHP jo. Pasal 35 ayat (1) KUHP.
Manuver gesit yang dilakukan oleh Penuntut Umum dengan menambahkan aneka ragam pasal selundupan tersebut sungguh luar biasa bersifat akrobatik dan penuh dengan muatan politik dan merupakan lanjutan Operasi Intelijen Berskala Besar, yang setidaknya dapat dibuktikan dengan fakta-fakta sebagai berikut:
1. Tempat dilakukan sidang pengadilan bukan di wilayah locus delicti perbuatan terjadi. Dari hal ini saja sudah jelas bahwa perkara aquo adalah perkara politik yang target hukumannya sudah ditentukan, proses penghukumannya sudah dikendalikan dan hak hal HABIB RIZIEQ SYIHAB sudah dikerdilkan.
2. Penerapan pasal yang tidak pada tempatnya, penambahan pasal-
pasal yang terus terjadi untuk memperberat ancaman hukuman dan pasal-pasal yang bisa digunakan hanya agar HABIB RIZIEQ SYIHAB bisa ditahan selama mungkin karena ada agenda politik yang menghendaki.
3. Due Process of Law TIDAK sesuai dengan ketentuan KUHAP.
DAFTAR REFERENSI INFORMASI
Penyusunan naskah buku ini dilandasi referensi dari mushaf Al-Quran dan terjemahannya (terbitan Departemen Agama/Kemenag RI) serta hadits Rasulullah SAW, juga narasumber primer dan atau sekunder— wawancara tertulis dan lisan—press release yang dikeluarkan instansi resmi (antara lain Polri, Pemda, Komnas HAM, dan ormas). Selain itu, memperoleh pula informasi dari referensi sebagai berikut ini:
DAFTAR
REFERENSI INFORMASI
• Antara
• bisnis.com
• beritasatu.com
• Bang Edy-channel
• cnnindonesia.com
• cendananews.com
• detik.com
• democrazy.id
• Eramuslim.com
• Faktakini.net
• fnn.co.id
• Hidayatullah.com
• hukumonline.com
• gelora.com
• gudfe.com
• jpnn.com
• jdih.bin.go.id
• kumparan.com
• kronologi.id
• Kompas.com
• liputan6.com
• Merdeka.com
• muhammadiyah.or.id
• monitor.co.id
• mediaumat.news
• Nenowarisman.channel
• pikiranrakyat-Depok.
com
• pikiran-rakyat.com
• politik.rmol.id
• ppid.bin.go.id
• repelita.com
• Republika.co.id
• Refly Harun Channel
• Radio Republik Indonesia
(RRI) Studio Bandung
• Radio MQ 107, 2 FM
• sindonews.com
• suara.com
• suaraislam.id
• stin.ac.id
• TVRI Bandung
• TVOne
• Tribunnews.com
• Tempo.co
• TransTV
• typoonline.com/
• terkini.id
• viva.co.id
• www.fpi-online.com
• www.front-tv.net
• www.bin.go.id
• www.portal-islam.id
352
BUKU PUTIH PELANGGARAN HAM BERAT