P-21 Dan Pengawalan Serius Kasus Pembunuhan KM 50
Kamis, 1 Juli 2021
Faktakini.info
P-21 DAN PENGAWALAN SERIUS
M Rizal Fadillah
P-21 bukan nomor bus kota tetapi kelengkapan berkas perkara agar Jaksa siap mendakwa tersangka dalam persidangan Pengadilan. Dengan P-21 sebagaimana keterangan pihak Kejaksaan Agung, maka 2 (dua) tersangka kasus pembunuhan enam laskar FPI telah matang untuk ditingkatkan status menjadi terdakwa. Meskipun dinilai sangat lambat akan tetapi hal ini adalah satu kemajuan.
Mengingat tersangka adalah aparat penegak hukum yang secara institusional beririsan dengan Kejaksaan, maka perlu pengawasan publik yang lebih serius. Meski sistem peradilan kita tidak mengenal keterlibatan publik (Juri, misalnya) namun pengawalan publik dalam kasus pelanggaran HAM ini menjadi sangat perlu. Demi transparansi dan obyektivitas peradilan itu sendiri.
Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Enam Laskar FPI walaupun memiliki pandangan sendiri mengenai status pelanggaran HAM yang terjadi, harus tetap mengawal tahap peradilan ini. Tempatkan peradilan saat ini sebagai tahap pertama menuju tahap kemudiannya, bukti bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat.
TP3 penting untuk bekerjasama dengan banyak elemen baik itu Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, Amnesty Internasional Indonesia, YLBHI, Komnas HAM atau lembaga lain yang bergerak dalam bidang penegakan hukum dan HAM. Media menjadi elemen strategis pula bagi pengawasan. Perlu kerja "keroyokan" untuk mengawal kasus besar yang menimpa dan memalukan bangsa Indonesia ini.
Di sisi lain pengaduan yang dilakukan baik kepada "Internasional Criminal Court" (ICC) atau "Committee Against Torture" (CAT) tetap dipantau perkembangannya sebagai antisipasi jika terjadi peradilan sesat (rechterlijke dwaling) yang mencerminkan bahwa pemerintah "unwilling" dan "unable" dalam menuntaskan kasus yang berhubungan dengan "crime against humanity" ini. Pembunuhan Enam laskar FPI adalah kasus serius kejahatan HAM.
Dengan dua tersangka FR dan MYO sebenarnya rawan. MYO adalah driver sehingga posisinya hanya sebagai pembantu perbuatan jahat. Fokus menjadi hanya pada satu pelaku yaitu FR. Jika FR mengalami sesuatu, misalnya seperti Elwira kecelakaan yang menimbulkan kematian, maka akan tamatlah kasus ini. Sejak awal saran terbaik bagi kedua tersangka ini adalah ditahan. Untuk mengurangi risiko.
Meskipun demikian, publik belum tentu percaya bahwa pembunuhan enam anggota laskar hanya dilakukan oleh dua (atau satu) tersangka saja, dugaan sejumlah aparat terlibat juga cukup kuat. Tuntutan untuk pengusutan mungkin berkelanjutan. Lagi pula kasus pelanggaran HAM, apalagi HAM berat, tidaklah mudah lapuk oleh zaman.
Satu rezim mungkin bisa saja menutupi kejahatannya, namun suatu saat rezim lain akan membukanya kembali.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 1 Juli 2021