PPKM Darurat, Protokol Darurat Kesehatan Atau Darurat Kekuasaan?
Jum'at, 2 Juli 2021
Faktakini.info
*PPKM DARURAT, PROTOKOL DARURAT KESEHATAN ATAU DARURAT KEKUASAAN ?*
Oleh : *Ahmad Khozinudin, S.H.*
Advokat, Aktivis Pejuang Khilafah
Pemerintah akan menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat (PPKM Darurat) mulai 3 sampai 20 Juli 2021. Sejumlah pengetatan pembatasan kegiatan masyarakat pun diterapkan.
Sayangnya, beleid tersebut hanya diakomodasi melalui instruksi Mendagri, yang tertuang dalam dokumen "Panduan Implementasi Pengetatan Aktivitas Masyarakat pada PPKM Darurat di Provinsi-Provinsi di Jawa Bali". Padahal, norma yang mengatur kegiatan masyarakat umum, memerintah dan melarang hingga pemberlakuan sanksi bagi masyarakat, tak bisa diadopsi melalui instruksi melainkan harus bersumber dari undang-undang atau setidaknya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).
Mendagri tidak memiliki wewenang legislasi untuk mengatur kehidupan publik. Sifat dari instruksi adalah mengikat bagi bawahan atau internal kementerian. Instruksi tak memiliki kewenangan untuk mengatur kehidupan publik.
Karena itu, pemberlakuan PPKM Darurat semestinya diadopsi melalui penerbitan Perppu bukan via instruksi Mendagri. Kalaupun tidak mau menerbitkan Perppu, pemerintah juga dapat mengoptimalisasikan kewenangan berdasarkan norma yang telah diatur dalam undang-undang.
Substansi aturan dari PPKM Darurat sejalan dengan kebijakan Karantina Wilayah, sebagaimana diatur dalam UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dalam ketentuan pasal 1 angka 10 disebutkan :
_"Karantina Wilayah adalah pembatasan penduduk
dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu Masuk
beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit
dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk
mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau
kontaminasi."_
Karantina Wilayah atau lebih dikenal dengan istilah Lockdown saat diadopsi sebagai kebijakan yang diterapkan, berkonsekuensi pada hadirnya negara untuk mengambil tanggung jawab memenuhi kebutuhan dasar rakyat, karena telah dibatasi pergerakannya baik terhadap orang maupun barang. Dalam ketentuan pasal 55 ayat 1 dan 2 ditegaskan :
_"(1) Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup
dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada
di wilayah karantina menjadi tanggung jawab
Pemerintah Pusat."_
_"(2) Tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam
penyelenggaraan Karantina Wilayah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak yang terkait."_
Saat awal mula pandemi ditetapkan sebagai bencana non alam pada Maret 2020 yang lalu, sebenarnya banyak pihak yang menyarankan agar pemerintah segera melakukan lockdown. Namun, ketika itu pemerintah berdalih memikirkan kebutuhan hidup rakyat yang akan terbengkalai jika dilakukan Karantina Wilayah.
Setelah publik mendesak Lockdown dan menegaskan pemerintah pusat bertanggung jawab penuh atas pemenuhan kebutuhan dasar orang dan pakan hewan ternak berdasarkan ketentuan pasal 55 ayat (2) dan (2) UU No 6/2018, pemerintah seperti menghindari mengambil kebijakan Karantina Wilayah dan melempar tanggung jawab penanganan pandemi kepada Pemda dengan menerapkan kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).
PSBB ini pernah diwacanakan akan didampingi dengan kebijakan darurat sipil. Tetapi karena banyak ditentang publik, kebijakan darurat sipil batal diberlakukan.
Hari ini pun, istilah PPPKM Darurat yang merupakan kelanjutan dari PPKM mikro diambil guna menghindari tanggung jawab pemerintah atas pemenuhan kebutuhan dasar orang dan pakan hewan ternak di wilayah yang diberlakukan pembatasan. Bayangkan, jika Jawa dan Bali di Lockdown, berapa anggaran yang perlu disiapkan untuk pemenuhan kebutuhan dasar orang dan pakan hewan ternak ?
Selain menghindari kewajiban dan tanggungjawab Pemerintah Pusat, PPKM Darurat juga dapat dibaca sebagai 'Protokol Perlindungan Kekuasaan' setelah beberapa hari ini rezim mendapatkan kritikan keras dari mahasiswa yang berawal dari satir BEM UI yang menyebut Jokowi sebagai The King Of Lip Service. Sejumlah demontrasi pecah mengkritik berbagai kebijakan bohong yang dikeluarkan pemerintahan Jokowi.
Atas dalih PPKM Darurat, mahasiswa yang ingin menyampaikan aspirasi dalam bentuk aksi demontrasi akan dihalangi. Tidak salah, jika kemudian ada sejumlah pihak yang menyebut PPKM Darurat bukanlah Protokol untuk menghadapi darurat kesehatan, melainkan untuk menghadapi darurat kekuasaan.
Dugaan ini diperkuat dengan fakta sejumlah negara dunia walaupun mengalami kasus infeksi covid-19 yang lebih besar ketimbang Indonesia (Amerika, India, Rusia, Italia dan Perancis), faktanya negara-negara ini tidak ada satupun yang bertindak diktator memberlakukan tindakan sebagaimana diatur dalam PPKM Darurat. Bahkan, Singapura justru mendeklarasikan virus Corona sebagai flu biasa. [].