Tidak Ada Loyalitas Menteri, Yang Ada Hanyalah Visi Penyelamatan Negeri

 


Ahad, 11 Juli 2021

Faktakini.info

*TIDAK ADA LOYALITAS MENTERI, YANG ADA HANYALAH VISI PENYELAMATAN NEGERI*

Oleh : *Ahmad Khozinudin*

Sastrawan Politik

Pada tanggal 20 Mei 1998, 14 menteri yang tergabung dalam Kabinet Pembangunan VII menyatakan secara bersama menolak bergabung dalam Kabinet Reformasi yang dibentuk Soeharto, yang diharapkan dapat menjadi ajang konsolidasi dan membangun kepercayaan rakyat.

Secara serempak, empat belas menteri yang menolak bergabung adalah : Akbar Tandjung (Menteri Perumahan Rakyat dan Pemukiman), A.M. Hendropriyono (Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan), Ginandjar Kartasasmita (Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri/Kepala Bappenas), Giri Suseno Hadihardjono (Menteri Perhubungan), Haryanto Dhanutirto (Menteri Pangan, Hortikultura, dan Obat-obatan), Justika S. Baharsjah (Menteri Pertanian). Kuntoro Mangkusubroto (Menteri Pertambangan dan Energi), Rachmadi Bambang Sumadhijo (Menteri Pekerjaan Umum), Rahardi Ramelan (Menteri Riset dan Teknologi/Kepala BPPT), Sanyoto Sastrowardoyo (Menteri Investasi/Kepala BKPM), Subiakto Tjakrawerdaya (Menteri Koperasi dan Pengusaha Kecil), Sumahadi (Menteri Kehutanan dan Perkebunan), Tanri Abeng (Menteri Pendayagunaan BUMN), dan Theo L. Sambuaga (Menteri Tenaga Kerja).

Para Loyalis Soeharto ini akhirnya berfikir pragmatis dan realistis, lebih memikirkan kondisi negeri ketimbang mempertahankan loyalitas sebagai menteri. Penolakan menteri ini sekaligus menjadi pukulan telak bagi rezim Soeharto ketika itu.

Adapun hari ini, Kabinet Menteri yang dibentuk Jokowi bukanlah atas kendali dan otoritas Jokowi. Struktur menteri terbentuk karena kompromi dan kompensasi atas sejumlah dukungan politik kepada Jokowi, juga imbal balik agar merapat dan tak menjadi kekuatan oposisi.

Itu artinya, Kabinet Kerja Jokowi -ditinjau dari sisi loyalitasnya kepada Presiden Jokowi- berada jauh dibawah loyalitas Menteri Kabinet Pembangunan VII kepada Soeharto.

Itu artinya, potensi menteri meninggalkan Jokowi jauh lebih besar. Siapapun tahu, Loyalitas Akbar Tandjung kepada Soeharto jauh melampaui Loyalitas Airlangga Hartarto kepada Jokowi. Kalau Akbar saja bisa merubah haluan meninggalkan Soeharto yang merupakan kader partai Golkar, apalagi dengan Airlangga Hartarto ?

Komposisi menteri loyalis Jokowi hanya berasal dari PDIP dan kelompok kepentingan geng Luhut Panjaitan. Diluar itu, besar kemungkinan pilihan meninggalkan Jokowi menjadi keputusan politik.

Apalagi, penerimaan Prabowo dan Gerindra telah mengubah konstelasi pembagian kue kekuasaan. Prabowo dianggap telah 'merebut' jatah Mentri partai yang telah berdarah-darah mendukung Jokowi.

PKB sangat mungkin meninggalkan Jokowi yang didukung PDIP, sebagaimana PDIP dahulu meninggalkan Gus Dur dan PKB dan mengambil jatah kursi Presiden yang ditinggalkan Gus Dur.

Nasdem dan PPP sangat siap untuk meninggalkan Jokowi dengan narasi 'memilih berpihak dan berada bersama rakyat'. Politik itu cuma soal kepentingan, alasan akan selalu ada dan dirasionalisasi.

PAN berada ditengah jalan, akan cocok menempuh jalan manapun baik bersama atau meninggalkan Jokowi. PKS dan Demokrat akan mendapat benefit politik yang paling banyak, karena mengambil pilihan beroposisi.

Ketidakmampuan menangani pandemi adalah puncak ketidakpercayaan rakyat kepada Presiden Jokowi. Janji apapun dan langkah apapun yang ditempuh Jokowi, sudah tidak dipercaya rakyat. Rakyat hanya butuh Jokowi mundur agar ada solusi bagi negeri.

Akankah kondisi ini memicu menteri 'bedol deso mundur' dan meninggalkan Jokowi ? [].