Bagian 2: Eksaminasi HRS Center Terhadap Putusan Perkara HRS (Menyingkap Tabir Kebenaran)

 

Selasa, 31 Agustus 2021

Faktakini.info

*EKSAMINASI HRS CENTER TERHADAP PUTUSAN PERKARA HRS (MENYINGKAP TABIR KEBENARAN)*

Bagian 2: Unsur menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong

I. Dalil Judex Factie Pengadilan Negeri Jakarta Timur

Judex Factie dalam pertimbangannya berkeyakinan bahwa Terdakwa (in casu Habib Rizieq Syihab) telah menyiarkan pemberitahuan bohong, sebab telah menyampaikan pernyataan / pemberitahuan melalui video tersebut dengan mengatakan “kita sudah rasa segar sekali, alhamdulillah hasil pemeriksaan semua baik dan mudah-mudahan ke depan tetap sehat wal afiat”, tanpa menunggu hasil Swab PCR Terdakwa.

Menurut Judex Factie, bahwa yang mempunyai otoritas atau kewenangan untuk menyatakan seseorang dalam kondisi sehat atau tidak sehat adalah dokter berdasarkan hasil pemeriksaan medis yang dilakukannya terhadap orang tersebut, sehingga apabila terhadap seseorang telah dilakukan pemeriksaan medis oleh dokter dan berdasarkan hasil pemeriksaan medis tersebut ternyata orang itu sakit, maka walaupun orang tersebut merasa sehat ketika menjalani perawatan, namun tetap saja secara medis orang tersebut dalam keadaan sakit atau tidak sehat sebelum dokter menyatakan orang tersebut sehat, sehingga subjektifitas pasien tidak dapat mengalahkan objektifitas dokter.

II. Hasil Eksaminasi HRS Center

Dalil Judex Factie yang menyebutkan bahwa “yang memiliki otoritas/kewenangan untuk menyatakan kondisi kesehatan seseorang adalah dokter berdasarkan hasil pemeriksaan medis” tidak memiliki relevansi guna pemenuhan unsur tindak pidana dalam perkara a quo. Begitupun kalimat “subjektifitas pasien tidak dapat mengalahkan objektifitas dokter”. Tidak ada norma larangan yang mengandung ancaman pidana dalam hal seseorang pasien yang sedang menjalani perawatan menyatakan dirinya sudah sehat.

Penyiaran berita atau pemberitahuan bohong termasuk juga penyiaran kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap sebagaimana diatur dalam Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dimaksudkan untuk menjaga kepentingan hukum negara (staat belangen), yakni dalam hal menjaga keutuhan dan kedaulatan negara. 

Dengan demikian, tidak dimaksudkan untuk melindungi kepentingan hukum individu (individuale belangen) maupun kepentingan hukum masyarakat (sociale belangen). Oleh karena itu, tidak ada hubungannya dengan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (Protokol Kesehatan). Dengan kata lain, tidak ada persintuhan antara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dengan regulasi Protokol Kesehatan.

Pembentuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana menjadikan perbuatan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong sebagai tindak pidana menunjuk pada akibat timbulnya keonaran (kekacauan) di kalangan rakyat. 

Oleh karena itu, penekanannya bukan dari kebohongannya, namun dari maksud/kehendak orang menyiarkannya. Dengan kata lain, kebohongan itu memiliki kualitas tertentu dan motivasi tertentu pula. Norma larangan yang dimaksudkan pembentuk Undang-Undang adalah dalam rangka menjaga kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari segala ancaman terhadap keutuhan dan kedaulatan negara.

Menurut asas hukum, seseorang tidak dapat dipidana karena atas dasar kondisi/keadaaan batinnya. Hal ini sesuai dengan asas “cogitationis poenam nemo patitur”, artinya “tidak seorang pun dipidana atas yang ada dalam pikirannya”. Oleh karena itu terhadap suatu perbuatan, maka didalamnya harus terkandung adanya kesalahan. 

Perihal menyiarkan pemberitahuan bohong sebagaimana didalilkan oleh Judex Factie bertentangan dengan asas “tidak seorang pun dipidana atas yang ada dalam pikirannya”.

 Pernyataan Habib Rizieq Syihab tersebut adalah termasuk bagian dalam pikirannya, sebab dirinya merasakan sudah sehat. Penilaian subjektif tersebut adalah penilaian yang wajar/lumrah, sebagaimana penilaian pada umumnya seseorang yang merasakan sudah pulih dari rasa sakitnya. Tidak dimaksudkan menggunakan pikirannya secara salah yang kemudian mengarahkan pikiran dan tindakannya untuk mewujudkan perbuatan terlarang beserta akibatnya.

Mengacu pada postulat “contra legem facit qui id facit quod lex prohibit; in fraudem vero qui, salvis verbis legis, sententiam ejus circumuenit” (seseorang dinyatakan melawan hukum ketika perbuatan yang dilakukan adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum), maka pernyataan Habib Rizieq Syihab tidaklah termasuk perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Dengan kata lain, bukan merupakan perbuatan melawan hukum. Tidak ada sifat ketercelaannya dan oleh karena itu tidak termasuk dalam perbuatan pidana sebagaimana yang dimaksudkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Pada prinsipnya kebohongan adalah bukan perbuatan pidana. Bohong untuk diri sendiri ranahnya adalah etika publik, moral, atau personal/individu. Dalam berbohong karena suatu keadaan dan sudah meminta maaf, maka demikian itu sudah selesai dengan permintaan maafnya. Kebohongan menjadi tindak pidana apabila terhubung dengan perbuatan lain yang memang dilarang oleh hukum. Seiring dengan itu, kebohongan berkedudukan sebagai alat guna memenuhi keinginan/kehendak sebagaimana yang dimaksudkan oleh pelaku. Sebagai contoh dapat dilihat pada perkara Basuki T. Purnama, melalui pernyataannya sebagai berikut:

“…jadi jangan percaya sama orang, bisa saja kan dalam hati kecil bapak ibu nggak pilih saya, ya kan dibohongin pake surat al Maidah 51 macam - macam itu, itu hak bapak ibu yaa, jadi kalau ibu perasaan gak bisa pilih nihhh, karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu gak papa karena itu panggilan bapak ibu…”

Pernyataan tersebut telah menganggap Surat al Maidah: 51 sebagai alat untuk membohongi masyarakat, atau Surat al Maidah: 51 sebagai sumber kebohongan. Pernyataan demikian bukan saja tergolong tindak pidana penodaan agama dalam Pasal 156a huruf a KUHP. Namun juga bersintuhan dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 14 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Kalimat “…dibohongin pake surat al Maidah 51 macam-macam itu…” adalah bentuk perkataan bohong yang mengandung ketercelaan (melawan hukum) di samping penodaan terhadap agama Islam.

III. Kesimpulan

Tidak pada tempatnya Judex Factie mendalilkan pernyataan Habib Rizieq Syihab sebagai menyiarkan pemberitahuan bohong. Pemberitahuan yang disampaikan sama sekali tidak mengandung ketercelaan, sehingga tidak ada sifat melawan hukumnya. 

Penjelasan arumentatif yuridis di atas demikian terang benderang menunjukkan bahwa pernyataan tersebut tidak tergolong perbuatan pidana. Judex Factie telah mengalami kesalahan/kekeliruan yang nyata dalam membuktikan unsur “menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong” sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 14 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dengan demikian, unsur “berita atau pemberitahuan bohong”, tidak terbukti.

Jakarta, 30 Agustus 2021.

*Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.*

(Direktur HRS Center)

🙏🙏🙏