HRS Batal Bebas, Damai Lubis: Hakim PN Jaktim dan PT DKI Tak Patuhi Rule of Law Terkait Hak Pembantaran Terdakwa

 

Senin, 8 Agustus 2021

Faktakini.info

Majelis Hakim PN. Jakarta Timur dan Pengadilan Tinggi Jakarta Tidak Patuhi Rule of law Terkait Hak Pembantaran Terdakwa

Oleh : H. Damai Hari Lubis., SH.MH.

Mujahid 212

*( Hukum itu sarat logika atau harus masuk akal )*

Bila Para Hakim pemilik pemutus keadilan tidak menegakan keadilan, sedangkan masyarakat umum pencahari, pendamba keadilan dan para akademisi, juga para praktisi atau para ahli hukum telah berteriak mengingatkannya  agar berlaku adil sesuai ketentuan hukum yang berlaku, maka  masyarakat bangsa ini, atau seluruh ummat beragama di negara ini,  hanya dapat berharap adanya restorasi hukum ( pemulihan fungsi hukum sebenarnya ) dengan cara berjuang secara konstitusional,  agar lahir perubahan pada sistem kekuasaan dan perubahan dari para penguasanya oleh sebab sistem hukum negara berdampak causalitas antara pemimpin atau penguasa birokrat dengan perangkat fungsional aparatur  penegak hukumnya, dan  selebihnya hanya kekuatan iman  menanti pengadilan akhirat untuk menyidangkan " para penegak hukum sesat "

Jika asas hukum dilanggar oleh para penegak hukum, maka jangan harapkan keadilan didapatkan oleh tim pengacara HRS dan utamanya pribadi Sang Imam

Terkait Pembantaran atau penangguhan penahanan Imam Besar HRS. Bila Pengadilan Negeri Majelis Hakim di P N. Jakarta Timur dan Majelis Hakim di  Pengadilan Tinggi Jakarta konsekuwen dalam artian tunduk dan patuh terhadap makna perintah hukum positif pada Kuhap atau UU.RI. No. 8 Tahun 1981 akan asas Presumption of innocent sebagai bagian dari rule of law atau hukum dijadikan sebagai panglima, maka majelis hakim yang menyidangkan perkara Imam Besar HRS baik sejak di PN. Timur maupun di PT. Jakarta akan memberikan pembantaran terhadap diri Sang Imam seperti yang dimohonkan para pengacara Beliau

Karena selain ada asas legalitas perihal presumption of innocent atau populer dengan istilah praduga  tak bersalah bagi seorang Tersangka/ TSK dan atau  Terdakwa/ TDW yang vonisnya masih dalam keadaan belum berkepastian atau belum berkekuatan hukum yang pasti ( belum inkracht ) akan kebenaran terhadap tuduhan JPU terhadap materi objek perkara atau delik yang dilakukan  diri Si Terdakwa,  didalam Kuhap tegas terdapat asas hukum untuk pembantaran terhadap TDW dengan alasan subjektif yang objektif dari Majelis Hakim terhadap Tokoh Besar  ulama ini, salah satunya adalah Beliau tentu tidak akan melarikan diri, yakin mau berjanji tidak mengulangi ( pelanggaran kerumunan ) dan tidak menghilangkan barang bukti, karena pemilik barang bukti ini hanya JPU yang miliki dan kuasai

Lalu apa hakekat yang mendasari adanya fasilitas hukum dalam bentuk upaya hukum  banding dan kasasi yang dihubungkan dengan asas atau dasar hukum  praduga tak bersalah ?

Jawaban logika hukumnya adalah bagaimana perkara yang belum berkepastian hukum atau belum inkracht jika dihubungkan adanya hak asasi privasi hukum para TDW dalam bentuk upaya banding dan kasasi ? Maka jawaban logisnya adalah "  karena ada hak banding dan kasasi tersebut maka putusan bisa menjadi terbalik, vonis bersalah bisa jadi bebas ( onslag atau vrijspraak )  atau vonis berat menjadi lebih ringan ) 

Ilustrasi akibat hukumnya dalam hal ini terhadap Beliau HRS yang divonis 4 Tahun di PN. Timur ternyata andai di tingkat banding atau kasasi ternyata putus vonis bebas apa yang terjadi dengan telah ditahannya Beliau sekian lama sebelumnya, begitupun jika vonis lebih ringan, sedang nyatanya Beliau sudah menjalani  melewati batas waktu vonis yang telah berkekuatan tetap atau inkracht

Saran kami selaku Mujahid 212, hakim jangan ikut pusaran politik mesti pure penegakan hukum sesuai tupoksi merujuk ketentuan sesuai tupoksinya dan gunakan hak khusus dan penentu yang juga mereka miliki yakni hak berdasarkan nurani melalui fakta - fakta hukum atas dasar notoire feiten atau sudah sepengetahuan umum berdasarkan kondisi dan fakta riil  bahwa regulasi  prokes ini hanyalah hukum cita -cita atau sekedar mudah-mudahan berlaku atau ius konstituendum dan pejabat hakim juga mesti sadari , bahwa mereka adalah sosok yang memiliki  jabatan mulia dan melekat pada jabatanya serta putusan yang dibuat memiliki kekuatan hukum yang memaksa sehingga  berfungsi hukum sebagai alat kontrol sosial 

Sehingga pembantaran terkait " delik " pelanggaran prokes covid 19 Kasus RS.Ummi  ini, sangat mendasar untuk segera dikabulkan berdasarkan kebijakan dengan pertimbangan hukum yang ada dan para hakim miliki melalui surat  penetapan penangguhan penahanan atau pembantaran, diluar atai tanpa  ada maksud intervensi hak hakim dalam menyidangkan perkara untuk mencari kebenaran materil ( kebenaran yang sebenar- benarnya ) 

Adapun dasar dari notoire feiten yang ada bahkan  masih berlangsung  yaitu berdasarkan sepengetahuan dan atau penglihatan masyarakat secara umum secara langsung terhadap kondisi sosial atau kehidupan riil, ada banyak praktek pelanggaran hukum prokes covid 19, yang jelas- jelas menunjukan bahwa pelanggaran terhadap prokes atau larangan berkerumun  nyata-nyata dilakukan mayoritas bangsa ini, yakni banyak fakta  para individu secara sadar menciptakan  kelompok orang atau membuat kerumunan ditempat publik yang sangat mencolok mata ( Pasar dan masjid - masjid ), dan termasuk pelanggar prokes diantaranya Presiden RI, fakta hukumnya mereka para pelanggar larangan  berkerumun,diantaranya termasuk  Jokowi yang juga melanggar prokes namun tidak dikenai sanksi hukum apapun

Maka hakim tepat dan ideal agar berperilaku adil semata atas dasar hukum dan sementara  saat ini gunakan jurus khusus berdasarkan nurani, segera ambil kebiijakan membuat penetapan pembantaran sambil menunggu pelaksanaan proses pemeriksaan menuju vonis hukum berkekuatan tetap ( inkracht )